Bentuk Identitas dan Pola Relasi Sosial

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

Bentuk Identitas dan Pola Relasi Sosial di Era Tinder

Abstrak
Globalisasi telah membawa berbagai kemajuan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya
adalah kemajuan teknologi. Sejak kemunculannya, teknologi mengambil bagian penting
dalam perubahan struktur masyarakat. Perubahan struktur tersebut mulai terlihat pada masa
industri dimana skilled labour ditentukan oleh penguasaan terhadap teknologi yang berkaitan
dengan industri masa itu. Lebih jauh, kemajuan teknologi di bidang informasi bahkan
berhasil mengubah pola relasi masyarakat melalui cara-cara baru. Pola relasi baru tersebut
tidak terlepas dari munculnya aplikasi-aplikasi yang memungkinkan komunikasi antar
pengguna secara online. Hal ini tentu berbeda dengan komunikasi konvensional yang
dilakukan melalui face to face. Bentuk komunikasi baru ini memancing kemunculan aplikasiaplikasi yang tidak hanya memperbolehkan adanya komunikasi secara online, namun juga
memungkinkan pengguna untuk memiliki teman baru dalam dunia maya. Keadaaan tersebut
menjadi dasar terbentuknya pola relasi yang berbeda dengan sebelumnya, tidak hanya dalam
bermasyarakat namun juga dalam memilih pasangan hidup. Dengan bantuan teknologi
internet, bukan hal yang tidak mungkin bagi masyarakat untuk melakukan kencan secara
online (online dating) dengan pasangan yang ditemukan secara online pula. Salah satu

aplikasi yang memungkinkan hal tersebut terjadi adalah Tinder. Tinder berperan dalam
mengubah pola relasi yang ada di dunia nyata melalui pengguna online dating yang berhasil
hingga ke tahap pernikahan dan memiliki pola relasi yang cukup berbeda dengan masyarakat
pada umumnya. Di sisi lain, keterbatasan Tinder dalam mengungkap keadaan pengguna yang
sebenarnya menjadi celah untuk melakukan manipulasi terhadap identitas asli. Keadaan ini
menjadi menarik untuk diteliti terkait dengan perubahan pola relasi dan bentuk identitas yang
dimunculkan oleh pengguna dalam aplikasi Tinder.
Abstract
Globalization has brought various change to the society, such as advance technoogy. Since,
technology took important place within structural changes on society. These structural
changes seemed clearly during the industrial period when skilled labour determined by the
ability to maintain technology related to their work. Moreover, the advancement of
informational technology succeeded to alter pattern of social relation through new ways of
communication. These patterns couldn’t be separated from the applications that came up and

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

delivered possibility for online communication which way different from conventional

communication through face to face. This new era of communication triggered the emergence
of applications not only for communication but also allows users to meet new friends from
online database. This situation be the basic reason that formed new pattern of social relation
even on choosing partner or spouse. By the internet, there no impossible for society to do
such as online dating with the new partner met by online. One of application provide such
features is Tinder. Tinder has a role on changing pattern of relation in the real life through its
users that succeeded until marriage process and of course have different way of interaction
from common society. Besides, the restrictiveness of Tinder revealing the true selfpresentation of users make it possible for users to manipulate such data about their genuine
identity. This condition is intersting to explain regarding to its ability to change the pattern of
social relation and form of identity or self-presentation by users on Tinder application.
Keyword : online dating, Tinder, self-presentation, social relation
Globalisasi dan Masyarakat Informasi
Kemunculan globalisasi telah membawa banyak perubahan terhadap tatanan masyarakat
global. Globalisasi semakin terlihat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat setelah
kemunculan berbagai macam teknologi. Globalisasi teknologi oleh Drori (2007: 304)
dijelaskan memiliki setidaknya 5 (lima) dampak perubahan. Dampak pertama adalah adanya
perubahan dalam sektor ekonomi, hal ini berkaitan dengan adanya gobal e-economy di masa
post-industri atau masa teknologi informasi. Perubahan ini terlihat pada peralihan fokus
seperti dari agrikultur ke pelayanan, dari penggunaan tenaga kerja beralih ke penggunaan
teknologi, dan penentuan skilled labor yang ditekankan pada kemampuan mengoperasikan

