Relasi Seni Rupa dan Politik dalam Konst

Relasi Seni Rupa dan Politik dalam Konstelasi Ruang
oleh:
Hamada Adzani Mahaswara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada
Email: hamada.adzani@gmail.com
ABSTRACT
Since the pre-independence period to thus contemporary era, most of art works
contained political aspects. This phenomena indicates tworks has an immanent
relationship with the community. This paper attempts to answer the question: Does
the existence of activism, movement, criticism etc. becomes marker of specific
symptoms and how public positioning art works in the constellation of space? This
paper will describe the history of art in Indonesia and last analyzed it based on the
Public Sphere perpectives from Jurgen Habermas. By using literature based on
books, scientific papers, catalogs, and online sites is expected to bridge the
formulation of the problem and the response.
KEYWORDS
Politics, public sphere, state, context&structure, society
ABSTRAK
Sejak periode pra kemerdekaan hingga kontemporer kini hampir setiap karya seni
terkandung aspek politis. Hal tersebut menandakan karya seni memiliki relasi
imanen dengan masyarakat. Paper ini mencoba menjawab pertanyaan: Apakah

keberadaan aktivisme, gerakan, kritik dst. dapat menjadi penanda dari gejala
tertentu dan bagaimana masyarakat memposisikan karya seni dalam konstelasi
ruang? Paper ini akan menggambarkan rentang sejarah seni di Indonesia dan
terakhir mendedahnya berdasarkan perspektif ruang publik, Jurgen Habermas.
Dengan menggunakan metode studi literatur berdasarkan buku, paper ilmiah,
katalog, serta situs daring diharapkan mampu menjembatani rumusan masalah
dan jawaban.
KATA KUNCI
Politik, ruang publik, negara, konteks&struktur, masyarakat
A. Pengantar
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, seni atau ekspresi seni acapkali
bersinggungan dengan fenomena sosial dan politik di Indonesia. Tidak jarang, seni
juga menjadi elemen propaganda dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Pada periode
kampanye, partai politik sering menggunakan instrumen kesenian sebagai metode
menjaring

massa.

Sejumlah


kelompok

kepentingan

juga

dalam

beberapa

kesempatan mengapropriasi bentuk maupun simbol visual untuk menarik
perhatian publik. Seni juga dimanfaatkan sebagai sarana kritik terhadap situasi
sosial dan politik, melalui mural, puisi, lagu-lagu berlirik satire, pertunjukkan
teater sampai performance art.

Seni dalam konteks ini tidak terbatas pada jenis/kategori seni tertentu,
mengambil contoh lagu-lagu nasional ―Maju tak Gentar‖, ―Bangun Pemudi
Pemuda‖ atau ―Padamu Negeri‖ liriknya dengan jelas menunjukkan visi-misi politik
yang hendak digaungkan bersama dalam rangka membangkitkan semangat
nasionalisme. Mengambil contoh lainnya, bagaimana novel-novel Pramoedya

Ananta Toer dilarang beredar saat Orde Baru karena dipercaya membawa pesan
politik tertentu. Di periode sebelumnya, sejarah pun menunjukkan bahwa
keterlibatan seseorang di organisasi kebudayaan semisal LEKRA diasosiasikan
dengan ideologi politik tertentu.
Seni dan pertaliannya dengan politik menjadi menarik untuk diperbincangkan,
terutama mengingat persoalan ―seni untuk seni‖ dan ―seni untuk rakyat; bentukbentuk kritik/perlawanan melalui medium seni yang makin jamak bentuknya;
serta pelibatan seni dalam agenda-agenda khusus yang seolah-olah melegitimasi
kepentingan kelompok. Namun demikian, paper ini berusaha melihat perjalanan
aktivisme kritik sosial dan politik melalui medium seni rupa dan peranannya
dalam struktur dan sistem sosial Indonesia. Apakah keberadaan aktivisme,
gerakan, kritik dst. dapat menjadi penanda dari gejala tertentu dan bagaimana
masyarakat memposisikan karya seni dalam konstelasi ruang? Penelitian ini akan
menggambarkan relasi antara karya seni dan politik dalam rentang sejarah
Indonesia dan mendedahnya dengan perspektif ruang publik Habermas. Dengan
menggunakan metode studi literatur berdasarkan buku, paper ilmiah, katalog,
serta situs daring diharapkan mampu menjembatani rumusan masalah dan
jawaban yang diharapkan.
B. Sejarah dan Aktivisme Seni Sebagai Kritik
Perkembangan seni rupa Indonesia banyak dipengaruhi oleh kolonialisme
terutama pada perkembangan seni rupa modern yang selalu terkait dengan

