CO OPETITION USAHA KELUARGA KURSUS BAHAS (1)

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

CO-OPETITION USAHA KELUARGA KURSUS BAHASA INGGRIS ICB GARUT
Dini Turipanam Alamanda
Institut Manajemen Telkom, [email protected]
Kursus bahasa Inggris merupakan salah satu kegiatan populer sejak tahun 1980 an di Indonesia tidak
terkecuali di kota Garut. Merdeka College ICB merupakan lembaga pendidikan bahasa Inggris pertama di
kota Garut. Didirikan sejak tahun 1986, ICB menjadi ikon yang sangat populer saat itu, hampir semua
peminat kursus bahasa Inggris se kabupaten Garut berbondong-bondong kesana. Rata-rata siswa ajarnya
mencapai 500 orang per semester, jumlah yang cukup fantastis saat itu jika dibandingkan dengan
kapasitas gedungnya. Bisnis keluarga yang dirintis oleh pendirinya bapak Adang Kurnia ini terus
mengalami kemajuan pesat, selain kursus bahasa Inggris, ICB merambah ke jenis kursus lain seperti
elektro, otomotif, kesekretariatan, mengetik, dan komputer. Namun seiring perkembangan jaman,
persaingan di bidang kursus tidak dapat dihindari, terlebih setelah munculnya bimbingan belajar untuk
para pelajar, kurang lebihnya menyedot sebagian besar pasar potensial kursus dan juga diantara kursus
bahasa sendiri. Di tahun 2000an bisnis kursus bahasa Inggris sudah hampir diambang kebangkrutan,
peminatnya tinggal 10% dari semula, bidang kursus lainnya seperti mengetik, elektro dan otomotif selesai
karena tidak ada peminat. Bukan hanya itu pegawai dan guru-guru pun hampir tinggal 5 %dari jumlah
semula. ICB kemudian mencoba bangkit dengan mengambil jenis usaha lain di bidang pendidikan.
Melihat potensi wisata dan hotel di kabupaten Garut yang cukup diminati para wisatawan, Pak Adang,
akhirnya membuka sekolah perhotelan 1 tahun di akhir tahun 2000. Peminatnya memang tidak banyak,

tetapi dapat melanjutkan usaha bidang pendidikan yang dicintainya. Penelitian ini membahas bagaimana
value co-creation dari bisnis kursus bahasa Inggris, dan melihat kompetisi serta kolaborasinya dengan
value net. Dalam value net digambarkan co-opetition, dimana ICB sebagai pusat model, kursus dan
lembaga pendidikan sebagai pesaing, Diknas, Disnaker, Hotel sebagai komplementor. Siswa, mahasiswa
dan masyarakat umum digambarkan sebagai pelanggan. Suppliernya terdiri dari pengajar, dan universitas.

1

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012
Dengan teknik wawancara terhadap pemilik, mantan pengajar, pengajar, mantan karyawan, karyawan,
siswa ajar, mantan siswa ajar, dan pihak-pihak pemerintah yang pernah tahu kejayaan ICB riset ini
menghasilkan data yang kaya bagaimana bisnis kursus bahan Inggris ini dimulai, berkembang, jaya dan
layu. Berubahnya co-opetition dalam value net menandakan pentingnya inovasi dan menjaga hubungan
baik dengan para stakeholder dalam bisnis keluarga.
Kata Kunci: Kursus Bahasa Inggris ICB, Co-opetition, Value Net

PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini, bahasa memegang peranan yang sangat penting untuk manusia dalam
melakukan komunikasi. Banyak negara menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi seharihari dan tidak sedikit pula yang tidak menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggris dikenal
sebagai bahasa internasional, sehingga membuat negara-negara yang tidak menggunakan bahasa

