BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budaya - Tradisi Pertanian Dan Tantangan Globalisasi (Studi Kasus Kelangsungan Tradisi Pertanian Pada Masyarakat Karo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya

  Istilah kebudayaan dalam pengertian sehari – hari sering juga disamakan dengan suatu kesenian seperti seni musik, seni tari, seni rupa, seni sastra, ilmu pengetahuan maupun filsafat merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah yang merupakan kebudayaan diartikan sebahai hal–hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Istilah culture yang merupakan istilah dalam bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari bahasa latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan (dalam hal mengolah tanah dan bertani). Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

  Kebudayaan sendiri memiliki berbagai ragam arti, tergantung dari sudut pandang ilmu apa yang dilihat. Bahkan dua sarjana antropologi yaitu A.L Kroeber dan C. Kluchohn (dalam Salim, 1978) telah mengumpulkan 160 macam defenisi tentang kebudayaan yang berasal dari berbagai buku dengan pengarang yang berbeda. Defenisi yang sampai sekarang merupakan defenisi sistematis dan ilmiah adalah yang dikemukakan oleh E.B.Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, moral,

  6 hukum, adat istiadat dan kemampuan – kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

  Menurut Koentjaraningrat (1969) kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan manusia yang harus didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

  Koentjaraningrat yang mengatakan kebudayaan itu sendiri merupakan suatu wujud. Wujud kebudayaan dapat digolongkan kedalam tiga wujud yaitu : Wujud Ideal merupakan kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai–nilai, norma–norma, peraturan–peraturan dan sebagainya.

  Wujud ini sifatnya abstrak atau tidak dapat dilihat dan diraba manusia b. Wujud Sosial / tingkah laku berpola manusia dalam masyarakat.

  Kompleks tindakan berpola serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat. Tindakan berpola dan bertingkah laku ini dituangkan dalam bentuk adat – istiadat, peraturan–peraturan, dan sebagainya.

  c.

  Wujud Fisik merupakan suatu kebudayaan sebagai suatu hasil karya manusia yang dituangkan dalam bentuk benda– enda atau objek–objek fisik yang dapat dilihat dan diraba manusia. Koentjaraningrat (1969) menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang sudah pasti terdapat dalam semua bangsa didunia.

  Tujuh unsur kebudayaan adalah : a.

  Sistem religi / kepercayaan ; Dalam sistem ini pada umumnya mengandung sistem tentang kepercayaan dan pandangan manusia tentang dunia alam, hidupnya, maupun maut, dan sebagainya tentang kesustraan suci/mitologi seperti pengetahuannya dan hal–hal yang bersifat tabu atau pantangan dan lain–lainnya tentang sistem upacara yang bertujuan menjalankan ide-ide yang terkandung didalam sistem kepercayaan.

  Konsep ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif b.

  Organisasi sosial/kepercayaan; Dalam hal ini organisasi tidak harus selalu bersifat formal namun dapat juga bersifat non formal. Organisasi yang lainnya misalnya sistem hukum, sistem perkawinan, organisasi politik, dan sebagainya.

  c.

  Sistem Pengetahuan; Tiap–tiap suku bangsa di dunia umumnya mempunyai pengetahuan tertentuyang didapat dari hasil pengalaman dan disimpulkan kedalam suatu rumusan atau teori tertentu yang mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Misalnya pengetahuan tentang musim sifat–sifat dari gejala alam dan binatang, pengetahuan tentang ilmu pengobatan, pengetahuan tentang ilmu menghitung angka, mengukur waktu dan sebagainya.

  d.

  Bahasa; bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang berguna agar dapat berinteraksi dengan sesame manusia dengan komunikasi. Bahasa terdiri dari tiga macam yaitu bahasa lisan, tulisan, dan isyarat. Bahasa ini juga penting dalam pengembangan kebudayaan, karena tanpa bahasa maka suatu masyarakat tidak akan dapat mengembangkan kebudayaan e.

