Revitalisasi Sistem Akumulasi dan Pendis

Revitalisasi Sistem Akumulasi dan Pendistribusian Zakat :
Sebuah Upaya Meningkatkan kesejahteraan ummat

1. Iftitah
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis data Maret 2014 di situsnya
www.bps.go.id bahwa angka kemiskinan di negeri ini mencapai 11,25 persen
dengan total jiwa sekitar 28 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa betapa
masih banyaknya rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan itu membuat rakyat Indonesia semakin jauh dari kesejahteraan,
dimana masalah kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab dari pemerintah
dan Negara sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945. Akan tetapi, semua itu
masih jauh dari apa yang diharapkan.
Kemudian, Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sebenarnya dalam
masalah kesejahteraan memiliki konsep yang telah teruji yakni melalui zakat.
Zakat adalah bagian dari resources yang dimiliki oleh sebuah rumah-tangga
(household) yang harus disisihkan untuk kepentingan umat khususnya delapan
golongan umat yang berhak menerimanya. Zakat merupakan salah satu ajaran
pokok agama Islam yaitu rukun Islam yang ke empat, akan tetapi sepertinya zakat
diposisikan sebagai “anak tiri” bila dibandingkan dengan rukun yang lainnya.
Padahal zakat selain berdimensi ubudiyah, ia juga berdimensi sosial
kemasyarakatan secara langsung dalam bentuk materi. Dimensi sosial dalam

bentuk materi itu dapat dirasakan dan dinikmati oleh rakyat Indonesia apabila
potensi zakat dapat direalisasikan secara maksimal.
Para pakar di bidang hukum Islam menyatakan bahwa potensi zakat di
Indonesia sangat besar dan secara komplementer dapat menopang pembangunan
nasional. Potensi zakat itu dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya dalam bidang kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Namun persoalannya di Indonesia saat ini adalah kesediaan umat Islam
mengeluarkan zakat umumnya masih terbatas pada zakat fitrah, karena sebagian
umat masih enggan untuk menyisihkan harta yang bukan haknya. Hal ini
dikarenakan adanya pendapat bahwa zakat mal identik dengan pajak, sehingga
kalau sudah bayar pajak, apa perlunya kita harus mengeluarkan zakat. Pendapat
lain menyatakan bahwa ada keengganan mengeluarkan zakat karena akan
1

memberatkan atau membebani keuangan rumah-tangga, apalagi dalam keadaan
krisis moneter seperti yang terjadi saat ini. Zakat mal masih dilihat sebagai sebuah
beban atau bahkan sebagai pengeluaran yang sia-sia, bukan sebagai suatu
pengeluaran dari kewajiban ummat Islam yang akan memberikan kepuasan atau
utilities, serta zakat dianggap sebagai pengeluaran sukarela bukan sebagai
pengeluaran yang wajib. Sehingga, fungsi dan peranan zakat yang begitu besar,

tidak sebanding dengan yang ada saat ini, ditambah kurangnya perhatian dan
pelaksanaannya dari pemerintah dan umat Islam itu sendiri.
Kurangnya perhatian pemerintah dan ummat Islam itu menyebabkan zakat
tidak

maksimal

pendistribusiannya.

dalam

sistem

akumulasinya

serta

tidak

tepat


dalam

Oleh karena itu, salah satu upaya penting agar sistem

akumulasi dan pendistribusian zakat terlaksana dengan baik dan maksimal, maka
pemerintah dan umat Islam harus merubah paradigma lama ke paradigama baru,
dimana zakat merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan ummat Islam secara
optimal, bukan hanya sekedar pemberian sukarela. Bahkan zakat itu wajib
dipungut oleh amil zakat, sehingga dengan demikian zakat mampu dijadikan
sebagai solusi bagi rakyat Indonesia khususnya umat Islam dalam membangun
kesejahteraan bersama.
Fenomena di atas menarik perhatian penulis untuk menulis mengenai
zakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat secara komprehensif. Oleh
sebab itu, penulis tertantang untuk mengangkat judul “Revitalisasi Sistem
Akumulasi

dan

Pendistribusian


Zakat;