teknologi. Dampak kedua berkaitan dengan kemunculan e-governance, yaitu perubahan
teknologi di berbagai bidang turut mengubah pola hubungan politik, mulai dari rezim hingga
aliansi politik antar-negara. Ketiga adalah kemunculan unsur globality, dimana kemunculan
teknologi informasi pada era globalisasi dimaksudkan untuk memberikan akses informasi
kepada seluruh tingkatan masyarakat, dibuktikan dengan pernyataan Tim Berners-Lee ‘the
essence of the Web is that it’s universe of information’. Dampak keempat adalah bahwa
kemunculan age of network menuntut adanya perubahan pada masyarakat sosial untuk
semakin terkoneksi ke dalam jaringan internet. Kelima, world norms dimana saat ini
teknologi menjadi hal yang penting dalam masalah justice, ketika keadilan diartikan sebagai
pemerataan distribusi teknologi.

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

Kelima dampak yang disampaikan oleh Drori (2007: 304-8) tersebut memiliki kaitan erat
dengan pernyataan Castell (2004) mengenai masyarakat jaringan. Kelima hal tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat jaringan telah lahir seiring dengan berkembangnya
teknologi dan berpengaruh terhadap tatanan serta pola relasi masyarakat dunia. Teknologi
berperan dalam menyebarkan jaringan yang lebih luas lagi sehingga tatanan serta pola yang

ada di suatu tempat dapat dengan mudah diadopsi di tempat lain. Dampak keempat, berkaitan
dengan age of network, menekankan bahwa perkembangan internet telah berhasil menggeser
pola interaksi masyarakat untuk lebih menuju ke dunia virtual. Pergeseran ini ditandai dengan
adanya ruang interaksi yang lebih efisien, dalam artian dengan waktu yang mendekati real
time jika dibandingkan pada pola interaksi sebelumnya. Hal ini dikarenakan interaksi yang
dilakukan oleh masyarakat jaringan mengandalkan teknologi berupa perangkat dan aplikasi
yang diintegrasikan dengan internet berkecepatan tinggi (Capra, 2002). Lyon (2002: 22)
bahkan menyebut teknologi informasi dan komunikasi telah merubah private sphere menjadi
public sphere dimana masyarakat dapat saling terhubung tanpa adanya restriksi khusus.
Menurut Craig Calhoun (1999 dalam Lyon, 2002: 24), pola interaksi masyarakat di era
globalisasi dan teknologi informasi telah melahirkan 4 (empat) bentuk interaksi. Pertama
adalah interkasi konvensional yang telah ada sejak awal kemunculan manusia, yaitu interaksi
dengan cara face to face. Kedua adalah indirect interaction yang diawali dengan penggunaan
surat sebagai wakil komunikasi, dilanjutkan dengan adanya electronic mail hingga
kemunculan aplikasi yang memungkinkan interaksi secara virtual. Bentuk ketiga adalah
physical copresence yaitu interaksi yang dilakukan oleh manusia dengan teknologi yang
berperan sebagai counter interaction, contohnya adalah interaksi manusia dengan mesin
ATM. Bentuk interaksi terakhir adalah kemampuan teknologi untuk menangkap informasi
dari pengguna tanpa perlu adanya tanggapan dari pengguna, contohnya adalah mesin
pencarian Google yang menggunakan data pencarian pengguna untuk memunculkan

pencarian terpopuler (Calhoun, 1999 dalam Lyon, 2002: 24).
Keadaan masyarakat informasi serta munculnya pola-pola interaksi baru dalam masyarakat
seolah membenarkan pernyataan mengenai dampak dan bentuk interaksi yang disampaikan
oleh Drori (2007: 304-8) dan Lyon (2002: 24). Kesesuaian tersebut didukung dengan
kemunculan aplikasi-aplikasi yang memudahkan masyarkat untuk menjalin interaksi secara
virtual tanpa membutuhkan keadaan face to face. Hal ini sejalan dengan keberadaan age of
network dimana manusia seolah dituntut untuk turut serta bergabung ke dalam jaringan
virtual yang ada. Penguasaan terhadap jaringan beserta aspek yang terintegrasi ke dalam