  Kesenian; Kesenian dapat dibagi menjadi dua macam yaitu seni suara dan seni rupa, karena seni hanya bisa dinikmati oleh indra pendengaran atau telinga bila ia berupa seni suara begitu juga dengan seni rupa hanya bias dinikmati oleh indera penglihatan atau mata. Kesenian pada jaman dahulu selalu dikaitkan dengan keagamaan dalam fungsinya sebagai pelengkap suatu upacara keagamaan dan sebagai dasar–dasar keindahan yang diwujudkan dalam motif-motif perhiasaan dan nyanyian serta tarian rakyat ataupun simbol–simbol atau lambang suatu benda yang dilukiskan atau f.

  Sistem Mata Pencaharian; Mata pencaharian rakyat umumnya tergantung pada potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sistem mata pencaharian yang dimulai dari tradisional yaitu meramu dan berburu, bercocok tanam diladang. Sistem mata pencaharian ini sangat berpengaruh pada perkembangan tingkat perekonomian suatu masyarakat.

  g.

  Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem peralatan hidup dan teknologi dari suatu suku bangsa mengandung unsur- unsur khusus, diantaranya mengenai bahan – bahan yang digunakan, cara pembuatannya, tujuan atau manfaat dari alat tersebut. Proses pembuatan hidup tersebut akan selalu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya pengetahuan manusia.

2.2. Budaya/tradisi Pertanian di Karo

  Dalam Ilmu Sosial dan Budaya, wujud dari kebudayaan itu ada dalam beberapa bentuk. Pertama, kebudayaan yang berbentuk abstak, yakni segala ide, gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan dan sebagainya. Semuanya itu membentuk suatu cultural system (sistem budaya). Kedua, kebudayaan itu dapat dilihat namun tidak dapat diraba. Yang dimaksudkan dalam penjelasan untuk sifat kedua ini adalah segala aktivitas, perilaku, ritual (kebudayaan) yang dilakukan oleh masyarakat karo yang dimulai dari nenek moyang karo hingga diturnkan ke generasi berikutnya. Ketiga, wujud dari kebudayaan itu adalah hasil kerja manusia yang bersifat konkrit dan nyata. Yang dimaksudkan untuk wujud ketiga ini adalah segala benda budaya (material cultural) yang menandakan suatu identitas suatu budaya Karo juga terbagi dalam beberapa bentuk, yakni dalam segi pakaian, alat musik, alat pertanian, dan lain-lain. Semuanya itu dapat diciptakan dan diperoleh dengan cara belajar agar menghasilkan suatu karya tersendiri dan menjadi identitas budaya.

  Pertanian Karo dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun atau bahkan sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang suku Karo. Pertanian Karo merupakan salah satu identitas suku karo yang terkenal dari hasil pertaniannya yang sudah mampu menembus pasar daerah, nasional dan bahkan sudah diekspor ke luar negeri. Pertanian Karo juga tidak akan lepas dari istilahAron, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia secara luas, yakni bekerja sama. Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi akan membantu penduduk yang satu lagi. Biasanya aron akan dilakukan ketika musim menanam, mengelola tanaman, dan musim panen (rani). Pertanian Karo merupakan salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatera Utara, selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatera Utara.

  Lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi karo menjadi salah satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatera Utara. Tanah karo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalam nya ada terdapat gunung sinabung, gunung sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan muda dan beberapa jenis tanaman tua. Pertanian karo juga sekaligus merupakan identitas budaya karo yang sesungguhnya. Kebudayaan karo yang dimaksudkan penulis merupakan hasil dari segala kegiatan masyarakat dalam budaya tersebut, membentuk struktur dan sistem pertanian yang menggabungkan antara pemakaian alat pertanian, teknik pemakaiann, dan pelaksanaan di lapangan. Pertanian sebagai identitas budaya Karo dapat kita temukan dalam segala aktivitas masyarakat Karo di setiap wilayah dataran tinggio Karo. Kebudayaan yang dimaksudkan penulis adalah segala aktivitas masyarakat yang memberikan cirri-ciri khusus mengenai kehidupan masyarakat Karo yang dalam hubungannya adalah menyangkut pertanian, cara mengelola lahan pertanian, ritual, peralatan yang digunakan hingga segala kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan menanam dan memanen hasil pertanian. Kerja Tahun merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang sudah dijalankan selama puluhan Tahun atau bahkan ratusan tahun. Guro-

  

guro aron merupakan upacara tahunan untuk mensyukuri atas hasil panen yang

telah didapat oleh masyarakat Karo.