Sebuah

Upaya

Meningkatkan

Kesejahteraan Ummat”.
2. Zakat dan Potensinya
a. Pengertian Zakat
Zakat menurut bahasa (lughat) berasal dari kata zakaa,
bertambah

dan

terus

berkembang,


sebagaimana

, yang artinya
ungkapan

arab;

artinya pohon tersebut tumbuh dan berkembang, atau ungkapan;
. (Institute Manajemen Zakat, 2003: 17)
Secara etimologi, zakat adalah menyucikan, memperbaiki, berkembang,
dan memuji. Zakat adalah berkembang, barakah, dan tambahan kebaikan. Zaka al-

2

Zuru’, artinya tumbuhan berkembang. Zakat al-Nafaqah itu diberi berkah.
Sedangkan secara terminology, zakat merupakan nama sebagian dari sesuatu yang
dikeluarkan dari harta atau badan dengan cara tertentu(DEPAG RI,2009: 29).
Kata zakat merupakan salah satu kosa kata bahasa Arab yang telah
direduksi ke dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut berasal dari kata zaka, yang

memiliki beberapa makna yaitu: ath-thaharah (suci), as-salah (baik), al-barakah
(berkah), al-nama’ (tumbuh dan berkembang). Zakat merupakan penyerahan
kepemilikan harta tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan syarat
tertentu pula (Tarmizi Tohor, 2013: 5).
Zakat seperti tertulis dalam surat At Taubah ayat 103 mengandung
pengertian bahwa setiap muslim yang mempunyai harta benda yang telah cukup
nisab wajib membersihkan harta bendanya dengan memberikan sebahagian
hartanya kepada orang-orangyang berhak.
Zakat merupakan pemberian wajib yang dikenakan pada kekayaan
seseorang beragama Islam, yang telah terakumulasi nisab dan haul dari hasil
perdagangan, pertanian, hewan ternak, emas, dan perak, serta berbagai bentuk dari
hasil pekerjaan/profesi/investasi/saham dan lain sebagainya(Ahmad Supardi
Hasibuan, 2013: 81).
Dari segi istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak. (Nuruddin
Mhd. Ali, 2006 : 6).
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 pasal 1 ayat 2 tentang pengelolaan
zakat disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang
muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
sesuai dengan syariat Islam, sedangkan Yusuf Qardhawi berkesimpulan bahwa

zakat adalah ibadah ma’liyah yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan
orang-orang yang membutuhkan (Al-Zakah).
Selanjutkan menurut ulama Hanafiah zakat adalah peralihan kepemilikan
bagian harta tertentu dari harta tertentu untuk disalurkan kepada orang tertentu
yang sesuai dengan ketentuan syar’i, dalam rangka mengharap ridho Allah.
Menurut ulama Malikiah, zakat adalah mengeluarkan sebagian harta tertentu dari

3

harta yang telah mencapai nishab untuk diserahlkan kepada mustahiq. Menurut
ulama Syafi’iyah, zakat adalah nama bagi apa yang dikeluarkan dari harta atau
badan melalui ketentuan khusus. Sedangkan menurut ulama Hanabilah zakat
adalah sejumlah harta yang wajib diserahkan kepada kelompok (mustahiq) yang
telah ditentukan pada waktu yang telah ditentukan pula (Tarmizi Tohor, 2013: 5).
Dari pengertian di atas, zakat dimaknai sebagai bentuk kewajiban
mengeluarkan sebagian harta yang diperoleh setiap ummat Islam yang telah
sampai pada nisabnya menurut aturan dan ketentuan Islam yang akan diberikan
kepada orang tertentu. Orang tertentu tersebut merupakan mereka yang memiliki
hak atas dana zakat yang terkumpul oleh lembaga penerima zakat.
3. Jenis-jenis Zakat

