Strategi dan Kebijakan terhadap Isu dan
Strategi dan Kebijakan terhadap Isu dan Masalah Demografi di Indonesia
Firman Arif Rahman
Kurniawan Luthfi Hasnan
Abstract:
Nowadays, the demography problems of Indonesia generally includes three aspects:
quantity and quality. Seeing from the quantity, Indonesia has the high number of population in
which on 2010, it was over 237.6 million people. Besides, Indonesia has low human resource
quality. On 2009, it was in 108th position of 188th country in the world. Furthermore, Indonesia
has the unequal distribution of the population, where 58% of population is centered in Java
whereas it is only 7% of the whole Indonesia’s land. The conditions above will impact the aspect
of life and the development of Indonesia. Seeing from social economic, the problems that might
occur are food, housing, health, education fulfillment problems, supply of job opportunity, and
etc. Those problems will cause the high number of unemployment-and-poverty, crime, social
conflicts, TKI (Indonesian Workers) problems, human trafficking and etc. Therefore, some
policies and strategies is to be issued in order to overcome those problems and build Indonesia
better.
Kata Kunci: kuantitas, kualitas, kebijakan, strategi, kependudukan, Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika era globalisasi dan informasi belum sepenuhnya diantisipasi Indonesia harus
menghadapi krisis ekonomi dan reformasi yang berlanjut dengan berbagai tuntutan seperti
otonomi, demokratisasi, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Berbagai hal itu saling terkait
satu dengan lainnya. Tuntutan seperti itu pun merupakan hal yang wajar. Sayangnya, masalahmasalah besar itu tidak bisa dipecahkan segera dan serempak, bahkan fakta-fakta yang ada
menunjukkan bahwa satu permasalahan pun seringkali tidak dapat dipecahkan dengan
memuaskan. Karenanya, masalah yang dihadapi Indonesia sekarang sangat kompleks dan
berlarut-larut.
Apakah kaitan antara perubahan itu dengan kebijakan kependudukan? Untuk menjawab
pernyataan ini, ada baiknya dilihat dulu lingkup permasalahan kependudukan. Pada satu sisi,
permasalahan
itu
berputar
pada
masalah
pokok
demografis,
yaitu
fertilitas(kelahiran),morbiditas(kesakitan), mortalitas(kematian) dan mobilitas(imigrasi) dan pada
sisi lain masalah tersebut berpusat pada kualitas dan kuantitas penduduk.
1
Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia telah
mencapai 237 juta dengan laju pertumbuhan 1.49 persen. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu,
Indonesia kini menjadi negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia dibawah Cina, India
dan AS. Jika pada tahun 1900 jumlah penduduk hanya 40,2 juta jiwa, maka sekarang telah
bertambah hampir enam kali lipatnya. Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari jumlah
kependudukannya. Berbagai indikator kependudukan tersebut berpengaruh terhadap berbagai
bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan budaya. Mengingat penduduk
sebagai fokus dan dasar utama dalam berbagai aspek pembangunan sehingga kependudukan
memegang peranan penting dalam pembangunan.
Dengan tingginya jumlah penduduk, saat ini Indonesia dihantui oleh berbagai masalah
kependudukan mulai dari ledakan penduduk, rendahnya mutu pendidikan dan kualitas manusia.
Masalah-masalah kependudukan tersebut akan menghambat proses pembangunan di Indonesia.
Maka dari itu, semua permasalahan kependudukan di Indonesia haruslah terdata dan terungkap
terlebih dahulu sebelum dapat dibuat kebijakan untuk mengendalikan permasalahan penduduk.
Oleh karena itu, jurnal ini akan mengintrepretasikan dua pokok permasalah kependudukan di
Indonesia, yaitu masalah kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
2.1 Isu dan Masalah-Masalah Kependudukan Indonesia saat ini
Sesungguhnya masalah kependudukan masih tetap berpusat pada masalah yang
sebenarnya sudah terjadi sejak pemerintahan sebelumnya. Dari berbagai masalah kependudukan
yang terjadi di Indonesia, yang mencakup tiga aspek diatas yakni kuantitas dan kualitas
penduduk. Dapat disimpulkan isu strategis kependudukan sebagai berikut:
1. Isu dan Masalah Kuantitas Penduduk
2. Isu dan Masalah Kualitas Penduduk
2.2 Masalah Kuantitas Penduduk
Jumlah penduduk yang tinggi diibaratkan sesuatu yang memiliki dua sisi yaitu negatif
dan positif. Mengelola jumlah penduduk dengan baik merupakan tugas yang berat bagi sebuah
negara. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menimbulkan ledakan penduduk yang
menimbulkan rentetan masalah lainnya seperti kelaparan jika tidak ada program pemenuhan
kebutuhan yang baik. Di sisi lain, jumlah penduduk yang tinggi juga berdampak positif seperti
suplai penduduk usia kerja yang baik karena banyak penduduk usia produktif.
2.2.1 Jumlah Penduduk yang Terus Bertambah
2
Indonesia menduduki peringkat 1 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
ASEAN, nomor 3 di Asia serta menduduki peringkat ke-4 di dunia. Jumlah penduduk sebanyak
itu seharusnya mendapat perhatian serius mengingat dampak yang sangat luas dengan jumlah
penduduk sebanyak itu berarti harus seimbang dengan pemenuhan kebutuhan sandang, papan,
pangan, energi, kesempatan kerja, kesehatan, pendidikan dan hak dasar lainnya. Jika dilihat dari
struktur penduduk, Indonesia dilihat dari kelompok umur dan jenis kelaminnya menunjukkan
perubahan akibatnya terjadinya transisi demografi yang berlangsung di Indonesia. Transisi
demografi tersebut ditandai dengan penurunan angka kelahiran dan penurunan angka kematian.
Meskipun upaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk sudah berhasil
dilakukan, namun jumlah penduduk besar akan terus bertambah tiap tahunnya. Secara absolut
pertambahan penduduk Indonesia masih akan meningkat sekitar 3 sampai 4 juta jiwa pertahun.
Jika pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237 juta, maka pada tahun 2030
diperkirakan berjumlah 300 juta atau lebih jika tidak ada upaya untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk yang lebih serius lagi. Tentu saja hal ini disebabkan oleh tingginya
tingkat fertilitas masyarakat. Jumlah penduduk yang tinggi akan menjadi masalah yang besar
apabila kualitas manusianya rendah.
Apabila dilihat dari fertilitas, maka di dalam pertumbuhan penduduk terdapat
kecendrungan bahwa jumlah penduduk besar terjadi jika tingkat fertilitas juga tinggi. Seperti
tampak pada gambar, tingkat fertilitas terdiri dari tiga skenario yaitu rendah, sedang dan tinggi
dengan nilai TFR berturut-turut adalah 1,8, 2,3 dan 2,6.
3
Peningkatan jumlah penduduk seperti ini sangatlah perlu mendapat perhatian karena
dampaknya yang sangat luas. Jumlah pneuduk meningkat berarti pemenuhan kebutuhan juga
meningkat seperti pangan, sandang papan, energi, kesempatan kerja, kesehatan, pendidika dan
hak-hak dasar lainnya.
2.2.2 Ledakan Penduduk
Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan ledakan penduduk. Kepala
Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry Budiutomo Harmadi mengatakan,
dampak ledakan penduduk terhadap kemampuan orang tua yang memiliki banyak anak dalam
hal pemenuhan gizi sangat rendah. Akibatnya, kualitas kesehatan dan pendidikan pun menjadi
rendah sehingga produktivias kurang, pendapatan rendah sehingga produktivitas kurang,
pendapatan rendah kemudian menyebabkan kemiskinan lagi. Data tahun 2010 ditemukan sekitar
3.7 juta balita dan bayi di Indonesia mengalami gizi buruk atau berat badan rendah dan 7,8 juta
bayi balita gizi kronis atau kurang tinggi badan dari total sekitar 10 juta bayi di Indonesia ujarnya
dalam sebuah diskusi dengan tema Waspadalah Ledakan Penduduk Indonesia.
4
Dikatakan, dengan pertambahan penduduk Indonesia sebanyak 32,5 juta jiwa atau
tumbuh 1,49 persen menyebabkan tekanan penduduk makin besar dengan lapangan pekerjaan
yang terbatas. Meskipun pengangguran sedikit, mereka yang bekerja tidak layak pun jumlahnya
banyak.
Pengamat Perkotaan dan Kependudukan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna
mengatakan, pertambahan penduduk sebanyak 2,1 juta tiap tahun akan berakibat pada ancaman
krisis pangan. Hal ini dikarenakan penduduk Indonesia sulit mengganti makanan pokok dengan
makanan lainnya. Apalagi pemerintah hanya mengandalkan impor kebutuhan bahan bokok jika
terjadi kekurangan persediaan bahan makanan. Menurutnya, BKKBN perlu direvitalisasi
kembali. Antara lain, pola pikir harus dirombak bahwa BKKBN tidak hanya mengurus KB tetapi
juga penduduk. Juga perlu dirombak sistem koordinasi ke seluruh kementrian, kepala daerah
sehingga mereka mau dikordinasikan oleh BKKBN.
2.2.3 Ledakan Penduduk Usia Kerja
Penduduk merupakan titik sentral dalam pembangunan (people centered development)
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 52, 2009. Perubahan struktur umur menjadi
sangat penting mengingat pertumbuhan penduduk terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Bloom
dan Williamson (1998), Williamson, Kelley, dan Schimdt (2001) sama-sama menyetujui bahwa
peningkatan jumlah penduduk di bawah 15 tahun mempunyai dampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangakan peningkatan penduduk usia kerja (diatas 15 tahun)
meningkatakan GDP per kapita. Beberapa dekade terakhir ini telah terjadi transisi demografi di
Indonesia ditandai dengan perubahan struktur penduduk yaitu menurunnya proporsi penduduk
usia di bawah 15 tahun dan diikuti meningkatnya penduduk berusia di atas 15 tahun hingga
2010 secara nasional mencapai 171.017.416 jiwa.
Ledakan penduduk usia kerja adalah hal penting karena dengan peningkatan penduduk
usia kerja memberikan peluang mendapatkan bonus demografi. Apabila ada respon kebijakan
pemerintah daerah (Pemda) yang positif pada saat bonus demografi, maka akan terjadi
peningkatan produktivitas. Bonus Demografi juga memberikan keuntungan ekonomis yang
disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan penduduk usia non produktif sebagai hasil
penurunan fertilitas jangka panjang1. Namun sejauh mana Pemda menyadari dan siap
menghadapi kondisi ini. Oleh karena itu, penelitian dilakukan dengan tujuan teridentifikasinya
kebijakan pemda terkait penduduk usia kerja, faktor pendukung dan penghambat terserapnya
peluang kerja. Informasi digali dari para penentu kebijakan dari lembaga eksekutif, legislatif di
lingkungan Pemda dengan menggunakan pendekatan kualitatif di Provinsi Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, yang masing-masing mewakili penduduk usia kerja di
pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Sementara itu tenaga kerja malah lebih terkonsentrasi
hanya di perkotaan dan di wilayah Jawa dan Bali.
Ledakan penduduk usia kerja terutama terjadi pada usia muda (15-24 thn) yang
jumlahnya mencapai 44 juta jiwa. Sekitar 22 juta penduduk kerja tersebut masuk pasar kerja,
namun umumnya tidak mempunyai keterampilan dan kompetensi yang tinggi. Kondisi saat ini
menunjukkan bahwa kualitas sumber daya Indonesia masih rendah.
5
Peningkatan jumlah absolut dan relatif penduduk usia kerja yang besar sebagai akibat
dari transisi demografi, dapat berdampak pada meningkatnya kebutuhan kesempatan kerja.
Selain itu, juga perlu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, yang saat ini masih
didominasi oleh pekerja berkualitas rendah.
Pada dasarnya, kelompok penduduk usia kerja muda seharusnya masih termasuk
kelompok penduduk yang sedang menempuh pendidikan di tingkat SMA dan Perguruan Tinggi.
Namun kenyataannya, persentase penduduk usia tersebut yang menyelesaikan pendidikan sampai
jenjang SMA lebih kecil dibandingkan mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan SMP.
