perkembangan kontemporer historiografi dan id

Perkembangan Kontemporer Historiografi Indonesia
Oleh:
Lutfiah Anggi Aprillia
Susiani
A. Pendahuluan
Historiografi Indonesia, dalam beberapa dasawarsa terakhir mengalami
perkembangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini ditandai dengan
banyaknya karya-karya sejarah, baik yang ditulis sejarawan Indonesia sendiri,
maupun sejarawan luar. Walaupun dari segi kualitasnya berbeda-beda. Karya
sejarah tersebut telah memberikan peranan dalam upaya pemahaman terhadap
sejarah indonesia.
Perkembangan secara kualitatif itu terlihat, misalnya, dari penggunaan
metodologi yang semakin kompleks, yang melibatkan kian banyak ilmu bantu,
khususnya ilmu-ilmu humaniora lainnya, semacam antropologi; dan ilmu-ilmu
sosial seperti sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan lain-lain. Karena ini,
sejarah semakin sosiologis (sociologial history) atau semakin antropologis
(anthropologial history). Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial dan humaniora juga
semakin banyak menggunakan bantuan ilmu sejarah (cf. Kartodirjo, 1992;
Kuntowijoyo, 1995).1
Penggunaan ilmu-ilmu bantu dalam penulisan sejarah Indonesia telah
memperkuat dan mengembangkan corak baru dari apa yang selama ini sering

disebut kalangan sejarawan sebagai sejarah baru, sebagai kontras dari sejarah
lama, yang umumnya bersifat naratif dan deskriptif.
Sejarah Indonesia yang telah ditulis hingga kini yang penuh dengan bidang
kosong mencerminkan tidak terarahnya perkembangan historiografi Indonesia.
Tidak ada jalinan cerita sejarah yang runtut, tidak ada pusat pandangan tertentu,
dan umumnya rekonstruksi beberapa kurun waktu didasarkan atas bukti-bukti
yang sangat terbatas.
1 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2002), hlm. 3-4.

1

B. Pembahasan
Historiografi kontemporer adalah sejarah masa kini atau bisa diartikan
sebagai sejarah baru. Sejarah baru sering diartikan sebagai sejarah alternatif.
Menurut kami sejarah baru ingin merubah paradigma sejarah lama yang
cenderung bersifat politik. Sejarah baru memiliki visi dan perspektif yang luas.
Historiografi alternatif ini mengandung pembaruan dalam hal sumber, metodologi
dan perspektif. Dalam hal ini disebutkan bahwa sejarah lisan sebagai alternatif
dari sumber tertulis.2 Jika dulu sejarah ditulis dari perspektif pemenang (yang
sering pula menjadi pelaku pelanggaran HAM), kini sejarah bisa ditulis oleh pihak

yang kalah atau korban. Sejarah dari perspektif korban menjadi sejarah alternatif,
kini dan esok. Sejarah bukan hanya tentang peristiwa orang-orang besar, tetapi
menyangkut keseharian orang-orang kecil. Mengenai metodologi tentu dapat
didiskusikan tentang pendekatan Marxisme dalam sejarah atau dekontruktif yang
dikembangkan oleh aliran pos-modernisme.
Menurut Asvi Warman Adam, Fakta dan narasi yang seimbang merupakan
kata kunci untuk pelurusan sejarah. 3 Ada dua golongan yang kurang dapat
menerima istilah pelurusan sejarah. Yang pertama adalah kelompok yang ikut
terlibat dalam penyusunan sejarah pada Orde Baru. Memakai istilah ini berarti
mereka mengakui telah melakukan berbagai kekeliruan pada masa lampau. Yang
kedua adalah para sejarawan yang khawatir bahwa pelurusan sejarah itu bersifat
final, padahal ini merupakan upaya yang berjalan terus-menerus.
Meluruskan sejarah terutama dari kelompok yang kalah dan dirugikan pada
masa peralihan politik Orde Lama ke Orde Baru, kini sedang berlangsung oleh
kelompok tersebut dan juga menjadi debat-debat di kalangan sejarawan
profesional sendiri yang ikut sebagai jurutulis tingkat tinggi.
Terlepas dari problem meluruskan fakta sejarah atau semacam pekerjaan
jurutulis tingkat tinggi, tema-tema baru yang nampak dalam perkembangan
historiografi Indonesia sejak akhir tahun 1980an dan 1990an menuntut informasi
yang lebih bervariasi yang belum tentu dapat ditemukan dalam sumber-sumber

tertulis. Penggunaan sumber-sumber lisan merupakan alternatif penting.
2 Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam, Menggugat Historiografi Indonesia (Yogyakarta:
Ombak, 2013), hlm. 50.
3 Ibid., hlm. 52-53.