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

jaringan menjadi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dorongan tersebut kemudian
banyak melahirkan pola interaksi kedua, yaitu indirect interaction. Para ahli teknologi
kemudian melihat pola interaksi baru sebagai sebuah peluang untuk menciptakan aplikasi
yang mendukung indirect interaction agar memudahkan penyebarannya ke masyarakat. Hal
ini secara tidak langsung turut berpengaruh terhadap banyakanya interaksi yang terjalin
antara orang-orang yang socially impaired namun secara teknologi memiliki hubungan dan
saling berinteraksi. Di sisi lain, hal ini turut menjadi menimbulkan efek baru di masyarakat

ketika intensitas komunikasi melalui teknologi tidak diimbangi dengan intensitas yang
dilakukan di dunia nyata.
Pada dasarnya, minimnya intensitas interaksi yang dilakukan di dalam dunia nyata seolah
tidak menjadi masalah besar bagi para pengguna aplikasi yang memungkinkan indirect
interaction tetap terjadi. Salah satu alasannya adalah banyaknya fitur-fitur yang disediakan
oleh pengembang aplikasi sehingga interaksi yang dilakukan tetap memiliki kesan nyata.
Banyak aplikasi atau media sosial yang telah menambahkan fitur panggilan bergambar yang
memungkinkan pengguna untuk saling bertatap muka meskipun hanya melalui layar.
Penambahan fitur ini bahkan dinilai berhasil meningkatkan pengguna aplikasi. Namun,
banyaknya celah yang ada dalam aplikasi ataupun media sosial memungkinkan pengguna
untuk melakukan manipulasi akun. Keadaan ini disebut oleh Lyon (2002: 22) sebagai peluang
untuk melahirkan Multi-User Dimensions (MUDs). MUDs di sini dapat diartikan sebagai
keadaan pengguna yang berupaya untuk memperlihatkan new selves melalui akun palsu
ataupun melebih-lebihkan informasi yang diberikan pada akun asli. MUDs banyak terjadi
pada media sosial, khususnya pada media yang membutuhkan ketertarikan dari viewer untuk
memulai interaksi seperti Twitter, Instagram, Youtube, dan Tinder. Beberapa media sosial
bahkan memunculkan jumlah pengikut (follower) dan mengikuti (following) yang
mengindikasikan kepopuleran sebuah akun. Media sosial tersebut mendorong pengguna
untuk berusaha menampilkan sisi terbaiknya bahkan dengan cara memanipulasi atau
melahirkan identitas baru. Keadaan tersebut dapat dengan mudah ditemui di berbagai bentuk

media sosial, terlebih media sosial yang memfasilitasi online dating seperti Tinder.
Penggunaan MUDs dalam media sosial tidak terlepas dari kepentingan self-presentation dan
management impression. Self-presentation dapat diartikan sebagai upaya yang dimaksudkan
untuk membentuk, memodifikasi, ataupun mengatur kesan di hadapan orang lain. Hal ini
umum terjadi dalam kehidupan sosial, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Selfpresentation juga berkaitan dengan peran individu dalam melakukan interaksi dengan

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

masyarakat atau individu yang lainnya (Goffman, 1959 dalam Anon, 2013). Self-presentation
dapat dibentuk melalui management impression, yang dalam interaksi virtual dilakukan
dengan menampilkan profil sebaik mungkin melalui teks ataupun foto.
Identitas dan Pola Interaksi dalam Online Dating : Tinder
Pada dasarnya, online dating telah ada sejak awal kemunculan internet. Melalui teknologi
komputer dan algoritma, pengguna layanan online dating dipertemukan dengan pasangan
melalui banyaknya kecocokan dan preferensi pada lawan. Keadaan ini tentu berbeda dengan
keadaan sebelum kemunculan online dating, dimana manusia akan memilih pasangan
berdasarkan orang yang pernah ditemui secara face to face. Homnack (2015: 2) kemudian
mulai mengeluarkan asumsi bahwa online dating akan berpengaruh terhadap cara interaksi

seseorang, bentuk hubungan, dan pengelolaan hubungan. Lebih jauh, hal ini dinilai dapat
berdampak pada pemikiran atas ekspektasi yang tidak realistis hingga melakukan isolasi dari
masyarakat. Janet Burder melalui wawancara yang dilakukan oleh Homnack (2015: 3)
mengatakan bahwa online dating memungkinkan seseorang untuk memilih pasangan dalam
waktu yang cukup singkat, sedangkan di masa sebelumnya pasangan ditentukan dengan
banyak pertimbangan dan waktu yang lama. Hal ini juga dianggap akan menghilangkan
kesempatan bagi pengguna untuk bertemu dengan orang yang mungkin lebih cocok dengan
ekspektasi yang sebenarnya di dunia nyata.
Melihat sejarah kemunculan online dating, Whitty dan Carr (2006 dalam James, 2015: 7)
menjelaskan bahwa sebelumnya online dating bahkan dianggap sebagai hal yang cukup
negatif dan para pengguna online dating akan dianggap sebagai individu yang desperate atau
socially inept. Pandangan tersebut mulai berubah seiring dengan kemunculan film berjudul
You’ve Got Mail. Namun demikian, pandangan negatif masih terus ada di kalangan
masyarakat, bahkan beberapa di antaranya menganggap online dating sebagai hal yang
berbahaya. Beberapa penelitian kemudian mengungkapkan bahwa selain single, alasan untuk
menjadi pengguna online dating adalah homoseksual dan minority sexual orientation. Hal ini
turut membuktikan bahwa online dating tidak berkaitan langsung dengan penghasilan dan
tingkat pendidikan.
Sejak kemunculan internet, banyak online dating berbasis website yang memungkinkan
pengguna untuk memilih pasangan hanya berdasarkan pada informasi yang diberikan oleh

