BAB II ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

BAB II ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Pengertian Restoratif Justice dan Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Restoratif Justice Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

  konsep asli praktek keadilan restoratif justice dari praktik pemelihara perdamaian yang dilakukan suku bangsa maori, penduduk asli Selandia Baru.

  Menurut Helen Cowie keadilan restoratif justice pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif. Bilamana timbul konflik, maka praktek restoratif justice akan menangani pihak pelaku dan korban, yang secara kolektif

  27 memecahkan masalah.

  Peradilan anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa anggapan atau reaksi terhadap perilaku delikuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan terlayani apabila setiap pihak menerima

  28 perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.

  Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratif sebagai berikut : 27 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, a.

  Perbaikan, bukanlah memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan b.

  Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku criminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara, tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan

  26 langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain.

  c.

  Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksutnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas

  29 serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

  Hower Zehr membedakan retributif justice dengan restoratif justice sebagai berikut : Retributif Justice :

  1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem 2.

  Fokus pada menjatuhkan hukuman 3. Menimbulkan rasa bersalah 4. Korban diabaikan 5. Pelaku pasif 6. Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman 7. Respon terpaku pada perilaku masa lalu pelaku 8. Stigma tidak terhapuskan

  9. Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan 10.

  Proses bergantung pada aparat

  30 11.

  Proses sangat rasional Restoratif Jutice : 1.

  Kejahatan adalah perlakuan terhadap individu dan/atau masyarakat 2. Fokus pada pemecahan masalah 3. Memperbaiki kerugian 4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan 5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab

  6. Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian

  7. Respon terpaku pada perilaku menyakitkan akibat perilaku-perilaku 8.

  Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat 9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk diberikan oleh korban

  10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian

  31 11.

  Dimungkinkan proses emosional Model keadilan restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga 30 31 Ibid. hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula

  32 tanpa ada yang dirugikan.

  Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah diwakilkan oleh pengacara, sementara alam keadilan restoratif masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya keadilan retributif lekat dengan kompetisi pelaku dan lawan sehingga ada proses tahapanbanding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada keadilan restoratif semua pihak diajak kerja sama untuk menyelesaikan persoalan. Pada keadilan retributif pelaku hanya objek, yang aktif hanya pengacara, sedangkan pada keadilan restoratif justice, pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi

  33 peran untuk menyelesaikan persoalan yang ada .

  Prinsip-prinsip restoratif justice adalah membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah, atau teman bermainya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya. Watchel dan Mc. Cold yang banyak melakukan praktik keadilan restoratif di lingkungan sekolah, mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara berdasarkan hubungan

  34 yang positif dan penuh kepedulian.

  Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak. 32 33 Ibid., halaman 165

  Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan atau pemenjaraan. Program diversi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah pengawasan badan-badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem

  35 peradilan pidana anak sebagaimana yang disebut dalam undang-undang.

  Ide mengenai restoratif justice masuk dalam pasal 5 Ayat (1) Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1) yang meliputi : a.

  Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

  b.

  Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

  c.

  Pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan selama proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau

  36

  tindakan

2. Diversi Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

  Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur diversi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses luar pidana (Pasal 1 angka 7). Dalam sistem peradilan pidana anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan dalam Sistem 35 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Cetakan

  Pertama, 2013, halaman 134 36

  Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (pasal 5 ayat 2

  37 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).

  Penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat

  38 (Pasal 9 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).

  Prinsip-prinsip Diversi menurut The Beijing Rules adalah : a.

  Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal.

  b.

  Kewenangan untuk menentukan diversi diberikan kepada aparat 37 penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang

  Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dala The Beijing Rules.

  c.

  Pelaksanaan diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua walinya namun demikian keputusan pelaksanaan diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan diversi tersebut.

  d.

  Pelaksanaan diversi memerlukan kerja sama dan peran masyarakat, sehubungan dengan adanya program diversi seperti : pengawasan,

  39 bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.

  Diversi merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses

  40 peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.

  Penerapan diversi dapat ditetapkan di semua tingkat pemeriksaan, dimaksutkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. Terhadap anak yang ditangkap polisi, polisi dapat melakukan diversi tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian apabila kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila anak sudah berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat melimpahkan ke lembaga sosial. 39 40 M. Nasir Djamil, Op.Cit., halaman 134

  Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan salah satu

  41 metodenya adalah diversi.

  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum menerapkan lembaga diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya junevile deliquesi semata, yang seharusnya tdak perlu proses sampai ke ranah pidana.