2

Sebelum menjelaskan penggunaan sumber-sumber lisan dalam historiografi
Indonesia umumnya dan problem yang dihadapi, uraian di bawah ini akan
memfokuskan perhatian pada perkembangan historiografi sejarah lisan baik di
luar dan di Indonesia sendiri.
Perkembangan Historiografi Sejarah Lisan
Perkembangan historiografi sejarah lisan tidak memperlihatkan sebuah garis
yang linear. Di Eropa sampai abad ke 19, boleh dikatakan historiografi sejarah
lisan, marginal. Para sejarawan profesional mendasarkan informasi pada arsiparsip primer dan sumber-sumber dokumenter lainnya. Penggunaan dan validitas
pembuktian informasi lisan baru muncul setelah abad ke-19 dan kemudian
meningkat sejak Perang Dunia Kedua, seiring dengan meningkatnya teknologi
rekaman melalui tape recorder. Waktu dan pola kebangkitan sejarah lisan ini
tentu saja berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Amerika Serikat,
pada tahun 1948 kegiatan sejarah lisan dipelopori oleh Universitas Colombia,

yang memfokuskan perhatian pada elite, sementara di Inggris dalam tahun
1950an dan 1960an, lebih tertarik merekam pengalaman ‘ordinary working
people’. Pilihan subjek semacam ini tidak bisa dilepaskan dari komitmen politik
negara itu. Proyek sejarah lisan di negara ini dipelopori oleh para sejarawan
sosial yang melihat sejarah dari bawah. 4
Meskipun kemunculan sejarah lisan dan pola-pola perkembangannya
bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi ide-ide dan debat-debat
tentangnya terbukti sangat kritis dalam membentuk pendekatan kontemporer
untuk sejarah lisan dan terbukti juga sangat mempengaruhi para sejarawan
sejarah lisan di berbagai belahan dunia. Di era 1970an, muncul kritik terhadap
sejarah lisan mengenai keakuratan pembuktian sumber-sumber lisan. Mereka
beragumen bahwa memori tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah yang
akurat.5 Kritik-kritik semacam ini ditangkis oleh Paul Thompson dengan
menerbitkan buku yang berjudul The Voice of the Past: Oral History yang menjadi
buku standar untuk para sejarawan lisan di berbagai belahan dunia. Buku ini
diterbitkan pada tahun 1978. Ia beragumen bahwa sejarah lisan telah membawa
pergeseran dalam fokus dan membuka areal penelitian baru, dan juga
4 Uraian yang rinci mengenai perkembangan sejarah lisan dan debat-debat yang menyertainya, lihat
Robert Perks and Alistair Thomson. The Oral History Reader, London and New York: Routledge, 1998. Hlml. 1-8.
5 andhian.blogspot.com


3

menemukan informasi baru yang tak ada dalam sumber-sumber lisan. Sebagai
seorang sejarawan sosialis Inggris, Thompson menghasilkan sebuah buku “The
making of English Working Class”, yang membahas tidak hanya masalah disiplin
kerja, akan tetapi juga pengalaman-pengalaman buruh Inggris dan budaya
mereka dengan informasi yang diperoleh dari wawancara. Buku ini kemudian
menjadi buku pegangan bagi para peneliti sejarah buruh, karena membuka tabir
mengenai