pengguna lain. Generasi pertama online dating adalah website dengan nama Match.com yang
diresmikan pada tahun 1995 dan memberikan kesempatan bagi pengguna untuk post profil

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

dan memilih pasangan melalui situs tersebut. Generasi kedua muncul pada tahun 2000
dengan nama eHarmony dan mulai menggunakan konsep algoritma untuk memasangkan
pengguna atas kesamaan karakteristik dan ketertarikan (James, 2015: 5). Kemudian lahir
Ashley Madison, yang bahkan berhasil menjadi isu global lantaran pembajakan atas data para
pengguna yang mencakup berbagai kalangan masyarakat, mulai dari pegawai pemerintah,
selebriti, hingga anggota Parlemen Inggris (Homnack, 2015: 10). Homnack (2015: 3)
menambahkan pendapat bahwa perkembangan yang terjadi dalam online dating turut
menciptakan 3 (tiga) dimensi baru dalam pola dating interaction, yaitu kemudahan untuk
melakukan evaluasi terhadap pasangan, banyaknya teknologi yang memungkinkan untuk
melakukan komunikasi, dan pemilihan pasangan melalui algoritma. Tiga dimensi ini
kemudian turut berpengaruh terhadap kemampuan kognitif manusia yang semakin menurun,
kurang selektif, dan menurunkan kualitas pilihan. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan sekelompok orang untuk memilih profil dalam aplikasi

dating online antara 30, 60, dan 90 profil. Hasil membuktikan bahwa semakin banyak opsi
akan semakin menurunkan kualitas pilihan.
Berbeda dengan Match.com dan turunannya, Tinder merupakan aplikasi online dating yang
memberikan pilihan berdasarkan pada lokasi dan pengguna yang terintegrasi dengan
Facebook. Aplikasi yang diluncurkan pertama kali pada tahun 2012 ini telah digunakan di
lebih dari 196 negara pada tahun 2014. Aplikasi Tinder memberikan tampilan berupa berupa
profil yang berisi hingga 7 (tujuh) foto, kesamaan ketertarikan dengan pengguna, serta teman
yang sama dari Facebook pengguna. Integrasi dengan Facebook dalam Tinder bertujuan
untuk mengurangi adanya manipulasi akun ataupun penyalahgunaan akun. Penggunaan
Tinder pun tergolong cukup mudah karena pengguna hanya perlu melakukan swipe ke arah
kanan, kiri, atau ke atas. Swipe inilah yang menentukan pilihan pengguna, dimana kanan
berarti suka, kiri mengindikasikan tidak suka dan mengeliminasinya dari pilihan, dan atas
menunjukkan super like (Homnack, 2015: 4). Pengguna baru dapat melakukan chat dengan
pengguna lain apabila keduanya telah melakukan saling melakukan like. Kemudahan ini turut
berpengaruh terhadap selera remaja dalam menentukan pasangan, yaitu lebih menekankan
hanya sebatas pada penampilan. Atas kemudahan swipe yang diberikan, Tinder telah menjadi
aplikasi online dating terkemuka dengan jumlah lebih dari 20.000 unduhan setiap harinya.
Data 2014 bahkan menyatakan bahwa Tinder telah menghasilkan 1,4 milyar swipe per hari
dengan 26 juta pasangan per hari (Wortham, 2013 dalam James, 2015: 1). Di sisi lain,
kemudahan tersebut menjadikan manusia terlihat lebih acuh untuk memperhatikan nilai-nilai


UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

yang ada pada pengguna lain. Penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa kebanyakan orang
akan lebih terbuka terhadap informasi personal melalui aplikasi online daripada melalui
interaksi face to face.
Jika online dating website menyediakan berbagai macam pertanyaan sebelum melakukan
sign up, Tinder merupakan aplikasi yang bebas untuk diunduh dan bersifat self-selection.
Untuk mendaftar sebagai pengguna Tinder pun tergolong cukup mudah, dimana pengguna
hanya perlu mencantumkan jenis kelamin, lokasi, dan orientasi seksual untuk kemudian
disambungkan dengan pengguna lain di lokasi yang berdekatan (James, 2015: 1). Di era
teknologi, online dating menjadi pilihan bagi individu yang mencari hubungan dengan bentuk
baru. Data pada 2012 menunjukkan bahwa dari 54 juta individu di Amerika Serikat, 40 juta di
antaranya mengaku pernah mencoba online dating, bahkan banyak berhasil hingga ke tahap
pernikahan (StatisticBrain.com, 2012 dalam James, 2015: 5). Perbedaan yang mendasar
antara online dating dan conventional dating adalah keberadaan online dating yang
memungkinkan pasangan untuk saling berkomunikasi melalui situs atau aplikasi sebelum
akhirnya memutuskan untuk bertemu.
Merujuk pada pernyataan Zytko et al. (2014 dalam Haferkorn dan Weber, t.t: 2), masyarakat
yang hidup dalam media sosial dan memiliki tujuan tertentu akan cenderung untuk
mempelihatkan sisi baik dalam kehidupannya, demikian pula dengan pengguna online dating
Tinder. Hal positif dari keadaan ini adalah adanya peluang bagi kaum minoritas untuk keluar
dari strereotipnya dan mulai melakukan manajemen untuk memunculkan first impression
yang baik dalam media sosial. Berangkat dari pernyataan tersebut, online dating dapat
dijadikan sebagai kasus unik mengenai self-presentation dan impression management dalam
jaringan sosial, hal ini dikarenakan pengguna akan memilih pasangan hanya dari profil yang
ditampilkan. Hal lainnya adalah bahwa pengguna aplikasi juga akan mencari pasangan yang
memiliki banyak kemiripan informasi yang disampaikan di profilnya. Menurut Lim et al.
(2008 dalam Haferkorn dan Weber, t.t: 2) kesan pertama menjadi penting karena sulit untuk
mengubahnya. Demi mendapatkan kesan pertama seperti yang diinginkan, pengguna akan
mencoba untuk mengevaluasi informasi yang ada ada profil agar pengguna lain memiliki
kesan pertama sebagaimana diinginkan. Inilah yang kemudian disebut sebagai impression
management. Analisa sosial yang dilakukan oleh Kramer dan Winder (2008 dalam Haferkorn
dan Weber, t.t: 3) menunjukkan bahwa impression management tidak dapat dipisahkan dari
banyaknya teman virtual, rincian profil yang ditampilkan dan gaya foto. Sedangkan Pike et
al. (2012 Haferkorn dan Weber, t.t: 3) melihat bahwa individu dalam media sosial akan

