DESAIN KONTRAK lumpsum dan ROHN (1)

DESAIN KONTRAK SYARI’AH
AKAD RAHN
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Desain Kontrak Syari’ah
Dosen : Tutik Nurul Jannah M.H

Disusun oleh :
Nurul Faizah (13.21.00691)

PROGAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH
TAHUN AKADEMIK 2015

1

BAB I
LATAR BELAKANG
A. PENDAHULUAN
Istilah “akad” dalam hukum Islam, disebut “perjanjian” dalam bahasa
Indonesia, dan disebut contract dalam bahasa Inggris. Kata akad terambil dari kata
al-‘aqd berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan, jamaknya adalah al-‘uqúd. Secara
bahasa al-‘aqd bermakna al-rabth (ikatan), al-syadd (pengencangan), al-taqwiyah

(penguatan). Jika dikatakan ‘aqada al-habl (mengikat tali), maksudnya adalah
mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya.
Al-‘aqd juga bisa bermakna al-‘ahd (janji) atau al -mitsáq (perjanjian).1 Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa “akad” adalah perjanjian dari kedua
belah pihak atau lebih yang saling mengikat.
Tujuan akad adalah mewujudkan akibat hukum yang pokok dari akad. Tujuan
ini merupakan akibat hukum yang timbul dari sebuah perjanjian. Ia merupakan akibat
hukum pokok yang menjadi maksud dan tujuan yang hendak direalisasikan oleh pihak
melalui akad.
Implementasi akad muamalah di bank syariah disederhanakan dengan
perumusan persesuaian karakteristik yang dibangun dengan memetakan penyebaran
akad-akad muamalah dalam produk-produk sudah berlaku pada lembaga keuangan
konvensional. Mudahnya, agar produk tersebut dinyatakan halal dan sesuai syariah.2
Bank syariah diberikeluasan dan ruang gerak oleh undang-undang perbankan
syariah untuk menciptakan inovasi dalam produk dan layanan jasa perbankan syariah.
Salah satu kegiatan usaha syariah yang cukup berkembang pesat di masyarakat
adalah layanan gadai emas syariah. Gadai emas syariah adalah sistem pembiayaan
yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan dasar hukum fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, baik sistem gadainya maupun emas sebagai
barang gadainya.3

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaiman Pendapat para ulama’ & Fatwa MUI tentang akad rahn ?
2. Studi Kasus Rahn !
1 Ali Amin Isfandiar, ANALISIS FIQH MUAMALAH TENTANG HYBRID
CONTRACT MODEL DAN PENERAPANNYA PADA LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH, Jurnal Penelitian , Vol. 10, No. 2, November 2013. Hlm. 209
2 Ibid Hlm. 210
3 Rakhmasari Rosalifa Jihad”,IMPLEMENTASI GADAI EMAS SECARA SYARIAH DI
BANK SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/17/PBI/2008 TENTANG PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH”
Jurnal ilmiah S-1 Fakultas Hukum, Universitas Mataram Mataram 2013, hlm. 4