  Ketika Kerja Tahun (pesta tahunan) diadakan, maka setiap keluarga yang mempunyai sanak famii di luar tanah Karo akan datang ke kampung mereka masing-masing untuk memeriahkan acara tersebut. Di dalam budaya Karo, pesta tahunan ini menjadi perayaan yang paling besar dalam budaya Karo. Hal ini dapat kita lihat selama adanya pesta tahunan di antara desa yang satu dengan yang lain, maka setiap keluarga yang mempunyai saudara di luar daerah tanah karo akan berusaha mengajak saudaranya agar mau berkunjung ke desa mereka masing-masing. Pesta tahunan antara desa yang satu dengan yang lain yang diputusakan bersama kepala desa serta masyarakat yang ada di dalam lingkungan desa tersebut. Pesta tahunan ini juga menjadi ajang cari jodoh di tengah kaum muda-mudi. Ajang cari jodoh yang dimaksudkan penulis adalah, bahwa ketika pesta tahuna ini diselenggarakan, maka pemuda atau pemudi dari desa yang lain akan datang menghadiri dan memeriahkan pesta tahunan yang dilaksanakan oleh sutu desa. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh muda-mudi untuk saling berkenalan, dan jika ada kecocokan di antara mereka maka hubungan itu juga akan berlanjut ke tahapan yang lebih serius, yakni perkawinan. Tidak jarang ditemukan satu pasangan akan melangsungkan perkawinan hanya mengalami masa perkenalan ketika pesta tahunan itu dilangsungkan.

  Beda dengan Kerja Tahun (pesta tahunan), maka ada juga disebut dengan

  

Guro-guro aron. Sebenarnya kedua hal ini hampir sama. Cuma jika pesta tahuna

  ini hanya dilaksanakan di daerah tanah karo (Karo Gugung), sedangkan perayaan Guro-Guro Aron ini dapat dilaksanakan di mana pun masyarakat Karo berada, yakni di luar dari tanah Karo. Misalnya suatu komunitas masyarakat Karo berada di suatu wilayah di luar tanah Karo, maka komunitas ini dapat melaksanakan perayaan Guro-Guro Aron. Guro-Guro Aron ini diadakan sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen, hasil kerja yang sudah diterima selama satu tahun.

  Sebagai daerah yang mayoritasnya adalah suku karo, maka ada berbagai istilah dalam bahasa karo dalam hubungannya dengan sisterm pertanian karo, yakni nuan (musim menanam), ngrirak(musim perawatan tanaman), rani (musim panen), dan masih ada lagi bebrapa istilah yang menyangkut pertanian di dalam mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke Tanah Karo. Lahan pertanian Karo juga telah menjadi salah satu obyek wisata yang telah mampu menyita perhatian setiap wisatawan yang berasal dari dalam dan luar negeri yang ketika berkunjung ke tanah karo tersebut. Pemandangan yang memperlihatkan lahan pertanian ini membuat setiap wisatawan akan merasa kagum.

  Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam hubungannya terhadap sistem pertanian di tengah masyarakat, masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan pencipta atas segala apa yang ada. Dengan upacara tersebut, masyarakat diminta agar senantiasa bersyukur atas segala apa yang sudah mereka terima. Masyarakat juga diminta agar senantiasa mau menjaga kelestarian alam sehingga lingkungan yang mereka tempati akan memberikan hasil yang berguna untuk menopang kehidupan mereka dan keluarga masing-masing. Spiritualitas bertani yang dimiliki masyarakat karo selama puluhan tahun menjadi cirri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat yang berasal dari luar tanah Karo.

  Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian karo dan bagaimana cara mengolah lahan pertanian di daerah tanah karo tidak luput dari perkembangan jaman, yakni perkembangan teknologi yang sudah membawa perubahan dalam semua bidang kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya terhadap pengelolaan lahan–lahan pertanian ,masyarakat karo. Cara pengelolaan itu telah mengubah sistem pertanian masyarakat karo, yang pada dahulu dilakukan dengan berbagai alat pertanian terbaru yang semuanya bertujuan untuk mencapai efisiensi kerja dan mampu memberikan hasil maksimal lagi dari setiap lahan pertanian yang dikelola. Pertanian karo hadir sebagai salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitanya, dan mampu menjadi sumber mata pencaharian di tengah masyarakat karo sekitarnya. Pertanian Karo juga sekaligus menjadi spiritualitas baru dalam bertani, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya yang ada.

  Perkembangan jaman dan modernisasi dalam sektor pertanian juga telah mengubah pandangan masyarakat, terutama masyarakat Karo yang berada di daerah dataran tinggi Karo. Penggunaan peralatan pertanian yang terbaru dan juga penggunan herbisida dan pestisida menjadi salah satu cara untuk memberi hasil pertanian yang lebih besar lagi. Dengan penggunaan alat pertanian yang lebih modern lagi, maka akan lebih meminimalisir tenaga manusia dalam mengelola lahan pertanian, yang biasanya dilaksanakan secara tradisonal dan melibatkan sejumlah penduduk dalam mengelola lahan pertanian tersebut. Penggunaan pestisida dan herbisida di dalam lahan pertanian dimaksudkan untuk menjaga tanaman dari serangan hama atau tumbuhan yang dapat mengganggu perkembangan tanaman di lahan pertanian tersebut.

  Pandangan baru mengenai Spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo melibatkan semua komponen dalam masyarakat dalam setiap pribadi dan mampu diintegrasikan dalam bentuk sinergitas di tengah masyarakat. Penulis beranggapan bahwa spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo hendaknya dibangun atas rasa kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengelola alam dengan baik dan Hendaknya bukan hanya hasil yang besar yang hanya diharapkan oleh masyarakat dari alam tersebut, melainkan segala tindakan dalam hubungannya terhadap pengelolaan lahan pertanian itu juga memperhatikan etika alam, sehingga apa yang dikerjakan oleh masyarakat itu juga sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang ada dalam bertani,

  Sebagai suatu identitas budaya, spiritualitas bertani merupakan suatu hal yang harus dipelihara, dijalankan secara berkesinambungan, mempunyai akuntabilitas, sehingga nilai-nilai dari sistem pertanian dalam budaya Karo senantiasa terpelihara dengan baik. Masyarakat juga diminta tidak mengeksploitasi lingkungan dimana mereka berada, melainkan senantiasa menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga lingkungan dan manusia menjadi satu kesatuan utuh dalam proses perjalanan waktu yang akan senantiasa berhadapan dengan perubahan cuaca dan perubahan waktu. Alam juga perlu diseimbangkan, sehingga dalam perjalanan waktu masyarakat mampu menjadi pemerhati dan meminimalisir segala tidnakan yang mmapu merusak alam, trerutama di daerah tanah Karo.

  Nilai-nilai budaya dalam masyarakat Karo dalam hubungnnya terhadap sisterm pertanian yang ada hendaknya senantiasa dipelihara, sehingga budaya karo dalam bertani menjadi salah satru contoh yang dapat ditiru oleh masyarakat lain. Pertanian Karo semestinya memberikan suatu pandangan, bahwa segala aktivitas dalam bertani di dalamnya terdapat spiritualitas yang mampu membuat setiap masyarakat semakin mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat mengalami perubahan seturut perubahan lingkungan yang ada, maka semestinya kita menjaga dan memperhatikan nilai-nilai budaya bertani setiap kita melakukan aktivitas di lahan pertanian.