Bila ditinjau dari kewajiban zakat, maka zakat dapat diklasifikasikan
kepada dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat harta.
a. Zakat Fitrah
Zakat fitrah terdiri dari suku kata, yaitu zakat dan fitrah. Kata zakat berarti
ath-taharah (suci), as-salah (baik), al-barakah (berkah), al-nama’ (tumbuh dan
berkembang). Adapun kata fitrah, merupakan isim masdar dari kata aftara-if-taran,
yang artinya “jiwa atau diri”. Dengan demikian, secara etimologi zakat fitrah
adalah “pensucian jiwa, perbaikan jiwa, keberkatan jiwa, dan menumbuh
kembangkan potensi jiwa”. Sedangkan secara terminology, zakat fitrah adalah
zakat yang diwajibkan bagi setiap individu (umat Islam), baik anak-anak maupun
orang dewasa, merdeka maupun hamba sahaya.
Defenisi di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya bahwa zakat fitrah
merupakan kewajiban individu yang tidak boleh ditinggalkan, baik oleh orang
kaya maupun miskin. Penafsiran selanjutnya, jika seseorang tidak memiliki
sesuatu apapun yang dapat dijadikan zakat fitrah, baik berupa makanan pokok
maupun uang senilai dengannya, maka diharuskan orang tersebut diharuskan
berhutang, sehingga dapat membayar zakat. (Tarmizi Tohor, 2013 : 10-11).
Hal di atas tentunya merupakan wujud penafian terhadap fuqaha’ yang
membatasi kewajiban zakat fitrah tersebut bagi mereka yang memiliki kelebihan
makanan untuk satu hari di hari raya ‘idul fitri.


4

Kemudian hikmah dari zakat fitrah ada dua. Pertama, menyempurnakan
puasa Ramadhan jika di dalamnya ternodai oleh perkataan-perkataan kotor.
Kedua, menunjukkan kepada fakir miskin akan perhatian saudara mereka di hari
Idul Fitri untuk ikut bergembira bersama mereka. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW, Ibnu Abbas r.a berkata :

Artinya : Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah itu sebagai pembersih orang
yang berpuasa dari perkataan kotor, juga berbagi makanan dengan fakir miskin.
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim), (Yusuf Qardawi, 2013 : 86)
b. Zakat Mal (harta)
Mengenai zakat mal (harta), banyak defenisi yang dikemukakan oleh
ulama, yaitu bagian harta yang disisihkan oleh seorang muslim, atau badan yang
dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Zakat mal, bila ditinjau dari segi harta yang diwajibkan dapat
diklasifikasikan kepada emas, perak, logam mulia, uang, surat berharga,
perniagaan,


pertanian,

perkebunan,

kehutanan,

peternakan,

perikanan,

pertambangan, perindustrian, pendapatan, jasa, dan rikaz.
4. Potensi Zakat di Indonesia
Indonesia yang merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia
sudah seharusnya menerapkan zakat sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi
Negara. Hal ini karena zakat memiliki potensi yang sangat besar, jika benar-benar
dikumpulkan secara baik dan terkoordinir oleh pemerintah. Sudah banyak contoh
pemimpin Islam yang menerapkan zakat pada masa kepemimpinannya

dan


membuktikan keberhasilannya, seperti para khulafaurasidyn, Umar bin Abdul
Aziz dan pemimpin Islam lainnya.
Menurut Didin, jika terkoordinasi dengan baik, potensi zakat di Indonesia
ini sangat besar. Menurut riset Baznas dan Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM)
IPB tahun 2011 menunjukkan bahwa potensi zakat nasional mencapai angka 3,4
persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan persentase ini, maka
potensi zakat di negara kita setiap tahunnya tidak kurang dari Rp 217 triliun.
5