2

BAB II
PEMBAHASAN
3

1. Pendapat para ulama’ & fatwa MUI tentang akad Rahn
A. Pendapat para ulma’ tentang akad

‫ سواع صدر بارا دة منفردة كلوقف ولبراء وطلق واليمين أماحتاج‬, ‫فهوا كل ما المرع على فعله‬
‫ الي ارادتين في انشائه كالبيع واليجار وتوكيل والرهن‬.4
Akada dalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seorang untuk di
kerjakan,baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, pembebasan, talak dan
sumpah, maupun yang memerlukan kepada dua kehendak di dalam menimbulkannya,
seperti jual beli, sewa-menyewa, pemberian kuasa dan gadai
Definisi diatas merupakan pengertian akad yang dikemukakan oleh fuqoha’
malikiyah, syafi’iyah dan juga hanabilah.
Fuqoha’ hanafiyah mengartikan akad secara khusus yaitu sebagai berikut :
‫ تعلق كلم‬: ‫أو بعبارة أخرى‬. ‫العقد هوالرتباط ايجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله‬
‫أحد العاقدين بلخر شرعا على وجه يظهر أثره فى المحل‬.5
Akad adalah pertalian antara ijab dengan qobul menurut ketentuan syara’
yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau dengan redaksi yang lain :
keterikatan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang
lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pengaruhnya pada objek.
Menurut wahbahzuhaili akada itu adalah :
‫أوتعديله أو إنهائه‬, ‫وهو توافق ارادتين علي احداث اثر قانونى من انشاء التزام اونقله‬.6
Akad adalah kesepakatan dua kehendak untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum, baik berupa menimbulkan kewajiban, memindahkannya, mengalihkannya,
maupun menghentikannya.

Dari tiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam akad mencakup
tasarruf ,perjanjian, ijab dan qobul serta akibat-akibat hukum.
Akad merupakan tindakan hukum yang berupa perjanjian antara ijab dan
qobul yang saling mengikat serta menimbulkan akibat hukum.baik dari satu kehendak
untuk menimbulkannya atau dua kehendak, contoh akad karena dua kehendak
menimbulkannya yaitu jual beli, sewa menyewa ataupun gadai.
B. Pendapat ulama’ tentang akad Rahn
‫ أو أخذ بعضه‬, ‫بحيث يمكن أخذ ذالك الدين‬, ‫بانه جعل عين لها قيمة مالية في نظر الشرع وثيقة بدين‬
‫من تلك العين‬.7
Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta
dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang. Dengan ketentuan
dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari
benda(jaminan)tersebut.

4
5
6
7

Ahmada Wardi Muslich, FIQH MUAMALAH, Amzah,Jakarta, 2010.hlm 111

Ibid
Ibid hal 112
Ibid hlm. 200

4

Pendapat diatas merupakan istilah gadai secara syara’ yang dikutip dari pendpat
hanfiyah.
Sedangkan pengertian gadai secara syara’ yang dikutip oleh wahbah zuhaili dara
pendapat syafi’iyah yaitu :
‫جعل عين وثيقة بدين يستوفي منها عند تعذروفائه‬8
Gadai adalah menjadikan suatu benda untuk utang, dimana utang tersebut bisa
dilunasi (dibayar)dari benda (jaminan) tersebut ketika pelunasannya mengalami
kesulitan.
Berikut ini adalah pengertian Rahn dari ulama’ hanfiyah
‫ بأنه المال الذي يجعل وثيقة بالدين ليستوفي من ثمنه انتعذر استيفاؤه ممن هو عليه‬.9
Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa
dilunasi dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam pengambilannya dari
orang yang berhutang
Malikiyah memberikan definisi gadai sebagai berikut :

‫ أو صار الى اللزم‬, ‫في دين لزم‬,‫توثقابه‬, ‫بأنه شئمتمول يعخذ من مالكه‬.
Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai
jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap.
Syafi’i Antonio berpedapat bahwa rahn(gadai) adalah menahan salah satu
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang
yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya10
Dari pendapat para ahli

diatas dapat disimpulkan bahwa rahn (gadai)

merupakan suatu benda yang bernilai atau mempunyai nilai ekonomis dijadikan
sebagai jaminan untuk hutang yang mengikat.serta barang tersebut dapat melunasi
hutang peminjam apabila sipeminjam tidak dapat membayar hutangnya.
C. Landasan Syariah
a. Al-qur’an
‫وان كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهن مقبوضه فان امن بعضكم بعضا فاليؤدالذى اؤتمن امنته‬
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara
tunai)sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada

barang

tanggungan

yang

dipegangan

(oleh

yang

berpiutang).(al-

baqoroh:283)