perubahan sosial dan juga memuat konteks-konteks sosial, ekonomi, politik
maupun kebudayaan. Perjalanan seni rupa dalam sub bab ini terbagi dalam
beberapa periode; Masa Perintisan Seni Rupa Indonesia, Masa Seni Lukis
Indonesia Jelita (mooi indie), Masa Cita Nasional, Masa Pendudukan Jepang, Masa
Pasca Kemerdaan dan Pendidikan Formal, dan Masa Seni Rupa Kontemporer
Indonesia.
Pertama, Masa Perintisan Seni Rupa Indonesia ditandai dengan kehadiran
Raden Saleh Syarif Bustaman (1807-1880)—seorang seniman pertama kaum

pribumi—karena telah menanamkan tonggak
Indonesia

(Sudarmaji

dalam

Dharsono,

pertama perjalanan seni lukis


2004:

140).

Dengan

memperoleh

pendidikan gambar dari pelukis Belgia, Raden Saleh dikirim ke Belanda dengan
dibiayai oleh pemerintah Belanda pada tahun 1829, dari hasil pendidikan tersebut
Raden Saleh melahirkan dua karyanya yang sangat terkenal hingga kini yaitu
―Perkelahian dengan Singa‖ dan ―Gunung Merapi dan Merbabu‖ serta beberapa
potret keluarga raja-raja Jawa dan pejabat pemerintahan Belanda. Dua lukisan
tadi dibuat tahun 1870 dengan gaya romantisme paradoks sebagai bentuk
perlawanan terhadap kolonial Belanda atas perlakuan terhadap dirinya yang
semena-mena—ditangkap dan diadili oleh pemrintah Belanda karena dituduh
terlibat dalam pemberontakan Bekasi 1869. Pada lukisan ―Antara Hidup dan Mati‖
(1848) digambarkan seekor banteng besar sebagai lambang Bangsa Indonesia
melawan dua ekor singa jantan dan betina sebagai lambang kolonial Belanda. Satu
yang menjadi sorotan penulis adalah lukisan ―Penangkapan Pangeran Diponegoro‖

(1857)—Raden Saleh menghadirkan sosok Diponegoro yang kuat, dalam sikap
menantang Jenderal De Kock—menatapnya dengan lantang sementara jenderal
dan semua pembesar pasukan Belanda menatap Diponegoro dalam pandangan
kosong. Dalam lukisan itu, ukuran kepala pasukan Belanda dibuat lebih besar
seolah menyerupai boneka. Komposisi esetetis yang dihadirkan dalam lukisan ini
sontak membuat pemerintah Belanda marah, namun sekaligus menandai
keberpihakan seniman-seniman dalam posisi politiknya di tengah periode
kolonisasi.
Kedua, Masa Seni Lukis Indonesia Jelita (mooi indie), merupakan masa awal
perkembangan seni rupa Indonesia setelah wafatnya Raden Saleh. Tumbuhnya
Mooi Indie merupakan pengaruh pengusaha dan pedagang masa kolonialisme
tahun 1930-1938. Melihat keadaan alam Indonesia yang indah dan permai,
menyebabkan para pengusaha menyukai objek keindahan, sehingga lahir pelukis
pemandangan,

diantaranya

Abdullah

Suryosubroto,


Pringadi

dan

Wakidi.