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

mengatur dirinya sesuai dengan kelompok yang ada dalam media tersebut. Namun demikian,
pengguna cenderung menghindari adanya kebohongan untuk terlihat menarik. Pengguna akan
mencoba menarik pengguna lain dengan menampilkan sisi positif dirinya.
Berkaitan dengan interaksi sosial dalam dunia maya, beberapa ahli mulai melihat gender
sebagai salah satu aspek penting yang menunjukkan adanya perbedaan dalam interaksi. Hal
ini dapat dibuktikan dengan menggunakan algoritma dimana topik bahasan antara wanita dan
pria dalam dunia maya cenderung berbeda. Wanita akan cenderung membahas perihal yang
bersifat self-centered, sedangkan pria lebih kepada topik yang dianggap penting (Haferkorn
dan Weber, t.t: 4). Haferkorn dan Weber (t.t: 4) kemudian secara khusus membahas tentang
online dating dan bagaiaman pengguna berhubungan dengan antar-pengguna, platform dan
bagaimana mereka melakukan self-presentation. Dalam berhubungan dengan pengguna lain,
penelitian menunjukkan bahwa tingkat respon terhadap pria akan meningkat ketika ia
menulis pesan yang panjang kepada wanita. Sedangkan wanita justru membutuhkan sedikit
tulisan untuk menarik pria. Wanita juga cukup selektif dalam membalas pesan daripada pria.
Sedangkan dalam kaitannya dengan platform, Umyarov et al. (2013 dalam Haferkorn dan
Weber, t.t: 4) menyampaikan bahwa keberadaan fitur anonymous turut berperan dalam
meningkatkan tingkat kunjungan terhadap profil. Selanjutnya, terkait dengan selfpresentation, pengguna akan berusaha untuk meningkatkan tampilan identitasnya apabila
memiliki tujuan yang cukup signifikan. Hal ini berkaitand dengan keberhasilan online dating
yang dapat diprediksi melalui level of self-disclosure yang mencakup 4 (empat) hal, yaitu
kejujuran, kuantitas, maksud, dan valensi. Namun, Chiambaram et al. (2008 dalam Haferkorn
dan Weber, t.t: 4) menyatakan bahwa sampai saat ini 9 dari 10 pengguna masih berbohong
mengenai keadaan dirinya, sebagaimana pria berbohong mengenai tinggi dan wanita
berbohong mengenai berat badan. Hal ini membuktikan bahwa baik pria ataupun wanita
memiliki taktik yang sama dalam melakukan self-promotion.
Pada dasarnya, ada beberapa alasan yang mendasari individu untuk mengatur selfpresentation hingga sedemikian rupa. Pertama adalah untuk kepentingan interaksi sosial,
dimana setiap individu memiliki peranan yang harus dilakukan. Goffman (1959 dalam Anon,
2013) menyatakan bahwa kehidupan sosial sejatinya sangat terstruktur sehingga individu
memiliki kewajiban untuk berperan sebagaimana strktur yang ada. Contohnya, dalam
melakukan interaksi online dating, individu harus bisa memposisikan diri sebagai pengguna
aplikasi yang mencari pasangan. Hal ini dilakukan umumnya untuk mengurangi konflik
atupun ketegangan yang mungkin terjadi. Kedua adalah untuk mendapatkan keuntungan

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

sosial, dimana individu berusaha untuk menciptakan kesan baik terhadap dirinya dari orang
lain dengan tujuan untuk mendapatkan rewards atau menghindari hukuman sosial. Keadaan
ini menunjukkan bahwa self-presentation juga dilakukan untuk mendominasi pihak lain
untuk mendapatkan posisi yang lebih baik (Jones, 1990 dalam Anon, 2013). Dalam kaitannya
dengan online dating, pengguna berupaya untuk mengatur self presentation untuk
mendapatkan poin yang lebih tinggi dari pengguna lain. Dan ketiga adalah untuk kepentingan
self-construction, yaitu upaya untuk membentuk identitas khusus.
Keinginan pengguna aplikasi online dating untuk menonjolkan self-presentation tidak
terlepas dari adanya motivasi yang mendasari kemampuan untuk melakukan management
impression. Salah satu motivasi yang dinilai kuat oleh Schlenker (1980 dalam Anon, 2013)
adalah penilaian orang lain. Baik penilaian baik ataupun buruk dianggap memiliki nilai yang
sama untuk memotivasi adanya perubahan self-presentation. Faktor kedua adalah social
acuity yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengetahui apa yang harus
dilakukan untuk mendapatkan kesan yang baik. Kedua faktor ini berperan penting dalam
mempengaruhi pengguna online dating untuk memiliki profil yang memberikan kesan bak
kepada pengguna lain. Rata-rata pengguna online dating memiliki kesadaran bahwa untuk
memiliki pasangan yang baik maka diperlukan tampilan profil yang baik pula, entah dengan
cara melebihkan sisi baik ataupun dengan memanipulasi keadaan yang sebenarnya. Meskipun
behavioral skill menjadi salah satu komponen dalam management impression, hal tersebut
nampak jarang terjadi dalam online dating kecuali bagi mereka yang memiliki orientasi tinggi
dalam melakukan pencarian.
Masden dan Edward (2015: 1) kemudian menjelaskan mengenai alasan individu untuk
melakukan sign up dan menjadi pengguna online dating. Cara ini dianggap oleh beberapa
individu menjadi cara yang potensial untuk menemukan orang baru yang tidak pernah
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, interaksi yang terjalin dalam online dating
merupakan interaksi yang terjalin secara pribadi antara pengguna dengan pasangannya.
Keadaan ini tentu berbeda dengan keadaan di dunia nyata yang sulit untuk menyembunyikan
privasi. Online dating bahkan memberikan kesempatan untuk menciptakan identitas baru
demi mendapatkan pasangan yang diinginkan. Namun, seringnya melakukan interaksi secara
virtual dinilai akan berpengaruh buruk terhadap bagaimana individu akan berinteraksi pada
pertemuan yang sesungguhnya. Penelitian oleh Homnack (2015: 15) memberikan contoh
nyata dengan mewawancarai pengguna aplikasi online dating bernama Melanie. Dalam
pengalamanannya melakukan online dating, Melanie mengaku takut untuk melakukan

