BAB II 2.1. Investasi - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) di Sumatera Utara

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Investasi
Ciri negara berkembang adalah kurangnya modal, tidak adanya persediaan
dan pertumbuhan ekonomi yang rendah serta keterbelakangan teknologi. Hal ini
dapat di lihat dari biaya rata-rata yang produksi yang tinggi namun produktivitas
tenaga kerja rendah karena tenaga kerjanya tidak terampil dan peralatan modal
yang masih sederhana, hal ini jelas dari rasio output modal yang tinggi, Indonesia
merupakan negara yang sedang berkembang juga tidak lepas dari masalah di atas,
oleh karena itu investasi merupakan salah satu sumber pembiayaan yang sangat
dibutuhkan untuk menunjang pembangunan. Contoh investasinya adalah
Penanaman Modal Dalam Negeri yang dibiayai pemerintah dan Penanaman
Modal Asing.

Pembentukan modal diperdagangkan sebagai salah satu faktor

utama dan strategis dalam pembangunan ekonomi. Proses pertumbuhan modal
terjadi melalui tiga tahapan, yaitu (Jhinghan,2006).

a. Kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada kemauan dan
kemampuan menabung.
b. Keberadaan

lembaga

kredit

dan

keuangan

untuk

menggalang

dan

menyalurkan tabungan agar dapat dialihkan menjadi dana yang dapat
diinvestasikan.

c. Penggunaan tabungan untuk investasi. Dengan rasio modal output tertentu
pembentukan modal dapat menaikkan output yang berdampak pada surplus
investasi sehingga pendapatan meningkat. Akhirnya masalah disalurkan pada
jalur yang paling produktif.

14
Universitas Sumatera Utara

15

Tujuan pengeluaran untuk investasi adalah harapan untuk memeperoleh
keuntungan di kemudian hari, hal ini berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan
yang di ambil oleh individu perusahaan dalam memutuskan apakah membeli atau
tidak membeli barang- barang atau jasa-jasa adalah harapan dikemudian hari nanti
dapat memperoleh keuntungan dari penjualan atau penggunaan barang dan jasa
untuk proses produksi. Harapan akan keuntungan inilah yang merupakan faktor
utama dalam memutuskan apakah berinvestasi atau tidak.
Investasi yang lajim disebut dengan istilah penanaman modal atau
pembentukan modal menurut Sukirno (2000) adalah, "Merupakan komponen
kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat".

Menurut Tambunan (2001) : Didalam neraca nasional atau struktur PDB
menurut

penggunaannya,

investasi

didefenisikan

sebagai

pembentukan

modal/kapital tetap domestik (domestic fixed capital formation). Investasi dapat
dibedakan antara investasi bruto (pembentukan modal tetap domestik bruto) dan
investasi netto (pembentukan modal tetap domestik netto).
Menurut defenisi dari Badan Pusat Statistik (BPS,2007), pembentukan
modal tetap adalah pengeluaran untuk pengadaan, pembuatan, atau pembelian
barang-barang modal baru (bukan barang-barang konsumsi) baik dari dalam
negeri maupun import, termasuk barang modal bekas dari luar negeri.

Pembentukan modal tetap yang dicakup hanyalah yang dilakukan oleh sektorsektor ekonomi di dalam negeri (domestik). Nopirin (2000) “Invesatsi merupakan
salah satu komponen yang penting dalam PDB”.
Tingkat bunga dapat mempengaruhi para pengusaha dalam memutuskan
apakah harus melaksanakan investasi yang direncanakan atau membatalkannya.

Universitas Sumatera Utara

16

Maka tingkat bunga dapatlah digolongkan sebagai salah satu faktor penting yang
akan menentukan besarnya investasi yang akan dilakukan para pengusaha dalam
suatu tahun tertentu. Bahkan, seperti akan diterangkan dalam bahagian ini, tingkat
bunga merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan tingkat
investasi yang akan dilakukan para pengusaha pada suatu waktu tertentu.
Tambunan (2001), faktor yang dipertimbangkan dalam memilih investasi
diantaranya adalah
a. Modal. Yang dimaksud dengan modal adalah berapa banyak dana yang
kita perlukan untuk bisa melakukan investasi sampai kita dapat
memperoleh keuntungan yang melebihi dari investasi yang kita keluarkan?
Prinsipnya, semakin kecil modal yang diperlukan semakin baik bagi

investor.
b. Tingkat Pengembalian.Tingkat pengembalian adalah berupa berapa persen
keuntungan yang bisa diperoleh dari modal yang dikeluarkan dalam
jangka waktu tertentu. Semakin tinggi tingkat pengembalian dan semakin
cepat jangka waktunya semakin baik bagi investor.
c. Tingkat Risiko. Risiko adalah berapa besar kemungkinan terjadinya
kerugian yang dapat mengurangi jumlah modal kita dan bahkan
menghabiskan modal kita. Semakin kecil tingkat risikonya, semakin baik
bagi investor.
d. Arus Dana. Terakhir adalah arus dana yang berupa seberapa cepat dana
dalam bentuk Uang kas secara fisik dapat kita tarik dari modal yang telah
kita setor. Semakin cepat semakin baik bagi investor.
Menurut Nopirin (2000) :”Faktor yang mempengaruhi investasi adalah

Universitas Sumatera Utara

17

tingkat bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan serta perkiraan tentang
penjualan dan kebijaksanaan ekonomi”.