Pewarnaan karya seniman Mooi Indie lebih menyala baik pada objek alam,
binatang maupun manusia—mereka menggunakan teknik yang biasa diajarkan di
akademi seni rupa Belanda berdasarkan ketentuan lazim, yaitu memperhitungkan
ruang dan teknik pewarnaan yang ditonjolkan. Dengan aturan di atas, Sudjojono
merasa tidak punya kebebasan, sebab menurutnya melukis harus terbebas dari
kaidah-kaidah agar gejolak jiwa bisa tercurahkan sebebas-bebasnya. Lukisan tidak
diukur dari ketepatan dalam melukis obyek tetapi bagaimana menuangkan

intensitas kegemasan garis-garis yang disapukan pada kanvas. Bagi Sudjojono,
melukis tidak semata-mata keterampilan teknis, tetapi memerlukan pandangan,
corak identitas, dan visi seni yang luas dan mendalam (Yuliman, 2001: 82).
Ketiga, Masa Cita Nasional—ditandai dengan Bangkitnya kesadaran nasional
pada tahun 1908 yang dipelopori oleh Boedi Oetomo kemudian merangsang

Sudjojono dan seniman lain untuk

mendirikan Persatuan Ahli Gambar

Indonesia—yang diketuai oleh Sudjojono pada 1938. Perkumpulan ini dirintis
untuk melahirkan lukisan bercorak ke-Indonesiaan, yang menganjurkan seniman
untuk mempelajari perjuangan kehidupan rakyat jelata di kampung/desa, dan
didasari oleh semangat keberanian. Beberapa tokoh antara lain, Agus Djajasumita
dan Otto Djaya. Perkumpulan ini tidak berlangsung lama dikarenakan kedatangan
Jepang ke Indonesia tahun 1942.
Keempat, di bawah pemerintahan Jepang—suatu badan Kebudayaan bernama
―Keimin Bunka Sidosho‖ dengan kontrol seniman Jepang Saseo Ono berdiri. Badan
ini rutin menggelar diskusi dan latihan bersama, namun tetap membawa
kepentingan propaganda Jepang. Di pihak lain, Indonesia mendirikan ―Poetra‖
yang dalam bagian seni rupanya dipimpin oleh Sudjojono dan Affandi. Selain
mengabdi pada seni, seniman lokal juga berjuang melawan pemerintahan Jepang
lewat lukisan dan poster, dengan jiwa nasionalisme pada saat itu. Sebagai contoh
lukisan Affandi menyindir pekerja romusha dengan badan kurus dan pakaian
compang-camping. Demikian juga poster dengan model pelukis Dullah dengan
teks oleh Chairil Anwar ―Boeng Ajo Boeng‖ yang direproduksi dan disebar lewat

gerbong-gerbong kereta api.
Kelima, Masa Setelah Kemerdekaan. Setelah Jepang keluar dari Indonesia,
dunia seni lukis Indonesia mendapat angin segar. Masa kemerdekaan benar-benar
mendapatkan

kebebasan

yang

sesungguhnya,

ditandai

dengan

munculnya

berbagai kelompok/perkumupulan/institusi kesenian: Perkumpulan Seniman
Indonesia Muda (1946), Perkumpulan Pelukis Rakyat (1947), Akademi Seni Rupa
(1948), Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar (1950) yang berubah menjadi

Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dibentuk 17 Agustus 1950 atau tepat
lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Seiring dengan itu, Indonesia pun
mulai bergerak ke kiri. Pidato kenegaraan Soekarno pada 17 Agustus 1059
bertajuk ―Penemuan Kembali Revolusi Kita‖ jelas menunjukkan keberpihakan

pada sosialisme (Farid, 2011). Musuh yang harus dilawan adalah imperialisme dan
feodalisme. Dalam konteks inilah, konsep ‗seni untuk rakyat‘ mengemuka dan
menduduki tempat penting pemikiran Lekra. Seni adalah bagian integral dari
perubahan, memperkuat pijakan dan ikatan rakyat. Walaupun Lekra dari segi
pemikiran tidak secara menonjol berasosiasi pada Marx, Lenin atau Mao, tetapi
secara praktik, Lekra sebagai sebuah gerakan kebudayaan mampu dirasakan oleh
rakyat. Di tengah perdebatan antara seni untuk seni dan seni untuk rakyat, maka
Lekra menjawab dengan semboyan lain: Politik adalah Panglima yang pertama kali
dicetuskan oleh Njoto di hadapan kongres Lekra di Solo. Pada awal 1960-an
konsep itu menjadi perangkat resmi dalam organisasi Lekra sebagai asas, yang
berpasangan dengan lima kombinasi yaitu: meluas dan meninggi, tinggi mutu
ideologi dan artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual
dan kearifan massa, serta realisme sosialis dan romantisme revolusioner (Farid,
2011). Terakhir, adalah turba atau turun ke bawah sebagai metode kerja yang