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

pertemuan langsung dengan pasangannya karena ia merasa akan diadili karena
penampilannya tidak sesuai dengan foto yang ditampilkan dalam profil.
"To be honest, having dating profiles on apps is entertaining but I can't bring myself to
actually meet with someone because one, I don't want to be judged on the little information
I've
provided and two they might be different from what I thought they would be like" – Melanie
Kemunculan Tinder sebagai aplikasi online dating yang dapat diunduh secara cuma-cuma
turut membenarkan argumen yang disampaikan oleh Habermas (1989 dalam Fuchs, 2014:
181) mengenai perubahan dari private menuju public sphere. Upaya pencarian pasangan yang
dianggap sebagai hal yang bersifat private berubah menjadi public dengan adanya Tinder.
Tinder dapat digolongkan menjadi public sphere karena kemudahaannya untuk diunduh dan
diakses oleh pengguna tanpa adanya restriksi khusus. Tinder memungkinkan individu untuk
saling terhubung tanpa adanya larangan tertentu yang mungkin ada dalam kehidupan nyata.
Homnack (2015: 16) bahkan menyatakan media online dating adalah bentuk baru dari pola
interaksi yang harus dihadapi. Hal ini dikarenakan globalisasi menuntut adanya age of
network dimana segala aspek kehidupan terhubung dengan jaringan. Penolakan terhadap
budaya online dating dinilai sebagai sikap skeptis yang melawan arus.
Brooks (2011) menyatakan adanya beberapa sisi positif dari kemunculan online dating.
Pertama adalah menghilangkan intimidasi terhadap pasangan yang mungkin dapat terjadi
pada kencan di dunia nyata. Kedua adalah mengurangi pertemuan langsung dengan random
people, dimana online dating memberikan fasilitas untuk saling mengenal sebelum akhirnya
melakukan pertemuan. Dampak lain yang muncul adalah meningkatnya kebebasan seks, hal
ini dikarenakan online dating berhasil menggabungkan budaya dan mengubah pandangan
masyarakat mengenai ras, agama, jenis kelamis, hingga orientasi seksual seseorang. Namun
pandangan mengenai online dating menjadi berbeda di beberapa negara. Hal ini
mengindikasikan bahwa budaya berperan dalam menanggapi kemunculan online dating. Di
Jepang, kemunculan online dating justru meningkatkan jumlah remaja yang bekerja di sektor
prostitusi. Sedangkan di India, online dating berperan dalam upaya mencarikan pasangan
kepada anak hingga saudara.
Berdasarkan pada pemaparan tersebut, penulis menyatakan setuju dengan argumen yang
disampaikan oleh Homnack (2015) bahwa online dating menjadi salah satu konsekuensi yang
harus dihadapi oleh masyarakat jaringan. Hal tersebut dikarenakan tuntutan dari adanya age