8 Ibid hlm.201
9 ibid
10 Muhammad Syaafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani.2001.Hlm 128


5

Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang
dipegangan (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang
tanggungan bisa dikenal sebagai jaminan atau objek pegadaian.11
b. Al-Hadits
‫عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليها وسلم اشترى طعاما من يهودى الى أجل‬
‫ ورهنه درعا من حديد‬.
Aisyah r.a berkata bahwa Rasullallah membeli makanan dari seorang
yahudi dan meminjamkannya kepadanya baju besi.(HR. Bukhori no.1926,
kitab al-Buyu, dan muslim)
D. Rukun dan syarat
a. Rukun akad rahn terdiri dari :
1. Rahin (orang yang memberikan gadai)
2. Murtahin (penerima barang/gadai)
3. Marhun/rahn (barang/harta yang digadaikan)
4. Marhun bih (hutang)
5. Ijab dan qobul12
Rukun akad rahn di atas merupakan rukun menurut jumhur ulama’, adapun

menurut hanafiyah rukun akad rahn hanyalah ijab dan qobul adapun rukun
yang lainnya adalah turunana dari ijab qobul.
b. Syarat Rahn
1. Syarat Aqid
Dalam hal ini yang termasuk aqid adalah rahin dan murtahin. Syarat
menjadi rahin dan murtahin yaitu ahliyah. Sebuah karakteristik ahliyah
dalam jual beli yaitu harus berakal dan sudah tamyiz.13
2. Syarat Marhun
Marhun adalah barang jaminan yang atas utang yang ada. Marhun
harus bisa ditransaksikan dalam artian ada kitika akad sedang berlangsung
dan bisa diserahterimakan. Selain itu barang tersebut harus berupa mal al
muqawwim artinya diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara syara’ selain
itu kdarnya (nilai) diketahui secara jelas tidak boleh menggadaikan barang
yang nilai ekonomisnya tidak jelas. Marhun merupakan milik mutlak
rahin. 14
3. Syarat marhun bih
Syafi’iyah dan hanabilah menetapkan tiga syarat utama yaitu :
1. Harus berupa hutang yang tetap dan wajib untuk ditunaikan
2. Uang itu harus bersufat mengikat.
11

12
13
14

ibid
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamala.Pustaka Pelajar,Cet I,2008.Hlm.263
ibid
Ibid 264

6

3. Nominal utang itu diketahui secara pasti15
4. Syarat Sighat
Menurut Hanafiyah , sighat gadai (rahn) tidak boleh digantungkan
dengan syarat, dan tidak disarandarkan kepada masa yang akan datang. Hal
ini karena akad gadaia menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek
pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan kepada syarat atau
disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad menjadi fasid
seperti halnya jual beli.16
Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat jual

beli, karena gadai merupakan akad maliyah. Adapun syarat-syarat yang
dikaitkan dengan akad gadai hukumnya dapat dirinci menjadi empat bagian,
yaitu sebagai berikut :
1. Ketika syarat

akad

sesuai

dengan

maksud

akad

seperti

memprioritaskan pelunasan utang kepada murtahin, ketika pemberi
utang lebih dari satu orang , maka gadai dan syarathukumnya sah:
2. Apabila syarat tersebut tidak sejalan dengan akad, seperti syarat
yang tidak ada kemaslahatan atau tidak ada tujuannya, maka akad
gadai hukumnya sah, tetapi syaratnya tidak berlaku (batal)
3. Apabila syarat tersebut merugikan murtahin dan menguntungkan
rahin, seperti syarat harta jaminan tidak boleh dijual etika utang
jatuh tempo, maka syarat dan gadai hukumnya batal.
4. Apabila syarat tersebut menguntungkan murtahin dan merugikan
rahin, seperti syarat harta jaminan boleh diambil manfaatnya oleh
murtahin, maka hukumnya diperselisihkan oleh para ulama’.
Menurut pendapat yang lebih zhahir , syarat akad hukumnya batal
karena syarat bertentangan dengan tujuan akad. Menurut pendapat
yang kedua , syaratnya batal tetapi akad gadainya tetap sah, karena
gadai merupakan akad tabarru’, sehingga tidak terpengaruh oleh
syarat yang fasid. 17
Malikiyah berpendapat bahwa syarat yang tidak bertentangan dengan
tujuan akad hukumnya sah. Adapun syarat yang ertentangan dengan tujuan
akad maka syarat tersebut fasid dan dapat membatalkan akad gadai. 18