kemudian dirangkum dan dikenal dengan asas satu-lima-satu.
Sementara itu, keberadaan Sanggar Bumi Tarung (SBT) juga turut mewarnai
corak seni rupa di Indonesia. Didirikan pada tahun 1961 di Yogyakarta, pendirinya
adalah seniman muda yang saat itu masih bersekolah di Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI) seperti Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Ng Sembiring, Isa
Hasanda, Kuslam Budiman, Djoko Pekik dan Adrianius Gumelar. SBT berada
langsung di bawah koordinasi Lekra di unit Lembaga Seni Rupa (Lesrupa).
Berbeda dengan Lekra yang mengusung realisme sosialis, SBT mengedepankan
realisme revolusioner. Apabila Lekra menekankan metode turba—sementara SBT
mengedepankan istilah ‗integrasi dengan rakyat‘—dimulai dari hidup bersama
rakyat, bekerja, dan hidup seperti orang kebanyakan dan saat sore harinya
mereka bisa menggambar/melukis. Secara riil, seniman-seniman SBT terlibat
dalam dinamika sosial politik dalam program ‗integrasi dengan rakyat‘ ini di Pantai
Trisik, Kulonprogo, Yogyakarta. Dalam konteks ini, rakyat setempat melancarkan
aksi sepihak yang kemudian dihadapi dengan represi oleh aparat.
Namun demikian, berbagai praktik kerja ini terhenti pada Oktober 1965.
Ribuan penulis, seniman dan pekerja budaya ditangkap. Sebagian dibunuh atau
lenyap tanpa bekas, sementara lainnya ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan.
Pasca itu, kesenian dikontrol oleh negara dengan prinsip kapitalisme. Kesenian
khususnya seni rupa diposisikan sebagai elemen dekoratif, pelengkap interior nan
cantik. Pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, muncul generasi baru

seniman, seperti Samsar Siahaan, Moelyono, Jim Supangkat, Fx Harsono, maupun
komunitas/kolektif seperti Taring Padi di Yogyakarta, Gerbong Bawah Tanah di
Bandung, dan komunitas Galeri Bautanah di Jakarta yang juga mempraktikkan
kesenian berpihak, walaupun tanpa manifesto atau kredo (Farid, 2012).
Gelombang perkembangan seni rupa Indonesia memasuki daerah pijak baru
dalam rentang waktu 1974-1977, dimulai dengan peristiwa Desember Hitam
(1974) dan kelahiran Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) (1975). Sementara itu Pada
akhir 1970an, seni lukis Indonesia juga mulai diwarnai oleh empat pilar seniman:
A.D Pirous, Amri Yahya, Ahmad Sadali dan Amang Rahman (Soedarso, 2000). AD
Pirous dan Ahmad Sadali secara lebih jelas berada di jalur ―seni Islam‖ yang
diinterpretasi sebagai seni yang mempunyai hubungan erat dan jelas dengan
tanda-tanda Allah (Yuliman, 2001).
Beberapa tokoh yang berperan Desember Hitam seperti Jim Supangkat, FX
Harsono dan Munni Ardhi menganggap persoalan seni rupa saat itu seharusnya
lebih kompleks, tidak hanya sekadar membawa ekspresi jiwa sang kreator. Lebih
dari itu, seni rupa harus menyuarakan masyarakat dan menjadi reflektor zaman.
Selain itu, elitisme serta hegemoni seni rupa juga menjadi persoalan yang
ditentang oleh mereka. Publik kala itu memandang fenomena tersebut sebagai
wujud gerak perubahan yang bukan saja fisik, tapi juga konsep secara besarbesaran. GSRB dicaci sekaligus dipuji—dianggap menghadirkan wacana baru
dalam seni rupa dan menjadi titik awal kelahiran seni konseptual di Indonesia.
Mereka menginjak berbagai tema yang mungkin dahulu dianggap tabu, seperti
seksualitas—yang bukan berarti kini lebih unggul/tingi, namun ada dalam kondisi
zaman, tantangan dan konteks yang berbeda.
Perkembangan gagasan berlanjut ke kolektif Taring Padi yang secara intensif
membuat karya-karya yang mengangkat kondisi sosial rakyat di tengah represi
pemerintahan orde baru saat itu. Terinspirasi oleh semangat Lekra, sejumlah
mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta mengagas
pembentukan kelompok seni Taring Padi pada akhir 1998. Mereka ingin
membangkitkan nafas "kebudayaan rakyat" yang sempat disumbat sepanjang Orde
Baru berkuasa. Nama Taring Padi diambil dari frase Minang yang berarti 'duri
lembut pada ujung bulir gabah.' Meski kecil, jika mengenai tubuh, duri itu bisa
menyebabkan gatal-gatal, demikianlah visi yang melatarbelakangi rangkaian
aktivisme Taring Padi. Mereka juga mengilustrasikan petani yang menjadi