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

of network. Kemudahan yang diberikan oleh aplikasi online dating juga menjadikannya
sebagai cara yang patut untuk dipilih oleh masyarakat informasi saat ini. Terlebih bagi
individu yang cukup sibuk dengan aktifitas kesehariannya. Di sisi lain, keberadaan Tinder
sebagai salah satu online dating juga dianggap menambah peluang bagi masyarakat untuk
merubah identitas yang dimiliki demi mendapatkan pasangan sesuai dengan yang diharapkan.
Tinder juga berhasil melahirkan pola relasi baru bagi masyarakat jaringan, dimana untuk
melakukan hubungan kencan hingga pernikahan tidak harus diawali dengan interaksi yang
face to face. Hal ini tentu menjadi bentuk interaksi baru karena sebelumnya keadaan seperti
ini dianggap tidak wajar. Namun di sisi lain dapat dikatakan bahwa pengguna media sosial
dengan konsep MUDs akan memilih untuk melakukan isolasi dari masyarakat. Beberapa
alasan di antaranya adalah takut bahwa identitas palsunya akan terbongkar atau merasa tidak
setipe dengan lingkungan sekitarnya.
Hal ini juga ditemukan penulis secara nyata melalui teman penulis, sebut saja Mawar. Mawar
merupakan mahasiswa yang cukup aktif di kampusnya sehingga tidak memiliki banyak
waktu untuk berinteraksi secara face to face. Mawar kemudian mengunduh aplikasi Tinder
sekedar untuk mengikuti keingintahuan hingga akhirnya Mawar memiliki pasangan melalui
aplikasi Tinder. Hal tersebut menjadi penguat asumsi bahwa Tinder merupakan pilihan bagi
individu yang tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan interaksi secara face to face
atau bahkan untuk mencari pasangan. Namun, sejalan dengan pernyataan yang disampaikan
oleh James (2015) bahwa kebanyakan dari pengguna online dating tidak melakukan
matching untuk hubungan jangka panjang. Demikian pula yang terjadi pada Mawar yang
hubungannya hanya bertahan selama beberapa belas bulan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa online dating memiliki signifikansi dalam
mempengaruhi pola interaksi masyarakat di era globalisasi. Online dating bahkan berhasil
membentuk identitas baru bagi para penggunanya. Pembentukan identitas baru dalam online
dating tidak terlepas dari keinginan untuk memunculkan self-presentation yang menonjol
dibandingkan dengan pengguna yang lain dengan tujuan agar mendapatkan pasangan yang
sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Salah satu aplikasi online dating yang populer saat ini
adalah Tinder yang melakukan pencarian berdasarkan pada lokasi pengguna. Selain itu,
Tinder juga menyediakan preferensi mengenai ketertarikan pengguna dan juga memberikan
pratinjau atas pertemanan facebook yang sama. Secara tidak langsung, Tinder telah
melahirkan pola komunikasi yang didasarkan pada hitungan algoritma. Aplikasi sedemikian
rupa dinilai mampu mengurangi kemampuan kognitif individu dalam memilih sesuatu karena

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

hanya didasarkan pada first impression saja dan terkesan kurang menghargai nilai-nilai yang
ada di baliknya. Selain itu, celah yang ada dalam online dating tidak dapat dipungkiri dapat
dijadikan alat untuk melakukan kejahatan seksual. Di luar Indonesia, Tinder digunakan
sebagai salah satu sarana untuk mencari pasangan seksual. Hal ini menjadi pelajaran bagi
masyarakat informasi yang memiliki norma dan budaya berbeda untuk lebih berhati-hati
dalam melakukan interaksi virtual. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan budaya turut
berpengaruh terhadap apa yang dihasilkan oleh online dating.

Referensi :
Anon, 2013. “Chapter 07: Self-Presentation” [pdf].
Brooks, Mark, 2011. “How has Internet Dating Changed Society?”, dalam An Insider’s Look.
Internet Dating Executive Alliance.
Castells, M, 2004. “Informationalism, Network, and the Network Society,” dalam Castells,
Manuel (ed.), 2004. The Networked Society: A Cross-cultural Perspective.
Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, hlm. 3-48.
Capra, F (2002) Hidden Connections: Integrating the Biological, Cognitive, and Social
Dimensions of Life into a Science of Sustainability. New York: Random House.
Drori, Gili S., 2007. “Information Society as Global Policy Agenda: What Does It Tell Us
About the Age of Globalization?”, dalam International Journal of Comparative
Sociology, 48 (20) 297-316.
Fuchs, Christian, 2014. Social Media: A Critical Introduction. SAGE.
Haferkorn, Martin dan Weber, Moritz Christian, 2015. Self-Presentation in Online Dating –
An Analysis of Behavioral Diversity. Goethe University of Frankfurt.
Honmack, Anabel, 2015. “Online Dating Technology Effects on Interpersonal Relationship”,
dalam Advance Writing: Pop Culture Intersection, Paper 4. Santa Clara University.
James, Jessica L., 2015. Mobile Dating in the Digital Age: Computer-Mediated
Communication and Relationship Building on Tinder. Texas State University.
Lyon, David, 2002. “Chapter 2: Cyberspace Sociality Controversies Over ComputerMediated

Relationship”, dalam Loader, Brian D., 2014. The Governance of Cyberspace:

Politics,

Technology and Global Restructuring. Routledge London and New York.

UAS GLOBIN 2016

WIWIT TRI RAHAYU - 071311233082

Masden, Christina dan Edwards, W. Keith, 2015. Understanding the Role of Community in
Online Dating. Georgia Institute of Technology: GVU Center and School of
Interactive

Computing.