pengalaman-pengalaman

budaya

yang

memberikan

referensi


terhadap politik buruh di tempat kerja.
Di Amerika Serikat, beberapa sejarawan yang mendasarkan penelitiannya
pada sumber-sumber lisan, menemukan bahwa sejarah lisan menjadi ‘alat yang
kuat untuk menganalisa dan mengevaluasi sifat dari proses memori sejarah.
Artinya bagaimana orang mengartikan masa lalunya, bagaimana mereka
menghubungkan pengalaman individu dan konteks sosialnya, bagaimana masa
lalu menjadi bagian dari masa kini, dan bagaimana orang menggunakan sumbersumber lisan untuk menginterpretasikan kehidupan mereka dan dunia yang
mengitarinya. Pendekatan-pendekatan baru dalam sejarah lisan ini disampaikan
dalam sebuah seminar internasional pertama yang diadakan di Essex, Inggris
pada tahun 1979, dan diterbitkannya sebuah jurnal Internasional mengenai
sejarah lisan pada tahun 1980. Sejarah sebagaimana selalu disitir oleh para
sejarawan konvensional sebagai ‘sesuatu yang sebenarnya terjadi’ di sini
mengalami transformasi. Penulisan sejarah dan pendekatan terhadap sejarah
lisan bukan lagi semata-mata sebagai pekerjaan mencari keakuratan data,
seperti tanggal, tempat dan sebagainya, akan tetapi yang penting juga adalah
mencari peranan subjektivitas dalam sejarah, seperti pengertian-pengertian yang
sadar dan tidak sadar mengenai pengalaman sebagaimana dihidupkan, dan
diingat. Sejarah lisan juga memperlihatkan bagaimana pengaruh budaya publik
dan ideologi atas memori individu atau memori kolektif yang bisa saja

diungkapkan dalam bentuk diam dalam wawancara. Pendekatan-pendekatan
semacam ini menandai perkembangan baru dalam sejarah lisan yang digagas
oleh sejarawan Itali, Luisa Passerini. Alessandro Portelli yang juga sejarawan
Itali memberikan argumentasi terhadap eksistensi penggunaan sejarah lisan
yang tetap dikritik keakuratannya. Apa yang membuat sejarah lisan berbeda
menurutnya adalah pada hubungan antara pewawancara dan yang diwawancarai

4

yang semuanya itu lebih merupakan kekuatan, sumber informasi daripada
memperlihatkan kelemahan dan problematikanya.
Perkembangan historiografi sejarah lisan pada tahap berikutnya juga
mengalami kritik dari segi pendekatan. Memori dari kelas buruh Turin di Italy
yang direkam oleh Passerini juga mendapat kritik, terutama dari kelompok
sejarawan yang bekerja di Centre for Contemporary Cultural Studies’ di
Birmingham, Inggris. Meskipun Passerini mampu menganalisa pengalaman
subjektif dari kelas buruh untuk ‘mengungkapkan dirinya’, tetapi ia tidak melihat
bagaimana memori kelas buruh yang tertekan ini dipengaruhi oleh sejarahsejarah dominan. Karena itu informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lisan
kelas buruh ini memerlukan intrepretasi yang kritis. Memori-memori perorangan
itu semestinya ditempatkan dalam proses yang lebih luas dari produksi sosial

dari memory atau memori perorangan juga harus ditempatkan dalam konteks
popular memory. Karena itu ada kaitan erat antara kesaksian-kesaksian lisan
yang diperoleh dari memori perorangan dan memori sosial.
Historiografi modern terus berkembang secara dinamis sesuai dengan
dinamika masyarakat Indonesia pada masa kini dan akan datang. Pada fase
penulisan historiografi modern kita dapat mengidentifikasi fase-fase penggarapan
kajian sejarah modern dalam sejarah Indonesia. paling tidak, kita dapat membagi
fase-fase perkembangan tersebut dalam beberapa dekade perkembangan, yaitu
dari periode dekade 1950-an dan 1960-an, periode dekade 1970-an dan 1980-an
sampai periode dekade 2000-an. masing-masing dekade dapat dipandang
memiliki spirit dan suasana lingkungan masing-masing, sehingga memiliki
produksi dan representasi karya masing-masing generasi.
Fase pertama, dapat disebut sebagai fase perkembangan awal atau dekade
kelahiran perintis Sejarawan Indonesia Baru (founding father) Ilmu sejarah di
lingkungan Perguruan Tinggi ditandai dengan dibukanya jurusan sejarah di
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia pada tahun 1950-an
kemudian diikuti perguruan tinggi lainnya pada tahun 1960-an. Masa itu dianggap
sebagai masa awal sejarah akademik diperkenalkan di Indonesia.

6


Fase kedua, dapat dianggap sebagai fase kelahiran generasi kedua, atau
generasi sejarawan murid generasi pertama. Fase ini dikenal sebagai fase
6 Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern (Yogyakarta:
STPN Press, 2009), hlm. 8.