simbolisasi rakyat. Bagi mereka seni bukan barang elite yang hanya bisa dinikmati
di ruang-ruang galeri, tapi karya yang membumi dan melibatkan rakyat. Karena
itu, seni terutama harus kritis, bukan sekedar keindahan.
Setelah Taring Padi yang berskala komunitas, ada juga Tisna Sanjaya—
seniman asal Bandung yang banyak membicarakan isu-isu politis lingkungan
melalui seni instalasi dan performance art. Ia—sejak tahun 2002 rutin mengkritisi
kondisi sungai dan hutan di kawasan Bandung yang mulai tercemar dan makin
terhimpit karena pembangunan masif. Dalam beberapa kesempatan, ia juga kerap
melakukan aksi teatrikal—satu yang terkenal ia lakukan di Sungai Cikapundung,
Bandung tahun 2009 dengan menggunakan tubuhnya sebagai medium dalam
berkarya.

Meskipun

jelas

berbeda

konteksnya,

namun

kita

tetap

dapat

menggarisbawahi kesamaan diantara seniman yang telah dipaparkan di atas,
bagaimana fenomena sosial-politik telah banyak mengilhami mereka untuk
berkarya dan tidak berbicara atas nama pribadi, namun membawa kepentingan
golongan dan publik secara luas.
Sejalan dengan semangat seni untuk rakyat itu, Anti Tank—yang digawangi
Andre Lumban Gaol—menyorot soal isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi,
ketidakadilan, persoalan kepentingan, isu ruang dll melalui poster dan mural yang
dipasang di ruang publik atau banyak kalangan menyebutnya dengan istilah street
art. Andrew memulai proyek ini sejak tahun 2010 dan kerap merespon dinamika
sosial-politik di skala nasional maupun lokal Yogyakarta. Berbeda dengan prinsip
copyright yang dipakai oleh kebanyakan seniman, Anti Tank menyebarluaskan
karyanya melalui website dan mempersilakan khalayak untuk mereproduksi
ulang. Selain Anti Tank, perupa Digiesigit juga secara aktif mengkritisi fenomena
sosial-politik melalui mural satirenya yang di tembok-tembok kota bangunan tak
bertuan di Yogyakarta. Digiesigit –sejak sepuluh tahun lalu—bekerja pada isu-isu
kontemporer, sosial, dan kemasyarakatan seperti identitas, warisan budaya dan
lingkungan

melalui

pandangannya

sebagai

seniman,

warga

dan

generasi

penerus/masa depan dalam sudut pandang regional maupun global. Karyanya
berkonsentrasi atas komunikasi kepada publik dan membangun kesadaran kritis
kita sebagai warga. Mereka menolak strukturisasi yang dibentuk oleh galeri dan
balai lelang/kolektor untuk mempublikasikan karya mereka. Bagi mereka, seni
merupakan reflektor zaman dan publik merupakan kurator bagi karya-karya
mereka. Hubungan resiprokal-partisipatoris inilah yang berusaha dibentuk oleh
mereka.