Namun, potensi zakat yang sangat besar tersebut hanya terserap satu persen saja,
seperti penerimaan zakat oleh BAZNAS tahun 2011 hanya 1,7 Triliun. Masih
kecilnya penyerapan dan pengelolaan zakat karena berbagai faktor, diantaranya
belum tumbuhnya kesadaran akan penting dan manfaat zakat, zakat dianggap
sebagai bukan pemberian sukarela bukan sebuah kewajiban, zakat selama ini
hanya ditunggu oleh lembaga amil zakat tidak dipungut satu persatu, serta
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat. Selain itu juga,
disebabkan oleh sistem akumulasi yang tidak tepat dan tidak dibuat dengan
sebaik-bainya oleh Negara, sehingga zakat tidak dapat terkumpul secara
maksimal.
Padahal jika umat Islam melihat betapa besarnya potensi zakat apabila
dimaksimalkan sistem akumulasinya, maka akan sangat banyak rakyat Indonesia
yang miskin terbantu oleh dana zakat tersebut, sehingga rakyat Indonesia
khususnya ummat Islam akan sejahtera. Semakin banyaknya rakyat Indonesia
yang miskin maka akan banyak pula ummat Islamnya yang miskin, karena rakyat
Indonesia mayoritas ummat Islam. Oleh karena itu, sudah sepantasnya potensi
zakat yang sangat besar itu dimaksimalkan melalui sistem akumulasi yang baik,
selanjutnya sistem pendistribusiannya yang tepat.
5. Revitalisasi Sistem Akumulasi dan Pendistribusian Zakat
a. Sistem Akumulasi Zakat; Belajar dari Sistem Pemungutan Pajak

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS: At-Taubah
Ayat: 103)
Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan
Rasulullah SAW dalam ayat ini untuk memungut zakat dari umatnya untuk
menyucikan dan membersihkan mereka dengan zakat itu. Selain itu juga beliau

6

diperintahkan agar berdo’a dan beristighfar bagi mereka yang menyerahkan
bagian zakatnya.
Dari penjelasan ayat dan tafsir di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya
zakat itu sudah seharusnya di ambil atau dipungut oleh para petugas amil zakat,
bukan seperti yang terjadi sekarang dimana zakat ditunggu oleh para amil zakat
untuk di antar muzzaki atas dasar kesadaran sendiri. Padahal zakat sudah wajib
diambil sebagaimana layaknya petugas pemungut pajak yang mengambil pajak
dari setiap wajib pajak. Dimana saat ini pajak merupakan salah satu primadona
sumber penghasilan Negara yang dari tahun ketahun terus meningkat. Bahkan
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebagian besarnya diperoleh dari
hasil pemungutan pajak, mulai pajak penghasilan, pajak badan, pajak bumi dan
bangunan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, zakat sendiri telah dilupakan dan dikesampingkan sebagai
sebuah sumber pembiayaan Negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Padahal
Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia, yang
mana seharusnya zakatlah yang menjadi primadona sumber penghasilan Negara .
Karena jika ditilik dari segi agama dan social zakat memiliki dua hubungan yang
pertama habumminallah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablumminannas
(hubungan sesame manusia). Artinya selain zakat itu sebagai bentuk kewajiban
setiap umat Islam untuk membersihkan hartanya, zakat juga memiliki tujuan yang
mulia dalam mensejahterakan ummat Islam. Berbeda dengan pajak yang hanya
berdimensi habluminannas dan tujuannya pun tidak jelas. Maksud tidak jelas
disini kebanyakan dana pajak itu hanya digunakan untuk membayar hutang
Negara.
Selanjutnya, Islam melalui sistem penghimpun dana zakat telah memiliki
sejarah kesuksesan yang panjang, seperti pada masa khulafaurasyidin, umar bin
Abdul Aziz, dan lain-lain. Dimana pada masa itu selain dana zakat digunakan
untuk delapan asnaf, dana zakat juga dapat digunakan untuk keperluan Negara.
Kemudian pada masa Abu Bakar As-Shiddiq khalifah pertama telah
mencontohkan betapa tegasnya ia dalam masalah zakat, sehingga pada zamannya