Ternyata Pemda belum siap kebijakan khusus untuk merespon perubahan penduduk usia
kerja, kecuali penetapan upah minimum regional. Namun demikian, secara umum dalam RPJMD
dan RPJPD sudah ada kebijakan tentang peningkatan kualitas, dan penurunan angka
pengagguran. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kebijakan operasional tentang pelatihan
keterampilan da kewirausahaan tentang peluang kerja yang diperoleh dari perusahaan swasta
nampaknya pengelola program Kependudukan. Nampaknya Program Kependudukan dan KB
(KKB) di Kota Medan, Deli Serdang, Kota Makassar, memiliki komitmen tinggi terhadap
Program Keluarga Berencana (KB) Perusahaan. Pola pikir yang cenderung memilih bekerja
sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dapat menjadi salah satu faktor penghambat penyerapan kerja
yang tersedia. Lembaga legislatif hanya fokus pada peran pengawasan jika ada pengaduan tenaga
kerja.belum ada kebijakan terpadu antar sektor terkait sebagai pendukung terciptanya penduduk
usia kerja berkualitas dan penyerapan tenaga kerja maksimal. Maka dari itu, Pemerintah daerah
perlu menegaskan kebijkan yang mengarah pada: 1). Pengendalian penduduk dengan
menggalakkan program KKB; 2) Penanganan penduduk usia kerja yang terdiri dari: persiapan
kualitas angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja.
2.2.4 Jumlah Penduduk Lanjut Usia Meningkat
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin menigkatnya usia
harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun
ke tahun. Menurut UU Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud
usia adalah penduduk yang telah menapai usia 60 tahun ke atas.
Jika dibanding dengan kelompok penduduk lainnya, penduduk usia lanjut (umur 60 tahun
atau lebih) Indonesia memang relatif kecil. Namun peningkatan proporsinya dinilai sangat cepat.
Pada tahun 1971, proporsinya masih sekitar 4,5% meningkat hamipr dua kali lipatnya dalam
kurun waktu 30 tahun, yaitu 7,1% pada tahun 2000. Pada tahun 2015 diproyeksikan akan
meningkat menjadi 9,4% (Bappenas, 2007). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa di Indonesia
proporsi penduduk usia lanjut ini perlu mendapat perhatian, terutama terkait dengan pemenuhan
kebutuhan seperti layanan kesehatan.
Badan kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada
tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang, balitanya
tinggal 6,9% yang menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk lanjut usia
terbesar di dunia.
Peningkatan penduduk usia lanjut seiring dengan peningkatan usia harapan hidup. Seperti
tampak dari data UN, angka harapan hidup meningkat 45,7 tahun pada tahun 1971 menjadi 65,4
6
tahun pada tahun 2000, dan 69, tahun pada 2015. Sementara proporsi penduduk usia lanjut
meningkat dari 4,9 juta tahun 1950 menjadi 21,4 juta tahun 2010. Meskipun proporsi dan laju
pertumbuhan penduduk usia lanjut tergolong rendah, namun pada tahun 2015, mencapai 5,9
persen atau 14,7 juta jiwa. Jumlah lansia meningkat dan mulai pesat setelah 2015. (lihat gambar
di bawah ini)
Pada gambar tersebut penduduk usia lanjut dibagi menurut tiga kelompok, mengingat
perbedaan kelompok umur tersebut akan berdampak pada perbedaan kebutuhan untuk perawatan
dan pelayanan bagi penduduk usia lanjut tersebut. Pembagian kelompok umur penduduk lanjut
usia diantaranya:
Young old, usia 60-69 tahun
Midle old, usia 70-79 tahun
Old-old, usia 80 tahun ke atas
7
Provinsi dengan usia harapan hidup yang lebih tinggi juga mempunyai jumlah penduduk
usia lanjut yang lebih banyak. Suatu wilayah disebut berstruktur tua jika persentase lanjut
usianya lebih dari 7 persen. Dari seluruh provinsi di Indonesia, ada 11 provinsi yang penduduk
lansianya sudah lebih dari 7 persen, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, NTB, Jawa Barat dan NTT.
Sedangkan lima provinsi dengan persentase lansia terendah adalah: Papua (2,15 persen); Papua
Barat (2,92 persen), Kepulauan Riau (3,78 persen), Kalimantan Timur (4,53 persen ), dan Riau
(4,86 persen).
Perempuan lansia di Indonesia mengalami diskriminasi ganda, baik karena statusnya
sebagai perempuan maupun karena statusnya sebagai penduduk yang usianya sudah lanjut.
8
Sebagai perempuan, diskriminasi yang disebabkan oleh struktur sosial dan budaya masyarakat
sebenarnya sudah terjadi sejak usia muda. Hal ini kita ketahui sebagai akibat dari perbedaan
yang bersifat kodrati maupun sebagai akibat dari perbedaan gender. Perbedaan tersebut juga dari
status perkawinan. Lanjut usia yang sebagian besar berstatus cerai mati dan cerai hidup. Karena
usia harapan hidup perempuan yang lebih panjang dibandingkan laki-laki, maka lebih banyak
lanjut usia perempuan yang ditinggal mati lebih dulu oleh suaminya. Karena perbedaan gender
menyebabkan perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri, sehingga lebih siap untuk tinggal
sendiri.
Dilihat dari kualitas hidup, penduduk lanjut usia umumnya masih rendah. Kondisi ini
disebabkan tingkat melek huruf lansia. Sebagian besar lanjut usia tidak/belum pernah sekolah
dan tidak tamat SD. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, pendidikan tertinggi yang ditamatkan
lanjut usia perempuan secara umum lebih rendah dibandingkan lanjut usia laki-laki.
Angka buta huruf penduduk lanjut usia masih tinggi, sekitar 30,62 persen pada tahun
2007. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, angka buta huruf lanjut usia prempuan jauh lebih
tinggi dibandingkan laik-laki, yaitu 17,32 persen berbanding 42,07 persen. Tidak berbeda dengan
angka buta huruf penduduk secara keseluruhan, angka buta huruf lanjut usia juga lebih besar di
pedesaaan dibandingkan di perkotaan
Peningkatan jumlah dan proporsi penduduk usia lanjut ini perlu diperhatikan, terutama
terkait dengan dampak dan permasalahan yang ditimbulkannya. Mengingat kebutuhan untuk
penduduk usia lanjut berbeda dengan penduduk usia muda. Selain itu, penduduk lanjut meskipun
berproduksi, tapi berbeda dengan ketika mereka berada pada usia kerja. Bahkan mungkin
penduduk usia lanjut sudah tidak berproduksi lagi. Mengingat mereka sudah mengalami
penurunan kondisi sosial, ekonomi dan kesehatan. Sementara itu mereka masih tetap
mengkonsumsi. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhannya.
Apalagi jika tidak ada upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk, sehingga penduduk usia
muda masih tetap tinggi. Diperkirakan di masa depan, proporsi penduduk usia muda dengan usia
lanjut akan sama yang akan berdampak pada pelayanan kesehatan karena terjadi beban ganda
penyakit.
2.3 Isu dan Maslah-masalah Kualitas Penduduk
Kemajuan sebuah negara sangatlah bergantung pada kualitas sumber daya manusia
penduduknya. Saat ini, negara-negara maju notabene berasal dari negara yang miskin akan SDA
tetapi unggul dalam bidang SDM. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik SDM suatu negara,
maka tingkat kesejahteraannya akan semakin meningkat.
Dalam kualitas Sumber Daya Manusia, Indonesia termasuk negara yang terbelakang. Saat
ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat ke-121 dari 187
negara. Kita berada jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 18),
Malaysia (peringkat 64), Thailand (peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114).
Kualitas penduduk adalah kependudukan dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan dan
ekonomi. Suatau negera dikatakan memiliki penduduk yang berkualitas jika memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi atau cerdas, sehat jasmani dan rohani, dan kaya. Jika di hubungkan
9
dengan produktivitas maka peningkatan jumlah penduduk produktif harus di imbangi dengan
kualitasnya, agar mereka yang masuk ke usia tersebut dapat memperoleh kesempatan kerja.
Upaya pembangunan pada dasarnya menginginkan agar kualitas penduduknya tinggi.
Suatu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar tetapi jika kualitasnya rendah maka
tidak bisa di katakana negara tersebut memeiliki kualitas penduduk. Lalu bagaimanakah
mengukur kualitas penduduk? Kualitas penduduk sendiri ditentukan oleh 3 faktor yaitu tingkat
kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
2.3.1 Kualitas di Bidang Kesehatan
Penduduk suatu negara dikatakn berkualitas tinggi apabila tingkat kesehatannya juga
tinggi. Sebaliknya, jika tingkat kesehatannya rendah maka kualitas penduduknya juga rendah.
Namun Indonesia masih tergolong tingkat kesehatannya masing rendah, hal ini dapat di nilai dari
faktor makanan, lingkungan, fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis. Selain itu tingkat
kesehatan manusia dari suatu negara dapat dilihat dari tinggi rendahnya angka kematian, angka
kematian bayi dan angka harapan hidup.
Tingkat kesehatan penduduk dikatakan tinggi apa bila angka kematian dan angka
kematian bayi tergolong rendah namun angka harapan hidupnya tinggi. Sebaliknya, tingkat
kesehatan penduduk dikatakan rendah apabila angka kematian dan angka kematian bayi tinggi
namun angka harapan hidupnya rendah. Adapun untuk meningkatkan kualitas kesehatan yakni:
Memperbanyak dan meningkatkan fungsi rumah sakit atau puskesmas
Menambah serta menaikkan kualitas tenaga medis
Menyelenggarakan penyuluhan kesehatan, gizi dan lingkungan
Mengadakan imunisasi massal secara gratis
Membangun posyandu
2.3.2 Kualitas di Bidang Pendidikan
Kualitas penduduk menurut tingkat pendidikannya dapat dikelompokkan menjadi
penduduk yang buta hurf dan buta huruf.Salah satu faktor bidang pendidikan untuk mengukur
Indeks Pembangunan Manusia(IPM) adalah angka melek huruf yang mempunyai definisi sebagai
presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis serti mengerti sebuah
kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Angka Melek Huruf sendiri dapat digunakan
untuk:
a. Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di
daerah pedesaan Indonesia dimana di pedesaan masih tinggi penduduk yang belum
sempat mengenyam pendidikan sekolah, baik SD, SMP maupun SMA
b. Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari
media
c. Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis suatu daerah
Penduduk yang melek huruf dapat dikelompokkan lagi menurut tingkat pendidikannya,
seperti kelompok tidak sekolah,tidak tamat sekolah dasar, tamat sekolah menengah pertama,
tamat sekolah menengah atas, tamat akademi/perguruan. Tingkat pendidikan yang tinggi
memungkinkan penduduk untuk mengelola sumber daya alam dengan baik. Selain itu,
10
penguasaan teknologi yang baik juga memudahkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehingga taraf hidup selalu meningkat.
Dalam kasus ini Indonesia masih di golongkan memilik tingkat pendidikan yang masih
rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
Masih kurangnya kesadaran masyarkat akan pentingnya pendidikan
Pendapatan penduduk yang rendah menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai
pendidikan
Belum meratanya sarana pendidikan
Untuk meningkatkan kualitas penduduk, pemerintah mengambil langkah-langkah. Antara
lain sebagai berikut :
Membangun sekolah-sekolah baru terutama SD di daerah yang mengalami
kekurangan sekolah
Menambah dan meningkatkan kualitas penduduk
Mencanangkan wajib belajar dan orang tua asuh
Memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasi
2.3.4 Kondisi Ekonomi
Akibat pertambahan penduduk yang tinggi, maka jumlah angkatan kerja tidak seharusnya
terserap. Bahkan semakin ketat persaingan tenaga kerja, maka angkatan kerja nuda yang
merupakan tenaga kerja kurang produktif pun ikut bersaing. Hal ini kurang menguntungkan
usaha pembangunan secara nasional karena golongan muda kurang produktif tersebut merupakan
beban.
Masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja merupakan masalah yang harus ditangani
secara serius karena sangat peka terhadap ketahanan nasional. Dalam hal ini pemerintah telah
mengambil langkah sebagai berikut:
Mengurangi angka pengangguran di daerah padat penduduk
Meningkatkan penyaluran, penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja
Meingkatkan keterampilan tenaga kerja
Meningkatkan hubungan perburuhan yang baik
Besarnya penghasilan penduduk dapat berpengaruh terhadap taraf hidup seseorang.