Kegiatan para pengusaha untuk menggunakan teknologi yang baru
dikembangkan di dalam kegiatan produksi atau usaha-usaha lain mereka
dinamakan mengadakan pembaharuan atau inovasi. Pada umumnya makin banyak
perkembangan teknologi yang dibuat, makin banyak pula kegiatan pembaharuan
yang akan dilakukan oleh para pengusaha. Untuk melaksanakan perubahanperubahan, para pengusaha harus membeli barang-barang modal yang baru, dan
ada kalanya juga harus mendirikan bangunan-bangunan pabrik/industri yang baru.
Maka makin banyak perubahan atau pembaharuan yang dilakukan, makin tinggi
tingkat investasi yang akan dicapai.
Disamping oleh tingkat pendapatan nasional yang dicapai, besarnya
investasi yang akan dilakukan oleh para pengusaha ditentukan pula oleh tingkat
perubahan-perubahan pendapatan nasional dari tahun ke tahun. Para pengusaha
melakukan investasi bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka tetapi untuk
memenuhi permintaan atas barang-barang yang mereka produksi. Makin cepat
perkembangan permintaan atas barang-barang yang mereka produksi, makin
banyak pertambahan produksi yang mereka lakukan.
Keuntungan menimbulkan suatu pengaruh lain atas investasi. Keuntungan
yang tinggi merupakan suatu petunjuk bahwa perusahaan itu sedang menghadapi
perkembangan dalam permintaan atas barang yang diproduksinya. Agar
permintaan yang berkembang ini dapat dipenuhi di masa-masa yang akan datang,
perusahaan itu harus lebih dikembangkan lagi. Maka investasi baru harus segera

dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

18

2.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai
perkembangan ekonomi suatu daerah. Perhitungan pendapatan nasional ini
mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu daerah. Pada umumnya
perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan daerahnya
sebagai gambaran, Bank Dunia menentukan apakah suatu negara berada dalam
kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokan besarnya PDRB,
dan PDRB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa
dalam perekonomian (Herlambang, 2001).
Pendapatan regional didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang
dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah
selama satu tahun (Sukirno, 1995). Sedangkan menurut Tarigan (2004),
pendapatan regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah
analisis. Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah

ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah
yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya
adalah :
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul
dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah atau propinsi.
Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi
dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai
tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah
dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak

Universitas Sumatera Utara

19

langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari masingmasing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan
Produk Domestic Regional Bruto (PDRB).
2. Produk Domestitk Regional Neto (PDRN)
PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan
penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau

pengurangan

nilai

barang-barang

modal

(mesin-mesin,

peralatan,

kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai
dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh
sektor

ekonomi

dijumlahkan,


hasilnya

merupakan

penyusutan

keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak
langsung neto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor.
Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan
menggunakan metode langsung (Tarigan, 2004), yaitu :
1. Pendekatan Pengeluaran
Pendekatan pengeluaran adalah cara penentuan pendapatan regional
dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan
jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan
maka total penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk :
konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari
untung; konsumsi pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi);
perubahan stok, dan ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total
impor).


Universitas Sumatera Utara

20

2. Pendekatan Produksi
Perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi
dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh
tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Maka itu, untuk
menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka
pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang
diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh
dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap
sektor.
3. Pendekatan Penerimaan
Dengan cara ini pendapatan regional dihitung dengan cara menjumlahkan
pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi
barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji,
surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.
Ada beberapa teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi regional
yang akan disajikan, khususnya teori-teori yang sangat terkait dengan penelitian
ini, diantaranya : (1) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (2) Teori Basis Ekspor; (3)
Model Interregional; dan (4) Teori Pusat Pertumbuhan (Aziz, 2001).
1. Teori Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson
pada tahun 1955. Pada intinya, teori ini menekankan bahwa setiap daerah
perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi
besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk

Universitas Sumatera Utara

21

dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor
tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat
berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk
perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut
harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor
tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga
perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektorsektor adalah membuat sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung.
Menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan
sektor lain yang terkait akan akan mampu membuat perekonomian tumbuh
cepat.
2. Teori Basis Ekspor Richardson
Teori ini membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di
dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service
(pelayanan) atau lebih sering disebut sektor nonbasis. Pada intinya,
kegiatan yang hasilnya dijual ke luar daerah ( atau mendatangkan dari luar
daerah) disebut kegiatan basis. Sedangkan kegiatan non-basis adalah
kegiatan yang melayani kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri, baik
pembeli maupun asal uangnya dari daerah itu sendiri.
Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu : (1) asumsi pokok atau
yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independen)
dalam pengeluaran. Artinya, semua unsur pengeluaran lain terikat
(dependen) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti
diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang dapat

Universitas Sumatera Utara

22

mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor-sektor lain
terikat peningkatannya oleh peningkatan pendapatan dcaerah. Sektor lain
hanya

meningkat

apabila

pendapatan

daerah secara

keseluruhan

meningkat. Jadi satu-satunya yang bisa meningkat secara bebas adalah
ekspor. Ekspor tidak terikat dalam siklus pendapatan daerah; (2) asumsi
kedua adalah fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol
sehingga tidak akan berpotongan.
Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahankelemahan antara lain sebagai berikut :
a.

Menurut Richardson besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik
dari besarnya suatu daerah. Artinya, makin besar suatu daerah
maka ekspornya akan semakin kecil apabila dibandingkan dengan
total pendapatan.

b.

Ekspor jelas bukan satu-satunya faktor yang bisa meningkatkan
pendapatan

daerah.