C. Seni Rupa Sebagai Ruang Publik (Telaah Teori Jurgen Habermas)
Kehidupan kebudayaan masa Orde Baru mengalami situasi yang sangat
berbeda jika dibandingkan dengan Orde Lama. Turunnya Sukarno sebagai patron
dalam kebudayaan otomatis membuat aktivitas seni tidak lagi berkait langsung
dengan politik. Orde Baru mengakhiri gerak budaya Pramoedya Ananta Toer,
Sudjojono, dan beberapa nama lain yang sebelumnya dikaitkan dengan Partai
Komunis Indonesia. Sebaliknya, seiring dengan makin dekatnya hubungan antara
pemerintah Orde Baru dengan Amerika Serikat selama Perang Dingin, dimulai
pada 1980an, perkembangan budaya populer menjadi meluas di Indonesia.
Budaya populer memainkan peranan penting pada periode 1980an berkaitan
dengan

kontestasi dan

konstruksi

pembentukan

identitas ke

Indonesiaan

(Swastika, tanpa tahun).
Gagasan tentang ke-Indonesia-an di masa Orde Baru, misalnya seperti
dijelaskan oleh Ariel Heryanto (2012), berpijak pada empat pilar utama yaitu keJawa-an, Islam, liberalisme dan beberapa pandangan yang cenderung kiri
(menggantikan marxisme) digantikan oleh praktik kebudayaan Jawa dan Islam.
Dua aspek terakhir merupakan dua kekuatan utama yang dianggap bisa
merepresentasikan Indonesia.
Bentuk-bentuk visual pasca orde baru dan era reformasi memang lebih vulgar
daripada periode represi orde baru. Senada dengan dijelaskan Ariel Heryanto
(2012) bahwa identitas seni Indonesia menjadi lebih cair, dengan makin
terjaminnya kebebasan berekspresi dan hilangnya satu musuh bersama, sehingga
tidak ada lagi kecenderungan seni politik sebagai kanon. Asas kebebasan yang
digaungkan dan fungsi sensor lembaga negara yang berubah merangsang
kreativitas seniman-seniman dan publik untuk berkarya. Namun demikian,
hilangnya

musuh

bersama

ini

juga

menandai

terfragmentasinya

konsentrasi/peminatan karya-karya seniman.
Meminjam pernyataan Walter Benjamin, seni adalah cara untuk menakar
semangat zaman, untuk berkaca pada apa yang sedang kita lalui, supaya dunia
yang rumit ini bisa sedikit lebih bisa dipahami. Karena itulah, sepanjang sejarah
manusia, seni selalu berperan penting saat masa-masa krisis. Kontribusi terbesar
seni

bagi

peradaban

adalah

dengan

menampilkan

macam-macam

cara

berimajinasi, salah satunya imajinasi akan perubahan. Apabila kita dapat
mengimajinasikan apa itu perubahan sosial, artinya kita dapat melakukan

perubahan di lingkungan sekitar kita. Seni sendiri merupakan produk kebudayaan
masyarakat. seni tidaklah vakum dan berada di ruang hampa, ia dinamis dan
terus bergerak membaca zaman. Setidaknya, itulah yang membuat karya-karya
yang ada dapat dipahami hingga kini, karena seni merepresentasikan situasi
berdasarkan konteks sosial yang ada.
Pasca reformasi dan gelombang informasi kian terbuka, seni—sebagaimana
identitas berdasarkan perspektif Ariel Heryanto—mencair. Tidak hanya terbatas
dalam pakem, medium atau metode tertentu, namun ia bergerak ke teknik
presentasi yang lebih egaliter. Sebagaimana kemunculan mural dan seni visual di
ruang-ruang publik fisik, seni juga menjadi ramah dinikmati di ranah viral—
tentunya seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
meledak pasca tahun 2000.
Dalam konteks ini, seni rupa telah berkembang menjadi ‗ruang publik‘.
Bagaimana maksudnya? Dilihat dari sejarahnya, ruang publik sudah ada sejak
zaman Yunani Kuno bersamaan dengan kemunculan polis (negara kota). Ruang
publik