Semaking tinggi penghasilan, maka semakin tinggi juga pula taraf hidupnya. Taraf hidup
seseorang dipengaruh oleh rata-rata perkapita negara tersebut. Pendapatan perkapita dipengaruhi
oleh besar kecilnya pendapatan ekonomi nasional dalam satu tahun yang disebut GNP dan
perkembangan jumlah penduduk.
2.3.5 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Hidup Manusia
2.3.5.1 Persoalan Rendahnya Kualitas Hidup Manusia
Permasalahan ini dipicu oleh berbagai faktor yang bersifat komplek dan rumit. Berikut
ini akan diuraikan mengenai berbagai permasalahan bangsa Indonesia yang dapat menghambat
perkembangan kualitas hidup manusia Indonesia. Uraian ini berdasarkan pada indikator
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
11
2.3.5.2 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Manusia di Bidang
Kesehatan
Adapun faktor penentu rendahnya kualitas kesehatan masyarakatnya diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Disparitas status kesehatan
Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi
disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaanperdesaan masih cukup tinggi. Kita ketahui bahwa kesehatan masyakarat di pedesaan masih jauh
dari kata layak. Hal ini berbeda dengan masyarkat perkotaan mengingat titik akes kesehatan
masih hanya tersedia di daerah perkotaan.
b. Beban Ganda Penyakit
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi
menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, dan
penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak
menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan
kanker.sebenarnya hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti kebersihan, kebersihan sendiri
sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang akan di bawa jika suatu daerah di nilai
sebagai daerah yang kotor.
c. Kinerja Pelayanan Kesehatan yang Rendah
Masih rendahnya kinerja pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator,
seperti proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, proporsi bayi yang mendapatkan
imunisasi campak, dan proporsi penemuan kasus(Case Detection Rate) tuberkulosis paru. Pada
tahun 2002, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan baru mencapai 66,7 persen, dengan variasi
antara 34,0 persen di Propinsi Sulawesi Tenggara dan 97,1 persen di Propinsi DKI Jakarta. Pada
tahun 2002, cakupan imunisasi campak untuk anak umur 12-23 bulan baru mencapai 71,6
persen, dengan variasi antara 44,1 persen di Propinsi Banten dan 91,1 persen di Propinsi D.I.
Yogyakarta. Sedangkan proporsi penemuan kasus penderita tuberkulosis parupada tahun 2002
baru mencapai 29 persen.
d. Perilaku Masyarakat yang kurang Mendukung pola hidup bersih dan sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk
mendukung peningkatan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang tidak sehat dapat
dilihat dari kebiasaan merokok, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, tingginya
prevalensi gizikurang dan gizi lebih pada anak balita, serta kecenderungan meningkatnya jumlah
penderita HIV/AIDS, penderita penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif(NAPZA)
dan kematian akibat kecelakaan.
e. Rendahnya Kondisi Kesehatan Lingkungan
Salah satu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadapderajat kesehatan
masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap
air bersih dan sanitasi 8 dasar. Pada tahun 2002, persentase rumah tangga yang mempunyai akses
12
terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru mencapai 50 persen, dan akses rumah tangga
terhadap sanitasi dasar baru mencapai 63,5 persen.
f. Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata
Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatanyang
diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7
dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan
masyarakat, per 100.000 penduduk baru dilayani oleh 0,5 Sarjana Kesehatan Masyarakat, 1,7
apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi dan 4,7 tenaga sanitasi (sanitarian). Banyak
puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk
oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Bila dilihat keadaan sesungguhnya, tenaga
medis di daerah pedesaan lebih sedikit mengingat layanan atau fasilitas yang di terima oleh
tenaga medis atau bisa juga karena upah yang membuat tenaga medis enggan untuk menempati
daerah terpencil.
g. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin
Angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61 dibandingkan dengan 17 per
1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab
kematian utama pada bayi dan anak balita, seperti ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit
kelahiran, lebih sering terjadi pada penduduk miskin. Penyakit lain yang banyak diderita
penduduk miskin adalah penyakit tuberkulosis paru, malaria dan HIV/AIDS. Rendahnya status
kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan
kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier).
2.3.5.3 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Manusia di bidang
Pendidikan
a. Tingkat Pendidikan yang Masih Rendah
Sampai dengan tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas baru
mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang berpendidikan sekolah
menengah pertama SMP) keatas masih sekitar 36,2 persen. Sementara itu angka buta aksara
penduduk usia 15 tahun keatas masih sebesar 10,12 persen (SUSENAS 2003). SUSENAS 2003
menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio penduduk yang bersekolah
menurut kelompok usia sekolah – untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen,
namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS penduduk usia 1618 tahun baru mencapai 51,0 persen. Data tersebut mengindikasikanbahwa masih terdapat sekitar
19,0 persen anak usia 13-15 tahun dan sekitar 49,0 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak
bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Terlebih lagi masih terdapat kesenjangan tingkat
13
pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan
penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di
perkotaan dan perdesaan, dan antar daerah.
Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama
dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah
perdesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan sulitnya anak-anak
terutama anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan.
Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan
kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh (1) ketersediaan pendidik yang
belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (2) 9 kesejahteraan pendidik yang masih
rendah, (3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (4) biaya operasional
pendidikan belum disediakan secara memadai.
Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai. Apabila
dibandingkan dengan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih sangat
rendah. Data Human Development Report 2004 mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu
1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar
1,3 persen dari produk domestik bruto (PBD). Sementara dalam kurun waktu yang sama
Malaysia, Thailand, dan Filipina secara berturut-turut telah mengalokasikan anggaran sebesar 7,9
persen, 5,0 persen, dan 3,2 persen dari PDB.
b. Kualitas Manusia Masih Rendah
Manusia yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan bonus demografi
atau the Window of Opportunity. Dengan SDM yang memadai sebuah negara dapat berkembang
dengan baik walau dengan sumber daya alam yang terbatas sekalipun seperti Singapura.
Di era globalisasi ini, manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk dalam rangka
meningkatkan daya saing antar bangsa. Untuk menjadi manusia yang berkualitas, manusia
dituntut untuk lebih berpendidikan, mempunyai keterampilan, berdaya saing tinggi, menguasai
matematik, bahasa, komunikasi dan teknologi. Maka dari itu, negara harus mempersiapkan
manusia yang sehat dan berpendidikan sedini mungkin.
Tidak lama lagi Indonesia akan menghadapi era MEA (Masyarakat Ekonomi Asean).
Persaingan dalam pasar tenaga kerja menjadi lebih luas dan menuntut kualitas SDM yang prima
dan siap bersaing. Jika kondisi tersebut tidak segera diperbaiki, tentu potensi yang dimiliki
bangsa ini justru akan dimanfaatkan oleh negara lain. Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi
surplus produksi negara-negara lain dan akan memicu neraca perdagangan Indonesia menjadi
semakin terpuruk.
c. Data Kependudukan yang Belum Memadai
Data kependudukan sangat diperlukan sebagai sumber informasi yang dapat memberikan
gambaran mengenai situasi dan kondisi kependudukan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu
dan di wilayah tertentu. Data kependudukan juga merupakan sesuatu yang penting bagi
perencanaan pembagungan suatu negara. Jika data yang disajikan baik, maka perencanaan
kependudukan akan berjalan dengan baik. Tetapi sebaliknya jika data yang disajikan tidak
akurat, maka bisa dikatakan proses perencanaan tidak akan berjalan lancar.
14
Sebagai contoh, pada pemilu presiden tahun 2014 kemarin yang dilaksanakan beberapa
bulan lalu, di suatu kabupaten di daerah Madura ketidakwajaran hasil pemilu, di mana hasilnya
100 berbanding 0 persen. Ini merupakan keanehan karena tidak mungkin di pemilihan apapun
dengan hasil seperti itu jika tidak terjadi kecurangan. Bahkan, di daerah itu nama-nama orang
yang sudah meninggal pun tercatat melakukan pemilihan. Ini sungguh menggambarkan data-data
kependudukan belum dikelola dan diawasi dengan baik.
2.3.5.4 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Manusia di Bidang Ekonomi
Permasalahan kemiskinan akan dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban
kependudukan serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
a. Kegagalan pemenuhan hak dasar, antara lain:
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu
Layanan Kesehatan; (3) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan; (4)
Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha; (5) Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan
Sanitasi; (6) Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih; (7) Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan
Penguasaan Tanah; (8) Memburuknya Kondisi Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam, serta
Terbatasnya Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Alam; (9) Lemahnya Jaminan Rasa
Aman; (10) Lemahnya Partisipasi.
b. Beban Kependudukan
Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya tanggungan keluarga dan adanya
tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data Badan Pusat Statistik,
rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga
tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang,
sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang. Dengan
beratnya beban rumah tangga, peluang anak dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan
menjadi terhambat dan seringkali mereka harus bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan
keluarga.
c. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan gender
Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang
diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda dari perempuan. Sumber
dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui
pendekatan, metodologi, dan paradigma pembangunan. Praktek pemerintahan yang bersifat
hegemoni dan patriarki, serta pengambilan keputusan yang hirarkis telah meminggirkan
perempuan secara sistematis dalam beberapa kebijakan, program dan lembaga yang tidak
responsif gender.
Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan, penyusunan program dan pembuatan
kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki. Data
tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu
mengungkap dinamika kehidupan perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan
lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan gender di
berbagai bidang kehidupan. Budaya patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi
15
tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak
tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusanformal.
Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan
untuk merumuskan kebijakan publik tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral
gender hanya akan melanggengkan ketidak setaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang
berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.
Kebijakan Pembangunan Kependudukan Era Globalisasi
Arah kebijakan pembangunan kependudukan di Indonesia meliputi 3 sasaran utama,
antara lain: upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk, peningkatan kualitas dan
pengembangan SDM
1. Upaya Pengendalian Laju Pertumbuhan Penduduk
Pengendalian laju pertumbuhan penduduk diharapkan guna mencipatakan
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya tamping lingkungannya. Untuk itu
diperlukan kesadaran akan bahaya pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi. Rencana
yang di perlukan adalah penurunan angka kelahiran dan angka kematian, ujungnya dapat
diwujudkannya jumlah penduduk yang selaras dan seimbang dengan lingkungannya.
Kaitannya dengan pengendalian pertumbuhan serta kuantitas penduduk, dirasa
perlu mengembangkan upaya-upaya di bidang pendidikan kependudukan dan pendidikan
KB, utamanya menyangkut masalah pemahaman tentang agung dan indahnya sex sebagai
anugerah tuhan yang harus di rawat dan disucikan. Pula harus di mantapkan perubahan
perilaku reproduksi di masa remaja, pencegahan penyakit kelamin(HIV,aids,raja singa).
Sehingga para peserta didiknya memahami tujuan NKKBS(norma keluarga kecil bahagia
dan sejahtera)
2. Peningkatan Kualitas Kependudukan dan Pengembangan SDM.
Disamping pengendalian kuantitas penduduk juga tidak kalah pentingnya kualitas
dan pengembangan SDM, yang semakin hari keliatan semakin menentukan arah
pembangunan bangsa (Prijono, 1998)
Penignakatan kualitas kependudukan meliputi kualitas fisik, di antaranya melalui
pemantapan gizi penduduk, layanan kesehatan, kebugaran jasmani dan layanan bagi para
penduduk lansia. Sedangkan peningkatan kualitas non fisik meliputi kualitas kepribadian,
kemandirian, disiplin dan rasa ingin memanfaatkan alam sekitarnya dengan sebaikbaiknya.
Kualitas penduduk juga mengandung makna kualitas bermasyarakat, artinya
setiap insan Inhatdonesia mampu mengembangkan diri di tengah masyarakat dengan
selaras dan seimbang antar fungsinya sebagai makhluk social, makhluk budaya, makhluk
ekonomi dan makhluk politik yang sehat dan berwacana keimanan.
3. Peningkatan SDM
Sedangkan peningkatan SDM yang di maksud untuk meningkatkan setiap insan
Indonesia memiliki sifat mandiri, etos dan dedikasi kerja tinggi. Di samping itu juga
16
memahami makna kewiraswastaan yang handal hingga mampu mengembang manfaat
lingkungan hidupnya demi kesejahteraan diri dan bangsanya.