Ada

banyak

unsur

lain

yang

dapat

meningkatkan pendapatan daerah seperti : pengeluaran atau
bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas
tenaga kerja.
c.

Dalam melakukan studi atas satu wilayah, multiplier basis yang
dioperoleh

adalah

rata-ratanya

dan

bukan

perubahannya.

Menggunakan multiplier basis rata-rata untuk proyeksi seringkali
memberikan hasil yang keliru apabila ada tendensi perubahan nilai
multiplier dari tahun ke tahun.

Universitas Sumatera Utara

23

d.

Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis
digunakan sebagai alat proyeksi maka masalah time lag (masa
tenggang) harus diperhatikan . Ada kasus dimana suatu daerah
yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil. Pada
umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak
ragam kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk
kegiatan lainnya. Pada daerah ini tetap tercipta pasar yang tertutup
tetapi dinamis, dan ini bisa terjadi apabila syarat-syarat
keseimbangan yang dituntut dalam teori Harrod-Domar dapat
dipenuhi.

3. Model Pertumbuhan Interregional
Model ini adalah perluasan dari teori basis ekspor, yaitu dengan
menambah faktor-faktor yang bersifat eksogen. Berbeda dengan model
basis ekspor yang hanya membahas pertumbuhan daerahnya sendiri tanpa
melihat dampaknya pada daerah yang ada disekitarnya. Model
pertumbuhan interregional ini memasukkan dampak dari daerah tetangga,
itulah sebabnya model ini dinamakan model interregional.
Dalam model ini, pengeluaran pemerintah dan investasi termasuk variabel
bersifat eksogen sebagaimana variabel ekspor. Dengan memanipulasi
persamaan pendapatan yang pertama kali ditulis oleh Keynes, oleh
Richardson persamaan pendapatan didaerah-i dapat dimodifikasi menjadi :
Yi = Ci + Ii + Gi + Xi − Mi

(2.1)

Universitas Sumatera Utara

24

dimana :
Yi
= regional income,
Ci
= regional consumption,
Ii
= regional investment,
Gi
= regional government expenditure,
Xi
= regional exports,
Mi
= import.
Dalam model pertumbuhan interregional ini, sumber-sumber perubahan
pendapatan regional dapat berasal dari :
a. Perubahan pengeluaran otonom regional, seperti : investasi dan
pengeluaran pemerintah.
b. Perubahan pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang
berada dalam suatu system yang akan terlihat dari perubahan ekspor.
c. Perubahan salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat
konsumsi marginal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat
pajak marjinal.
Selanjutnya model standar Keynesian, oleh McCann (2001) diturunkan
sebagai berikut :
Yr = kr (C + Ir + Gr + Xr − M) dimana multiplier regional ( kr ) :

(2.2)

Menurut Cann, multiplier regional sebagaimana disajikan dalam
rumus di atas sangat tergantung pada nilai marginal propensity to
consume locally produced goods (c-m). Apabila (c-m) meningkat nilai
multiplier regional juga meningkat sebaliknya bila (c-m) menurun
maka multiplier regional akan menurun juga.

Universitas Sumatera Utara

25

Dampak perubahan komponen aggregate demand dalam kerangka
multiplier regional dapat disajikan sebagai berikut :
(2.3)

4. Teori Pusat Pertumbuhan (The Growth Pole Theory)
Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi
pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota,
pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi,
pusat permukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat
konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland),
daerah pertanian, atau daerah pedesaan (Tarigan, 2004).
Keuntungan bertempat di daerah terkonsentrasi adalah terciptanya skala
ekonomis (economies of scale) dan economies of agglomeration
(economies of localization). Dikatakan economies of scale, karena dalam
berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi
lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economies of
agglomeration adalah keuntungan karena ditempat tersebut terdapat
berbagai

keperluan

dan

fasilitas

yang

dapat

digunakan

untuk

memperlancar kegiatan perusahaan, seperti: jasa perbankan, asuransi,
perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat
pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain
sebagainya.
Tarigan, 2004, menjelaskan pula hubungan yang terjadi antara daerah yang
lebih maju ( sebut saja dengan istilah kota) dengan daerah lain yang yang

Universitas Sumatera Utara

26

lebih terbelakang, sebagai berikut : (1) Generatif : yaitu hubungan yang
saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara antara daerah
yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. (2) Parasitif :
yaitu hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju)
tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan
bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya
(3) Enclave (tertutup): dimana daerah kota (daerah yang lebih maju)
seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih
terbelakang.
Selanjutnya, suatu daerah dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus
memiliki empat ciri (Tarigan, 2004), yaitu: (1) Adanya hubungan internal
dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi; (2) Ada efek
pengganda (multiplier effect); (3) Adanya konsentrasi geografis; dan (4)
Bersifat mendorong pertumbuhan daerah di belakangnya.
Terdapat keterkaitan yang erat antara pendapatan nasional dan investasi.
Hubungan keduanya menjadi suatu sorotan para ekonom, baik dari kalangan
Klasik maupun Neo Klasik. Teori pendapatan nasional Keynesian yang
menggunakan pendekatan pengeluaran agregatif dimana besarnya pendapatan
nasional suatu negara diukur dari komponen-konponen expenditure para pelaku
ekonominya lewat anggaran-anggarannya, yaitu; sektor rumah tangga (C;
consumtion), perilaku usaha dan dunia usaha tercermin lewat komponen investasi
yang ditanam (I), pemerintah melalui anggaran belanjanya (G) dan sektor
perdagangan internasional yang tercermin lewat nilai ekspor / impor neto-nya.