Inggris terdorong untuk memperkenalkan dan mempelajari bahasa tersebut baik di sekolah
formal maupun informal. Salah satu lembaga informal yang menjual produk belajar bahasa
Inggris adalah lembaga kursus bahasa Inggris. Lembaga informal ini jumlah cukup fantastis di
Indonesia, sebut saja EF (English First) yang berdiri sejak tahun 1965 mempunyai 400 kantor
dan sekolah di seluruh Indonesia (englishfirst, 2011), LIA (Lembaga Indonesia-Amerika) berdiri
sejak 1959 dan mempunya 80 gerai di 18 provinsi dengan rata-rata jumlah siswa 240.000 per
tahunnya (liapramuka.com/about-us, 2012). Di tahun 1984, TBI (The British Institute) muncul
dan telah meluluskan 30.000 siswanya (majalahfranchise, 2012). Tiga lembaga kursus tersebut
merupakan beberapa kursus bahasa Inggris yang paling sukses di Indonesia. Kesuksesannya
banyak menginspirasi pengusaha lembaga kursusan daerah dan membuat bisnis kursus bahasa
Inggris ini menjamur di era tahun 80-a. Salah satu yang terinspirasi adalah Bapak Adang Kurnia

2

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

yang kemudian mendirikan lembaga kursus bahasa Inggris ICB (International Communication
Bridge) di kabupaten Garut pada tahun 1986.
Belajar bahasa Inggris dianjurkan banyak pakar bahasa dimulai sejak kecil, karena otak anakanak masih banyak menyimpan memori kosong sehinggalebih mudah menyerap materi yang
diajarkan. Seorang pakar bahasa, Eric Lennenberg, mengatakan bahwa sebelum masa pubertas,

daya pikir anak lebih lentur sehingga lebih mudah belajar bahasa sedangkan sesudahnya akan
semakin berkurang dan pencapaiannya kurang maksimal. Oleh sebab itu, pada tahun sekolah
dianjurkan untuk memasukkan bahasa Inggris ke dalam kurikulumnya, namun untuk Sekolah
Dasar baru mulai dilaksanakan di tahun 90-an.
Terbatasnya waktu ajar bahasa Inggris di sekolah formal, membuat pada siswa dan
orangtuanya mencari sekolah informal sebagai alternatif untuk memperlancar bahasa Inggrisnya.
Lembaga bahasa Inggrispun berlomba-lomba untuk menjadi lembaga kursus terbaik, memiliki
jumlah siswa yang banyak dan menjadikannya nomor satu di kotanya. Semakin banyaknya
lembaga kursus bahasa Inggris yang berkembang saat itu, membuatnya harus memiliki keunikan
tersendiri. Perbedaan lembaga kursus bahasa Inggris besar dan kecil adalah dari pengadaan guru
asing (native-speaker), harga dan teknologi pendukung.
ICB Garut merupakan satu-satunya lembaga kursus bahasa Inggris di kabupaten Garut saat itu
(1980an). Karena hanya satu-satunya, ICB menjadi sangat populer, rata-rata 500 orang per
semester mendaftar kesana. Sampai awal tahun 1990, ICB telah meluluskan sekitar 5.000 siswa
ajar. Jumlah nya semakin meningkat dan di tahun 1995, jumlah yang telah diluluskan sekitar
13.265 siswa. Angka tersebut cukup fantastis di kota Garut. Pesaing-pesaing baru tidak mampu

3

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012


menyaingi kepopuleran ICB, dan memang tidak ada lembaga kursus besar yang masuk ke
kabupaten Garut.
Namun kondisi tersebut mulai berubah ketika pusat bimbingan belajar mulai muncul (1991)
dan berkembang pesat di tahun 1995 (munculnya Ganesha Operation). Kemunculan pusat
bimbingan belajar membuat banyak orangtua yang mempunyai keterbatasan dana dan siswa
yang mempunyai keterbatasan waktu membuat pilihan apakah sepulang sekolah mengikuti
kursus bahasa Inggris atau ikut bimbingan belajar. Bermunculannya lembaga kursus bahasa
Inggris baru dan bimbingan belajar membuat pangsa pasar ICB semakin berkurang. Tanpa
inovasi dari segi kurikulum maupun teknologi di bidang bahasa Inggris, membuat ICB semakin
tertinggal, hingga di tahun 2012 jumlah siswa bahasa Inggrisnya hanya berjumlah 20 siswa dan
jumlah gurunya hanya 1 orang. Fenomena ini menjadi sangat menarik untuk diteliti. Maka,
penelitian mengangkat isu bagaimana co-opetition dari lembaga kursus ICB di periode kejayaan
(1986-1995) dan di diperiode kelesuan (1995-2012).
KAJIAN PUSTAKA
ICB (International Communication Bridge)
Merdeka College ICB atau lebih dikenal dengan nama ICB merupakan perintis lembaga
kursus bahasa Inggris di kabupaten Garut. Berdiri sejak tahun 1986 dengan lokasi di Jalan
Ciledug Garut, 2 tahun berikutnya lokasi pindah ke Jalan Merdeka sehingga pemilik, Bapak
Adang Kurnia, menambahkan Merdeka College di depannya. Bapak Adang Kurnia dikenal