Pengembangan SDM juga memperhatikan fungsi gender, serta memberi
kesempatan kerja seluas-luasnya dan di berbagai jenis pekerjaan bagi para wanita.
Terlebih-lebih apabila kita sadari dunia wanita Indonesia saat ini tengah mengalami
perubahan sifat kerjanya, awalnya di sektor domistik bergeser ke arah sektor public, guna
meningkatkan status ekonomi setiap keluarga. Apabila strutktur dan jenis pekerjaan yang
dimiliki para wanita masih terbatas seperti masa-masa lalu, revolusi sifat kerja tersebut akan
terhambat, sebagai akbiatnya tampak dari jumlah TKI yang saat ini mencapai kurang80 lebih
1.962.000 orang, ternyata 80% adalah para TKW
Menyadari permasalahan di atas maka peningkatan kualitas hidup dan
pengembangan SDM selayaknya ditujukan ke semua kelompok dan strata umur
penduduk, dari bayi, balita, remaja, dewasa dan lansia. Hasilnya di harapkan didapatnya
SDM yang andal, mandiri, beretos kerja dan dedikasi tinggi, memiliki sifat wiraswasta,
dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal, serta berkesadaran mengurangi
pertumbuhan penduduk secara proporsional.
4. Perlu adanya unit Jaringan Informasi Kependudukan
Guna lebih memantapkan program kerja kea rah terwujudnya semua tujuan di atas, perlu di
pikirkan adanya lembaga atau unit jaringan informasi kependudukan, yang diharapkan mampu
menganilisis permasalahan kependudukan dan menyiapkan seperangkat data guna menunjang
kebijakan kebijakan kependudukan masa mendatang(Salladien, 1998)
2.4 Hal yang diperlukan diperhatikan dalam meninjau kembali kependudukan yang ada
dan merumuskan kebijakan baru
Visi dan arah dari pembangunan kependudukan perlu diperjelas. Sebelum ini, arah
kebijakan dan program-program kependudukan lebih banyak ditujukan pada target-target
kuantitatif dari parameter-parameter demografis seperti penurunan angka fertilitas dan
mortalitas, serta jumlah peserta transmigrasi. Orientasi seperti ini sebenarnya merupakan hal
yang wajar dan dipraktekan di berbagai negara. Sayangnya, target-target tersebut menjadi
sesuatu yang seolah-olah tidak bisa ditawar dan harus tercapai, apa pun jalan yang harus
ditempuh. Akibatnya, di kalangan pelaksana program biasanya diikuti dengan pendekatan yang
kurang simpatik terhadap kelompok sasaran.
Hasil-hasil dari kebijakan dan program dengan orientasi seperti itu jelas tidak cukup
memadai. Kalaupun hasilnya dianggap memadai, seperti cakupan dan prevalensi penggunaan
kontrasepsi, keberlangsungannya di pertanyakan. Oleh karenanya, orientasi pada kualitas, baik
dalam proses implementasi program maupun hasil yang dijarapkan yaitu kualitas penduduk,
sudah saatnya mejadi arah kebijakan dan program yang baru.
Penduduk yang selama ini menjadi sasaran program seringkali tidak tahu ke mana arah
mereka akan di bawa. Hal ini terkait dengan hak untuk mengetahui informasi kebijakan dan
program kependudukan serta hasilnya. Informasi kependudukan dalam berbagai bentuk data
sejauh ini terbatas penggunannya pada kalangan pemerintah, akademisi dan lembaga swadaya
17
masyarakat. Penduduk atau anggota masyarakat seolah-olah tidak perlu mengetahuinya. Pada era
reformasi seperti seakrang ini sudah seharusnya setiap orang dapat mengetahui data data itu.
Dengan kata lain, setiap orang berhak mendapatkan berbagai informasi kependudukan. Apalagi
sebenarnya tersedianya informasi yang memadai mengenai data kependudukan sebenarnya amat
penting bukan hanya untuk pemerintah dan para peniliti semata-mata, tetapi juga bagi kalangan
bisnis. `
Akses mereka yang amat terbatas terhadap data demografi dan kependudukan sering
mempersulit pengambilan keputusan mereka untuk melakukan investasi.
Berkatian dengan isu di atas, masalah kelembagaan dalam penyusunan kebijakan dan
pelaksanaan program-program kependudukan hingga sekarang belum jelas pengaturannya.
Kantor menteri negara kependudukan yang sebelumnya berdiri sendiri. Pada awal pemerintahan
presiden abdurrahmaan wahid lembaga ini di gabung menjadi satu dengan kementrian
transmigrasi, dan sekarang tidak jelas keberadaannya. Perubahan ini tentu memiliki implikasi
yang tidak sederhana terhadap orientasi dan arah kebijakan kependudukan. Perubahan struktur
seperti ini mencerminkan kurang pekanya pemerintah pusat terhadap masalah kependudukan.
Sementara masalah transmigrasi di anggap masih penting, sepertinya yang tampak dalam
struktur kementrian yang digabung dengan departemen tenaga kerja, masalah kependudukan
yang lebih luas tidak cukup diperhatikan. Hal seperti ini tentu akan menimbulkan masalah baru
terutama dalam penyusunan prioritas dan arah kebijakan kependudukan di masa mendatang.
Masalah kelembagaan lain adalah tingginya fragmentasi lembaga yang terlibat dalam
pembangunan kependudukan. Begitu banyaknya kementrian dan lemabga non departemen yang
membuat kebijakan dan program kependdukan menjadi tumpang tindih dan tidak jelas arahnya
sekedar contoh, dalam pengembangan data informasi kependudukan ada begitu banyak lembaga
yang terlibat diantaranya: Badan Pusat Statistik, BKKBN, Departemen Dalam Negeri serta
Departemen kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Contoh lain adalah penanganan penduduk
miskin yang dilakukan oleh BKKBN, Bappenas dan beberapa departemen lain. Akibatnya, ada
duplikasi dan benturan dari program-program sejenis yang dilakukan oleh berbagai departemen
dan lembaga nondepartemen.
Keserasian kebijakan dan program tidak hanya dituntut pada tingkat pusat. Keserasian
kebijakan dan program pada tingkat nasional dengan daerah seharusnya menjadi salahs satu
sasaran kinerja program. Sudah lama isu ketidakserasian program pada tingkat pusat dengan
daerah terjadi. Tetapi selama ini tidak ada upaya yang serius untuk memecahkannya.
Desentralisasi yang berarti pemberian peran dan kewenangan daerah yang lebih besar sejauh ini
masih merupakan retorika daripada upaya pembagian ruang yang lebih besar kepada daerah
untuk merumuskan kebijakan dan programnya sendiri. Hal ini adalah salah satu rencana besar
dalam perubahan pemerintahan yang mensyaratkan perencanaan yang matang. Untuk sampai
pada tahap itu juga tidak mudah. Masih banyak kendala nantinya akan menjadi penghambat.
Salah satunya adalah kurangnya sumber daya yang memadai, khususnya kemampuan birokrasi di
daerah untuk mengambil alih tugas wewenang yang selama ini bukan menjadi tanggung jawab
mereka. Pada sisi lain desentralisasi memungkinkan adanya kinerja yang efektif dan efesien
misalnya pada tingkat kabupaten masalah fertilitas, morbiditas dan mortalitas ditangani oleh satu
dinas yaitu dinas kesehatan.
18
Ada beberapa isu lama yang masih terus menjadi perhatian seperti masalah perempuan,
penduduk usia lanjut, penduduk miskin dan penduduk di pedesaan (Dwiyanto 1997). Beberapa
isu ini sering menjadi sorotan pada tingkat kebijakan dan program secara angina-anginan. Di
samping itu, seperti disebutkan pada pembahasan isu kedua kelompok penduduk ini lebih banyak
dijadikan sebagai objek kebijakan dan program pembanguna tanpa ada upaya secara lebih serius
untuk menanganinya.
Indonesia yang aktif berpartisipasi dalam berbagai pertemuan tingkat dunia untuk
masalah kependudukan maupun perempuan dan meratifikasi hasil-hasilnya, tidak cepat
mengimplementasikan dalam bentuk program-program nyata. Oleh karenanya, tidak
mengherankan bila aparat kehakiman masih ada yang tidak ibat dengan korban pemerkosaan.
Pemerintah sepertinya juga menutup mata terhadap para tenaga kerja perempuan yang nasibny
seperti sapi perahan, baik ketika di dalam negeri maupun luar negeri.
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang muncul berkaitan dengan
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut juga tidak jelas. Ada kesan yang kuat bahwa
permasalahan usia lanjut diserahkan pada keluarga. Sikap seperti ini menunjukkan
ketidaksensitifan pemerintah terhadap masalah yang berkembang. Bagaimana mungkin orang
usia lanjut dapat mengandalkan anak-anaknya untuk memelihara mereka sementara bentuk dan
struktur keluarga telah berubah derastis. Sikap tidak mengacuhkan kondisi usia lanjut seperti ini
menyebabkan orang-orang lanjut usia merasa sangat tidak terjamin hidupnya. Mereka kemudian
ingin mati saja daripada harus menderita.
2.4.4 Arah Kebijakan Kependudukan
Program kependudukan adalah investasi jangka panjang untuk beberapa generasi, yang
hasilnya tidak dapat dirasakan seketika. Namun merupakan upaya sistematis dan terencana untuk
membangu kualitas manusia, pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Arah kebijakan yang perlu dilakukan ke depan diantaranya:
Mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk secara konsisten.
Melakukan advokasi atau sosialisasi terhadap dampak laju pertumbuhan
penduduk tinggi terhadap pemenuhan hak-hak dasar penduduk.
Memastikan early childhood development yang baik.
Wajib belajar lebih dari 9 tahun untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas
SDM generasi muda masa depan serta mempermudah akses untuk menempuh
perguruan tinggi.
Membina remaja agar memiliki karakter yang kuat dan baik yang kuat mengatasi
akibat negatif dari tereksposnya HIV/AIDS, narkoba, seks bebas, serta berbagai
ancaman baru dalam kesehatan
Peningkatan kualitas sumberdaya penduduk usia kerja.
Peningkatan kesempatan kerja, sehingga Rasio Ketergantungan dan Jendela
kesempatan benar-benar bermakna, dapat bersaing secara nasional dan global,
menguasai iptek, IT, matematika, bahasa untuk dapat berkomunikasi.
19
Peningkatan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan lanjut usia dalam mencapai
active ageing.
Mengingat bahwa meskipun laju pertumbuhan penduduk telah menurun, namun jumlah
absolute penduduk Indonesia masih akan terus bertambah di masa yang akan datang. Semakin
banyak jumlah penduduknya, maka pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, energi,
pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan dan pelayanan publik lainnya.
Oleh karena itu, arah kebijakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka menurunkan
pertambahan jumlah penduduk diantaranya:
1. Meneruskan upaya pengendalian penduduk dengan sangat memperhatikan hak
reproduksi, hak azasi, serta kesejahteraan keluarga, hal yang dapat dilakukan
pemerintah diantaranya
a. Meneruskan dan merevitalisasi kembali program KB dengan penentuan
sasaran yang jelas.
b. Memantapkan kembali pelembagaan paradigm keluarga kecil bahagia dan
sejahtera. Dalam hal ini keluarga-keluarga perlu diarahkan kepada
perubahan paradigma cara berfikir tentang nilai anak. Anak sebagai
keturunan perlu biaya social, ekonomi, dan psikologi agar menjadi anak
yang mandiri, sehat dan berpendidikan. Untuk itu agar mereka memiliki
anak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.
2. Pengendalian mobilitas penduduk. Dalam rangka mengatasi permasalahan
terkait dengan mobilitas, maka perlu adanya kerja sama dari Pemda dengan
lembaga terkait untuk pemerataan pembangunan.
3. Urbanisasi dan kemiskinan. Masalah urbanisasi yang tidak dapat diatasi dengan
baik akan berdampak pada kemiskinan penduduk. Maka dari itu, untuk
mengantisipasi hal ini perlu ada kerjasama dengan sektor lain yang menangani
masalah kemiskinan dan urbanisasi.