Universitas Sumatera Utara

27

Teori di atas selanjutnya menurunkan pertimbangan parsial pada faktorfaktor yang menjadi pertimbangan dalam melakukan investasi. Seperti halnya
dalam konsumsi yang dilakukan oleh sektor rumah tangga, investasi oleh para
pengusaha ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satu diantara faktor-faktor
penting yang dipertimbangkan adalah besarnya nilai pendapatan nasional yang
dicapai (Sukirno, 2002).
Menurut Tambunan, (2001) : Ada kecenderungan, atau dapat dilihat
sebagai suatu hipotesis, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata
per tahun yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat proses peningkatan
pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi,
dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain pendukung proses tersebut,
seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia.
Sudono (2006), menyatakan dalam kebanyakan analisa mengenai
penentuan pendapatan nasional pada umumnya variabel investasi yang dilakukan
oleh pengusaha berbentuk investasi autonomi (besaran / nilai tertentu investasi
yang selalu sama pada berbagai tingkat pendapatan nasional). Tetapi adakalanya
tingkat pendapatan nasional sangat besar pengaruhnya pada tingkat investasi yang
dilakukan. Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa pendapatan nasional yang tinggi
akan

memperbesar

pendapatan

masyarakat

dan

selanjutnya

pendapatan

masyarakat yang tinggi itu akan memperbesar permintaan atas barang-barang dan
jasa. Keuntungan yang dicapai oleh sektor usaha dapat mencapai targetnya,
dengan demikian pada akhirnya akan mendorong dilakukan investasi-investasi
baru pada sektor usaha. Dengan demikian, apabila nilai pendapatan nasional
semakin bertambah tinggi, maka investasi akan bertambah tinggi pula. Sebaliknya

Universitas Sumatera Utara

28

semakin rendah nilai pendapatan nasional, maka nilai permintaan investasinya
akan semakin rendah pula. Hubungan yang terjadi antara variabel pendapatan
nasional dan investasi dapat ditunjukkan oleh fungsi I dalam gambar di bawah ini:
Investasi (I)

0

I

Pendapatan Nasional (Y)

Gambar 2.1 Fungsi investasi terhadap pendapatan nasional
Pengembangan yang dilakukan para ekonom Neo Klasik pada teori
Keynes ini terlihat pada formulasi yang dikembangkannya pada model akselerator
investasi. Dijelaskan bahwa laju investasi adalah sebanding dengan perubahan
output dalam perekonomian. Pembahasan mengenai bagaimana suatu model
investasi dikembangkan, yaitu pada model investasi Neo Klasik dapat
disimpulkan dalam persamaan-persamaan dibawah ini :
I = λ (K0-K1)

(2.4)

Keterangan :
I

= investasi netto

K0-K1 = perubahan nilai stok modal
λ

= multiplier (rata-rata penyesuaian) stok modal

Penyempurnaan terhadap persamaan di atas, yaitu menentukan suatu
tingkat investasi yang diinginkan dengan memasukkan formulasi fungsi produksi
Cob Douglas ke dalamnya (K= λ.Y/r.c, dimana ã = bagian modal dalam total

Universitas Sumatera Utara

29

pendapatannya dan r.c = biaya / bunga sewa modal). Maka selanjutnya diperoleh
fungsi investasi netto yang diinginkan dengan menyesuaikan nilai pajak yang
dibebankan. Fungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
I =λ (γ.Y/r.c-K-1)

(2.5)

Keterangan :
I

= investasi netto

Y

= pendapatan nasional

λ

= multiplier pertambahan modal; asumsi multiplier / pelipat pertambahan
modal adalah sempurna (λ = I)

K-1

= stok modal pada periode sebelumnya / periode terakhir

r.c

= biaya / bunga sewa modal
Semakin tinggi produk domestik bruto maka investasi sektor pertanian

akan semakin tinggi demikian sebaliknya (Sudono, 2006).
Pengertian Produk Domestik Regional Bruto dapat didefinisikan menurut
tiga sudut pandang yang berbeda namun mempunyai pengertian yang sama, yaitu:
a. Menurut Pendekatan Produksi adalah jumlah nilai produk netto dari
barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit produksi di dalam suatu regional
atau wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
b. Menurut Pendekatan pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima
oleh berbagai produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam satu
regional atau wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
c. Menurut pendekatan pengeluaran adalah jumlah pengeluaran rumah
tangga, lembaga swata tidak mencari keuntungan dan pemerintah sebagai
konsumsi, pengeluaran sebagai pembentukan modal tetap domestik bruto,

Universitas Sumatera Utara

30

perubahan stock dan ekspor netto, di suatu regional atau wilayah dalam
jangka waktu tertentu.(Boediono,2002).