5

pemekaran baik secara spasial maupun kualitas akademik, dan pada fase ini,
kajian produksi sejarah makin berkembang.
Fase ketiga merupakan kelanjutan dari fase kedua, akan tetapi mulai
dihadapkan pada tantangan perubahan zaman, termasuk perubahan tatanan
politik dunia dan tatanan politik nasional. Fase terakhir merupakan fase
sejarawan dihadapkan pada krisis sejarah.
Ilmu sejarah dengan perangkat teori-metodologi dan metodologi penelitiannya
telah membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam visi, perspektif,
dan pendekatan kajian dan produksi sejarah yang berbeda dengan masa
sebelumnya. Yang paling penting pada masa ini adalah diperkenalkannya IlmuIlmu Sosial dalam penggarapan sejarah. Hal tersebut telah membawa perubahan
besar terhadap berkembangnya kajian kritis terhadap Sejarah Indonesia.
Pada awal kemunculannya, terutama sejak 1960-an, sejarah baru yang

dipahami sebagai sejarah alternatif dipahami sebagai “sejarah politik”. Setelah
mengalami perkembangan sejarah baru dapat dipahami sebagai “sejarah sosial”,
yakni sejarah yang lebih menekankan kepada kajian atau analisis terhadap
faktor-faktor bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwaperistiwa sejarah itu sendiri.7 Di sini tersirat pandangan dunia yang mendasari
penulisan sejarah “sejarah sosial”; bahwa sejarah tercipta dan berkembang
bukan semata-mata karena faktor politik, tetapi lebih-lebih lagi disebabkan oleh
faktor sosial. Dengan kata lain, politik tidak lagi dipanndang sebagai faktor
terpenting – apalagi satu-satunya faktor yang memunculkan peristiwa sejarah.
Menurut Sartono Kartodirjo, “sejarah sosial” adalah sejarah mengenai
“gerakan-gerakan sosial” (soscial movement) yang muncul dan berkembang
dalam sejarah. Bahkan, sejarah tentang “gerakan-gerakan sosial” ini secara lebih
sempit dan dikhususkan lagi, dalam perspektif Sartono, adalah sejarah tentang
“gerakan-gerakan sosial”, yang cenderung marjinal, dan menyempal dari arus
utama masyarakat atau tatanan sosial politik yang mapan. Dalam kerangka inilah
kita bisa menempatkan secara pas, gerakan-gerakan sosial semacam “gerakan
petani di Banten”, atau gerakan-gerakan radikal dan rahasia Sarekat Islam yang
banyak dikaji Sartono (lihat Kartodirjo, 1966: 1973, 1992, 157-159).
Kajian sejarah yang dilakukan Sartono jelas termasuk ke dalam pengertian
lama mengenai “sejarah sosial”. Seperti dikemukakan Hobsbawn (1972),
7 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2002), hlm. 4


6

“sejarah sosial” dalam pengertian lama mengacu kepada sejarah tentang orangorang miskin atau masyarakat kelas bawah, atau lebih spesifik lagi, kepada
gerakan-gerakan orang miskin. Dalam konteks ini, seperti terlihat dalam studi
Sartono tentang Banten dan gerakan-gerakan sosial lainnya di Jawa adalah
masyarakat petani yang mengalami deprivasi sosial politik pada saat
kolonialisme Belanda berada pada puncak kejayaannya.
Selanjutnya “sejarah sosial” juga mengacu kepada sejumlah aktivitas
manusia yang agak sulit diklasifikasikan karena begitu luasnya seperti
“kebiasaan” (manners), adat istiadat istilah Jerman biasanya disebut kultur atau
sittengeschicte. “Sejarah sosial” seperti ini, tidak harus selalu diorientasikan
kepada masyarakat kelas bawah. Yang jelas, sejarah sosial dalam kategori ini
cenderung tidak mengikutsertakan politik; sebagaimana sering terjadi pada
“sejarah sosial” dalam pengertian pertama tadi. 8 Dalam historiografi Indonesia
kontemporer, contoh terbaik adalah karya sejarawan dari The Australian National
University, Anthony Reid (1988 dan 1933), dan sejarawan Prancis, Denys
Lombard (1996) yang dalam banyak bagian buku masing-masing menampilkan
“sejarah sosial” dalam pengertian ini.
menghadapi “krisis Sejarah”: Keraguan terhadap Arah, Tujuan, Pendekatan
dan Kajian Sejarah yang berlaku pada Masa Kini.
Ada pertanda bahwa pada akhir-akhir ini telah terjadi keraguan terhadap
kemandegan dalam ekplanasi sejarah, sebagai akibat berbagai faktor. Sejarah
tampak menjadi tidak yakin akan tujuan, metode, dan arah yang akan dituju,
sehingga orang mulai menganggap terjadi ‘krisis sejarah”. Pada pihak lain ada
juga yang menyangsikan tentang kebenaran dan ketepatan eksplanasi sejarah
bagi publik, sehingga perlu pelurusan sejarah. Sementara pihak lainnya lagi,
menganggap belajar sejarah tidak lagi menarik, membosankan dan tidak memiliki
manfaat, sehingga memberikan pertanda