4. Peningkatan kualitas SDM
Firman Arif Rahman
Kurniawan Luthfi Hasnan
Abstract:
Nowadays, the demography problems of Indonesia generally includes three aspects:
quantity and quality. Seeing from the quantity, Indonesia has the high number of population in
which on 2010, it was over 237.6 million people. Besides, Indonesia has low human resource
quality. On 2009, it was in 108th position of 188th country in the world. Furthermore, Indonesia
has the unequal distribution of the population, where 58% of population is centered in Java
whereas it is only 7% of the whole Indonesia’s land. The conditions above will impact the aspect
of life and the development of Indonesia. Seeing from social economic, the problems that might
occur are food, housing, health, education fulfillment problems, supply of job opportunity, and
etc. Those problems will cause the high number of unemployment-and-poverty, crime, social
conflicts, TKI (Indonesian Workers) problems, human trafficking and etc. Therefore, some
policies and strategies is to be issued in order to overcome those problems and build Indonesia
better.
Kata Kunci: kuantitas, kualitas, kebijakan, strategi, kependudukan, Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika era globalisasi dan informasi belum sepenuhnya diantisipasi Indonesia harus
menghadapi krisis ekonomi dan reformasi yang berlanjut dengan berbagai tuntutan seperti
otonomi, demokratisasi, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Berbagai hal itu saling terkait
satu dengan lainnya. Tuntutan seperti itu pun merupakan hal yang wajar. Sayangnya, masalahmasalah besar itu tidak bisa dipecahkan segera dan serempak, bahkan fakta-fakta yang ada
menunjukkan bahwa satu permasalahan pun seringkali tidak dapat dipecahkan dengan
memuaskan. Karenanya, masalah yang dihadapi Indonesia sekarang sangat kompleks dan
berlarut-larut.
Apakah kaitan antara perubahan itu dengan kebijakan kependudukan? Untuk menjawab
pernyataan ini, ada baiknya dilihat dulu lingkup permasalahan kependudukan. Pada satu sisi,
permasalahan
itu
berputar
pada
masalah
pokok
demografis,
yaitu
fertilitas(kelahiran),morbiditas(kesakitan), mortalitas(kematian) dan mobilitas(imigrasi) dan pada
sisi lain masalah tersebut berpusat pada kualitas dan kuantitas penduduk.
1
Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia telah
mencapai 237 juta dengan laju pertumbuhan 1.49 persen. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu,
Indonesia kini menjadi negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia dibawah Cina, India
dan AS. Jika pada tahun 1900 jumlah penduduk hanya 40,2 juta jiwa, maka sekarang telah
bertambah hampir enam kali lipatnya. Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari jumlah
kependudukannya. Berbagai indikator kependudukan tersebut berpengaruh terhadap berbagai
bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan budaya. Mengingat penduduk
sebagai fokus dan dasar utama dalam berbagai aspek pembangunan sehingga kependudukan
memegang peranan penting dalam pembangunan.
Dengan tingginya jumlah penduduk, saat ini Indonesia dihantui oleh berbagai masalah
kependudukan mulai dari ledakan penduduk, rendahnya mutu pendidikan dan kualitas manusia.
Masalah-masalah kependudukan tersebut akan menghambat proses pembangunan di Indonesia.
Maka dari itu, semua permasalahan kependudukan di Indonesia haruslah terdata dan terungkap
terlebih dahulu sebelum dapat dibuat kebijakan untuk mengendalikan permasalahan penduduk.
Oleh karena itu, jurnal ini akan mengintrepretasikan dua pokok permasalah kependudukan di
Indonesia, yaitu masalah kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
2.1 Isu dan Masalah-Masalah Kependudukan Indonesia saat ini
Sesungguhnya masalah kependudukan masih tetap berpusat pada masalah yang
sebenarnya sudah terjadi sejak pemerintahan sebelumnya. Dari berbagai masalah kependudukan
yang terjadi di Indonesia, yang mencakup tiga aspek diatas yakni kuantitas dan kualitas
penduduk. Dapat disimpulkan isu strategis kependudukan sebagai berikut:
1. Isu dan Masalah Kuantitas Penduduk
2. Isu dan Masalah Kualitas Penduduk
2.2 Masalah Kuantitas Penduduk
Jumlah penduduk yang tinggi diibaratkan sesuatu yang memiliki dua sisi yaitu negatif
dan positif. Mengelola jumlah penduduk dengan baik merupakan tugas yang berat bagi sebuah
negara. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menimbulkan ledakan penduduk yang
menimbulkan rentetan masalah lainnya seperti kelaparan jika tidak ada program pemenuhan
kebutuhan yang baik. Di sisi lain, jumlah penduduk yang tinggi juga berdampak positif seperti
suplai penduduk usia kerja yang baik karena banyak penduduk usia produktif.
2.2.1 Jumlah Penduduk yang Terus Bertambah
2
Indonesia menduduki peringkat 1 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
ASEAN, nomor 3 di Asia serta menduduki peringkat ke-4 di dunia. Jumlah penduduk sebanyak
itu seharusnya mendapat perhatian serius mengingat dampak yang sangat luas dengan jumlah
penduduk sebanyak itu berarti harus seimbang dengan pemenuhan kebutuhan sandang, papan,
pangan, energi, kesempatan kerja, kesehatan, pendidikan dan hak dasar lainnya. Jika dilihat dari
struktur penduduk, Indonesia dilihat dari kelompok umur dan jenis kelaminnya menunjukkan
perubahan akibatnya terjadinya transisi demografi yang berlangsung di Indonesia. Transisi
demografi tersebut ditandai dengan penurunan angka kelahiran dan penurunan angka kematian.
Meskipun upaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk sudah berhasil
dilakukan, namun jumlah penduduk besar akan terus bertambah tiap tahunnya. Secara absolut
pertambahan penduduk Indonesia masih akan meningkat sekitar 3 sampai 4 juta jiwa pertahun.
Jika pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237 juta, maka pada tahun 2030
diperkirakan berjumlah 300 juta atau lebih jika tidak ada upaya untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk yang lebih serius lagi. Tentu saja hal ini disebabkan oleh tingginya
tingkat fertilitas masyarakat. Jumlah penduduk yang tinggi akan menjadi masalah yang besar
apabila kualitas manusianya rendah.
Apabila dilihat dari fertilitas, maka di dalam pertumbuhan penduduk terdapat
kecendrungan bahwa jumlah penduduk besar terjadi jika tingkat fertilitas juga tinggi. Seperti
tampak pada gambar, tingkat fertilitas terdiri dari tiga skenario yaitu rendah, sedang dan tinggi
dengan nilai TFR berturut-turut adalah 1,8, 2,3 dan 2,6.
3
Peningkatan jumlah penduduk seperti ini sangatlah perlu mendapat perhatian karena
dampaknya yang sangat luas. Jumlah pneuduk meningkat berarti pemenuhan kebutuhan juga
meningkat seperti pangan, sandang papan, energi, kesempatan kerja, kesehatan, pendidika dan
hak-hak dasar lainnya.
2.2.2 Ledakan Penduduk
Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan ledakan penduduk. Kepala
Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry Budiutomo Harmadi mengatakan,
dampak ledakan penduduk terhadap kemampuan orang tua yang memiliki banyak anak dalam
hal pemenuhan gizi sangat rendah. Akibatnya, kualitas kesehatan dan pendidikan pun menjadi
rendah sehingga produktivias kurang, pendapatan rendah sehingga produktivitas kurang,
pendapatan rendah kemudian menyebabkan kemiskinan lagi. Data tahun 2010 ditemukan sekitar
3.7 juta balita dan bayi di Indonesia mengalami gizi buruk atau berat badan rendah dan 7,8 juta
bayi balita gizi kronis atau kurang tinggi badan dari total sekitar 10 juta bayi di Indonesia ujarnya
dalam sebuah diskusi dengan tema Waspadalah Ledakan Penduduk Indonesia.
4
Dikatakan, dengan pertambahan penduduk Indonesia sebanyak 32,5 juta jiwa atau
tumbuh 1,49 persen menyebabkan tekanan penduduk makin besar dengan lapangan pekerjaan
yang terbatas. Meskipun pengangguran sedikit, mereka yang bekerja tidak layak pun jumlahnya
banyak.
Pengamat Perkotaan dan Kependudukan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna
mengatakan, pertambahan penduduk sebanyak 2,1 juta tiap tahun akan berakibat pada ancaman
krisis pangan. Hal ini dikarenakan penduduk Indonesia sulit mengganti makanan pokok dengan
makanan lainnya. Apalagi pemerintah hanya mengandalkan impor kebutuhan bahan bokok jika
terjadi kekurangan persediaan bahan makanan. Menurutnya, BKKBN perlu direvitalisasi
kembali. Antara lain, pola pikir harus dirombak bahwa BKKBN tidak hanya mengurus KB tetapi
juga penduduk. Juga perlu dirombak sistem koordinasi ke seluruh kementrian, kepala daerah
sehingga mereka mau dikordinasikan oleh BKKBN.
2.2.3 Ledakan Penduduk Usia Kerja
Penduduk merupakan titik sentral dalam pembangunan (people centered development)
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 52, 2009. Perubahan struktur umur menjadi
sangat penting mengingat pertumbuhan penduduk terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Bloom
dan Williamson (1998), Williamson, Kelley, dan Schimdt (2001) sama-sama menyetujui bahwa
peningkatan jumlah penduduk di bawah 15 tahun mempunyai dampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangakan peningkatan penduduk usia kerja (diatas 15 tahun)
meningkatakan GDP per kapita. Beberapa dekade terakhir ini telah terjadi transisi demografi di
Indonesia ditandai dengan perubahan struktur penduduk yaitu menurunnya proporsi penduduk
usia di bawah 15 tahun dan diikuti meningkatnya penduduk berusia di atas 15 tahun hingga
2010 secara nasional mencapai 171.017.416 jiwa.
Ledakan penduduk usia kerja adalah hal penting karena dengan peningkatan penduduk
usia kerja memberikan peluang mendapatkan bonus demografi. Apabila ada respon kebijakan
pemerintah daerah (Pemda) yang positif pada saat bonus demografi, maka akan terjadi
peningkatan produktivitas. Bonus Demografi juga memberikan keuntungan ekonomis yang
disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan penduduk usia non produktif sebagai hasil
penurunan fertilitas jangka panjang1. Namun sejauh mana Pemda menyadari dan siap
menghadapi kondisi ini. Oleh karena itu, penelitian dilakukan dengan tujuan teridentifikasinya
kebijakan pemda terkait penduduk usia kerja, faktor pendukung dan penghambat terserapnya
peluang kerja. Informasi digali dari para penentu kebijakan dari lembaga eksekutif, legislatif di
lingkungan Pemda dengan menggunakan pendekatan kualitatif di Provinsi Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, yang masing-masing mewakili penduduk usia kerja di
pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Sementara itu tenaga kerja malah lebih terkonsentrasi
hanya di perkotaan dan di wilayah Jawa dan Bali.
Ledakan penduduk usia kerja terutama terjadi pada usia muda (15-24 thn) yang
jumlahnya mencapai 44 juta jiwa. Sekitar 22 juta penduduk kerja tersebut masuk pasar kerja,
namun umumnya tidak mempunyai keterampilan dan kompetensi yang tinggi. Kondisi saat ini
menunjukkan bahwa kualitas sumber daya Indonesia masih rendah.
5
Peningkatan jumlah absolut dan relatif penduduk usia kerja yang besar sebagai akibat
dari transisi demografi, dapat berdampak pada meningkatnya kebutuhan kesempatan kerja.
Selain itu, juga perlu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, yang saat ini masih
didominasi oleh pekerja berkualitas rendah.
Pada dasarnya, kelompok penduduk usia kerja muda seharusnya masih termasuk
kelompok penduduk yang sedang menempuh pendidikan di tingkat SMA dan Perguruan Tinggi.
Namun kenyataannya, persentase penduduk usia tersebut yang menyelesaikan pendidikan sampai
jenjang SMA lebih kecil dibandingkan mereka yang mampu menyelesaikan pendidikan SMP.