pada

masyarakat

Yunani

Kuno

digunakan

untuk

menyampaikan

kegelisahan politis warga. Namun demikian, sifat ruang publik pada zaman Yunani
Kuno tersebut terbatas, dalam artian yang bergabung dalam diskusi hanyalah
kaum lelaku sedangkan budak dan perempuan dieksklusikan dari partisipasi
demokratis. Sejak Yunani Kuno sudah ada pembedaan antara wilayah urusan
oikos (rumah tangga) dan urusan polis (negara kota). Ruang publik pada zaman
Yunani Kuno mengacu pada tempat yang bisa dijangkau oleh semua orang seprti
jalanan, alun-alun, dan arena teater. Persoalan yang dibahas di ruang publik pada
masa itu menyangkut kepentingan dan kebaikan bersama (common goods) yang
perlu diperjuangkan.
Sementara itu menurut Habermas (1989), ruang publik dalam tulisannya
merupakan ruang publik yang ditelaah dari perspektif politik. Ruang publik
merupakan ruang yang dihidupi oleh masyarakat sipil dan berfungsi sebagai
intermediari antara negara dan individu privat. Melalui ruang publik, politik yang
dijalankan secara formal dikontrol, diperiksa dan dikritisi secara seksama melalui
nalar publik. Ruang publik hendaknya tidak dipahami secara utopis sebagai ruang
yang kedap dari pengaruh ruang-ruang lainnya dalam masyarakat luas, termasuk
pengaruh dari negara (Calhoun, 2010). Bagi Habermas, kemunculan ruang publik
hanya mungkin terjadi ketika kondisi suatu anggota masyarakat berada dalam

posisi egaliter. Ruang publik lahir ktika masyarakat sipil mulai melancarkan
gugatan terhadap klaim negara, yang dirumuskan berupa pertanyaan tentang
sudahkah negara melayani kepentingan publik. Ruang di sini tidak terbatas pada
aspek fisik melainkan juga non fisik, ia mampu berfungsi sebagai ―media dialektis‖
antara ranah privat dan publik.
Dalam

hubungannya

dengan

negara

dan

aspek-aspek

politik

yang

melingkupinya, ruang publik sebagaimana telah dijelaskan berperan sebagai
intermediari dan melalui artikulasi opini yang dicuatkan dalam ruang publik
semacam itu tersimpan misi agar negara lebih responsif kepada ekspresi
kebutuhan dan kepentingan sipil dalam opini publik (Habermas, 1989).
Lebih persisnya, Habermas mengatakan tiga ideal normatif yang inheren dalam
konsep ruang publik (Habermas, 1989: 36-37). Pertama, ruang publik merupakan
sejenis pergaulan sosial yang sama sekali tidak mengasumsikan kesamaan status
antarorang karena konsep status dalam ruang publik sendiri dipandang tidak
memiliki signifikansi apa pun. Dalam hal ini preferensi akan kedudukan diganti
oleh nilai kebijaksanaan yang setara dengan nilai persamaan setiap orang. Dalam
ruang publik hal yang menduduki tempat yang lebih tinggi dibanding dengan yang
lain bukanlah status, pangkat, harta, atau keturunan, melainkan argumen yang
lebih baik. Kedua, meskipun setiap orang memiliki kepentingan berbeda-beda yang
mungkin saja dipengaruhi oleh perbedaan status, kepentingan sendiri juga
dipandang tidak memiliki signifikansi. Apa yang menyatukan orang-orang yang
bertemu di ruang publik adalah kesamaan akan penggunaan rasio yang
berkarakter ―tanpa kepentingan‖ (―disinterested‖ interest of reason).
Artinya, justifikasi terhadap argumen yang muncul dalam ruang publik
haruslah berlandas kepada kepentingan umum dan bukannya kepentingan
partikular. Ketiga, ruang publik pada prinsipnya bersifat inklusif. Inklusivitas ini
tercermin dari formalitas keras dari syarat untuk dapat berpartisipasi dalam ruang
publik,