sebagai salah satu wiraswasta sukses di kabupaten Garut. Selain bergerak di bidang kursus
bahasa Inggris, bisnis nya merambah ke bidang pariwisata dan perhotelan. Selain kursus bahasa
Inggris, kursus yang pernah diselenggarakan di ICB antara lain, komputer, mengetik 10 jari,
4

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

otomatif, elektro, dan kesekretariatan. Namun karena kurangnya peminat, hanya kursus bahasa
Inggris dan komputer yang bertahan sampai tahun ini. Tabel 1 menyajikan jumlah siswa bahasa
Inggris pertahun nya sejak tahun 1986-2012.
Tabel 1. Jumlah Siswa Ajar Bahasa Inggris ICB (1986-2012)
Tahun Jumlah Siswa (Orang) Tahun Jumlah Siswa (Orang)
1986
860 2000
506
1987
921 2001
404
1988
976 2002

321
1989
1.041 2003
225
1990
1.300 2004
201
1991
1.406 2005
154
1992
1.415 2006
107
1993
2.007 2007
143
1994
1.550 2008
179
1995

1.789 2009
134
1996
1.500 2010
78
1997
1.300 2011
54
1998
1.021 2012
20
1999
897
20.509
Total Siswa Ajar
Sumber: Data Internal ICB, 2012

Koopetisi (Co-opetition)
Secara terminologi, istilah co-opetition pertama kali dicetuskan oleh Noorda (1993) pendiri
perusahaan perangkat lunak jaringan (networking software). Noorda memberikan pandangan

bahwa co-opetition yang merupakan perpaduan bekerjasama (cooperation) dan bersaing
(competition) dapat menciptakan hubungan yang lebih dinamis ketimbang yang diisyaratkan oleh
kata “persaingan” dan “bekerjasama” secara terpisah. Selanjutnya, Bradenburger dan Barry
(1996) menggunakan istilah co-opetition dan menjadikannya sebuah judul buku “Co-opetition”.

5

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Mewujudkan co-opetition ke dalam praktik bukanlah hal mudah, bukan hanya menyadarkan
diri sendiri untuk berpikir kerjasama dan menang - menang tetapi juga butuh kerangka untuk
memikirkan konsekuensi yang akan didapat dari kerjasama dan persaingan tersebut
(Bradenburger dan Barry, 1996). Begitu pula dengan Dagnino dan Padula (2002) yang
menjelaskan situasi aktivitas kerjasama dan persaingan secara simultan. Co-opetition juga
merupakan dampak dari berbagi pengetahuan yang bisa menjadi keunggulan kompetitif.
Pengetahuan di dapat atau terjadi dalam kerjasama yang dapat juga digunakan untuk bersaing
(Osorio dkk. 2002; Levy dkk. 2003).

