Branding Antara Strategi dan Ironi Perus

Nadira Farida Putri – 071311233098 – 4th Globin Assignment

Branding: Antara Strategi dan Ironi Perusahaan
Bagi Klein (2000) branding kini telah menjadi suatu hal yang “kemana-mana” dan justru
mengganggu. Dikatakan demikian sebab branding menjadikan bahkan bayi dan anak-anak kecil
tidak berbeda dengan papan iklan mini karena mengenakan pakaian dengan logo dari merek
ternama yang terpampang di tengah badan mereka seperti halnya yang menjadi ciri khas dari
Gap. Dalam buku pekerjaan rumah anak-anak sekolah pun kerap ditemukan coretan mereka yang
mereplika merek-merek ternama, sebut saja tanda centang berwarna merah yang menjadi ciri
khas Nike. Kedua hal tersebut telah menjadi bukti dari keadaan sosial yang terpengaruh dengan
kegiatan branding perusahaan-perusahaan dari merek ternama sehingga dengan mengenakan
merek-merek ternama tersebut semua orang dapat tahu persis bahwa pemakainya bersedia
membayar “kualitas” untuk gaya mereka.
Pengaruh logo yang kini dirasa amat dominan karena merepresentasikan merek tertentu nyatanya
tidak terlepas dari kegiatan branding pada pertengahan tahun 1990-an (Klein, 2000: 37). Pada
pertengahan tahun tersebut diketahui bahwasanya perusahaan dari merek ternama tidak lagi
hanya sekedar melakukan branding pada produk mereka, namun juga melakukan branding
terhadap kultur dengan cara menjadi sponsor bagi acara-acara kultural – kultur dalam hal ini
dipahami sebagai ide, perilaku, dan nilai. Perusahaan merek ternama menukarkan sejumlah uang
yang diberikan dengan eksistensi logo mereka di publikasi acara yang dimaksud. Langkah
branding yang seperti demikian menjadikan logo dari perusahaan merek ternama justru sebagai

daya tarik dan fokus utama dibandingkan dengan acara yang disponsori itu sendiri. Fenomena ini
kemudian dikenal dengan istilah cultural expansionism yang mana kultur sebagai realitas
kehidupan dijadikan dasar dari kegiatan branding (Klein, 2000: 37 – 8). Naomi Klein (2000) pun
kemudian membagi kegiatan branding ke dalam empat ranah, yakni ruang kota, media, musik,
dan olahraga. Dalam ranah ruang kota, selalu ada ruang – di berbagai kota di dunia – yang
kehilangan haknya untuk mengekspresikan politik dan kultural karena digunakan secara berulang
untuk kegiatan branding oleh perusahaan-perusahaan merek ternama. Utamanya di kota-kota
besar, terdapat variasi dari kegiatan branding oleh perusahaan-perusahaan merek ternama
tersebut dilakukan mulai dari pemasangan iklan di baliho, dinding, dan iklan berjalan dengan
memanfaatkan armada transportasi seperti bus dan taksi (Klein, 2000: 41 – 3). Adapun branding
dalam ranah media dirasa telah mempengaruhi sistem berpikir publik oleh karena tekanan dari

Nadira Farida Putri – 071311233098 – 4th Globin Assignment

bergabungnya berbagai bentuk media – baik majalah, website, dan program televisi – dengan
perusahaan-perusahaan merek ternama yang menjadi sponsor. Selain dimanfaatkan untuk
mengekspos produk perusahaan merek ternama lewat artikel di majalah, majalah kerap dijadikan
pula sebagai kantor riset pasar dari perusahaan yang dimaksud melalui pengadaan survei dan
juga kuesioner kepada pembaca yang kemudian hasil informasinya digunakan untuk merancang
iklan berikutnya (Klein, 2000: 45). Sedangkan dalam media website, media ini dimanfaatkan

oleh perusahaan merek ternama guna mengiklankan diri mereka dengan memanfaatkan
kesempatan pembangunan konten sebagai ciri khas merek mereka. Sebagai contoh, Gap
menawarkan berbagai tips perjalanan, Volkswagen menyediakan sampel musik secara gratis,
juga Pepsi dengan penawaran video games. Melalui media website – dan tentu internet –
perusahaan tidak hanya melakukan iklan dan menjual produk mereka secara online, namun
mereka juga menargetkan adanya pengaruh signifikan terhadap penjualan offline sebagai hasil
ketertarikan masyarakat terhadap konten unik di situs mereka. Sedangkan dalam ranah musik,
perusahaan merek ternama menggaet artis-artis papan atas setidaknya untuk dua langkah
branding, yakni meminta artis-artis papan atas yang dimaksud untuk menyanyikan jingle mereka
dan/atau memanfaatkan lagu-lagu hits di industri musik yang dimiliki oleh artis papan atas yang
dimaksud untuk menjadi lagu latar dari iklan produk perusahaan. Dalam ranah terakhir dari
kegiatan branding, yakni ranah olahraga, perusahaan merek ternama umumnya akan menjadikan
bintang-bintang lapangan dari berbagi cabang olahraga sebagai sport celebrities guna
“mendatangkan” pendukung-pendukung fanatis dari bintang-bintang lapangan tersebut untuk
menjadi konsumen bagi perusahaan (Klein, 2000: 52).
Sebagai suatu fenomena, tentu kegiatan branding memiliki pengaruh positif dan negatif.
Pengaruh negatif atau efek yang kemudian dinilai paling berbahaya dari fenomena branding
adalah munculnya pola pikir bahwasanya segala hal, mulai dari komunitas kecil hingga
pertemuan besar dalam konteks keagamaan pun, membutuhkan sponsor agar dapat terlaksana –
“we become collectively convinced not that corporations are hitching a ride on our cultural and

communal activities, but that creativity and congregation would be impossible without their
generosity” (Klein, 2000: 41). Adapun bagi perusahaan, kegiatan branding kiranya dapat
menjadi ironi tersendiri karena sejatinya dengan menjadi sponsor bagi acara-acara tertentu,
perusahaan bisa saja kehilangan nilai otentik dari merek mereka karena acara yang disponsori
tidak koheren dengan makna merek yang dimiliki oleh perusahaan. Dengan tidak menampik efek

Nadira Farida Putri – 071311233098 – 4th Globin Assignment

yang dimiliki dari kegiatan branding, penulis pun tidak dapat memungkiri bahwasanya branding
merupakan kegiatan penting guna menunjukkan kualitas dari sebuah produk yang ditawarkan.
Terlebih Celia Lury (2004) mengatakan bahwasanya keberhasilan branding merupakan tolak
ukur bagi keberhasilan produk yang di-branding. Sehingga, kunci utama terletak pada
kemampuan mengelola merek, bukan pada kepemilikan perusahaan.
Berdasarkan pemaparan tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan bahwasanya branding
merupakan hal yang esensial bagi perusahaan guna menarik perhatian konsumen atau bahkan
merajai pasar. Kegiatan branding sendiri dapat ditempuh melalui berbagai wadah seperti halnya
ruang kota, media, musik, dan bahkan olahraga. Pengupayaan branding pun harus dilakukan
dengan seunik mungkin agar dapat menciptakan kesan tersendiri bagi konsumen. Namun
ternyata, branding dapat dianggap sebagai suatu hal yang mengganggu apabila menjadikan
keadaan sosial masyarakat terlalu terpengaruh dengan kegiatan branding yang dilakukan oleh

perusahaan.
Referensi:
Klein, Naomi. (2000). “The Brand Expands”, in No Space, No Choice, No Jobs, No Logo.
Flamingo.
Lury, Celia. (2004). Brands: The Logos of the Global Economy.