7

siapapun orang yang tidak membayar zakat dianggap musuhnya dan akan
diperangi.
Pentingnya zakat dikeluarkan oleh ummat Islam merupakan sebuah sarana
ibadah sekaligus membantu kepada sesame manusia yang berkekurangan. Oleh
karena itu, sudah saatnya zakat di Indonesia belajar dari sistem pemungutan pajak,
yakni dimana zakat perlu dipungut dari para muzzaki bukan ditunggu. Kemudian
pemerintah harus mendirikan Direktorat Jendral Zakat dan membuat UndangUndang dan aturan hukum zakat sebagaimana Undang-Undang dan aturan pajak
yang berlaku. Mengapa demikian? Karena zakat sebagai sebuah kewajiban ummat
Islam sebagai bentuk sempurnanya amalan dan ibadah rukun Islam yang lima.
Pendirian Direktorat Jendral Zakat ini dimaksudkan agar zakat dapat
dihimpun atau diakumulasikan secara maksimal dan dapat dipergunakan sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena apabila zakat dipungut
oleh Negara dan memiliki Undang-Undang dan aturan yang jelas sebagaimana
pajak yang berlaku di tanah air, dapat dipastikan potensi zakat yang besarnya
mencapai 200 triliun lebih itu akan terealisasi dan akan terus meningkat setiap
tahunnya seiring dengan semakin sejahteranya ummat Islam dan membayar zakat.
Selain itu, jika zakat hanya dipungut dalam lembaga yang berbentuk badan
seperti yang ada sekarang ini tidak akan dapat dimaksimalkan sistem
akumulasinya. Karena berbagai factor seperti pandangan ummat Islam tentang
zakat sudah banyak yang berubah dari sebagai sebuah kewajiban menjadi sesuatu
yang tidak wajib atau sebagai bentuk pemberian sukarela saja serta kurang
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat itu sendiri.
b. Sistem Pendistribusian Zakat; dari Konsumtif Menuju Produktif
1. Pengertian Zakat Bersifat Konsumtif
Zakat yang bersifat konsumtif adalah harta zakat secara langsung
diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan,
terutama fakir miskin. Harta zakat diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara
wajar.

8

Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh
kelompok fakir, miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang
tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya.
Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan menggunakan
harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada waktu
jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya
yang bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin
yang mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan
dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan papan.
Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal untuk berlindung dan
beristirahat. Pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang fakir miskin secara
konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka yang lemah dalam bidang fisik, seperti
orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada saat tertentu tidak bisa diatasi
kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Nabi dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya berkaitan
dengan pelaksanaan zakat fitrah yang konsumtif, di mana pada hari itu (hari raya)
keperluan mereka fakir miskin harus tercukupi.
Bunyi Hadits:

‫ ض‬:‫ل‬
‫ ض‬، َ‫ما‬
‫قاَ ض‬
‫ض‬
‫ه ض‬
‫ن ه‬
‫ ض‬-1503
‫مضر ضر ض‬
‫عن ن ه‬
‫ه ض‬
‫ي الل ل ه‬
‫ع ض‬
‫فففضر ض‬
‫ض ض‬
‫ن اب ن ض‬
‫ع ض‬
‫ه صلى الله عليه وسلم ضز ض‬
‫سوُ ه‬
َ‫عا‬
‫صففاَ ع‬
‫كاَةض ال ن ض‬
‫ل الل ض‬
‫ضر ه‬
‫ر ض‬
‫فط ن ض‬
‫ض‬
‫ن ض‬
‫ر‬
‫ر ض‬
‫صاَ ع‬
‫ش ض‬
‫عب ن ض‬
‫عاَ ض‬
‫ض‬
‫وال ن ه‬
‫عضلى ال ن ض‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫ن تض ن‬
‫و ض‬
‫حرر ض‬
‫د ض‬
‫أ ن‬،‫ر‬
‫والذلك ض ض‬
‫عي ر‬
‫م ر‬
‫ض‬
‫ض‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ص ض‬
‫سل ض ض‬
‫ر ض‬
‫هففاَ أ ن‬
‫مضر ب ض ض‬
‫م ن‬
‫مي ض‬
‫م ض‬
‫وأ ض‬
‫ن ال ن ه‬
‫وال ل‬
‫ن ض‬
‫ر ض‬
‫والن نضثى ض‬
‫ض‬
‫وال نك ضضبي ض‬
‫غي ض‬
‫ض‬
‫دى ض‬
‫ته ض‬
‫قب ن ض‬
(‫ة )رواه البخاَرى‬
‫ل ه‬
‫صل ض ض‬
‫ؤ ل‬
‫س إ ضلى ال ل‬
‫ج اللناَ ض‬
‫خهرو ض‬
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu

‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’
sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil
dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum
orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. (HR. Bukhari No.1503).
Dalam penjelasan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang
dikeluarkan pada waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu
9

menghilangkan beban kesedihan pada hari raya tersebut, juga secara objektif
memang ada kebutuhan yang mendesak yang bersifat konsumtif yang harus
segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti kebutuhan itu pada
saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya gunakan dengan
mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara itulah penderitaan
mereka teratasi.
2. Pengertian Zakat Bersifat Produktif
Zakat produktif ialah zakat yang diberikan kepada mustahik sebagai modal
untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi, yaitu untuk menumbuhkembangkan
tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahik. (Abdurrahman Qadir, 1998 :
46).
Kata produktif secara bahasa berasal dari dari bahasa inggris “productive”
yang berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil; banyak
menghasilkan

barang-barang

berharga;

yang

mempunyai

hasil

baik.

“productivity” daya produksi.
Secara umum produktif berarti “banyak menghasilkan karya atau barang.”
Produktif juga berarti “banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil”. Zakat
produktif yang artinya zakat dimana dalam pendistribusiannya bersifat produktif
lawan dari konsumtif. Lebih tegasnya zakat produktif adalah pendayagunaan
zakat secara produktif yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau
metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran. Cara pemberian yang tepat
guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif, sesuai
dengan pesan syari’at dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Dengan demikian Zakat produktif adalah pemberian zakat yang dapat
membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus, dengan
harta zakat yang telah diterimanya, dimana harta atau dana zakat yang diberikan
kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan
untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.

10

3. Pendistribusian Zakat Konsumtif dan Produktif
Dalam hal pendistribusian zakat, adapun orang yang berhak menerima
zakat tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dipujuk
hatinya, untuk memerdekakan hamba, orang-orang yang berhutang,
untuk dijalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Attaubah : 60)
Ibnu katsir dalam tafsrinya menjelaskan ayat ini turun ketika orang-orang
munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tentang pembagian zakat , kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah –lah yang
mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu
kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat
tersebut. Maksudnya ialah bahwa zakat wajib ini berbeda dengan sadaqah
mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.
Merujuk kepada maksud dari petikan ayat dan tafsir di atas, terdapat
delapan golongan (Asnaf) yang layak menerima dan memiliki hak atas dana zakat,
yaitu Fakir (golongan termiskin pendapatan dibawah separuh daripada garis
kemiskinan), Miskin (pendapatan di bawah garis kemiskinan), Amil (mereka yang
dipertanggungjawabkan untuk memungut dan mengurus zakat), Mualaf (golongan
yang memeluk Islam, dan mereka yang dipujuk hatinya agar tidak memusuhi
Islam), Riqab (membebaskan hamba), Gharim (orang yang berhutang),

