Aktualisasi Etika Bisnis Al Ghazali Dala

Aktualisasi Etika Bisnis Al-Ghazali
Dalam Membangun Mekanisme Pasar Islami
Oleh:
Fahadil Amin Al Hasan

Aktivitas ekonomi dan bisnis merupakan salah satu aktivitas yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan seorang manusia. Ia merupakan hal terpenting sebagai
implikasi dari kondrat manusia yang merupakan makhluk sosial. Tanpa adanya
aktivitas tersebut, mustahil bagi manusia dapat menjalankan kehidupannya secara
sempurna. Selain itu, bisnis juga merupakan salah satu pilar dalam penopang
perkembangan ekonomi dan pembangunan di suatu negara.
Tujuan utama bagi pelaku ekonomi dan bisnis ialah untuk meraup keuntungan
setinggi dan sebesar mungkin. Namun ada kalanya yang ia dapatkan bukannya
keuntungan tetapi sebaliknya, yang ia dapatkan hanyalah sebuah kebuntungan.
Lantas apa yang menjadi penyebabnya? Apakah karena sistem yang
dijalankannya, ataukah ada hal penting lainnya tidak diikutsertakan dalam sebuah
aktivitas bisnis?
Dalam hal ini, penulis berasumsi bahwa salah satu penyebab utamnya ialah
moral atau etika yang dikesampingkan dalam aktivits bisnis yang ia lakukan.
Aktivitas semacam ini sangat dipengaruhi oleh paham neo-klasik model Walrasian
yang dengan tegas menolak pengaruh faktor etika dalam proses pembuatan

kebijakan oleh konsumen/produsen dalam sebuah bisnis (Syed Nawab Haider
Navqi, 2003: 183). Padahal faktanya, moral atau etika itu sangat penting dalam
dunia bisnis. Dan memang bisnis seharusnya dinilai dari sudut pandang moral, sama
seperti semua kegiatan manusia lainnya juga dinilai dari sudut pandang moral (K.
Berten, 2000: 05). Dengan demikian, unsur etika sangat penting untuk dihadirkan
dalam sebuah aktivitas ekonomi dan bisnis. Dalam hal ini, terdapat beberapa
contoh perusahaan besar yang merugi bahkan sampai pada tingkatan collapse
sebagai akibat tidak dihadirkannya unsur etika di dalamya. Misalnya beberapa
waktu terakhir dikabarkan bahwa perusahan ritel Hero telah menutup banyak
cabangnya (http://market.bisnis.com), ditutupnya swalayan Macan Yaohan di
Medan (http://medansatu.com), ditutupnya Mall Cilandak, dan beberapa kasus
lainnya.
Dalam Islam, etika pada aktivitas ekonomi dan bisnis tidak hanya mengenai
pelayanan ataupun keterbukaan perusahaan saja, namun lebih komplek daripada
itu. Sebenarnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan praktik ekonomi dan bisnis
telah dicontohkan oleh rasulullah saw melalui sebuah mekanisme pasar secara
Islami. Nilai-nilai yang diajarkan rasul tersebut direduksi melalui pemikiran al-Ghazali
yang dengan secara gamlang beliau berhasil menjelsakan kepada segenap kaum
muslim bagaimana ber-bisnis dan ber-muamalah secara Islami. Berikut adalah
beberapa intisari pemikiran al-Ghazali yang berkaitan dengan etika yang harus

disertakan dalam sebuah aktivitas ekonomi dan bisnis.
Al-Dunya’ Mazratul Akhirah
Salah satu gagasan Al-Ghazali yang paling penting mengenai urusan ekonomi
dan bisnis ialah bahwasannya segala kerja keras yang dilakukan di dunia ini bukan
hanya untuk kehidupan sesaat, namun lebih dari itu, yaitu untuk kehidupan hakiki di
akhirat kelak. Kegiatan ekonomi seorang muslim meliputi waktu yang lebih luas,
dunya dan akhirat (Abu Hamid al-Ghazali, Jilid IV, 1993). Dengan demikian, tidak