seolah-olah sejarah mengalami

kemerosotan kepercayaan puplik. Demikian pula, sehubung dengan datangnya
Era Postmodermisme, ada sementara sejarawan luar yang secara pesimistis
menghawatirkan kemajuan kajian sejarah di masa depan, karena ia menganggap
pada masa kini sedang berlangsung proses “pembunuhan sejarah” atau “The
Kiling of History”. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adannya perkembangan teori
8 Ibid., hlm. 5

7

kritis sastra baru dan teori-teori sosial baru yang cenderung membunuh konsep
masa lampau kita.9
Perlunnya Pendekatan Visioner dalam Kajian Sejarah Indonesia
dipandang dari perspektif sejarah Histiografi Modern di Barat, pergumulan
yang dialami oleh sejarahwan di Indonesia maupun tempat lain, pada hakikatnya
bukanlah hal yang baru. Sejak abad ke-18, pergumulan dan perjuangan para
pilosof dan sejarawan untuk melakukan pembaharuan arah, tujuan, dan metode
serta paradiqma epistemologis, otologis dan metodologis dalam pemikiran kajian
Sejarah telah terjadi.
Pendekatan Visioner, secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Pendekatan Visioner yang dimaksud disini hakikatnya adalah sebuah model
pendektan integratif sejarah Linear yang menyimbangkan penekanan
orientasi kajiannya secara integratif mencakup tiga dimensi temporal masa
lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
b. Kajian sejarah Visioner bertujuan untuk menyusun gambaran sejarah masa
yang akan datang ( future history ) berdasarkan kajian data dan faktasejarah
yang tersedia pada masa kini dan masa lampau, baik melalui analisis
interdisipliner, multidisipliner, multidimensional, maupun monodisipliner kajian
sejarah kritis.
c. Kajian sejarah Visioner dapat merumuskan kerangka pemikiran paradigmatik,
epistemologis,

ontologis,

dan

teoretis-metodologisnya

untuk

dapat

menjelaskan kecenderngan, pola dan arah atau prediksi perkembangan
dimensi kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang yang
didasarkan pada analiis sejarah.
d. Kajian sejarah Visioner dapat dikembangkan melalui dimensi-dimensi kajian
Sejarah politik, Sejarah Sosial, Sejarah Ekonomi,Sejarah Sosial-Ekonomi,
Sejarah Kebudayaan, Sejarah Pedesaan, Sejarah Perkotaan, Sejarah
Demograsi, Sejarah Maritim, Sejarah Agraria, Sejarah Lingkungan, Sejarah
Seni, dan jenis kajiannya yang relawan untuk dikaji.

9 Djoko Suryo, Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern (Yogyakarta:
STPN Press, 2009), hlm. 12.

8

e. Kajian sejarah Visioner dapat pula digunakan dalam studi kasus, yang
bertujuan