15
16
17
18

ibid
ibid
ibid
ibid

7

E. Fatwa MUI tentang Rahn ( 92/DSN-MUI/IV/2014)
FATWA TENTANG PEMBIAYAAN YANG DISERTAI RAHN (AL-TAMWIL ALMAUTSUQ BI AL-RAHN)
a. Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1.

Akad Rahn adalah

sebagaimana

dalam

fatwa

DSN-MUI

Nomor:

25/DSN-

MUI/III/2002 tentang Rahn; fatwa DSN-MUI Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn Emas; dan fatwa DSN-MUI Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily;
2.

Akad Jual-beli (al-bai') adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 04/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah; fatwa DSN-MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual-Beli Salam; dan fatwa DSN-MUI Nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Jual-Beli Istishna';

3.

Akad Qardh adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 19/DSNMUI/IV/2001 tentang al-Qardh;

4.

Akad Ijarah adalah sebagaimana

dalam fatwa

DSN-MUI Nomor: 09/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
5.

Akad Musyarakah adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 08/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah;

6.

Akad Mudharabah adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh);

7.

Ta'widh adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ganti Rugi (Ta'widh);

8.

Akad amanah adalah

akad-akad

yang

tidak

melahirkan

kewajiban

untuk

bertanggungjawab terhadap harta pihak lain ketika harta tersebut rusak, hilang, atau
berkurang (kualitas dan kuantitasnya);
b. Ketentuan Hukum
Semua bentuk pembiayaan/penyaluran dana Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) boleh dijamin dengan agunan (Rahn) sesuai ketentuan
dalam fatwa ini.
c. Ketentuan terkait Barang Jaminan (Marhun)
1. Barang jaminan(marhun) harus berupa harta (mal) berharga baik benda
bergerak maupun tidak bergerak yang boleh dan dapat diperjualbelikan, termasuk aset keuangan berupa sukuk, efek syariah atau surat
berharga syariah lainnya;
8

2. Dalam hal barang jaminan (marhun) merupakan musya' (bagian dari
kepemilikan bersama/part of undivided ownership), maka musya' yang
digadaikan harus sesuai dengan porsi kepemilikannya;
3. Barang jaminan(marhun) boleh diasuransikan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan/atau kesepakatan
d. Ketentuan terkait Utang (Marhun bih/Dain)
1. Utang boleh dalam bentuk uang dan/atau barang;
2. Utang harus bersifat mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan (fatwa DSN-MUI Nomor:
11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah (Ketentuan Kedua, 4.c)
3. Utang harus jelas jumlah (kuantitas) dan/atau kualitasnya serta
jangka waktunya;
4. Utang tidak boleh bertambah karena perpanjangan jangka waktu
pembayaran;
5. Apabila jangka waktu pembayaran utang/pengembalian modal
diperpanjang, Lembaga Keuangan Syariah boleh:
a. mengenakan ta'widh dan ta'zir dalam hal Rahin melanggar
perjanjian atau terlambat menunaikan kewajibannya;
b. mengenakan pembebanan biaya riildalam hal jangka waktu
pembayaran utang diperpanjang.

e. Ketentuan terkait Akad
1. Pada prinsipnya, akad rahn dibolehkan hanya atas utang-piutang (aldain) yang antara lain timbul karena akad qardh, jual-beli (al-bai')
yang tidak tunai, atau akad sewa-menyewa (ijarah) yang pembayaran
ujrahnya tidak tunai;
2. Pada prinsipnya dalam akad amanah tidak dibolehkan adanya barang
jaminan (marhun); namun agar pemegang amanah tidak melakukan
penyimpangan perilaku (moral hazard), Lembaga Keuangan Syariah
boleh meminta barang jaminan (marhun) dari pemegang amanah (alAmin, antara lain syarik, mudharib, dan musta`jir) atau pihak ketiga.