Perkembangan konsep co-opetition berkembang sangat cepat, Ngo dan Okura (2008)
misalnya, mengaplikasikan prinsip co-opetition ini pada sebuah pasar mixed duopoly untuk

melihat dampak privatisasi pada tingkat kerjasama dan persaingan diantara perusahaan yang
berada pada pasar tersebut. Ngo (2006) juga pernah mempresentasikan co-opetition contest
model yang menjadi bahasan populer di European Institute for Advanced Studies in Management
(EIASM). Kemudian, aplikasi bisnis untuk co-opetition diantaranya Rodrigues dkk. (2009) yaitu
pada studi kasus merek global Nike dan Ipod co-branding, Bradenburger dan Barry (1996) pada
studi kasus aspartam untuk pepsi dan coca cola. Tsai (2002) pun mencoba mengaplikasikan
konsep co-opetition ini pada organisasi multi unit dengan tiga variabel: koordinasi, persaingan
dan berbagi pengetahuan intraorganisasi. Untuk studi kasus di Indonesia, Siregar dkk. (2006)
mengaplikasikan co-opetition pada studi kasus perbankan di Indonesia.

Co-opetition dapat menjadi subjek alternatif diantara dua strategi yang berlawanan, dimana
yang satu ingin bekerjasama (dijelaskan dengan model relasi) dan yang lain ingin bersaing
(dikarakterkan dengan model sebaran). Model tersebut sangat mirip dengan apa yang diutarakan

6

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Bengtsson dkk. (2000), dimana terdapat tiga tipe hubungan bersifat co-opetition: competitiondominated, cooperation-dominated, and equal relationships. Co-opetition yang dibuat oleh
Bradenburger dan Barry (1996) merupakan rangkuman dari lima hal:


1. Berpikir tentang komplemen
Dengan contoh klasik mengenai komplemen adalah perangkat keras komputer dan
perangkat lunaknya. Hal pertama ini menjelaskan bahwa komplemen selalu bersifat
timbal balik. Perangkat keras komputer tidak bisa melupakan perangkat lunak dan begitu
pula sebaliknya.
2. Jaring nilai (value net)
Karena pengenalan co-opetition bermula untuk bisnis. Jaring nilai mengungkap dua
simetri fundamental dalam permainan bisnis. Pada dimensi vertikal, pelanggan dan
pemasok memainkan peran simetrik. Mereka merupakan mitra sejajar dalam menciptakan
nilai. Tetapi orang tidak selalu menyadari simetri ini. Pada dimensi horizontal, terdapat
komplementor dan kompetitor. Yang akan dilihat perbedaan dua hal tersebut adalah kata
„lebih” dalam definisi komplementor menjadi definisi “kurang” dalam definisi
kompetitor.
Sering sekali dalam bisnis semua orang terfokus pada salah satu sisi bisnis, dan
melupakan yang lain. Jaring nilai dirancang untuk mengatasi kecenderungan ini. Jaring
nilai digambarkan dalam Gambar 1 berikut.

7


Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Gambar 1. Jaring Nilai Co-opetition
(Sumber:Bradenburger dan Barry 1996)

3. Menebarkan jaring
Sejauh ini, menebarkan jaring nilai hanya dari satu sudut pandang yaitu menempatkan
diri di tengah dan kemudian melihat ke sekeliling pelanggan, pemasok, pesaing dan
komplementor. Ini belum lengkap, masih ada pelanggan dari pelanggan, pemasok dari
pemasok, pesaing dari pesaing, komplementor dari komplementor dan seterusnya.
Menggambar jaring dapat membantu dan menemukan cara untuk meningkatkan
permintaan akan apapun yang dijual pada pelanggan. Membantu pelanggan sama saja
dengan membantu perusahaan juga.
4. Memainkan banyak peran
Orang memainkan banyak peran dalam kehidupan. Hal tersebut membuat permainan jauh
lebih rumit. Adakalanya seseorang sedang memainkan satu orang dan lupa pada perannya
yang lain. Jaring nilai akan membantu untuk menghilangkan kemelut tersebut. Dalam
jaring nilai, percuma menempatkan seseorang hanya sebagai pelanggan atau hanya
sebagai pemasok saja atau hanya sebagai pesaing saja atau hanya sebagai komplementor.