2.3. Ekspor
Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan
barang-barang dari dalam negeri keluar wilayah pabean Indonesia dengan
memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang
dijual oleh sebuah negara ke negara lain,

termasuk diantara barang-barang,

asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Sasandara, 2005).
Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah
negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada
gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan
tingkat out put yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan
pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000).
Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran
(supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional
disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obstfeld, 2000; Salvatore, 2000).
Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil,
pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor
dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi
yang bisa diproksi melalui investasi, impor bahan baku, dan kebijakan deregulasi.
Ekspor merupakan bentuk paling sederhana dalam sistem perdagangan
internasional dan merupakan suatu strategi dalam memasarkan produksi ke luar

Universitas Sumatera Utara

31

negeri. Faktor-faktor seperti pendapatan negara yang dituju dan populasi
penduduk merupakan dasar pertimbangan dalam pengembangan ekspor (Kotler
dan Amstrong (1996), diterjemahkan oleh Sindoro (2000).
Menurut Nicholson (2005) ketika pendapatan total meningkat, dengan
asumsi tidak berubah, maka kuantitas yang dibeli untuk setiap orang juga akan
berubah, namun peningkatan tersebut tergantung dari jenis barangnya, apabila
barang dimaksud adalah barang normal maka peningkatannya akan cenderung
lambat.
Produk-produk yang betul-betul kompetitif, penawaran dan permintaan
domestik akan tergantung pada harga dalam mata uang domestik, sedangan
permintaan dan penawaran asing (ekspor) akan bergantung pada harga dalam
mata uang asing (Krugman dan Obstfeld (2000) yang diterjemahkan oleh Basri
(2004), dijelaskan pula bahwa perdagangan akan terjadi di suatu pasar apabila
terdapat perbedaan harga pada waktu sebelum perdagangan, jika kedua negara
menghasilkan produk yang sama. Selain sebagai faktor di atas, hubungan
perdagangan antar negara yang mempengaruhi aktivitas ekspor impor adalah nilai
tukar mata uang setiap negara.
Menurut Batiz (2000) ekspor dipengaruhi oleh harga relatif dan
pendapatan riil negara tujuan ekspor atau negara mitra dagang atau negara
pengimpor, dan dapat dirumuskan sebagai berikut :
Xa = f ( P, Yb)

(2.6)

dimana :
Xa = kuantitas ekspor negara A ; P= harga relatif (ratio antara harga
barang dinegara A terhadap harga barang di negara B), dan Yb= pendapatan

Universitas Sumatera Utara

32

negara B. Apabila diasumsikan harga suatu barang di negara B dan A adalah
sama, peningkatan harga barang di negara B akan menyebabkan konsumen di
negara B mengalihkan pembelian barangnya ke negara A dengan cara mengimpor.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan ekspor negara A. Dengan demikian maka
terdapat hubungan terbalik antara ekspor negara A dengan harga relatif (P)
Sedangkan apabila pendapatan negara B meningkat, dan variabel lain diasumsikan
konstan (ceteris paribus), maka tambahan peningkatan pendapatannya akan
dialihkan untuk pembelian barang-barang dari negara A melalui impor. Hal ini
artinya variabel berbanding lurus dengan kuantitas ekspor negara A. =YbYb.
Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Ekspor impor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu
negara meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber
daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai
produk ekspor yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara
miskin

tidak

akan

mampu

mengembangkan

kegiatan

dan

kehidupan

perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam
menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui promosi serta penguatan
sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif, baik itu berupa
ketersediaan faktor-faktor produksi tertentu dalam jumlah yang melimpah, atau
keunggulan efisiensi alias produktifitas tenaga kerja. Ekspor juga dapat membantu
semua negara dalam mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka
miliki. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada
umumnya, setiap negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan
internasional yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang

Universitas Sumatera Utara

33

didasarkan pada isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja
secara ekonomi akan lebih rendah nilainya daripada partisispasi ke dalam
perdagangan dunia yang benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun
(Todaro dan Smith, 2006).
Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara
meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang
langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor
yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan
mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya.
Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha
pembangunan mereka melalui promosi serta penguatan sektor-sektor ekonomi
yang mengandung keunggulan komparatif, baik itu berupa ketersediaan faktorfaktor produksi tertentu dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan efisiensi
alias produktifitas tenaga kerja. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam
mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka miliki. Untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, setiap
negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan internasional
yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang didasarkan pada
isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja secara ekonomi
akan lebih rendah nilainya daripada partisipasi ke dalam perdagangan dunia yang
benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun (Todaro dan Smith, 2006).

Universitas Sumatera Utara

34

2.4. Angkatan Kerja
Di Indonesia, pengertian tenaga kerja atau man power adalah mencakup
penduduk yang sudah bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang sedang
melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Tiga
golongan terakhir, yakni pencari kerja, bersekolah, dan mengurus rumah tangga,
walapun sedang tidak bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu bekerja dan
dapat sewaktu-waktu bekerja (Simanjuntak, 2001).
Pengertian tenaga kerja adalah penduduk yang berumur dalam batas usia
kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap Negara. Batas usia kerja yang
dianut oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun tanpa batas usia maksimum, jadi
setiap orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun keatas adalah tergolong
sebagai tenaga kerja. Di Negara India menggunakan rentang usia antara 14-60
tahun. Amerika Serikat menetapkan usia kerja minimum adalah 16 tahun tanpa
batas usia maksimum. Sedangkan batas usia kerja yang ditetapkan oleh bank
dunia adalah antara 15-64 tahun (Dumairy, 1996).
Indonesia tidak menganut batas usia maksimum karena Indonesia belum
mempunyai jaminan sosial nasioanal. Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia
yang menerima tunjangan hari tua, yaitu pegawai negeri dan sebagian perusahaan
swasta.buat golongan inipun pendapatan yang mereka terima tidak mencukupi
kebutuhan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, mereka yang telah mencapai usia
pensiun masih tetap harus bekerja, dengan kata lain sebagian besar penduduk
Indonesia yang sudah usia pensiun masih aktif dalam kegiatan ekonomi, dan tetap
digolongkan sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari golongan yang bekerja,