11

Fisabilillah (orang yang berjuang/bekerja di jalan Allah), Ibnu Sabil (orang yang
dalam perjalanan) (Asmak Ab Rahman, 2008 : 77) .
Di Indonesia, selama ini dalam pendistribusian zakat muzakki belum bisa
membedakan mana Mustahiq yang layak diberi zakat konsumtif dan mana yang
diberi zakat produktif. Sehingga yang seharusnya Mustahiq yang mendapat zakat
produktif malah mendapat zakat konsumtif maka tidak sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Dana zakat yang selama ini didistribusikan kepada delapan asnaf
yang disebutkan dalam al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 hanya sebatas dana
yang difungsikan sebagai konsumsi para penerima zakat tersebut. Sifat konsumtif
pada penggunaan zakat selama ini tidak menimbulkan dampak yang begitu baik
dalam perekonomian umat Islam.
Sudah seharusnya dana zakat yang terkumpul itu dimanfaatkan secara
tepat, yakni pengunaan dan pengelolaan secara produktif. Walaupun bila
diperhatikan keadaan fakir miskin, anak yatim, orang jompo, dan yang lainnya
zakat yang sifatnya konsumtif tetap masih dibutuhkan. Sebab mereka tidak
mungkin melakukan kegiatan yang bersifat produktif seperti membuka usaha dan
lain sebagainya.
Sebenarnya pembicaraan tentang zakat produktif kian hari makin hangat
dibicarakan, baik itu di kalangan akademisi, praktisi bahkan telah menyentuh
lapisan masyarakat umum. Munculnya pembicaraan tentang zakat produktif ini,
tidak terlepas dari kekecewaan masyarakat tentang zakat yang seyogyanya adalah
salah satu elemen penting dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata tidak
kunjung terlihat membuahkan hasil dalam mengurangi angka kimiskinan di ranah
Indonesia.
Selanjutnya zakat produktif ini bukan lagi barang baru. Penyaluran zakat
secara produktif ini pernah terjadi dan dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Hal
ini dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin
Abdillah Bin Umar dari ayahnya, “bahwa Rasulullah telah memberikan zakat
kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi”. Zakat
produktif ini sebenarnya lebih kepada tata cara pengelolaan zakat, dari yang
sebelumya hanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif dan

12

pemenuhan kebutuhan sesaat saja, lalu diubah penyaluran dana zakat yang telah
dihimpun itu kepada hal-hal yang bersifat produktif dalam rangka pemberdayaan
umat. Dengan kata lain dana zakat tidak lagi diberikan kepada mustahik lalu habis
dikonsumsi. Akan tetapi, dana zakat itu diberikan kepada mustahik untuk
mengembangkan sebuah usaha produktif dimana pelaksanaanya tetap dibina dan
dibimbing oleh pihak yang berwenang.
Karena jika tetap bertahan pada sistem pendistribuisan zakat yang bersifat
konsumtif, maka keinginan dan cita-cita untuk cepat mengurangi dan menghapus
kemiskinan di Indonesia ini hanya akan jadi mimpi belaka. Karena mustahik yang
menerima zakat pada tahun ini akan kembali menerima zakat pada tahun tahun
berikutnya. Dengan kata lain, mustahik saat ini akan melahirkan mustahikmustahik baru dari keturunanya. Hal ini tentu tidak akan bisa menggambarkan
bahwa zakat itu adalah salah satu media untuk mencapai pemerataan
kesejahtaraan masyarakat.
Nah, jika kita sedikit ingin merubah tata cara pendistribusian zakat kepada
yang bersifat produktif, maka diharapkan zakat sebagai salah satu instrumen
penting dalam pengentasan kemiskinan, sehingga dapat mengurangi atau bahkan
menghapuskan kemiskinan di Republik ini. Dengan adanya zakat produktif ini
akan bisa memunculkan muzakki-muzakki baru. Dengan bahasa lain, mereka
yang tahun ini adalah penerima zakat, mungkin dengan adanya zakat produktif
akan bisa membayar zakat satu, dua atau tiga tahun ke depan. Tidak hanya itu,
dengan adanya kebijakan zakat prduktif ini juga akan bisa mengenjot laju
pertumbuhan ekonomi umat.
Bukankah salah satu tujuan disyaria’tkannya zakat adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan umat khususnya kaum du’afa, baik dari segi moril
maupun materil. Penyaluran zakat secara produktif adalah salah satu cara cerdas
untuk mewujudkan itu semua. Misalnya dana zakat yang terkumpul diberikan
kepada yang berhak dengan syarat dana zakat tersebut digunakan untuk membuka
sebuah usaha yang sifatnya menghasilkan atau sebuah kegiatan produksi. Dengan
demikian, jika para mustahik mampu mengelola dana zakat tersebut secara baik
dan menumbuhkembangkan perekonomiannya, maka jika ia awalnya adalah