8

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

5. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan
Sepanjang dimensi vertikal dari jaring nilai, ada paduan kerja sama dan persaingan. Ada
kerja sama bilamana pemasok, perusahaan, dan pelanggan berpadu bersama untuk
menciptakan nilai. Tetapi jika nilai itu harus dibagi, pelanggan mendesak untuk
mendapatkan harga yang lebih rendah, dan pemasok juga menghendaki bagian. Jadi
persaingan ada ketika harus berbagi nilai. Istilah co-opetition adalah yang terbaik untuk
memeriksa hubungan perusahaan dengan pelanggan dan pemasok. Penjelasan ini juga
berlaku sama untuk dimensi horizontal.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian kualitatif mencerminkan model analisis induktif atau proses perpindahan dari
pengamatan khusus ke teori umum (Byrne, 2001). Menurut Patton dalam Golafshani (2003)
penelitian kualitatif menggunakan pendekatan naturalistik yang berusaha untuk memahami
fenomena dalam konteks pengaturan khusus, seperti "pengaturan dunia nyata di mana peneliti
tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena." Penelitian kualitatif, didefinisikan secara luas,
berarti "setiap jenis penelitian yang menghasilkan temuan tidak muncul melalui prosedur
statistik atau cara kuantifikasi lainnya" (Strauss dan Corbin di Golafshani, 2003), dan sebagai
gantinya, jenis penelitian yang menghasilkan temuan yang muncul dari pengaturan dunia nyata
dimana "fenomena yang terungkap secara natural" (Patton di Golafshani, 2003). Desain
penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.

9

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Gambar 2. Desain Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan observasi tentang fenomena sosial. Fenomena sosial disni yaitu
memetakan value net dari bisnis kursus bahasa Inggris ICB, bagaimana co-opetition ICB dengan
pesaing, komplementor, pemasok dan pelanggannya. Untuk mendapatkan data digunakan teknik
wawancara indepth interview yaitu wawancara kepada responden secara perseorangan.
Responden-responden tersebut disajikan profilnya dalam Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Profil Responden Terkait ICB Langsung
No

Nama (Inisial)

Keterkaitan dengan ICB

Lama Bekerja/ Belajar

1

AK

Pemilik

30 tahun

2

MR

Mantan staf

24 tahun

3

WAR

Mantan pengajar

14 tahun

4

DIL

Mantan siswa ajar

2 tahun

5

DR

Staf

12 tahun

6

DPP

Siswa ajar

1,5 tahun

7

AM

Pengajar

2 tahun

10

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Tabel 3. Profil Responden Tidak Terkait ICB Langsung
No

Nama (Inisial)

Status

Lama Bekerja/ Belajar

1

AR

Mantan Staf Disnaker Garut

Pensiun

2

HT

Mantan Staf Diknas Garut

Pensiun

3

MI

Direktur Hotel EA

16 tahun

Adapun kerangka pemikiran penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 3.

Jaring nilai

Jaringan

Co-opetition

Komplemen

Kondisi Bisnis Kursus
Bahasa Inggris ICB
Garut

Peran

Kawan dan Lawan

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah co-opetition dari pemasok, pesaing, komplemen dan pelanggan
mempengaruhi kondisi bisnis kursus bahasa Inggris ICB Garut. Sample dipilih berdasarkan nonprobability sampling yaitu menggunakan teknik snowball (bola salju). Proses validitas dan
reliabilitas penelitian ini menggunakan triangulasi kepada seluruh responden yang terkait baik
langsung maupun tidak langusng dengan ICB Garut.

11

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

HASIL ANALISIS
Hasil coding dari transkrip wawancara terhadap 10 responden beserta kategorinya disajikan
dalam gambar 4. Gambar 4 merupakan hasil kategorisasi mengenai para pemain yang terlibat
dalam co-opetition kursus bahasa Inggris ICB baik di periode 1986-1995 maupun 1995-2012.