  Jika budaya bertani itu senantiasa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, maka penulis yakin bahwa pertanian karo akan mampu bertahan dan bersaing dengan daerah lain tanpa harus bergantung dari daerah lain. Penggunaan alat pertanian, pestisida dan herbisida, pupuk juga diharapkan bersifat tepat sasaran dan tidak merusak lingkungan, dan tidak berlebihan yang nantinya dapat merusak ekosistem yang ada. Masyarakat karo yang tinggal di dataran tinggi Karo merupakan salah satu masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang hidup dari bidang pertanian. Pertanian menjadi cirri utama dalam kehidupan masyarakat Karo. Lahan pertanian menjadi penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi Karo.

  Semua harapan ke depannya akan terwujud jika masyarakat karo yang hidup dalam budaya pertanian dan menjadi suatu kebudayaan yang sangat terkenal itu akan dapat dipertahankan jika setiap masyarakat selalu berusaha memberikan perhatian lebih terhadap alam, tanpa merusak dan selalu menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bagaimana pun waktu akan selalu mengalami perubahan, namun penulis mengharapakan bahwa budaya bertani dalam masyarakat karo dan spiritualitas bertani yang dimiliki akan senantiasa mampu berjalan seturut perubahan waktu yang ada. Perubahan itu memang diperlukan, namun marilah kita mengalami perubahan ke arah yang positif dan mampu member kontribusi terhadap budaya bertani dan sekaligus menjadi mengelola lahan pertanian dengan selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada. Budaya karo tetap terjaga, dan hasil pertanian semakin bertambah. Marilah kita kembali kepada nilai budaya, dan mari lah kita menyeimbangkan alam melalui budaya dan spiritualitas bertani yang tepat sasaran

2.3. Globalisasi

  Teori globalisasi juga muncul sebagai akibat dari serangkain perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap prespektif seperti teori modernisasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias Westren-nya disesuaikan dengan perkembangan di barat dan bahwa ide di luar dunia barat tak punya pilihan kecuali menyesuiakan ide dengan ide barat.

  Globalisasi data dianalisi secara kultural ekonomi, polemik dan atau institusioanl. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah seseorang melihat homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik

  (homogenitas) atau sebagai proses di mana banyak input kultul; l. local dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang menorah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Teoritis yang memfokuskan pada faktor- faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting dan efeknya yang bersifat homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda.

  Perspektif Neo-Marxian Kellner tentang Globalisasi. Kellner menfokuskan pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi memegang peranan yang perspektif ini dan yang lebih umum, beralih orientasi neo Marxian yang kritis, kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai produk dari revolusi teknologi sekaligus restruktuisai global kapitalisme. Perspektif dialektis juga menjelaskan bahwa ada ciri-ciri progresif dan emansipatoris dari globalisasi dan kita harus mempertimbangkan keduanya.

  Perbedaan kuncinya dari perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi yang dipaksakan dari atas dan globallisasi yang muncul dari bawah. Yang merupakan hal penting buat Kellner, dan refleksi dari prespektif dialektisnya, adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi intentiv juga dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi.

  Giddens tentang “Runaway World” dan Globalisasi. Pandangan Giddens tentang globalisasi jelas terkait erat dan tumpang tindih dengan pemikirannya tentang juggernaut modernitas. Globalisasi juga mengandung dampak besar terhadap isu-isu yang merupakan perhatian utama giddens dan isu-isu yang telah didiskusikan seperti keintiman dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari. Dan Giddens melihat keterkaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya munculnya apa yang dia namakan manufactured risk. Dia juga mengakui bahwa globalisasi adalah proses dua arah dengan amerika dan barat sebagai kawasan yang paling banyak terkena pengaruhnya. Lebih jauh dia mengatakan, globalisasi menjadi semakin decentred, dengan bangsa-bangsa di luar barat memainknan peran yang semakin besar didalamnya. Dia juga mengakui bahwa globalisasi melemahkan kultur local sekaligus membangkitkan kembali. Dia mengatakan melintasi bangas-bangsa. Perbenturan utama yang terjadi ditingkat global dewasa ini adalah antara fundamental dengan kosmopolitanisme, pada akhirnya Giddens melihat munculnya masyarakat cosmopolitan global. Tetapi bahkan kekuatan utama yang menentangnya tradisionlisme merupakan produk dari globalisme. Fundamentalis dapat mengambil bermacan-macam bentuk, agama etnis, nasionalis, politik tetapi apapun bentuknya menurut Giddens bahwa benar untiuk menganggap fundamentalisme sebagai sebuah problem. Fundamentalisme dekat kemungkinan kekerasan dan fundamentalisme adalah lawan dari nilai-nilai cosmopolitan.