untuk

pemecahan

masalah

dan

penyusunan

kebijakan

pembangunan dalam berbagai dimensi yang relawan dengan kajian sejarah.
f. Kajian sejarah Visioner relawan dengan isu-isu mutakhir yang berkaitan
dengan isu-isu Global yang menekankan perlunya pendekatan Sustainable
Development (pengembangan berkelanjutan,) dalampemecahan persoalan
kehidupan pada masa yang akan datang baik dalam jangka panjang maupun
pendek,sepertiyang tercermin dalam isu tentang dua puluh prolem Global
yang perlu dipecahkan dalam 20 tahun mendatang atau “Twenty Global
Problems, twenty years to solve Them”. Isu lainnya yang cukup relawan
adalah isu tentang Education for Sustainable Development to Secure Our
Future (pendidikan untuk pengembangan berkelanjutan bagi keselamatan kita
pada masa yang akan datang). Kedua isu global tersebut relavan dengan
kajian sejarah yang berinti pada konsep continuity and change, serta kajian
sejarah yang future oriented.
g. Kajian Sejarah Visioner pada dasarnya dapat menjadi alat bantu dalam kajian
multidisipliner atau interdisipliner bagi kajian tetntang masalah-masalah masa
kini daanmasa mendatang.
h. Kajian Sejarah Visioner memperkuat tugas dan peran sejarawan dalam
merekonssiliasaikan kelangsungan dan perubahan masa lampau, masakini
dan masa mendatang baik bagi kepentingan akdemik maupun publik.
Beberapa Perspektif pendekatan Visioner Pada Masa Lampau dan masa
Kini
Pandangan pemikiran kemasa

depan juga dikenal dalam alam pemikiran

Yunani dan Romawi serta alam pikiran pada Abad Pertengahan pada periode
tersebut terahir ini St. Agustine merumuskan perspektif sejarah Kristen yang
berinti pada pandangan bahwa perjalanan kehidupan manusia didunia berjalan
pada skema waktu dari Tuhan dari masa penciptaan menuju ke Masa akhir
Zaman (last judment) sebagaimana tercemin dalam karyanya the city of god.
Pandangan Visioner yang sama juga muncul di duinia Islam sebagaimana
tercermin dalam pemikiran Ekonomi Ibn Kaldun dalam karyanya Muqhadimah.
Pemikiran yang sama juga dikemukakan oleh Al-Biruni dalam karyanya kitab
Tahdid Nihayat Al-Amaqin, yang memerikan konsep penciptaan dunia dn sejarah

9

kitab suci, dan demikian pula dengan Ibn Sina mengubah puisi Visionernya
dalam karyanya Risalah fi’l ishq.
Didunia jawa, pemikiran Visioner tradisional dapat dijumpai pada pemikiran
rangga Warsita,misalnya, dalam karyanya Serat kalatida, dan dalam pemikiran
ajaran pendidikan moral Paku Buono 1V dalam karyanya Serat Wulang Reh,
Serta Mangku negara 1V dalam karya Serat Wedatama. Bahkan, sebelumnya
secara populer di Jawa juga pernh muncul

Ramalan Jayabaya yang

menggambarkan akan kejadian-kejadian pentin di Jawa pada masa yang akan
datang. Sejak lama juga telah muncul jenis-jenis alam pemikiran penujuman,
peramalan atau para normal, yang lebih berbasis pada pengatuhan yang berbau
pada misti- magis.
Menurut August Comte masa lampau adalah prolog, masa kini beban, dan
masa yang akan datang adalah ringkass. Karena itu Comte ingin membuka
Selubung masa depan dengan memberikan arah, dan karena seluruh tujuan
karyanya ingin diabadikan untuk keselamatan masa depan: savoirpour prevoir.
Comte juga merumuskan sejarah manusia dalam tiga pola era, yaitu Era Teologis
(the Teologis Era) Era Metafisika (The Metaphysical Era) dan Era Positif
(modern) (The Positif Era). Apabila Turgotpercaya bahwailmu kemajuan ilmu
sosial harus dibangun sebagai basis untukperencanaan masa yang akan datang,
maka Cordorcet melihat massa depn seara ilmiah dan berusaha untuk
“menjinakkannya”;sementara saint Simon menyusun rancangan organisassi
pemerintahan bagi dunia masa yang akan datang.
Dalam pandangan Historis Materialisme dan Determinisme Ekonomi-nya Karl
Marx (1818-1883) percaya bahwa satu-satunya faktor yang menentukan
kehidupan manusia adalah ekonomi, karena itu ia merumuskan perkembangan
masyrakat dalam lima tahapan perkembangan, yaitu dari (1) masyarakat
komunisme primitif (2)Masyarakat Perbudakan Kuna (3)Masyarakat di bawah
Feudalisme Abad Pertengahan (4)Masyarakat dibawah sistem Kapitalisme; dan
sampai mencapai tahap masyarakat hidup dibawah sistem (5) Sosialisme/
komunisme (yang waktu it belum tiba)
Oswald Spengler (1880-1936) dalam karyanya Decline of the West,
diterbitkan pada 1918, meyakini adanya kesamaan dasar dalam sejarah
10