Ternyata Pemda belum siap kebijakan khusus untuk merespon perubahan penduduk usia
kerja, kecuali penetapan upah minimum regional. Namun demikian, secara umum dalam RPJMD
dan RPJPD sudah ada kebijakan tentang peningkatan kualitas, dan penurunan angka
pengagguran. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kebijakan operasional tentang pelatihan
keterampilan da kewirausahaan tentang peluang kerja yang diperoleh dari perusahaan swasta
nampaknya pengelola program Kependudukan. Nampaknya Program Kependudukan dan KB
(KKB) di Kota Medan, Deli Serdang, Kota Makassar, memiliki komitmen tinggi terhadap
Program Keluarga Berencana (KB) Perusahaan. Pola pikir yang cenderung memilih bekerja
sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dapat menjadi salah satu faktor penghambat penyerapan kerja
yang tersedia. Lembaga legislatif hanya fokus pada peran pengawasan jika ada pengaduan tenaga
kerja.belum ada kebijakan terpadu antar sektor terkait sebagai pendukung terciptanya penduduk
usia kerja berkualitas dan penyerapan tenaga kerja maksimal. Maka dari itu, Pemerintah daerah
perlu menegaskan kebijkan yang mengarah pada: 1). Pengendalian penduduk dengan
menggalakkan program KKB; 2) Penanganan penduduk usia kerja yang terdiri dari: persiapan
kualitas angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja.
2.2.4 Jumlah Penduduk Lanjut Usia Meningkat
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin menigkatnya usia
harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun
ke tahun. Menurut UU Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud
usia adalah penduduk yang telah menapai usia 60 tahun ke atas.
Jika dibanding dengan kelompok penduduk lainnya, penduduk usia lanjut (umur 60 tahun
atau lebih) Indonesia memang relatif kecil. Namun peningkatan proporsinya dinilai sangat cepat.
Pada tahun 1971, proporsinya masih sekitar 4,5% meningkat hamipr dua kali lipatnya dalam
kurun waktu 30 tahun, yaitu 7,1% pada tahun 2000. Pada tahun 2015 diproyeksikan akan
meningkat menjadi 9,4% (Bappenas, 2007). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa di Indonesia
proporsi penduduk usia lanjut ini perlu mendapat perhatian, terutama terkait dengan pemenuhan
kebutuhan seperti layanan kesehatan.
Badan kesehatan dunia WHO menyatakan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada
tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang, balitanya
tinggal 6,9% yang menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk lanjut usia
terbesar di dunia.
Peningkatan penduduk usia lanjut seiring dengan peningkatan usia harapan hidup. Seperti
tampak dari data UN, angka harapan hidup meningkat 45,7 tahun pada tahun 1971 menjadi 65,4
6
tahun pada tahun 2000, dan 69, tahun pada 2015. Sementara proporsi penduduk usia lanjut
meningkat dari 4,9 juta tahun 1950 menjadi 21,4 juta tahun 2010. Meskipun proporsi dan laju
pertumbuhan penduduk usia lanjut tergolong rendah, namun pada tahun 2015, mencapai 5,9
persen atau 14,7 juta jiwa. Jumlah lansia meningkat dan mulai pesat setelah 2015. (lihat gambar
di bawah ini)
Pada gambar tersebut penduduk usia lanjut dibagi menurut tiga kelompok, mengingat
perbedaan kelompok umur tersebut akan berdampak pada perbedaan kebutuhan untuk perawatan
dan pelayanan bagi penduduk usia lanjut tersebut. Pembagian kelompok umur penduduk lanjut
usia diantaranya:
Young old, usia 60-69 tahun
Midle old, usia 70-79 tahun
Old-old, usia 80 tahun ke atas
7
Provinsi dengan usia harapan hidup yang lebih tinggi juga mempunyai jumlah penduduk
usia lanjut yang lebih banyak. Suatu wilayah disebut berstruktur tua jika persentase lanjut
usianya lebih dari 7 persen. Dari seluruh provinsi di Indonesia, ada 11 provinsi yang penduduk
lansianya sudah lebih dari 7 persen, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, NTB, Jawa Barat dan NTT.
Sedangkan lima provinsi dengan persentase lansia terendah adalah: Papua (2,15 persen); Papua
Barat (2,92 persen), Kepulauan Riau (3,78 persen), Kalimantan Timur (4,53 persen ), dan Riau
(4,86 persen).
Perempuan lansia di Indonesia mengalami diskriminasi ganda, baik karena statusnya
sebagai perempuan maupun karena statusnya sebagai penduduk yang usianya sudah lanjut.
8
Sebagai perempuan, diskriminasi yang disebabkan oleh struktur sosial dan budaya masyarakat
sebenarnya sudah terjadi sejak usia muda. Hal ini kita ketahui sebagai akibat dari perbedaan
yang bersifat kodrati maupun sebagai akibat dari perbedaan gender. Perbedaan tersebut juga dari
status perkawinan. Lanjut usia yang sebagian besar berstatus cerai mati dan cerai hidup. Karena
usia harapan hidup perempuan yang lebih panjang dibandingkan laki-laki, maka lebih banyak
lanjut usia perempuan yang ditinggal mati lebih dulu oleh suaminya. Karena perbedaan gender
menyebabkan perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri, sehingga lebih siap untuk tinggal
sendiri.
Dilihat dari kualitas hidup, penduduk lanjut usia umumnya masih rendah. Kondisi ini
disebabkan tingkat melek huruf lansia. Sebagian besar lanjut usia tidak/belum pernah sekolah
dan tidak tamat SD. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, pendidikan tertinggi yang ditamatkan
lanjut usia perempuan secara umum lebih rendah dibandingkan lanjut usia laki-laki.
Angka buta huruf penduduk lanjut usia masih tinggi, sekitar 30,62 persen pada tahun
2007. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, angka buta huruf lanjut usia prempuan jauh lebih
tinggi dibandingkan laik-laki, yaitu 17,32 persen berbanding 42,07 persen. Tidak berbeda dengan
angka buta huruf penduduk secara keseluruhan, angka buta huruf lanjut usia juga lebih besar di
pedesaaan dibandingkan di perkotaan
Peningkatan jumlah dan proporsi penduduk usia lanjut ini perlu diperhatikan, terutama
terkait dengan dampak dan permasalahan yang ditimbulkannya. Mengingat kebutuhan untuk
penduduk usia lanjut berbeda dengan penduduk usia muda. Selain itu, penduduk lanjut meskipun
berproduksi, tapi berbeda dengan ketika mereka berada pada usia kerja. Bahkan mungkin
penduduk usia lanjut sudah tidak berproduksi lagi. Mengingat mereka sudah mengalami
penurunan kondisi sosial, ekonomi dan kesehatan. Sementara itu mereka masih tetap
mengkonsumsi. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhannya.
Apalagi jika tidak ada upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk, sehingga penduduk usia
muda masih tetap tinggi. Diperkirakan di masa depan, proporsi penduduk usia muda dengan usia
lanjut akan sama yang akan berdampak pada pelayanan kesehatan karena terjadi beban ganda
penyakit.
2.3 Isu dan Maslah-masalah Kualitas Penduduk
Kemajuan sebuah negara sangatlah bergantung pada kualitas sumber daya manusia
penduduknya. Saat ini, negara-negara maju notabene berasal dari negara yang miskin akan SDA
tetapi unggul dalam bidang SDM. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik SDM suatu negara,
maka tingkat kesejahteraannya akan semakin meningkat.
Dalam kualitas Sumber Daya Manusia, Indonesia termasuk negara yang terbelakang. Saat
ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat ke-121 dari 187
negara. Kita berada jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 18),
Malaysia (peringkat 64), Thailand (peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114).
Kualitas penduduk adalah kependudukan dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan dan
ekonomi. Suatau negera dikatakan memiliki penduduk yang berkualitas jika memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi atau cerdas, sehat jasmani dan rohani, dan kaya. Jika di hubungkan
9
dengan produktivitas maka peningkatan jumlah penduduk produktif harus di imbangi dengan
kualitasnya, agar mereka yang masuk ke usia tersebut dapat memperoleh kesempatan kerja.
Upaya pembangunan pada dasarnya menginginkan agar kualitas penduduknya tinggi.
Suatu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar tetapi jika kualitasnya rendah maka
tidak bisa di katakana negara tersebut memeiliki kualitas penduduk. Lalu bagaimanakah
mengukur kualitas penduduk? Kualitas penduduk sendiri ditentukan oleh 3 faktor yaitu tingkat
kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
2.3.1 Kualitas di Bidang Kesehatan
Penduduk suatu negara dikatakn berkualitas tinggi apabila tingkat kesehatannya juga
tinggi. Sebaliknya, jika tingkat kesehatannya rendah maka kualitas penduduknya juga rendah.
Namun Indonesia masih tergolong tingkat kesehatannya masing rendah, hal ini dapat di nilai dari
faktor makanan, lingkungan, fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis. Selain itu tingkat
kesehatan manusia dari suatu negara dapat dilihat dari tinggi rendahnya angka kematian, angka
kematian bayi dan angka harapan hidup.
Tingkat kesehatan penduduk dikatakan tinggi apa bila angka kematian dan angka
kematian bayi tergolong rendah namun angka harapan hidupnya tinggi. Sebaliknya, tingkat
kesehatan penduduk dikatakan rendah apabila angka kematian dan angka kematian bayi tinggi
namun angka harapan hidupnya rendah. Adapun untuk meningkatkan kualitas kesehatan yakni:
Memperbanyak dan meningkatkan fungsi rumah sakit atau puskesmas
Menambah serta menaikkan kualitas tenaga medis
Menyelenggarakan penyuluhan kesehatan, gizi dan lingkungan
Mengadakan imunisasi massal secara gratis
Membangun posyandu
2.3.2 Kualitas di Bidang Pendidikan
Kualitas penduduk menurut tingkat pendidikannya dapat dikelompokkan menjadi
penduduk yang buta hurf dan buta huruf.Salah satu faktor bidang pendidikan untuk mengukur
Indeks Pembangunan Manusia(IPM) adalah angka melek huruf yang mempunyai definisi sebagai
presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis serti mengerti sebuah
kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Angka Melek Huruf sendiri dapat digunakan
untuk:
a. Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di
daerah pedesaan Indonesia dimana di pedesaan masih tinggi penduduk yang belum
sempat mengenyam pendidikan sekolah, baik SD, SMP maupun SMA
b. Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari
media
c. Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis suatu daerah
Penduduk yang melek huruf dapat dikelompokkan lagi menurut tingkat pendidikannya,
seperti kelompok tidak sekolah,tidak tamat sekolah dasar, tamat sekolah menengah pertama,
tamat sekolah menengah atas, tamat akademi/perguruan. Tingkat pendidikan yang tinggi
memungkinkan penduduk untuk mengelola sumber daya alam dengan baik. Selain itu,
10
penguasaan teknologi yang baik juga memudahkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehingga taraf hidup selalu meningkat.
Dalam kasus ini Indonesia masih di golongkan memilik tingkat pendidikan yang masih
rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
Masih kurangnya kesadaran masyarkat akan pentingnya pendidikan
Pendapatan penduduk yang rendah menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai
pendidikan
Belum meratanya sarana pendidikan
Untuk meningkatkan kualitas penduduk, pemerintah mengambil langkah-langkah. Antara
lain sebagai berikut :
Membangun sekolah-sekolah baru terutama SD di daerah yang mengalami
kekurangan sekolah
Menambah dan meningkatkan kualitas penduduk
Mencanangkan wajib belajar dan orang tua asuh
Memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasi
2.3.4 Kondisi Ekonomi
Akibat pertambahan penduduk yang tinggi, maka jumlah angkatan kerja tidak seharusnya
terserap. Bahkan semakin ketat persaingan tenaga kerja, maka angkatan kerja nuda yang
merupakan tenaga kerja kurang produktif pun ikut bersaing. Hal ini kurang menguntungkan
usaha pembangunan secara nasional karena golongan muda kurang produktif tersebut merupakan
beban.
Masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja merupakan masalah yang harus ditangani
secara serius karena sangat peka terhadap ketahanan nasional. Dalam hal ini pemerintah telah
mengambil langkah sebagai berikut:
Mengurangi angka pengangguran di daerah padat penduduk
Meningkatkan penyaluran, penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja
Meingkatkan keterampilan tenaga kerja
Meningkatkan hubungan perburuhan yang baik
Besarnya penghasilan penduduk dapat berpengaruh terhadap taraf hidup seseorang.