  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi sudah merupakan suatu kesatuan dalam proses pidana anak, hal ini menarik karena sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia banyak menangani kasus anak dan sudah menggunakan ide diversi ini sebagai salah satu cara penyelesaian kasus anak sebelum undang-undang No. 11 Tahun 2012 berlaku. KPAI menggunakan dasar Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002

  42 Tentang Perlindungan Anak sebagai dasar melaksanakan diversi.

  Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka, terdakwa, pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan masyarakat, Pembimbingan

  43 Kemasyarakatan Anak, polisi, jaksa maupun hakim. 41 42 Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, Op.Cit., halaman 68

  Pada pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi, yakni antara lain : a.

  Mencapai perdamaian antara korban dan anak b.

  Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d.

  Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

  Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif justice yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahhan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana. Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : a.

  Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun

  b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

  44 Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana

  yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindakan berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni 44 menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Upaa diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.

  Dalam pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa :

  1. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif justice

  2. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.

3. Proses diversi wajib memperhatikan : a.

  Kepentingan korban b.

  Kesejahteraan dan tanggung jawab anak

  c. Penghindaran stigma negatif d.

  Penghindaran pembalasan e. Keharmonisan masyarakat

  45 f.

  Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimumprovinsi etempat sebagaimana dimaksut dalam Pasal 9 ayat 2 dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau

  46 pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga bulan (Pasal 10 UU SPPA).

  Pasal 13 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan. Pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggungjaab sebagaimana dimaksut pada ayat (3) wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Pasal 15 UU SPPA menentukan bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan

  47 koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan peraturan pemerintah.

  46

B. Lembaga Pemasyarakatan Anak

  Sebelum membicarakan tentang Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak), terlebih dahulu perlu mengetahui mengenai apa yang dimaksut dengan pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diberi pengertian sebagai berikut :

  Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Permasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam

  48 tata peradilan pidana.

  Secara umum, yang dimaksut Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Dari pengertian ini, terlihat adanya pembedaan penamaan antara narapidana dan anak didik pemasyarakatan, walaupun secara hakikat mempunyai kesamaan yaitu orang yang menghuni LAPAS berdasarkan putusan pengadilan. Perbedaan ini tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan bahwa penamaan “anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak”. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakkan ungkapan halus untuk menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan da n

  49 mensugestikan sesuatu yag tidak mengenakkan bagi anak.

  Konkretnya, LAPAS Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi tertentu seperti LAPAS Wanita, LAPAS Remaja. Pada asasnya, pembinaan anak didik pemasyarakatan harus dalam LAPAS anak, terpisah dengan pembinaan 48 orang dewasa/narapidana. Hal ini secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 60 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Prinsip ini tetap dipegang walaupun pada suatu daerah belum ada LAPAS Anak, tetapi anak didik pemasyarakatan ditempatkan terpisah dengan orang dewasa. Telah diketahui di atas bahwa semua anak yang menghuni di LAPAS Anak mempunyai kewajiban untuk menaati seluruh peraturan keamanan dan ketertiban di tempat tersebut. Berhubung hal tersebut merupakan kewajiban, maka konsekuensinya apabila dilalaikan atau

  50 dilanggar, kepada si anak akan dikenakan hukuman disiplin.

  Kemudian, mengenai hukuman disiplin yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap anak pidana? Ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Pemasyarakatan mengatur ada dua jenis hukuman disiplin, yaitu : a.

  Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari b.

  Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk waktu tertentu sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Misalnya meniadakan hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) untuk satu tahun. Anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 ayat ayat 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1999) terdiri dari : 1.

  Anak pidana Anak pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak pidana diitempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) anak dan wajib didaftar dan penggolongan. a.

  Pembinaan dan penggolongan Untuk pembinaan (Pasal 20 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) terhadap Anak Pidana di LAPAS anak dilakukan peggolongan berdasarkan, umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

  b.

  Hak-hak Anak Pidana (Pasal 22 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995) : 1)

  Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2)

  Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani 3)

  Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran 4) Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak 5)

  Berhak menyampaikan keluhan 6)

  Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu 7)

  Berhak mendapat pengurangan masa pidana (remisi) 8) Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat 9)

  Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

2. Anak Negara

  Anak negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk itu anak negara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. a.

  Pembinaan dan penggolongan.

  Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara (Pasal 27 Undang- Undang No. 12 Tahun 1995) di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lamanya pembinaan dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

  b.

  Hak-hak Anak Negara Hak-hak Anak Negara diatur dalam Pasal 29 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 sebagai berikut :

  1) Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya

  2) Berhak mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani

  3) Berhak mendapat pendidikan dan pengajaran

  4) Berhak mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

  5) Berhak menyampaikan keluhan 6)

  Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu 7)

  Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat Kiranya perlu dicatat, bahwa Anak Negara tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan dipidana.