9

a. Barang jaminan (marhun) dalam akad amanah hanya dapat
dieksekusi apabila pemegang amanah (al-Amin, antara
lain syarik, mudharib, danmusta`jir) melakukan perbuatan
b. Taqshir (tafrith), yaitu tidak melakukan sesuatu yang
boleh/semestinya dilakukan; atau
c. moral hazard, yaitu:
3. Ta`addi (Ifrath), yaitu melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak
semestinya dilakukan; Mukhalafat al-syuruth, yaitu

melanggar

ketentuan-ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah) yang
disepakati pihak-pihak yang berakad;
f. Ketentuan terkait Pendapatan Murtahin
1. Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad jual-beli (al-bai’)
yang pembayarannya tidak tunai, maka pendapatan Murtahin hanya
berasal dari keuntungan (al-ribh) jual-beli;
2. Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad sewa-menyewa
(ijarah)

yang

pembayaran

ujrahnya

tidak

tunai,

maka

pendapatanMurtahin hanya berasal dari ujrah;
3. Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena peminjaman uang
(akadqardh), maka pendapatan Murtahin hanya berasal dari mu’nah (jasa
pemeliharaan/penjagaan) atas marhun yang besarnya harus ditetapkan
pada saat akad sebagaimana ujrah dalam akad ijarah;
4. Dalam

hal rahn dilakukan

pada

akad

amanah,

maka

pendapatan/penghasilan Murtahin (Syarik/Shahibul Mal) hanya berasal
dari bagi hasil atas usaha yang dilakukan oleh Pemegang Amanah (SyarikPengelola/Mudharib).
g. Ketentuan terkait Penyelesaian Akad Rahn
1.Akad Rahn berakhir apabila Rahin melunasi utangnya atau menyelesaikan
kewajibannya dan Murtahin mengembalikan Marhun kepada Rahin;
2. Dalam hal Rahin tidak melunasi utangnya atau tidak menyelesaikan
kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Murtahin wajib
mengingatkan/memberitahukan tentang kewajibannya;
3. Setelah dilakukan pemberitahuan/peringatan, dengan memperhatikan asas
keadilan dan kemanfaatan pihak-pihak, Murtahinboleh melakukan hal-hal
berikut:
10

a. Menjual paksa barang jaminan (marhun) sebagaimana diatur dalam
substansi

fatwa

DSN-MUI

Nomor:

25/DSN-MUI/III/2002

tentangRahn (ketentuan ketiga angka 5); atau
b. Meminta Rahin agar menyerahkan marhun untuk melunasi utangnya
sesuai

kesepakatan

dalam

akad,

di

mana

penentuan

harganya

mengacu/berpatokan pada harga pasar yang berlaku pada saat itu. Dalam
hal terdapat selisih antara harga (tsaman) jual marhun dengan utang (dain)
atau modal (ra’sul mal), berlaku substansi fatwa DSN-MUI Nomor:
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (ketentuan ketiga angka 5)
h. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
i. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
2. Studi Kasus Rahn
Kontrak rahn dalam perbankan dipakai dalam 2 hal, yaitu :
1. Sebagai prodik pelengkap misalnya akad tambahan terhadap
produk lain
2. Sebagai produk tersendriri
Skema Rahn