  Beck dan Politik Globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikann munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalis yang menopangnya, menurut beck, ini melibatkan pemikiran line dan monokausal. Multi dimensionalitas dari perkembangan global, ekologi, politik kultur, dan masyarakt sipil. Sementara beck mengkritik globalisme, dia melihat bnayak kebaikan dalam ide globalitas dimana ruang-ruang tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin ilusif. Ruang-ruang itu menjadi ilusif karena globalisasi atau proses-proses melaluinya negara yang berdaulat dimasuki dan dilemahkan oleh actor-aktor transnasional, dengan berbagai macam prospek kekuasaan , orientasi, identitas dan jaringan. Globalitas adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil dan terus berlanjur dari waktu ke waktu, ketiga ada densitas yang lebih besar untuk jaringan transnasional, hubungan dan yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannya dengan manifestasi lain dari transnasional. Ini membuat Beck memperbaiki yang terdahulu tentang modernitas dan menyatakan globalitas, bersama dengan ketidakmampuan untuk membalikannya, diasosiasikan dengan apa yang dia sebut sebagai second modernity .

  Bauman tentang Konsekwensi Globalisasi. Bauman melihat globalisasi dari segi perang ruang. Pemenang dari perang ruang ini adalah mereka yang mobile, mampu untuk bergerak secara bebas keseluruh dunia dan dalamproses untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengambang relative bebas di atas ruang dan ketika mereka harus mendarat diatas tempat, mereka mengisolasikan diri mereka dalam ruang yang tertutup dan terjaga di mana mereka aman dari ganguan orang-orang yang kalah dalam peperangan ruang tersebut.

  Akan tetapi adalah penting untuk membedakan di antara orang-orang yang setidaknya memiliki mobilitas, contoh turis adalah mereka yang bergerak karena mereka menginginkan. Kemanusian para pengembara yang berefek karena merasa lingkunganya tak tertahan dan tak bersahabat karena sejumlah alasan..

  Bauman menempatkan perbedaan ini dalam konteks perjanjian utama kita apa yang sekarang diklaim sebagai globalisasi disesuaikan dengan mimpi-mimpi dan keinginan turis, akan tetapi sebagian besar orang berada di antara dua titik ekstrem ini dan merasa tidak sebagai besar orang berbeda diantara dua titik esktrem ini dan merasa tidak berasal. Pada saat itu bahkan pasti bahwa mereka akan bisa melihat cahaya esok hari. Jadi globalisasi berarti kegelisahan bagi

  Ritzer tentang “Globalization of Nothing”. Sesuatu bukan akibat dari sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi globalisasi cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia. yang nothing oleh Ritzer adalah bentuk yang dibayang dan di control secara sentral yang kosong dari isi yang distintif dan semua sebagian besar kosong dari distintif dan sedang mengglobal. Ke empat tipe itu adalah non-place, nothing, non-people, non-service jadi argument dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingness ke seluruh dunia.

2.4. Strategi Adaptasi

  Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu konsep yang menurut saya cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi. Kita harus memahami latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi “dewa” dalam paradigma perkembangan teori ilmu sosial, khususnya antropologi. Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang ada. Tidak mengherankan jika secara epistemologi teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang menurut saya sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya. Ini berbeda memang dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak mendasarkannya pada proses penalaran induktif dari gejala empiris terlebih dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para antropolog saat itu.