3. Anak Sipil

  Anak Sipil, adalah anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya.

  Menurut Pasal 32 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995, anak sipil ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) anak. Penempatan itu paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama1 (satu) tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun, dengan ketentuan

  51 paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

  Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang telah terjadi reformasi pelayanan pada beberapa lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang misalnya, talah melakukan berbagai upaya pembaharuan dengan menciptakan Lapas anak bukan sebagai tempat yang menyeramkan. Bangunan di cat terang. Taman-taman di lingkungan Lapas dibangun. Para sipir tidak menggunakan seragam keki, tetapi lengan panjang berdasi. Anak-anak diajari keterampilan hidup, dari pertanian hingga elektronik. Mereka yang berbakat diberi ruang ekspresi, seperti bermain musik atau olahraga. Hak-hak anak tetap diberikan dengan mendatangkan guru-guru profesional yang disediakan Departemen Pendidikan Nasional sehingga kalau kita berkeliling di bagian dalam Lapas anak tangerang, akan mendapati anak-anak yang sibuk dengan berbagai aktifitas, sementara di berbagai sudut ruang kita dapati pajangan

  52 karya anak didik berupa lukisan, puisi, maupun karya-karya lainnya. 51 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Medan, 1997, halaman Namun betapapun baiknya Lapas, itu tetaplah penjara, tempat anak dipidanakan, divonis salah, diberi label sebagai narapidana dengan segala konsekuensi logisnya.Di semua penjara anak di Indonesia, anak-anak yang sekedar mencuri HP, atau berkelahi layaknya dunia anak, dipenjara dicampur dengan pelaku pengguna dan pengedar narkoba, pelaku kekerasan dengan pemberatan bahkan pembunuhan. Kebanyakan Lapas anak di Indonesia juga jauh dari suasana keramahtamahan dan tidak manusiawi. Sel-sel yang jorok adalah pemandangan rill saat ini. Bayangkan kamar mandi dan WC yag sempit, dibatasi tembok satu meter, menyatu dalam sel tahanan. Maka selain tidak sehat, juga menjadi media paling mudah bagi para seniornya untuk melakukan pelecehan

  53 seksual.

C. Faktor Penyebab Timbulnya Kenakalan Anak

  Menanggapi pengertian deliquency maka dari beberapa ilmuan bangsa indonesia telah dapat pula diketengahkan berbagai pendapat atau sumbangan pikiran yang dapat dianggap sebagai suatu perumusan dan juga tentang pendapat mereka bagaimana cara melakukan pencegahan terhadap kenakalan anak remaja.

  Paul Moedigdo Moeliono berpendapat bahwa juvenile deliquency dirumuskan dalam Undang-Undang tanpa suatu penelitian moral, untuk menandaskan anak- anak mana (pelanggar hukum pidana atau norma sosial dan anak terlantar yang

  54 berhak) wajib diberi bantuan khusus oleh masyarakat.

  Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diuraikan , perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau 53 54 Ibid., halaman 219

  faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat dikatakan juga latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motivasinya. Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu : motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksut dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar

  55 diri seseorang.

  Berikut ini Romli Atmasasmita (1983:46) mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak : a. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak :

  1) Faktor Intelegentia

  Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler (dalam Romli Atmasasmita, 1983:46) adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.

  Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi deliquen jahat. 2)

  Faktor Usia Stephen Hurwitz (dalam Romli Atmasasmia, 1983:48) mengungkapkan 55 usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab timbulnya kejahatan. Apabila pendapat tersebut kita ikutisecara konsekuen, maka dapat pula dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting dalam sebab-musabab timbulnya kenakalan. Selanjutnya ada beberapa hasil penelitian yang telah menunjukan sampai sejauh mana usia itu merupakan masalah yang penting dalam sebab-musabab timbulnya kenakalan, diantaranya adalah hasil penelitian Tim Proyek “Juvenile Delinquency” Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (dalam Romli Atmasasmita, 1983:48) diperoleh data-data yang menunjukkan bahwa dalam tahun 1967 kurang lebih 120 orang anak yang berusia sampai 18 tahun tersangkut dalam kejahatan terhadap harta benda, diantaranya adalah pencurian. Khusus untuk daerah Jakarta Raya, usia seseorang anak yang paling banyak melakukan kenakalan dalam tahun 1963 sampai dengan 1966 adalah mereka yang berusia antara 15 sampai 17 tahun. Adapun kejahatan yang paling banyak dilakukan oleh anak-anak ini adalah kejahatan pencurian mencapai jumlah 355 dari 194 orang anak yang selesai diadili oleh Pengadilan Negeri bagian anak di Jakarta.

  Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap para narapidana anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang pada tahun 1998, diperoleh data-data bahwa yang paling banyak melakukan keahatan adalah mereka yang berusia antara 16 sampai 18 tahun mencapai jumlah 119 dari 134 orang narapidana anak.

  3) Faktor Kelamin

  Di dalam penyelidikannya Paul W.Tappan (dalam Romli Atmasasmita,1983:49) mengemukakan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun oleh anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-lakiyang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu. Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik media cetak maupun media elektronik bahwa perbuatan kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki- laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan diluar perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas.

  4) Faktor Kedudukan Anak Dalam Keluarga

  Yang dimaksut dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orang tuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaannya dikabulkan. Perlakuan orang tua terhadap anak akan menyulitkan anak itu sendiri dalam bergaul dengan masyarakat dan sering timbul konflikdi dalam jiwanya, apabila suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan oleh anggota masyarakat yang lain, akhirnya mengakibatkan frustasi dan cenderung mudah berbuat jahat.

  b.

  Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak 1)

  Faktor Keluarga Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baikakan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinquency itu sebagian juga berasal dari keluarga.

  Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

  Menurut Ny. Moelyatno bahwa menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan anak, dimana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi perkembangan si anak.

  Dalam broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal : Salah satu dari kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal

  • dunia

  Perceraian orang tua

  • Salah satu dari kedua orang tua atau keduanya tidak hadir secara - kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama.

  Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya broken home semu ialah kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya.

  Dalam konteks tersebut, Bimo Walgito (1982:11) menjabarkan lebih jelas tentang fenomena tersebut, bahwaa tidak jarang orang tua tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan orang tua kembali dari tempat bekerja anak-anak sudah bermain di luar, anak pulang orang tua sudah pergi lagi, orang tua datang anak-anak sudah tidur dan seterusnya. Keadaan yang semacam ini jelas tidak menuntungkan bagi perkembangan anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat mudah mendorong anak menjadi delikuen.

  Pada dasarnya kenakalan anak yang disebabkan karena broken home dapat diatasi atau ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Dalam broken home cara mengatasi agar anak tidak menjadi delinkuen ialah orang tua yang bertanggungjawab dalam memelihara anak-anaknya hendaklah mampu memberikan kasih sayang sepenuhnya sehingga anak tersebut merasa seolah-olah tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya.

  Disamping itu, keperluan anak secara jasmani harus dipenuhi pula sebagaimana layaknya sehingga anak tersebut terhindar dari perbuatan yang melanggar hukum. 2)

  Faktor Pendidikan dan Sekolah Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak-anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

  Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya.

  Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga menjadi delinkuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua berwatak baik. Di sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temannya yang lain. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik- konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delinkuen.

  Sejalan dengan itu, menurut Kenney bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan harus merencanakan suatu program sekolah yang sesuai atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari semua anak untuk menghasilkan kemajuan dan perkembangan jiwa yang sehat dan sekolah harus memperhatikan anak-anak yang memperlihatkan tanda- tanda yang tidak baik (tanda-tanda kenakalan) dan kemudian mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mencegah dan memperbaikinya serta sekolah harus bekerja sama dengan orang tua murid dan pemimpin-pemimpin yang lainnya untuk membantu menyingkirkan atau menghindarkan setiap faktor di sekelilingnya yang menyebabkan kenakalan pada mereka. 3) Faktor Pergaulan Anak

  Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dalam situasi sosial yang menjadi semakin longgar, anak- anak kemudian menjauhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan

  56 subkultur baru yang sudah delinkuen sifatnya.

Dokumen yang terkait

1 BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hukum terhadap Penumpang sebagai Pengguna Jasa Angkutan Umum pada Pengangkutan Darat (Studi pada CV. PAS Transport)

0 1 15

BAB II ASURANSI DAN USAHA PERASURANSIAN A. Pengertian dan Pengaturan Asuransi dan Usaha Perasuransian - Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financ

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Keterlambatan Pembayaran Premi Terhadap Pengajuan Klaim Asuransi Pada PT. Sun Life Financial Indonesia Jakarta (Studi pada PT. Sun Life Financial Indonesia Kantor Pusat Jakarta)

0 1 18

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 3 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

0 1 18

Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Pembinaan Menurut Hukum Pidana di Indonesia (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan)

0 0 25

PENJATUHAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA MENJALANI PEMBINAAN MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan) SKRIPSI

0 0 11

BAB II PELAYANAN PUBLIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2009 A. Pengertian Pelayanan Publik - Kajian Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 (Studi di Kecamatan Sibolga Kota)

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN - Kajian Hukum Administrasi Negara Terhadap Pelaksanaan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 (Studi di Kecamatan Sibolga Kota)

0 0 15