Universitas Sumatera Utara

35

menganggur, dan mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja terdiri dari golongan
yang bersekolah, mengurus rumah tangga, dan golongan lain yang menerima
pendapatan. Ketiga golongan tersebut sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya
untuk bekerja, oleh sebab itu kelompok ini sering disebut sebagai potensial labor
force.
Angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang
mempunyai pekerjaan, dan sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk
bukan angkatan kerja adalah mereka yang sekolah, mengurus rumah tangga,
menerima pendapatan akan tetapi bukan dari imbalan langsung atas kerjanya.
Pandangan mainstream economy terhadap permintaan tenaga kerja adalah
sebagaimana permintaan terhadap faktor produksinya, dianggap sebagai
permintaan turunan (derived demand), yaitu penurunan dari fungsi perusahaan.
Meskipun fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan
keuntungan, memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan
kepuasan kepada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan
dasar analisis dalam menentukan penggunaan tenaga kerja.
Dengan pertimbangan tersebut (maksimisasi keuntungan), dan dengan
asumsi perusahaan beroperasi dalam sistem pasar persaingan, maka perusahaan
cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan
nilai produk marginal tenaga kerja (Value Marginal Product of Labor, VMPL)
VMPL menunjukkan tingkat upah maskimum yang mau dibayarkan oleh
perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum. Analisis tradisional terhadap
penawaran tenaga kerja sering didasarkan atas mengalokasikan waktunya, yaitu
antara waktu kerja dan waktu nonkerja (leisure). Leisure dalam hal ini meliputi

Universitas Sumatera Utara

36

segala kegiatan yang tidak mendatangakan pendapatan secara langsung, seperti
istrirahat, merawat anak-anak, bersekolah, dan sebagainya. Pilihan tenaga kerja
dalam mengalokasikan waktu dari dua jenis kegiatan ini yang akan menempatkan
berapa tingkat imbalan (upah) yang diharapkan oleh tenaga kerja. Preferensi
subyektif seseorang yang akan menentukan berapa besar jam kerja optimal yang
ditawarkan dan tingkat upah yang diharapkan.
Ekonom memandang bahwa leisure merupakan kebutuhan pokok manusia,
sementara upah juga merupakan barang normal (semakin banyak semakin
disukai). Tenaga kerja dianggap tidak suka pada jam bekerja namun suka pada
pendapatan dan leisure. Oleh karena itu penawaran tenaga kerja berhubungan
positif dengan tingkat upah, namun karena leisure juga diinginkan oleh tenaga
kerja, maka penawaran tenaga kerja bersifat backward bending (bengkok ke
belakang). Pada tingkat upahnya meningkat karena ingin mempertahankan jam
leisure-nya (untuk mengurusi keluarga dan sebagainya).
Pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan juga akan mampu
meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesempatan kerja penduduk
sehingga akan meningkatkan Agregat Supply. Pergeseran Agregat Supply, secara
teoritis dapat diturunkan dari fungsi produksi agregat dan keseimbangan pasar
tenaga kerja, (Yasin,2003) yang secara matematis ditulis:
Y = f ( N, T, K, SDM, INF)

(2.7)

Peningkatan teknologi, sumberdaya manusia dan infra struktur produksi
akan menyebabkan fungsi produksi meningkat sehingga agregat supply juga
meningkat, yang ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut :

Universitas Sumatera Utara

37

Gambar 2.2. Peningkatan Agregat Supply akibat peningkatan Kurva produksi
(Yasin,2003))
Keterangan : Y = produksi
N
K
SDM
INF
NS
W
ND
NS-ND

= tenaga kerja
= teknologi
= sumber daya manusia
= infrastruktur
= Penawaran tenaga kerja
= tingkat upah
= permintaan tenaga kerja
= L ( W/P )

Universitas Sumatera Utara

38

Pasar tenaga kerja dapat digolongkan menjadi pasar tenaga kerja terdidik
dan pasar tenaga kerja tidak terdidik. Menurut Simanjuntak (2001), kedua bentuk
pasar tenaga kerja tersebut berbeda dalam beberapa hal. Pertama, tenaga terdidik
pada umumnya mempunyai produktivitas kerja lebih tinggi daripada yang tidak
terdidik. Produktivitas pekerja pada dasarnya tercermin dalam tingkat upah dan
penghasilan pekerja, yaitu berbanding lurus dengan tingkat pendidikannya.
Kedua, dari segi waktu, supply tenaga kerja terdidik haruslah melalui proses
pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, elastisitas supply tenaga kerja terdidik
biasanya lebih kecil daripada elastisitas supply tenaga kerja tidak terdidik. Ketiga,
dalam proses pengisian lowongan, pengusaha memerlukan lebih banyak waktu
untuk menyeleksi tenaga kerja terdidik daripada tenaga kerja tidak terdidik.
Supply atau penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah
dengan jumlah tenaga kerja . Seperti halnya penawaran, demand atau permintaan
tenaga kerja juga merupakan suatu hubungan antara upah dan jumlah tenaga
kerja. Motif perusahaan mempekerjakan seseorang adalah untuk membantu
memproduksi barang atau jasa yang akan dijual kepada konsumennya. Besaran
permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja tergantung pada besaran permintaan
masyarakat terhadap barang yang diproduksi perusahaan itu. Oleh karenanya,
permintaan terhadap tenaga kerja

merupakan permintaan turunan (derived

demand).
Penentuan permintaan tenaga kerja dapat diturunkan dari fungsi produksi
yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K), sebagai berikut:
TP = f(L, K)

(2.8)

dimana: TP = Produksi total (output)
L = Tenaga kerja

Universitas Sumatera Utara

39

K = Modal
Keseimbangan pasar tenaga kerja merupakan suatu posisi tertentu yang
terbentuk oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Todaro
(2000)

menyatakan

bahwa

dalam

pasar

persaingan

sempurna

(perfect

competition), di mana tidak ada satupun produsen dan konsumen yang
mempunyai pengaruh atau kekuatan yang cukup besar untuk mendikte hargaharga input maupun output, tingkat penyerapan tenaga kerja (level of employment)
dan harganya (tingkat upah) ditentukan secara bersamaan oleh segenap hargaharga output dan faktor-faktor produksi selain tenaga kerja.