  Konsep adaptasi datangdari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu

  evolusi genetik , dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan

adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa

  hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan, tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan levelgerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep dalam 2 versi dari teori sistem,baik secara biological, perilaku, dan sosial yang dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250). Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46).

  Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah (1) tahapanphylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisikdari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau informasidikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.

  Dasar pembagian keempat tipe adaptasi di atas, berdasarkan atas laju kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi

  

phylogenetik , dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan

  berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf. Disini ada proses uji coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses bekerjanya dianggaplebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia dianggap bekerja melaluidaya tahan hidup populasi dimana masing-masing komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko, respon kesadaran, dan kesempatan.Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja dalam sistem biologi.

  Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi kesempatan, efek dari sosial dan praktek kulturalyang secara tidak sadar mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi dari ke-3 mekanisme tersebut diatas. Misalnya, variasi dalam praktek kultural mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya /group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.

  Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yanglengkap/ bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan secara normatif, tetapi dalam beberapa hal pada pola dari lingkungan atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif danmemperluasnya. Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry , 243)

  Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber alamdan pemakaiannya (Stanley A.

  Freed &; Ruth S. Freed, 220-226).

  Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika telah tercipta /dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan habitatnya. Adaptasi ini merupakan daya tahan/kelangsungan hidup kelompkk, reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini bekerja sesuai dengan tugasnya.Pencapaian dari tipe dari hungan yang semangat/bergairah selelau meruipakan hasil modifikasi reprokal dalam budaya dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi hubungan sosial selam periode yang panjang.

  Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen dari apa yang kita lihat dari kubudayaan . Dalam antroplogi ketika berbicara tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati.Lebih kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individuyang dipelajari dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238).

  Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara khusus menysesuaikan diridengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabilamengacu pada proses belajar,respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan adaptasi yang paling fleksibel.

  Menurut Hardestry,ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaituperilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi.Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243).

  Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian tujuandan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk individu, masyarakat, dan lingkungan. Ada 2 mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya, dan mode yangdiperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat resiprositas.Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir tujuan dan beberapanya menjadi instrumental.

  Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, danputusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Hardestry,271-272).

  Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:

  1. Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah terukur jelas, sehingga acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental disini. Ukuran-ukuran kemajuan dalam perubahan juga nampak dalam teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk suatu komuniti tertentu itu.

  Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut. Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri.

  3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga menjadi subyektif saya pikir.

2.5. Perubahan Sosial

  Perdebatan mengenai perubahan sosial sering sekali memberikan penafsiran yang berbeda. Konstruksi pemikiran tentang perubahan yang dibangun sering sekali tidak komprehensif dan menyeluruh sehingga perubahan sosial merupakan konsep yang sulit dipahami . Memahami perubahan pasti tidak akan lepas dari persoalan mengenai nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Sebagai unsur dari Konsekuensi dari keterkaitan/hubungan itu adalah manusia akan berinteraksi baik antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

  Perubahan sosial dapat di analisa dari berbagai macam sudut pandang,: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. (Prasetyo, 2012).

  Soekanto (2006 menjelaskan bahwa perubahan-perubahan itu dapat berupa perubahan dalam hal nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.

  Keberagaman sudut pandang ini pula yang di lihat oleh London (1996) bahwa dari berbagai macam penelitian dan tulisan mengenai perubahan sosial sebagian besar berfokus pada perlawanan dari sistem sosial, bagaimana dan mengapa mereka menolak perubahan daripada proses perubahan itu sendiri. Ini mungkin ada hubungannya dengan sifat ambigu dari konsep yang dipakai oleh masing-masing peneliti datu penulis.