Gambar 4. Hasil Coding Wawancara Mengenai Co-opetition Pemain
12

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Dari hasil pemetaan, bisa dilihat bahwa value net periode 1996-1995 sedikit berbeda dengan
periode 1995-2012. Perubahan terjadi pada pemasok, di periode 1995-2012, ICB tidak bekerja
sama lagi dengan dengan Diknas untuk pengadaan buku ajar, ICB juga tidak merekrut guru-guru
bahasa Inggris SMA maupun sarjana sebagai pengajar. Pengajar yang tersisa hanya beberapa
tinggal 3 orang dari sebelumnya berjumlah 25 orang, 3 orang yang tersisa terdiri dari anak
pemilik ICB sendiri, saudara dekat dan kenalan lama pemilik ICB. Dapat dilihat bahwa selama
periode 1986-1995, co-opetition berlangsung searah, ICB mendapatkan pasokan, tetapi tidak
menanyakan apa yang pemasok harapkan dari ICB sendiri dan melupakan bahwa terdapat
skenario yang lebih baik bagi para pemasok selain harus menjadi pemasok ICB.
Dari segi pesaing, periode kedua seiring dengan berkembangnya jaman, ICB mendapatkan
banyak pesaing. Murid-murid yang dulu belajar di ICB, membuka usaha kursus serupa. Bukan
hanya murid tetapi pengajar pun selain mengajar di ICB, mereka membuka kursus juga di rumah
mereka. Selain itu munculnya bimbingan belajar, membuat orang tua murid dengan penghasilan
terbatas harus memilih apakah anaknya akan diberi tambahan kursus atau bimbel. Usaha
pendekatan terhadap orang tua baik melalui iklan langsung maupun tidak langsung tidak
dilakukan ICB, yang dilakukan adalah pendekatan terhadap siswa saja. Kelemahannya adalah
para siswa bukan pengambil keputusan dan yang kedua para siswa pun mulai berfikir karena
punya keterbatasan waktu, apakah bimbel atau kursus bahasa Inggris yang lebih penting. Kursus
bahasa Inggris online pun ternyata punya dampak, meskipun tidak signifikan pada saat itu.
Penawaran harga murah belajar bahasa Inggris cukup menggiurkan walaupun dianggap banyak
pihak, belajar tatap muka langsung lebih baik daripada via internet.

13

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Kondisi ICB menjadi sangat berat ketika pesaing semakin bertambah, tetapi jumlah
pelanggan semakin menurun. Para profesional seperti guru sekolah, pegawai bank, pegawai
hotel, dan pegawai negari tidak lagi menggunakan ICB sebagai tempat kursus bahasa Inggris.
Hal tersebut karena berkembangnya sistem bundling yang dilakukan oleh para pemilik kursus
bahasa lain yang mendatangkan pengajar ke tempat kerja dengan bonus beragam dan harga lebih
murah. Strategi bisnis tersebut tidak dihiraukan ICB dan menganggap tidak perlu, karena merasa
brand ICB cukup sounding. Akhirnya, hanya tinggal pelajar saja yang menjadi pelanggannya
dan saat ini hanya tinggal 20 orang, 12 diantaranya pasif dan hanya 8 orang pelajar yang aktif.
Dari segi komplemetor sebenarnya ICB meningkatkan nilai dengan membuat jurusan D3
perhotelan di periode 2. Selain itu membangun hotel dan sarana wisata alam untuk mendukung
perkulihan. Namun ternyata komplementor baru tidak mempunyai kekuatan untuk meningkatkan
pasar. Berbeda dengan komplementor sebelumnya yang berasal semuanya berasal dari eksternal
yang memperkuat posisi ICB. Namun sayangnya tidak dikelola dengan baik sehingga kursus lain
di ICB yang lebih dulu mati menjadi tidak bernilai lagi dan pihak pemerintah yang tadinya
memperkuat posisi ICB, karena dari pihak pemerintah menilai keberadaan ICB dapat
meningkatkan kemampuan bahasa warga Garut dan pemerintahpun menjadi pendamping ICB
baik untuk melegalkan ujian negara maupun masalah bantuan pendanaan. Karena pesaing ICB
melakukan inovasi dan menarik perhatian pemerintah, dan ICB pun tidak sadar dengan kondisi
tersebut, akhinya pemerintah tidak berperan lagi sebagai komplementor.
KESIMPULAN
Dari value net diatas dapat dilihat co-opetition ICB dengan para stakeholdernya baik di
periode perkembangan hingga puncak kejayaan (1986-1995) maupun pada kondisi kemunduran