selayaknya bagi seorang muslim untuk bermalasan dan berpangku tangan, karena
sebenarnya status manusia yang paling hakiki ditentukan oleh produktivitas
kerjanya (Al-Ghazali, Jilid II, t.th: 793). Walaupun Al-Ghazali termasuk seorang sufi,
namun ia tidak membolehkan sifat-sifat untuk menjauhi dunia, hidup tanpa
berusaha dan hanya beribadah kepada Allah tanpa mencari rizki. Ia mengecam
orang-orang yang menganggur, hidup malas dan menyusahkan kepada orang
lain, apalagi meminta-minta, karena hal tersebut adalah salah satu yang dibenci
Allah (Al-Ghazali, Jilid II, t.th: 758).
Dalam aktivitas ekonomi dan bisnis, seseorang tidak diperkenankan melakukannya hanya sekedar saja, ia harus melakukan secara sepenuh jiwanya, karena
apabila dilakukan, potensi untuk ia bershaqah dan memuliakan orang-orang kafir
semakin besar. Oleh karenanya, beliau berpandangan bahwa kegiatan bisnis itu
adalah sesuatu yang illegitimate, namun beliau mendorong dan menganjurkan

untuk terlibat dalam kegiatan bisnis (Al-Ghazali, Jilid II, t.th: 759).
Kemashlahatan (Kesejahteraan Sosial)
Pandangan Al-Ghazalitentang sosial-ekonominya didasarkan pada konsep
yang disebut dengan fungsi kesejahteraan social (Al-Ghazali, Jilid II, t.th: 318-319).
Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syari’ah yang terletak pada
perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasab), dan harta
(mal). Al-Ghazala telah mengidentifikasi semua masalah baik berupa mashalih
maupun mafasid dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Ia menjabarkan
kesejahteraan sosial tersebut dalam kerangka hiraki kebutuhan individu dan sosial.
Adapun hirarki tingkatan tersebut adalah:
 Dharuriyyah, terdiri dari seluruh kativitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk
memelihara kelima prinsip tersebut.
 Hajjiyyah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi
pemeliharaan kelima prinsip tersebut, tetapi dibutuhkan untuk meringankan
dan menghilangkan rintangan dan kesukaran hdup.
 Tahsiniyyah, yaitu berbagi aktivitas dan hal-hal yang melewati batas hajah (AlGhazali, Jilid II, t.th: 123-124).
Nilai-nilai Kebaikan
Dalam praktek ekonomi dan bisnis Al-Ghazali memberikan rekomendasi agar
para ekonom atau pembisnisislam memperhatikan masalah moral dalam
berbisnis.Ia menyebutkan beberapa cara untuk mempraktekan perilaku baik dalam

berbisnis, diantaranya ialah:
1. Menghindari diri untuk mengambil keuntungan secara berlebihan.
2. Rela merugi ketika melakukan transaksi dengan orang miskin.
3. Kemurahan hati dalam menagih hutang.
4. Kemuran hati dalam membayar hutang.
5. Mengabulkan permintaan pembeli jika untuk membatalkan jual beli jika pihak
pembeli menghendakinya, atau sebaliknya.
6. Menjual makanan kepada orang miskin dengan cara angsuran dengan
maksud tidak meminta bayaran bilamana mereka belum mempunyai uang
dan membebaskan mereka dari pembayaran jika meninggal dunia (Al-Ghazali,
Jilid II, t.th: 793-801).
Al-Ghazali pun memberikan pedoman untuk menyempurnakan akhlak/etika
ketika melakukan aktivitas bisnis dan ekonomi, yaitu:

1. Setiap hari harus memperbaharui niat dan akidah yang baik untuk memulai
aktivitas bisnis.
2. Tujuan melakukan bisnisnya adalah untuk menunaikan fardu kifayah atau tugas
dalam bermasyarakat.
3. Kedibukan dalam menjalankan aktivitasnya tidak menghalangi untuk
mengingat Allah.

4. Tidak rakus dan serakah.
5. Dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk menjauhi yang haram saja,
namun senantiasa memelihara diri dari perbuatan Syubuhat.
Berusaha untuk menjaga diri melakukan transaksi dengan orang-oraang yang tidak
adil (Al-Ghazali, Jilid II, t.th: 793-801).
Jauh dari Perbuatan Riba
Bagi al-Ghazali, larangan riba adalah bersifat muthlak.Argument yang dikemukakan beliau adalah bukan hanya sebagai perbuatan dosa, namun memberokan
kemungkinan terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan dalam transaksi.
SelanjutnyaAl-Ghazali menyatakan, bahwa menetapkan bunga atas utang
piutang berarti membelokan uang dari fungsi utamanya, yakni sebagai alat tukar
saja. Oleh karena itu, jika uang yang diterima lebih banyak dari jumlah yang
diberikan akan terjadi perubahan standar nilai. Dan ini perbuatan ini terlarang.Ia
mengatakan: “jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dinar lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya.
Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk
menghasilkan uang…..1
Dengan demikian, segala bentuk penopang dalam aktivits ekonomi dan bisnis
seorang muslim harus dijauhkan dari transaksi ribawi kecuali dalam keadaan
dharurat.

1


Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum.jilid V; 769