  “While a great deal has been written about social change in the fields of history, sociology, organizational theory, and even psychology, much of it focuses on the recalcitrance of social systems — how and why they resist change — rather than the change process itself. This may have something to do with the ambiguous nature of the concept. First, there seems to be little consensus about what constitutes change. The causes, the processes, and the effects of change are often spoken of as if they measure change — how do you know when a change has taken place? And third, change occurs on many levels — cultural, social, institutional, and individual — and it is often hard to draw clear distinctions between them. Sometimes change occurs spontaneously on several levels at once. This problem is especially troublesome given the specialization of academic research today. Psychologists, physicists, and anthropologists rarely exchange notes and so the connections between, say, complexity theory and cultural change are easily missed. As a result, the academic literature is brimming with definitions of change and yet the confusion is as great as ever. (London, 1996) Dari apa yang di utarakan oleh London (1996) di atas maka dapat dilihat bahwa penyebab, proses, dan efek dari perubahan sering sekali didiskusikan secara bersamaan dan dianggap sebagai suatu hal yang sama. Padahal unsur-unsur tersebut tidaklah sama dan akan menimbulkan kerancuan dalam membahas perpektif teori perubahan. Demikian juga dengan mengukur perubahan merupakan suatu hal yang sulit.

  Berdasarkan hal di atas maka sebenarnya tidak ada satu acuan baku yang dapat disepakati bersama mengenai pengelompokan teori perubahan tersebut.

  Masing-masing pengelompokan mempunyai kriteria yang dianggap benar. Dari beberapa literature yang dibaca dapat dijelaskan beberapa pengelompokan teori perubahan diantaranya:

  1. Dilihat dari masa waktu keluarnya teori tersebut maka akan di kelompokkan menjadi Klasik dan Kontemporer (Ritzer and J. Goodman, 2004)

  2. Dilihat dari bentuk perubahan (Soekanto, 2006) maka teori perubahan dapat di kelompokan menjadi a. Evolusi dan Revolusi, Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat b.

  Perubahan Kecil dan Besar Intended-change/planned-change dan unitended- change/Unplanned- change

3. Dilihat dari model interpretasinya dikelompokkan menjadi Tradisional,

  Liberal dan Radikal ( blog.ub.ac.id)

  4. Dilihat dari p erspektif teoritis teori perubahan dapat dibagi ke dalam empat bagian besar yaitu: a.

  Teori Perkembangan (linear) – Evolusi dan Revolusi b.

  Teori Siklus c. Teori Struktural Fungsional d.

  Teori Konflik

2.5.1. Teori Perkembangan (Linear)

  Teori perkembangan (linear) merupakan bagian dari kelompok teori perubahan sosial yang melihat perkembangan sistem sosial dari kecepatan berubahnya. Pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu Evolusi dan Revolusi.

  Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya

  

Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu

  pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850, sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer (1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of

  

Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata

  langsung dan daftar isi Teori evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan pertahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap perkembangan akhir. Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner pun berakhir.

  Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu

  

unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined

theories of evolution,

  a. Unilinear Theories of Evolution

  Auguste Comte dan Herbert Spencer adalah tokoh yang layak untuk menjadi referensi bagi teori ini. Teori ini melihat bahwa proses perubahan akan mengikuti tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih kompleks sampai mencapai kesempurnaan.

  b. Universal Theories of Evolution

  Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.

  c. Multilined Theories of Evolution

  Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.

  

  Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, (Horton dan Hunt, 1989) ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.

  a.

  Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat. b.

  Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.

  c.

  Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

  Pada evolusi, perubahan- perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan- perubahan terjadi oleh karena usaha- usaha masyarakat untuk menyusaikan diri dengan keperluan- keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa –peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersakutan.

  Berikut di bawah ini diuraikan sekilas tentang tokoh yang berpengaruh pada kelompok teori ini.

  Auguste Comte

Dokumen yang terkait

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 3 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 1 18

Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 0 25

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI PEMBINAAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan) SKRIPSI

0 0 11

BAB II PELAYANAN PUBLIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2009 A. Pengertian Pelayanan Publik - Kajian Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 (Studi di Kecamatan Sibolga Kota)

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN - Kajian Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 (Studi di Kecamatan Sibolga Kota)

0 0 15

BAB II ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN - Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 25

BAB II PEMERINTAHAN DESA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA A. Istilah dan Pengertian Desa - Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di D

0 0 21