11

Contoh Studi kasus rahn :
1. Sebagai produk pelengkap
Di lembaga keuangan syariah PT. BPRS IPMAFA

ada seorang nasabah

bernama Bu ika , bu Ika mengajukan pembiayaan untuk tambahan modal toko
kelontongnya dengan pengajuan pembiayaan sebesar Rp.10.000.000 dan ibu
tersebut menyodorkan BPKB kendaraan bermotor YAMAH NMAX dengan
sistem ABS jika di taksir harganya sekitar Rp27.000.000 pembiayaan tersebut
dilakukan dengan akad murabahah adapun BPKB kendaraan bermotor tersebut
hanya sebagai jaminan. Dan pembiayaan tersebut disetujui oleh Bank IPMAFA.
Dan BPKB tersebut ditahan oleh bank sebagai konsekuensi akad tersebut. Namun
kendaraannya tetap dipakai oleh ibu Ika
2.sebagai produk tersendiri dalam Pegadaian Syariah
Plafon Marhun Bih (MB)19
19 Dewi Fitrianti, ANALISIS IMPLEMENTASI DAN PENERAPAN AKUNTANSI DALAM
SISTEM PEMBIAYAAN AR-RAHN (GADAI SYARIAH) PADA PEGADAIAN SYARIAH
CABANG DEWI SARTIKA DAN PEGADAIAN KONVENSIONAL CABANG CIBITUNG

12

Golongan Marhun Bih

Plafon
Marhun Bih

Biaya
Administrasi
per SBR
A
20.000 – 150.000
1.000
B
151.000 – 500.000
5.000
C
501.000 – 1.000.000
8.000
D
1.005.000 – 5.000.000
16.000
E
5.010.000 – 10.000.000
25.000
F
10.050.000 – 20.000.000
40.000
G
20.100.000 – 50.000.000
50.000
H
50.100.000 – 200.000.000
60.000
Dari tabel diatas, maka jika rahin ingin meminjam dana sebesar rp.

10.000.000, maka Rahin tersebut termasuk kedalam golongan Marhun Bih
(MB) yang E dan harus membayar biaya administrasi per SBR Rp. 25.000.
Pada tanggal 6/10/2007 nasabah D2 memiliki kebutuhan mendesak dan
membutuhkan dana untuk biaya pendidikan. Ia pun membawa barang
jaminannya berupa kalung dan gelang yang dimilikinya untuk digadaikan.
Menurut juru taksir, emas yang dibawanya itu memiliki nilai sebesar Rp
4.761.376,-. Menurut perkiraannya ia sudah bisa menebus kembali emasnya
tersebut dalam jangka waktu 84 hari yaitu tanggal 27/02/2008.
Perhitungannya:
1. Pegadaian Syariah
- Pinjaman yang diberikan : Taksiran x 90%
= Rp 4.761.376 x 90%
= Rp 4285.238,4,= Rp 4.290.000,- (pembulatan)
- Biaya Ijaroh 10 hari : Taksiran x Rp 80
Rp 10.000
= Rp 4.761.376 x Rp 80
Rp 10.000
=38.091 x 9
=342.819
=342.900,- (pembulatan)
- Nasabah tersebut termasuk kedalam golongan D
PERIODE 2008,

S-1 Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2008, hlm. 5
13

- Biaya Administrasi : Rp 16.000,Jadi, jumlah uang yang diterima oleh nasabah D2 adalah sebesar : Uang pinjaman –
Biaya admibistrasi
=Rp 4.290.000 – Rp16.000
=Rp 4.274.000,- Dan uang yang harus dibayar oleh nasabah D2 dalam melakukan pelunasan adalah
sebasar :
Uang pinjaman + Biaya ijaroh
=Rp 4.290.000 + Rp 342.900
=Rp 4.632.900,- 20
3. sebagai produk tersendiri dalam Bank Syariah
faizah ingin melanjutkan kuliahnya kejenjang S2, dia membutuhkan biaya
sebesar 40 Juta dan dia mempunyai kalung emas seberat 60 gram , kemudian dia
mengajukan pembiayaan kepada salah satu bank syariah dengan cara menggadiakan
kalung emasnya tersebut.Bank syariah menyetujui pembiayaan faizah karena jika
ditaksir harga kalung emas tersebut senilai Rp.50.000.000 dan pembiyaan tersebut
berlangsung selama 4 bulan.
Kemudian Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang
tunai kepada Faizah, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin
pembayaran kembali dana yang dierima oleh Faizah. Sebagai uang sewa tempat
untuk menyimpan emas tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya
asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa),
yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 4.000,– per
hari. Dengan demikian, jika Faizah baru bisa mengembalikan uang tunai yang
diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang
harus dibayar oleh Faizah adalah sebesar:
Rp4.000,– X 30 hari