kebudayaan besar dunia, sehingga memungkinkan ia dapat mempredisikannya
secara umum tentang jalannya sejarah masa depan (the course of future
history). Prediksi Spengler terutama menyatan bahwa kebudayaan barat telah
menemui ajalnya (doom), setelah ia melihat dari berakhirnya bebudayaan barat
(the begonning of the end). Ia percaya bahwa setiap kebudayaan berlangsung
melalui sebuah siklus mirip dengan siklus organisme. Kebudayaan dilahirkan,
tumbuh kuat, melemah, dan akhirnya mati.
Arnold Toynbee, tidak puas dengan teori Spengler, sehingga karyanya A
Study of History, menyatakan pemikiran visionernya untuk menjawab persoalan
timbul tenggelamnya peradabanndngan doktrinnya challenge-end-response
(tantangan dan jawaban). Setelah 1945, akhir Perang Dunia II, ekonomi Barat
mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Sementara di bagian dunia
terbesar lainnya masih dalam kondisi perekonomian yang “stagnant”, dibanding
dengan bangsa-bangsa yang telah mengalami proses industrialisasi. Secara
umum telah diakui bahwa proses industrialisasi akan membentuk pola yang
bersifat universal yang akan diulangi oleh setiap bangsa. Pada tahun 1960-an
telah timbul upaya untuk mengintensifkan pola universal tersebut, yang
membutuhkan ketersediaan data-data sejarah yang luas, sehingga dimensi
sejarah di sini menjadi sangat penting dan tidak dapat diabaikan.
Memang konsep tahapan perkembangan ekonomi yang lekat dengan Sejarah
Ekonomi Jermandan dalam pemikiran Marx, mengalami kebangkitan kembali.
Salah satu pembicaranya ialah tentang tahapan (stages), periode transisional,
dan daya-kekuatan (forces) yang dinamis. Dalam hal inilah Walter W. Rostow
tampil menyodorkan model alternatif dengan perspektif kapitalis, dan model
Marxis, berupa model enam tahapan (six-stages model) yaitu: Masyarakat dan
Ekonomi Tradisional (Traditional Society and Economy), Masyarakat dan
Ekonomi Transisional (Transitional Society and Economy), Tahap Tinggal Landas
( Take off Stage), Masyarakat Matang (Mature society), Tahap Konsusmi Masal
(Stage of Mass Consumption), dan Tahap diluar Konsumsi Masal (Beyond Mass
Consumption) pembangunan ekonomi bagi bangsa dan negara yang masih
berkembang. Diantaranya Indonesia pada masa Orde Baru merupakan salah
satu negara berkembang yang menggunakan konsep dan model yang
ditawarkan oleh Rostow tersebut.
11

Karya Rostwo, The Process of Economic Growth dapat disebutkan sebagai
salah satu contoh perwujudan dari pendekatan sejarah visioner yang cukup
berhasil. Berpangkal pada perspektif ekonomi industrial Daniel Bell, dalam
karyanya The Coming of the Post-Industrial Society, juga secara visioner
membahas tentang kehadiran masyarakat pasca-industrial (post-industrial
society), melalui pembagian tahapan tiga fase perkembangan peradaban
masyarakat industrial atas fase Pra-industrial (Pre-Industrial), fase Industrial
(Industrial), dan fase Pasca-Industrial (Post-Industrial). Tidak lengkap kiranya
apabila tidak menyebutkan dua karya penting yang menggunakan pendekatan
sejarah visioner pada akhir abad ke-20 dari Francis Fukuyama dan Samuel
Hantington.
Francis Fukuyama dalam karyanya The End of History and the Last Man,
sesuai dengan judulnya, membahas tentang kecenderungan dan perubahan
tatanan politik dunia setelah berakhirnya Perang Dingin (Cold War), yang
ditandai dengan runtuhnya rezim pemerintahan komunis Soviet Rusia pada
tahun 1990. Samuel Huntington dalam karyanya The Clash of Civilizations and
the Remaking of World Order, di lain pihak, secara historis visioner berpendapat
bahwa berakhirnya Perang Dingin akan membawa perubahan tatanan politik
dunia antara lain sebagai berikut. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sejarah
politik global menjadi bercorak multipolar dan multisivilisasional. Kedua,
perimbangan kekuasaan diantara peradaban mengalami pergeseran. Ketiga,
sebuah peradaban berbasis pada tatanan dunia tengah muncul. Keempat,
meningkatnya pretensi universalis Barat membawa akibat konflik dengan
peradaban lain. Kelima, survivalitas Barat tergantung pada Amerika dengan
memperkuat kembali identitas Barat dan orang Barat menerima peradabannya
sebagai keunikan bukan sebagai yang universal.
Dalam kaitannya dengan kajian sejarah di Indonesia, karya Widjojo Nitisastro,
Population Trends in Indonesia, dapat dipandang sebagai salah satu contoh dari
karya sejarah demografi yang menggunakan kajian sejarah visioner di Indonesia.
Buku ini membahas kecenderungan perkembangan penduduk di Indonesia dari
awal masa pemerintahan kolonial sampai masa kemerdekaan, dengan analisis
tentang kecenderungan perumbuhan penduduk ke arah masa depan yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Sebuah contoh
12