13

penerima zakat ia akan berganti posisi menjadi pemberi zakat, dikarenakan ia
telah memiliki ekonomi yang baik dari hasil produktifitas dana zakat yang
dikelola secara baik. Karena tujuan dari zakat produktif ialah untuk merubah
status dari mustahik menjadi muzakki dan pengembangan dari harta zakat. (Ali
Hasan, 2000 : 23)
Selanjutnya agar zakat produktif ini dapat berjalan sebagaimana yang
dikehendaki, maka ada beberapa hal yang harus dilakukakan oleh pemerintah dan
umat Islam, yakni :
1. Membuat Direktorat Jenderal Zakat agar lebih kuat dalam sistem
akumulasinya.
2. Mengatur dengan tepat prosedur alokasi zakat yang mencerminkan
pengendalian yang memadai sebagai indokator praktek keadilan
3. Mengatur sistem seleksi mustahiq dan penetapan kadar zakat yang
dialokasikan untuk yang bersifat zakat konsumtif atau zakat produktif
4. Membuat sistem informasi muzzaki dan mustahik (Mursyidi, 2003 : 180)
5. Membuat sistem dokumentasi dan pelaporan yang akuntabel dan
transparansi.
Dengan lima hal di atas, diharapkan mampu memberikan hasil yang ingin
dicapai, dan prinsip akuntabilitas pun dapat dilaksanakan. Jika konsep di atas
dapat diterapkan dengan baik, maka akan dapat dilihat betapa besarnya potensi
zakat itu, sehingga perolehan zakat dapat membantu ummat dalam upaya
pengentasan kemiskinan di tanah air, yang akhirnya upaya meningkatkan
kesejahteraan umat bisa tercapai
6. Penutup
a. Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, sudah
seharusnya menerapkan konsep zakat sebagai suatu upaya meningkatkan
kesejahteraan ummat dalam proses pengentasan kemiskinan, dengan cara
merevitalisasi sistem akumulasi dan sistem pendistribusian zakat yang baik dan
benar. Adapun sistem akumulasi yang dapat dilakukan adalah dengan cara
pemerintah harus memiliki komitmen dan konsistensi tentang akumulasi zakat di
tanah air, salah satu yang dapat dilakukan ialah mendirikan Direktorat Jendral
Zakat menggantikan badan-badan zakat yang ada sekarang ini seperti Baznas,
Rumah Zakat, dan yang lainnya. Hal ini karena zakat merupakan suatu kewajiban

14

yang memang wajib diambil atau dipungut seperti pemungutan pajak oleh Negara,
kemudian juga sebagai bentuk proses belajar dari sistem akumulasi pajak yang
telah sukses dan berkembang dengan pesat dari segi kuantitasnya, walaupun jika
ditilik secara kualitasnya hanya digunakan untuk membayar hutang Negara.
Selanjutnya yang harus dibangun adalah sistem pendistribusian dari zakat
konsumtif menuju zakat produktif. Ini dimaksudkan bahwa zakat konsumtif tetap
ada untuk orang tertentu, namun mulai saat ini harus lebih mengarah kepada zakat
produktif, sebab dengan zakat produktif diharapkan para mustahiq akan berubah
menjadi muzzaki dalam waktu setahun atau dua tahun kedepannya. Dengan
demikian tujuan zakat untuk mensejahterakan umat dan mengentaskan
kemiskinan dari muka bumi dapat tercapai dan terlaksana sesuai yang diharapkan.

15