Gambar 2.3. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja
Sumber : Nicholson (1998).

Gambar 2.3 memperlihatkan keseimbangan di pasar tenaga kerja tercapai
pada saat jumlah tenaga kerja yang ditawarkan oleh individu (di pasar tenaga
kerja , SL) sama besarnya dengan yang diminta (DL) oleh perusahaan, yaitu pada
tingkat upah ekuilibrium (W0). Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2)
penawaran tenaga kerja melebihi permintaan tenaga kerja, sehingga persaingan di
antara individu dalam rangka memperebutkan pekerjaan akan mendorong

Universitas Sumatera Utara

40

turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium (W0). Sebaliknya,
pada tingkat upah yang lebih rendah (W1) jumlah total tenaga kerja yang diminta
oleh para produsen melebihi kuantitas penawaran yang ada, sehingga terjadi
persaingan di antara para perusahaan atau produsen dalam memperebutkan tenaga
kerja . Hal ini akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke
titik ekuilibrium. Pada titik W0 jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu
horisontal adalah sebesar L0. Secara definitif, pada titik L0 inilah tercipta
kesempatan kerja atau penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employment).
Artinya pada tingkat upah ekuilibrium tersebut semua orang yang menginginkan
pekerjaan akan memperoleh pekerjaan, atau dengan kata lain sama sekali tidak
akan terdapat pengangguran, kecuali pengangguran secara sukarela.
Tenaga kerja adalah penduduk yang berumur dalam batas usia kerja.
Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap Negara. Batas usia kerja yang dianut
oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun tanpa bats usia maksimum, jadi setiap
orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun keatas adalah tergolong sebagai
tenaga kerja. Di Negara India menggunakan rentang usia antara 14-60 tahun.
Amerika Serikat menetapkan usia kerja minimum adalah 16 tahun tanpa batas usia
maksimum. Sedangkan batas usia kerja yang ditetapkan oleh bank dunia adalah
antara 15-64 tahun (Dumairy, 1996).
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam berproduksi.
Adanya peningkatan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan kapasitas produksi.
Sehingga nantinya akan meningkatkan investasi. Oleh karena itu hal yang harus
dilakukan adalah meningkatkan kualitas tenaga kerja dengan mengembangkan

Universitas Sumatera Utara

41

sistem keterpaduan antara dunia pendidikan, pelatihan keterampilan yang sepadan
dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, perkembangan pembangunan dan teknologi.

2.5. Belanja Daerah (BD)
Belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemda untuk
melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan
pemerintahan di atasnya (pemerintah propinsi dan pusat). Pemerintah pusat dan
daerah mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kegiatan-kegiatan yang konkrit
berupa penggunaan barang-barang dan jasa atau sumber daya ekonomi. Dalam
penggunaan sumber daya ekonomi tersebut pada umumnya dinyatakan dalam
bentuk penggunaan uang dan dana yang lebih dikenal dengan belanja rutin dan
belanja pembangunan. Menurut Syamsi dalam Karmini, (2003) belanja daerah
merupakan kegiatan yang sifatnya membelanjakan dana yang diperolehnya,
belanja daerah dibedakan menjadi dua bagian yaitu belanja rutin dan belanja
pembangunan.
Pemerintah pusat melakukan transfer kepada pemerintah daerah agar
terdapat standar pelayanan minimum di seluruh negeri. Hal ini dilakukan karena
konsekuensi dari tidak meratanya kemampuan keuangan dan ekonomi daerah.
Selain itu, transfer bertujuan untuk mengurangi kesenjangan keuangan horisontal
antar-daerah, mengurangi kesenjangan keuangan vertikal pusat-daerah, mengatasi
persoalan efek pelayanan publik antar-daerah, dan untuk menciptakan stabilitas
aktivitas perekonomiaan di daerah. Bentuk transfer yang diatur dalam UU No. 25
Tahun 1999 adalah berupa DAU, DAK, dan Bagi hasil (Abdullah dan Halim,
2003). Abdullah dan Halim (2003) menemukan bahwa respon pemerintah daerah

Universitas Sumatera Utara

42

berbeda untuk transfer dan pendapatan asli daerah. Ketika penerimaan daerah
berasal dari transfer, maka stimulus atas belanja yang ditimbulkannya berbeda
dengan stimulus yang timbul dari pendapatan asli daerah. Ketika respon belanja
daerah lebih besar terhadap transfer, maka keadaan ini disebut flypaper effect.
Menurut Kepmendagri No. 29/2002 disebutkan bahwa belanja daerah
merupakan sama pengeluaran kas daerah dalam periode anggaran tertentu yang
menjadi beban daerah. Pengeluaran ini dilakukan oleh Pemda untuk
melaksanakan wewenang dan tanggungjawabnya kepada masyarakat dan
pemerintah di atasnya (pemprov dan pempus). Pada prakteknya belanja dibagi
kedalam dua kelompok yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja
daerah menurut PP nomor 105 tahun 2000 adalah semua pengeluaran kas daerah
yang menjadi beban daerah dalam satu periode anggaran Kepmendagri no.29
tahun 2002 mengelompokan belanja pemerintah daerah dalam APBD berdasarkan
kelompok belanja sebagai berikut :
1. Belanja Administrasi Umum
Belanja Administrasi dan Umum merupakan pengeluaran kas daerah yang
tidak secara langsung berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik.
Belanja