lain, tetapi bukan mengenai Indonesia, yaitu karya Peter Hall, Cities of
Tomorrow: An Intellectual History of Urban Planning and Design in the Twentiet
Century, yang dalam hal ini dapat dipakai sebagaibahan inspirasi bagi penelitian
sejarah kota di Indonesia yang menggunakan perspektif dan pendekatan sejarah
Visioner.
C. Penutup
Historiografi kontemporer sering diistilahkan sebagai sejarah baru atau
“sejarah alternatif”. Sejarah baru ingin merubah pandangan sejarah lama yang
cenderung mengarah ke sejarah politik. Sejarah baru memiliki visi dan perspektif
yang luas. Historiografi alternatif ini mengandung pembaruan dalam hal sumber,
metodologi dan perspektif.
Setelah mengalami perkembangan sejarah baru tidak lagi dipandang sebagai
sejarah politik. sejarah baru dapat dipahami sebagai “sejarah sosial”, yakni
sejarah yang lebih menekankan kepada kajian atau analisis terhadap faktorfaktor bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwaperistiwa sejarah itu sendiri. Di sini tersirat pandangan dunia yang mendasari
penulisan sejarah “sejarah sosial”; bahwa sejarah tercipta dan berkembang
bukan semata-mata karena faktor politik, tetapi lebih-lebih lagi disebabkan oleh
faktor sosial. Dengan kata lain, politik tidak lagi dipanndang sebagai faktor
terpenting – apalagi satu-satunya faktor yang memunculkan peristiwa sejarah.
Historiografi juga berkembang secara lisan. Perkembangan historiografi
sejarah lisan tidak memperlihatkan sebuah garis yang linear. Di Eropa sampai
abad ke 19, boleh dikatakan historiografi sejarah lisan, marginal. Para sejarawan
profesional mendasarkan informasi pada arsip-arsip primer dan sumber-sumber
dokumenter lainnya. Penggunaan dan validitas pembuktian informasi lisan baru
muncul setelah abad ke-19 dan kemudian meningkat sejak Perang Dunia Kedua,
seiring dengan meningkatnya teknologi rekaman melalui tape recorder.
Selama ini telah terjadi krisis sejarah, maka dilakukanlah pendekatanpendekatan visioner yang diharapkan dapat mengurangi krisis sejarah.
Pendekatan visioner lebih memfokuskan kajiannya pada persoalan-persoalan
kini dan akan datang. Pendekatan tersebut dapat diharapkan sejarah tidak hanya
terbatas mempersoalkan yang terjadi masa lampau, tetapi juga apa yang sedang
terjadi masa kini.
13

D. Daftar Pustaka
andhian.blogspot.com
Azyumardi Azra, 2002. Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia
Pustaka utama
Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam, 20013. Menggugat Historiografi
Indonesia, Yogyakarta: Ombak
Djoko Suryo, 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi
Indonesia Modern, Yogyakarta: STPN Press
Uraian yang rinci mengenai perkembangan sejarah lisan dan debat-debat
yang menyertainya, lihat Robert Perks and Alistair Thomson, 1998. The Oral
History Reader, London and New York: Routledge

14