=

Rp. 120.000,–

Jadi, pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Faizah harus membayar uang
sebesar:
Rp. 40 jt + Rp. 120.000,– = Rp. 10.120.000,–

20 Ibid,hlm.11

14

Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 4 bulan Faizah belum bisa mengembalikan dana
tersebut? Jika demikian, maka Faizah dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai
tersebut kepada Bank yang berkenaan.
Perpanjangan

tersebut

dapat

dilakukan

secara

lisan,

dengan

mengajukan

pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika baru 1 minggu Faizah
sudah bisa mengembalikan dana yang diterimanya, maka Faizah tinggal menghubungi Bank
dimaksud, dan membayar biaya sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu
saja.
Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:
1.

Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai

2.

Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang
diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang
yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.

3.

Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas
seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban
menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang
digadaikan tersebut.

BAB III
KESIMPULAN
Istilah “akad” dalam hukum Islam, disebut “perjanjian” dalam bahasa
Indonesia,secara bahsa aqad diambil dari bahsa arab ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan, jamaknya
adalah al-‘uqúd. Secara bahasa al-‘aqd bermakna al-rabth (ikatan), al-syadd (pengencangan),
al-taqwiyah (penguatan). Secara istilah yaitu tindakan hukum yang berupa perjanjian antara
ijab dan qobul yang saling mengikat serta menimbulkan akibat hukum.baik dari satu
kehendak untuk menimbulkannya atau dua kehendak.
Rahn (gadai) merupakan suatu benda yang bernilai atau mempunyai nilai ekonomis
dijadikan sebagai jaminan untuk hutang yang mengikat.serta barang tersebut dapat melunasi
hutang peminjam apabila sipeminjam tidak dapat membayar hutangnya.

15

Rukun akad rahn terdiri dari :Rahin (orang yang memberikan gadai),Murtahin
(penerima barang/gadai),Marhun/rahn (barang/harta yang digadaikan),Marhun bih (hutang),
Ijab dan qobul.
Kontrak rahn dalam perbankan dipakai dalam 2 hal, yaitu :Sebagai prodik pelengkap
misalnya akad tambahan terhadap produk lain dan Sebagai produk tersendriri.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Amin Isfandiar, ANALISIS FIQH MUAMALAH TENTANG HYBRID CONTRACT
MODEL DAN PENERAPANNYA PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH,
Jurnal Penelitian , Vol. 10, No. 2, November 2013
Rakhmasari Rosalifa Jihad”,IMPLEMENTASI GADAI EMAS SECARA SYARIAH DI
BANK SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/17/PBI/2008 TENTANG PRODUK BANK SYARIAH DAN UNIT
USAHA SYARIAH” Jurnal ilmiah S-1 Fakultas Hukum,

Universitas Mataram

Mataram 2013
Ahmada Wardi Muslich, FIQH MUAMALAH, Amzah,Jakarta, 2010
16

Muhammad Syaafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani.2001
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamala.Pustaka Pelajar,Cet I,2008
Dewi Fitrianti,

ANALISIS IMPLEMENTASI DAN PENERAPAN AKUNTANSI

DALAM SISTEM PEMBIAYAAN AR-RAHN (GADAI SYARIAH) PADA
PEGADAIAN SYARIAH CABANG DEWI SARTIKA DAN PEGADAIAN
KONVENSIONAL CABANG CIBITUNG PERIODE 2008, S-1 Fakultas
Ekonomi, Universitas Gunadarma 2008

17