Administrasi

umum

ini

dapat

dibedakan

menjadi

belanja

pegawai/personalia, belanja barang, belanja perjalanan dinas, dan belanja
pemeliharaan.
a. Belanja Pegawai/Personalia
b. Belanja Barang dan Jasa
c. Belanja Perjalanan Dinas
d. Belanja Pemeliharaan

Universitas Sumatera Utara

43

2. Belanja Modal
Kelompok belanja ini merupakan belanja yang manfaatnya dapat diperoleh
lebih dari satu tahun dan dilakukan untuk menambah aset atau kekayaan daerah,
yang mana dari aset atau kekayaan tersebut akan menimbulkan belanja lainnya.
Selain ketiga jenis belanja di atas, terdapat pula belanja bagi hasil dan bantuan
keuangan, serta belanja tidak tersangka. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan
merupakan suatu kegiatan pengalihan uang atau barang dari Pemerintah daerah.
Sedangkan belanja tidak tersangka adalah belanja yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial atau pengeluaran lainnya
yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintahan
daerah. Pengeluaran lainnya yang dimaksud di atas dijelaskan pada Kepmendagri
no.29 tahun 2002 pasal 7 ayat 2 yaitu : a. Pengeluaran yang sangat dibutuhkan
untuk penyediaan sarana dan prasarana yang berhubungan langsung dengan
pelayanan masyarakat, yang anggarannya tidak tersedia dalam Tahun Anggaran
yang bersangkutan. b. Pengembalian atas kelebihan penerimaan yang terjadi
dalam Tahun Anggaran yang telah ditutup dengan didukung bukti-bukti yang sah.

3. Belanja Rutin
Belanja rutin merupakan belanja yang keluarannya tidak berupa fisik dan
terjadi berulang-ulang sepanjang waktu atau periode. Dalam keputusan Menteri
keuangan No. 157/KMK.07/2001 disebutkan bahwa belanja rutin dibagi menjadi
kedalam beberapa bagian yaitu;
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Perjalanan dinas

Universitas Sumatera Utara

44

4. Belanja Bunga pinjaman dan
5. Belanja Lain-lain
4. Belanja Pembangunan
Belanja pembangunan merupakan belanja yang menghasilkan wujud fisik
yang manfaatnya lebih dari satu tahun. Belanja pembangunan ini akhirnya akan
menghasilkan kapital publik (menurut Kepmendagri no. 29/2002 disajikan dalam
neraca) dikutip dari Abdullah dan Halim (2003). Hasil yang dapat dilihat dari
adanya belanja pembangunan jalan, jembatan, gedung-gedung pemerintahan,
irigasi dan hasil lain yang berupa pembangunan sarana dan prasarana fisik.

2.6. Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum
dan terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari
satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut
meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain.
(Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan
persentase yang sama.
Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan
harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa Pohan (2008). Bahkan
mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan
harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan
harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang
cukup besar, bukanlah merupakan inflasi. (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan,

Universitas Sumatera Utara

45

kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan
akan menyebabkan inflasi.
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan
dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang
dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga
yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang
saja dan sesaat). Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor
produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut
dengan equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan
pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects
(Nopirin, 2000).
1. Efek Terhadap Pendapatan (Equity Effect). Efek terhadap pendapatan sifatnya
tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan
adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan
oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya
dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi.
Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi
adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase
yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan
bukan uang dimana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju
inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan
dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat.
2. Efek Terhadap Efisiensi (Efficiency Effects). Inflasi dapat pula mengubah pola
alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan

Universitas Sumatera Utara

46

permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong
terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan
adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang
lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan
produksi barang tertentu.
3. Efek Terhadap Output (Output Effects). Inflasi mungkin dapat menyebabkan
terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya
kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan
pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi.
Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai
akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi,
nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai
uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya
produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan langsung antara inflasi dan output. Inflasi bisa dibarengi dengan
kenaikan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan output.
Tingkat inflasi berpengaruh negatif pada tingkat investasi hal ini
disebabkan karena tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan resiko proyekproyek investasi dan dalam jangka panjang inflasi yang tinggi dapat mengurangi
rata-rata masa jatuh pinjam modal serta menimbulkan distrosi informasi tentang
harga-harga relatif. Disamping itu menurut Greene dan Pillanueva (2001), tingkat
inflasi yang tinggi sering dinyatakan sebagai ukuran ketidakstabilan roda ekonomi
makro dan suatu ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan kebijakan
ekonomi makro. Di Indonesia kenaikan tingkat inflasi yang cukup besar biasanya

Universitas Sumatera Utara

47

akan diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga perbankan. Dapat dipahami,
dalam upayanya menurunkan tingkat inflasi yang membumbung, pemerintah
sering menggunakan kebijakan moneter uang ketat (tigh money policy). Dengan