Semaking tinggi penghasilan, maka semakin tinggi juga pula taraf hidupnya. Taraf hidup
seseorang dipengaruh oleh rata-rata perkapita negara tersebut. Pendapatan perkapita dipengaruhi
oleh besar kecilnya pendapatan ekonomi nasional dalam satu tahun yang disebut GNP dan
perkembangan jumlah penduduk.
2.3.5 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Hidup Manusia
2.3.5.1 Persoalan Rendahnya Kualitas Hidup Manusia
Permasalahan ini dipicu oleh berbagai faktor yang bersifat komplek dan rumit. Berikut
ini akan diuraikan mengenai berbagai permasalahan bangsa Indonesia yang dapat menghambat
perkembangan kualitas hidup manusia Indonesia. Uraian ini berdasarkan pada indikator
kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
11
2.3.5.2 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Manusia di Bidang
Kesehatan
Adapun faktor penentu rendahnya kualitas kesehatan masyarakatnya diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Disparitas status kesehatan
Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi
disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaanperdesaan masih cukup tinggi. Kita ketahui bahwa kesehatan masyakarat di pedesaan masih jauh
dari kata layak. Hal ini berbeda dengan masyarkat perkotaan mengingat titik akes kesehatan
masih hanya tersedia di daerah perkotaan.
b. Beban Ganda Penyakit
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi
menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, dan
penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak
menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan
kanker.sebenarnya hal ini dikarenakan beberapa faktor seperti kebersihan, kebersihan sendiri
sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang akan di bawa jika suatu daerah di nilai
sebagai daerah yang kotor.
c. Kinerja Pelayanan Kesehatan yang Rendah
Masih rendahnya kinerja pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator,
seperti proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, proporsi bayi yang mendapatkan
imunisasi campak, dan proporsi penemuan kasus(Case Detection Rate) tuberkulosis paru. Pada
tahun 2002, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan baru mencapai 66,7 persen, dengan variasi
antara 34,0 persen di Propinsi Sulawesi Tenggara dan 97,1 persen di Propinsi DKI Jakarta. Pada
tahun 2002, cakupan imunisasi campak untuk anak umur 12-23 bulan baru mencapai 71,6
persen, dengan variasi antara 44,1 persen di Propinsi Banten dan 91,1 persen di Propinsi D.I.
Yogyakarta. Sedangkan proporsi penemuan kasus penderita tuberkulosis parupada tahun 2002
baru mencapai 29 persen.
d. Perilaku Masyarakat yang kurang Mendukung pola hidup bersih dan sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk
mendukung peningkatan status kesehatan penduduk. Perilaku masyarakat yang tidak sehat dapat
dilihat dari kebiasaan merokok, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, tingginya
prevalensi gizikurang dan gizi lebih pada anak balita, serta kecenderungan meningkatnya jumlah
penderita HIV/AIDS, penderita penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif(NAPZA)
dan kematian akibat kecelakaan.
e. Rendahnya Kondisi Kesehatan Lingkungan
Salah satu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadapderajat kesehatan
masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap
air bersih dan sanitasi 8 dasar. Pada tahun 2002, persentase rumah tangga yang mempunyai akses
12
terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru mencapai 50 persen, dan akses rumah tangga
terhadap sanitasi dasar baru mencapai 63,5 persen.
f. Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata
Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatanyang
diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7
dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan
masyarakat, per 100.000 penduduk baru dilayani oleh 0,5 Sarjana Kesehatan Masyarakat, 1,7
apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi dan 4,7 tenaga sanitasi (sanitarian). Banyak
puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk
oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Bila dilihat keadaan sesungguhnya, tenaga
medis di daerah pedesaan lebih sedikit mengingat layanan atau fasilitas yang di terima oleh
tenaga medis atau bisa juga karena upah yang membuat tenaga medis enggan untuk menempati
daerah terpencil.
g. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin
Angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61 dibandingkan dengan 17 per
1.000 kelahiran hidup pada kelompok terkaya. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab
kematian utama pada bayi dan anak balita, seperti ISPA, diare, tetanus neonatorum dan penyulit
kelahiran, lebih sering terjadi pada penduduk miskin. Penyakit lain yang banyak diderita
penduduk miskin adalah penyakit tuberkulosis paru, malaria dan HIV/AIDS. Rendahnya status
kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan
kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier).
2.3.5.3 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Manusia di bidang
Pendidikan
a. Tingkat Pendidikan yang Masih Rendah
Sampai dengan tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas baru
mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang berpendidikan sekolah
menengah pertama SMP) keatas masih sekitar 36,2 persen. Sementara itu angka buta aksara
penduduk usia 15 tahun keatas masih sebesar 10,12 persen (SUSENAS 2003). SUSENAS 2003
menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio penduduk yang bersekolah
menurut kelompok usia sekolah – untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen,
namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS penduduk usia 1618 tahun baru mencapai 51,0 persen. Data tersebut mengindikasikanbahwa masih terdapat sekitar
19,0 persen anak usia 13-15 tahun dan sekitar 49,0 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak
bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Terlebih lagi masih terdapat kesenjangan tingkat
13
pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan
penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di
perkotaan dan perdesaan, dan antar daerah.
Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama
dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah
perdesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan sulitnya anak-anak
terutama anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan.
Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan
kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh (1) ketersediaan pendidik yang
belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, (2) 9 kesejahteraan pendidik yang masih
rendah, (3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan (4) biaya operasional
pendidikan belum disediakan secara memadai.
Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai. Apabila
dibandingkan dengan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih sangat
rendah. Data Human Development Report 2004 mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu
1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar
1,3 persen dari produk domestik bruto (PBD). Sementara dalam kurun waktu yang sama
Malaysia, Thailand, dan Filipina secara berturut-turut telah mengalokasikan anggaran sebesar 7,9
persen, 5,0 persen, dan 3,2 persen dari PDB.
b. Kualitas Manusia Masih Rendah
Manusia yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan bonus demografi
atau the Window of Opportunity. Dengan SDM yang memadai sebuah negara dapat berkembang
dengan baik walau dengan sumber daya alam yang terbatas sekalipun seperti Singapura.
Di era globalisasi ini, manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk dalam rangka
meningkatkan daya saing antar bangsa. Untuk menjadi manusia yang berkualitas, manusia
dituntut untuk lebih berpendidikan, mempunyai keterampilan, berdaya saing tinggi, menguasai
matematik, bahasa, komunikasi dan teknologi. Maka dari itu, negara harus mempersiapkan
manusia yang sehat dan berpendidikan sedini mungkin.
Tidak lama lagi Indonesia akan menghadapi era MEA (Masyarakat Ekonomi Asean).
Persaingan dalam pasar tenaga kerja menjadi lebih luas dan menuntut kualitas SDM yang prima
dan siap bersaing. Jika kondisi tersebut tidak segera diperbaiki, tentu potensi yang dimiliki
bangsa ini justru akan dimanfaatkan oleh negara lain. Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi
surplus produksi negara-negara lain dan akan memicu neraca perdagangan Indonesia menjadi
semakin terpuruk.
c. Data Kependudukan yang Belum Memadai
Data kependudukan sangat diperlukan sebagai sumber informasi yang dapat memberikan
gambaran mengenai situasi dan kondisi kependudukan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu
dan di wilayah tertentu. Data kependudukan juga merupakan sesuatu yang penting bagi
perencanaan pembagungan suatu negara. Jika data yang disajikan baik, maka perencanaan
kependudukan akan berjalan dengan baik. Tetapi sebaliknya jika data yang disajikan tidak
akurat, maka bisa dikatakan proses perencanaan tidak akan berjalan lancar.
14
Sebagai contoh, pada pemilu presiden tahun 2014 kemarin yang dilaksanakan beberapa
bulan lalu, di suatu kabupaten di daerah Madura ketidakwajaran hasil pemilu, di mana hasilnya
100 berbanding 0 persen. Ini merupakan keanehan karena tidak mungkin di pemilihan apapun
dengan hasil seperti itu jika tidak terjadi kecurangan. Bahkan, di daerah itu nama-nama orang
yang sudah meninggal pun tercatat melakukan pemilihan. Ini sungguh menggambarkan data-data
kependudukan belum dikelola dan diawasi dengan baik.
2.3.5.4 Faktor Penghambat Peningkatan Kualitas Manusia di Bidang Ekonomi
Permasalahan kemiskinan akan dilihat dari aspek pemenuhan hak dasar, beban
kependudukan serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
a. Kegagalan pemenuhan hak dasar, antara lain:
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu
Layanan Kesehatan; (3) Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan; (4)
Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha; (5) Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan
Sanitasi; (6) Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih; (7) Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan
Penguasaan Tanah; (8) Memburuknya Kondisi Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam, serta
Terbatasnya Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Alam; (9) Lemahnya Jaminan Rasa
Aman; (10) Lemahnya Partisipasi.
b. Beban Kependudukan
Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya tanggungan keluarga dan adanya
tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data Badan Pusat Statistik,
rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga
tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang,
sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang. Dengan
beratnya beban rumah tangga, peluang anak dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan
menjadi terhambat dan seringkali mereka harus bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan
keluarga.
c. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan gender
Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang
diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda dari perempuan. Sumber
dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui
pendekatan, metodologi, dan paradigma pembangunan. Praktek pemerintahan yang bersifat
hegemoni dan patriarki, serta pengambilan keputusan yang hirarkis telah meminggirkan
perempuan secara sistematis dalam beberapa kebijakan, program dan lembaga yang tidak
responsif gender.
Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan, penyusunan program dan pembuatan
kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki. Data
tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu
mengungkap dinamika kehidupan perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan
lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan gender di
berbagai bidang kehidupan. Budaya patriarki mengakibatkan perempuan berada pada posisi
15
tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak
tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusanformal.
Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan
untuk merumuskan kebijakan publik tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral
gender hanya akan melanggengkan ketidak setaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang
berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.
Kebijakan Pembangunan Kependudukan Era Globalisasi
Arah kebijakan pembangunan kependudukan di Indonesia meliputi 3 sasaran utama,
antara lain: upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk, peningkatan kualitas dan
pengembangan SDM
1. Upaya Pengendalian Laju Pertumbuhan Penduduk
Pengendalian laju pertumbuhan penduduk diharapkan guna mencipatakan
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya tamping lingkungannya. Untuk itu
diperlukan kesadaran akan bahaya pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi. Rencana
yang di perlukan adalah penurunan angka kelahiran dan angka kematian, ujungnya dapat
diwujudkannya jumlah penduduk yang selaras dan seimbang dengan lingkungannya.
Kaitannya dengan pengendalian pertumbuhan serta kuantitas penduduk, dirasa
perlu mengembangkan upaya-upaya di bidang pendidikan kependudukan dan pendidikan
KB, utamanya menyangkut masalah pemahaman tentang agung dan indahnya sex sebagai
anugerah tuhan yang harus di rawat dan disucikan. Pula harus di mantapkan perubahan
perilaku reproduksi di masa remaja, pencegahan penyakit kelamin(HIV,aids,raja singa).
Sehingga para peserta didiknya memahami tujuan NKKBS(norma keluarga kecil bahagia
dan sejahtera)
2. Peningkatan Kualitas Kependudukan dan Pengembangan SDM.
Disamping pengendalian kuantitas penduduk juga tidak kalah pentingnya kualitas
dan pengembangan SDM, yang semakin hari keliatan semakin menentukan arah
pembangunan bangsa (Prijono, 1998)
Penignakatan kualitas kependudukan meliputi kualitas fisik, di antaranya melalui
pemantapan gizi penduduk, layanan kesehatan, kebugaran jasmani dan layanan bagi para
penduduk lansia. Sedangkan peningkatan kualitas non fisik meliputi kualitas kepribadian,
kemandirian, disiplin dan rasa ingin memanfaatkan alam sekitarnya dengan sebaikbaiknya.
Kualitas penduduk juga mengandung makna kualitas bermasyarakat, artinya
setiap insan Inhatdonesia mampu mengembangkan diri di tengah masyarakat dengan
selaras dan seimbang antar fungsinya sebagai makhluk social, makhluk budaya, makhluk
ekonomi dan makhluk politik yang sehat dan berwacana keimanan.
3. Peningkatan SDM
Sedangkan peningkatan SDM yang di maksud untuk meningkatkan setiap insan
Indonesia memiliki sifat mandiri, etos dan dedikasi kerja tinggi. Di samping itu juga
16
memahami makna kewiraswastaan yang handal hingga mampu mengembang manfaat
lingkungan hidupnya demi kesejahteraan diri dan bangsanya.