14

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

(1995-2012). Tidak adanya inovasi yang meningkatkan nilai bagi ICB membuat posisi ICB
menjadi mundur karena kondisi kompetisi lebih mendominasi daripada koordinasi itu sendiri.
Kursus bahasa inggris yang bertahan selama 2 dekade ini akhirnya menyerah. Pentingnya inovasi
dan menjaga hubungan baik, baik itu dengan pelanggan, pemasok, pesaing maupun komplemen
berlaku bukan hanya dibisnis besar tetapi juga di bisnis keluarga. Untuk ICB sendiri, jika ingin
melanjutkan bisnis dibidang pendidikan, perlu dilakukannya regenerasi kepemilikan yang
mampu melanjutkan bisnis dengan penuh inovatif, mampu membangun kerjasama dan
mempenyai networking yang baik dengan stakeholder yang diinginkan. Dari segi metode
penelitian, ICB hanya merupakan satu contoh bisnis keluarga yang dipetakan dengan value net
melalui sifat co-opetitionnya. Kedepannya bisa diambil kursus lain yang mempunyai sejarah
yang hampir miri sehingga lebih memperkuat hasil penelitian yang sekarang
DAFTAR PUSTAKA
Bengtsson, M. dan Kock, S. 2000. Co-opetition in Business Networks- to cooperate and compete
simultaneously. Industrial Marketing Management, 29, 5, 411-426, Elsevier Science.
Bradenburger, A., dan Barry, N. 1996. Co-opetition. New York: Bantam Doubleday Dell
Publishing
Byrne, M. (2001a). Disseminating and presenting qualitative research findings. AORN Journal,
74(5), 731-732.
Dagnino, G. B. dan Padula. 2002. Coopetition Strategy: A New Kind of Interfirm Dynamics for
Value Creation. Paper presented at the Innovative Research in Management, European
Academy of Management (EURAM), Second Annual Conference, Stockholm, May 9–11

15

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Golafshani, N. .2003. Understanding reliability and validity in qualitative research. The
Qualitative Report, 8(4), pp. 597-607.
Levy, M., Loebbecke, C., Powell, P. 2003. SMEs, Co-opetition and Knowledge Sharing: the
Role of Information Systems. European Journal of Information Systems, 12, 3-17.
Majalahfrancise,

2012.

Jumlah

lulusan

TBI.

http://www.majalahfranchise.com/?link=berita&id=1107. Diakses tanggal 18 September
2012.
Noorda, Ray. 1993. The Portmanteau "Co-opetition". Electronic Business Buyer edisi Desember
1993.
Ngo, D. D. (2006): Coopetition Contest Model. Paper presented at the 2nd Workshop on
Coopetition Strategy, European Institute for Advanced Studies in Management (EIASM),
Milan (Italy), September, 14–15
Ngo., D.D., dan Okura, M., (2008): Coopetition in a Mixed Duopoly Market. A paper of Grantin-Aid for Scientific Research, Nagasaki University, Jepang, April.
Osorio, C., Gomes, D., Leitão, J. (2002): “Parcerias Estratégicas da Banca Portuguesa em Portais
Digitais”, Revista Portuguesa e Brasileira de Gestão, 1, 3, 96-104.
Rodrigues ,F., Souza, V., Leitão, J. (2009): Strategic Coopetition of Global Brands: A Game
Theory Approach to `Nike +iPod Sport Kit' Co-branding, MPRA Paper No. 16146, posted
09. July 2009
Siregar, S. L. (2006): Ko-opetisi Perbankan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Manajemen Teknologi IV, Institut Teknologi Surabaya, Indonesia.
16

Forum Manajemen Indonesia 4 Jogyakarta 2012

Tsai, W. (2002): Social Structure of "Coopetition" within a Multiunit Organization:
Coordination, Competition, and Intraorganizational Knowledge Sharing , Organization
Science, 13, 2 (Mar. - Apr., 2002), 179-190. http://www.jstor.org/stable/3085992
Data Internal ICB tahun 1986-2012
.

17