Pengembangan SDM juga memperhatikan fungsi gender, serta memberi
kesempatan kerja seluas-luasnya dan di berbagai jenis pekerjaan bagi para wanita.
Terlebih-lebih apabila kita sadari dunia wanita Indonesia saat ini tengah mengalami
perubahan sifat kerjanya, awalnya di sektor domistik bergeser ke arah sektor public, guna
meningkatkan status ekonomi setiap keluarga. Apabila strutktur dan jenis pekerjaan yang
dimiliki para wanita masih terbatas seperti masa-masa lalu, revolusi sifat kerja tersebut akan
terhambat, sebagai akbiatnya tampak dari jumlah TKI yang saat ini mencapai kurang80 lebih
1.962.000 orang, ternyata 80% adalah para TKW
Menyadari permasalahan di atas maka peningkatan kualitas hidup dan
pengembangan SDM selayaknya ditujukan ke semua kelompok dan strata umur
penduduk, dari bayi, balita, remaja, dewasa dan lansia. Hasilnya di harapkan didapatnya
SDM yang andal, mandiri, beretos kerja dan dedikasi tinggi, memiliki sifat wiraswasta,
dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal, serta berkesadaran mengurangi
pertumbuhan penduduk secara proporsional.
4. Perlu adanya unit Jaringan Informasi Kependudukan
Guna lebih memantapkan program kerja kea rah terwujudnya semua tujuan di atas, perlu di
pikirkan adanya lembaga atau unit jaringan informasi kependudukan, yang diharapkan mampu
menganilisis permasalahan kependudukan dan menyiapkan seperangkat data guna menunjang
kebijakan kebijakan kependudukan masa mendatang(Salladien, 1998)
2.4 Hal yang diperlukan diperhatikan dalam meninjau kembali kependudukan yang ada
dan merumuskan kebijakan baru
Visi dan arah dari pembangunan kependudukan perlu diperjelas. Sebelum ini, arah
kebijakan dan program-program kependudukan lebih banyak ditujukan pada target-target
kuantitatif dari parameter-parameter demografis seperti penurunan angka fertilitas dan
mortalitas, serta jumlah peserta transmigrasi. Orientasi seperti ini sebenarnya merupakan hal
yang wajar dan dipraktekan di berbagai negara. Sayangnya, target-target tersebut menjadi
sesuatu yang seolah-olah tidak bisa ditawar dan harus tercapai, apa pun jalan yang harus
ditempuh. Akibatnya, di kalangan pelaksana program biasanya diikuti dengan pendekatan yang
kurang simpatik terhadap kelompok sasaran.
Hasil-hasil dari kebijakan dan program dengan orientasi seperti itu jelas tidak cukup
memadai. Kalaupun hasilnya dianggap memadai, seperti cakupan dan prevalensi penggunaan
kontrasepsi, keberlangsungannya di pertanyakan. Oleh karenanya, orientasi pada kualitas, baik
dalam proses implementasi program maupun hasil yang dijarapkan yaitu kualitas penduduk,
sudah saatnya mejadi arah kebijakan dan program yang baru.
Penduduk yang selama ini menjadi sasaran program seringkali tidak tahu ke mana arah
mereka akan di bawa. Hal ini terkait dengan hak untuk mengetahui informasi kebijakan dan
program kependudukan serta hasilnya. Informasi kependudukan dalam berbagai bentuk data
sejauh ini terbatas penggunannya pada kalangan pemerintah, akademisi dan lembaga swadaya
17
masyarakat. Penduduk atau anggota masyarakat seolah-olah tidak perlu mengetahuinya. Pada era
reformasi seperti seakrang ini sudah seharusnya setiap orang dapat mengetahui data data itu.
Dengan kata lain, setiap orang berhak mendapatkan berbagai informasi kependudukan. Apalagi
sebenarnya tersedianya informasi yang memadai mengenai data kependudukan sebenarnya amat
penting bukan hanya untuk pemerintah dan para peniliti semata-mata, tetapi juga bagi kalangan
bisnis. `
Akses mereka yang amat terbatas terhadap data demografi dan kependudukan sering
mempersulit pengambilan keputusan mereka untuk melakukan investasi.
Berkatian dengan isu di atas, masalah kelembagaan dalam penyusunan kebijakan dan
pelaksanaan program-program kependudukan hingga sekarang belum jelas pengaturannya.
Kantor menteri negara kependudukan yang sebelumnya berdiri sendiri. Pada awal pemerintahan
presiden abdurrahmaan wahid lembaga ini di gabung menjadi satu dengan kementrian
transmigrasi, dan sekarang tidak jelas keberadaannya. Perubahan ini tentu memiliki implikasi
yang tidak sederhana terhadap orientasi dan arah kebijakan kependudukan. Perubahan struktur
seperti ini mencerminkan kurang pekanya pemerintah pusat terhadap masalah kependudukan.
Sementara masalah transmigrasi di anggap masih penting, sepertinya yang tampak dalam
struktur kementrian yang digabung dengan departemen tenaga kerja, masalah kependudukan
yang lebih luas tidak cukup diperhatikan. Hal seperti ini tentu akan menimbulkan masalah baru
terutama dalam penyusunan prioritas dan arah kebijakan kependudukan di masa mendatang.
Masalah kelembagaan lain adalah tingginya fragmentasi lembaga yang terlibat dalam
pembangunan kependudukan. Begitu banyaknya kementrian dan lemabga non departemen yang
membuat kebijakan dan program kependdukan menjadi tumpang tindih dan tidak jelas arahnya
sekedar contoh, dalam pengembangan data informasi kependudukan ada begitu banyak lembaga
yang terlibat diantaranya: Badan Pusat Statistik, BKKBN, Departemen Dalam Negeri serta
Departemen kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Contoh lain adalah penanganan penduduk
miskin yang dilakukan oleh BKKBN, Bappenas dan beberapa departemen lain. Akibatnya, ada
duplikasi dan benturan dari program-program sejenis yang dilakukan oleh berbagai departemen
dan lembaga nondepartemen.
Keserasian kebijakan dan program tidak hanya dituntut pada tingkat pusat. Keserasian
kebijakan dan program pada tingkat nasional dengan daerah seharusnya menjadi salahs satu
sasaran kinerja program. Sudah lama isu ketidakserasian program pada tingkat pusat dengan
daerah terjadi. Tetapi selama ini tidak ada upaya yang serius untuk memecahkannya.
Desentralisasi yang berarti pemberian peran dan kewenangan daerah yang lebih besar sejauh ini
masih merupakan retorika daripada upaya pembagian ruang yang lebih besar kepada daerah
untuk merumuskan kebijakan dan programnya sendiri. Hal ini adalah salah satu rencana besar
dalam perubahan pemerintahan yang mensyaratkan perencanaan yang matang. Untuk sampai
pada tahap itu juga tidak mudah. Masih banyak kendala nantinya akan menjadi penghambat.
Salah satunya adalah kurangnya sumber daya yang memadai, khususnya kemampuan birokrasi di
daerah untuk mengambil alih tugas wewenang yang selama ini bukan menjadi tanggung jawab
mereka. Pada sisi lain desentralisasi memungkinkan adanya kinerja yang efektif dan efesien
misalnya pada tingkat kabupaten masalah fertilitas, morbiditas dan mortalitas ditangani oleh satu
dinas yaitu dinas kesehatan.
18
Ada beberapa isu lama yang masih terus menjadi perhatian seperti masalah perempuan,
penduduk usia lanjut, penduduk miskin dan penduduk di pedesaan (Dwiyanto 1997). Beberapa
isu ini sering menjadi sorotan pada tingkat kebijakan dan program secara angina-anginan. Di
samping itu, seperti disebutkan pada pembahasan isu kedua kelompok penduduk ini lebih banyak
dijadikan sebagai objek kebijakan dan program pembanguna tanpa ada upaya secara lebih serius
untuk menanganinya.
Indonesia yang aktif berpartisipasi dalam berbagai pertemuan tingkat dunia untuk
masalah kependudukan maupun perempuan dan meratifikasi hasil-hasilnya, tidak cepat
mengimplementasikan dalam bentuk program-program nyata. Oleh karenanya, tidak
mengherankan bila aparat kehakiman masih ada yang tidak ibat dengan korban pemerkosaan.
Pemerintah sepertinya juga menutup mata terhadap para tenaga kerja perempuan yang nasibny
seperti sapi perahan, baik ketika di dalam negeri maupun luar negeri.
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang muncul berkaitan dengan
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut juga tidak jelas. Ada kesan yang kuat bahwa
permasalahan usia lanjut diserahkan pada keluarga. Sikap seperti ini menunjukkan
ketidaksensitifan pemerintah terhadap masalah yang berkembang. Bagaimana mungkin orang
usia lanjut dapat mengandalkan anak-anaknya untuk memelihara mereka sementara bentuk dan
struktur keluarga telah berubah derastis. Sikap tidak mengacuhkan kondisi usia lanjut seperti ini
menyebabkan orang-orang lanjut usia merasa sangat tidak terjamin hidupnya. Mereka kemudian
ingin mati saja daripada harus menderita.
2.4.4 Arah Kebijakan Kependudukan
Program kependudukan adalah investasi jangka panjang untuk beberapa generasi, yang
hasilnya tidak dapat dirasakan seketika. Namun merupakan upaya sistematis dan terencana untuk
membangu kualitas manusia, pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Arah kebijakan yang perlu dilakukan ke depan diantaranya:
Mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk secara konsisten.
Melakukan advokasi atau sosialisasi terhadap dampak laju pertumbuhan
penduduk tinggi terhadap pemenuhan hak-hak dasar penduduk.
Memastikan early childhood development yang baik.
Wajib belajar lebih dari 9 tahun untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas
SDM generasi muda masa depan serta mempermudah akses untuk menempuh
perguruan tinggi.
Membina remaja agar memiliki karakter yang kuat dan baik yang kuat mengatasi
akibat negatif dari tereksposnya HIV/AIDS, narkoba, seks bebas, serta berbagai
ancaman baru dalam kesehatan
Peningkatan kualitas sumberdaya penduduk usia kerja.
Peningkatan kesempatan kerja, sehingga Rasio Ketergantungan dan Jendela
kesempatan benar-benar bermakna, dapat bersaing secara nasional dan global,
menguasai iptek, IT, matematika, bahasa untuk dapat berkomunikasi.
19
Peningkatan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan lanjut usia dalam mencapai
active ageing.
Mengingat bahwa meskipun laju pertumbuhan penduduk telah menurun, namun jumlah
absolute penduduk Indonesia masih akan terus bertambah di masa yang akan datang. Semakin
banyak jumlah penduduknya, maka pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, energi,
pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan dan pelayanan publik lainnya.
Oleh karena itu, arah kebijakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka menurunkan
pertambahan jumlah penduduk diantaranya:
1. Meneruskan upaya pengendalian penduduk dengan sangat memperhatikan hak
reproduksi, hak azasi, serta kesejahteraan keluarga, hal yang dapat dilakukan
pemerintah diantaranya
a. Meneruskan dan merevitalisasi kembali program KB dengan penentuan
sasaran yang jelas.
b. Memantapkan kembali pelembagaan paradigm keluarga kecil bahagia dan
sejahtera. Dalam hal ini keluarga-keluarga perlu diarahkan kepada
perubahan paradigma cara berfikir tentang nilai anak. Anak sebagai
keturunan perlu biaya social, ekonomi, dan psikologi agar menjadi anak
yang mandiri, sehat dan berpendidikan. Untuk itu agar mereka memiliki
anak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.
2. Pengendalian mobilitas penduduk. Dalam rangka mengatasi permasalahan
terkait dengan mobilitas, maka perlu adanya kerja sama dari Pemda dengan
lembaga terkait untuk pemerataan pembangunan.
3. Urbanisasi dan kemiskinan. Masalah urbanisasi yang tidak dapat diatasi dengan
baik akan berdampak pada kemiskinan penduduk. Maka dari itu, untuk
mengantisipasi hal ini perlu ada kerjasama dengan sektor lain yang menangani
masalah kemiskinan dan urbanisasi.
4. Peningkatan kualitas SDM