yaitu

setiap

anggota

umat

manusia

yang

dapat

menggunakan

rasionalitasnya (Thomassen dalam Prasetyo, 2012).
Berangkat dari pemahaman di atas mengenai ruang publik dalam perspektif
politik Habermas, karya-karya seni rupa merupakan ruang bagi publik untuk
membicarakan hal-hal yang menjadi kebaikan bersama. Konsep satire, parodi
maupun mocking merupakan upaya untuk menggiatkan kesadaran kritis bersama
tentang kondisi sosial politik yang berlangsung. Perdebatan dan argumentasi

mengenai karya tidak hanya menambah wawasan dan wacana estetis perspektif
seni rupa namun juga mencerminkan kondisi serta tindakan komunikasi
masyarakat. Sebagaimana telah penulis paparkan dalam sub bab sebelumnya,
pelukis seperti Raden Saleh, Sudjojono, Affandi, Tisna Sanjaya, Anti Tank, Digie
Sigit dst. menggunakan karya sebagai; medium ekspresi; refleksi kritis atas
kondisi sosial zaman tersebut; namun sekaligus membuka ruang dialog yang luas
demi kebaikan bersama. Karya-karya ini juga menjembatani ruang imajiner
penonton yang melihatnya, membuat kita mampu menerawang kondisi masa
depan/lampau berdasarkan artikulasi visual yang digambarkan oleh seniman.
Dalam pandangan penulis, karya-karya ―seni untuk rakyat‖ inilah yang
sementara ini mampu merepresentasikan ruang publik yang lebih luas. Akan
tetapi, bukan berarti karya seni yang ―seni untuk seni‖ tidak mampu digulirkan
perdebatannya, tapi jenis karya ini hanya memungkinkan untuk dibahas dalam
konstelasi yang lebih spesifik, diantara penikmat seni misalnya. Konsepsi
Habermas yang menyatakan bahwa latar belakang pendidikan, status, nilai,
kondisi ekonomi dll menjadi tidak penting dalam mengartikulasikan gagasan di
ruang publik sedikit tidak relevan apabila dikaitkan dengan dialog mengenai karya
seni yang ada. Hal-hal tersebut menjadi kapital individu dalam membicarakan isu
yang bergulir. Konflik kepentingan jelas menjadi hal yang wajar dalam konteks ini
mengingat keterlekatan seseorang dalam isu dan pengalamannya. Argumetasi yang
dibuat jelas berdasarkan ‗bagasi‘ yang telah mereka miliki sebelumnya. Perdebatan
yang bergulir, entah itu di media offline (diskusi, forum ilmiah) mapun media
online (komentar facebook perang twitter dst) menunjukkan inklusivitas sebuah
karya yang makin menarik diperbincangkan dalam beragam aspek. Hal-hal inilah
yang membuat karya seni akhirnya menjadi dan menempati ruang di mana publik
dapat menafsirkan serta menginterpretasikannya secara bebas.
D. Kesimpulan
Ruang

dialogis

yang

dibangun

ini

mampu

melunturkan

sekat-sekat

eksklusifisme yang ada, khususnya apabila karya berada di ruang-ruang fisik yang
bisa diakses oleh banyak kalangan. Keterjangkauan yang diperoleh khalayak
membuat karya mampu memberikan pengalaman-pengalaman kolektif yang
tereproduksi secara massal. Negara selalu menjadi obyek menarik dalam
perbincangan ruang publik karya seni rupa. Karya seni seringkali menjadi bentuk
kritik atas realita yang terjadi. Namun demikian terdapat kepentingan-kepentingan

publik digantungkan pada negara dan sekaligus rasa ketidakpercayaan yang
ditautkan pada elit-elit negara. Karya seni selain menjadi respon dan ekspresi juga
kerap kali menjadi sarana pembentukan opini publik melalui asosiasi dan
apropriasi yang dilakukan oleh seniman. Seperti misalnya publik mengapropriasi
pemahaman bahwa politisi korup adalah tikus, buaya dll. Pada akhirnya
pembentukan

opini

publik

inilah

yang

dalam

bayangan

Habermas

akan

membentuk pada suatu kondisi masyarakat komunikatif dan demokratis.
E. Daftar Pustaka
Calhoun, Craig. The Public Sphere in the Field of Power. Social Science History 34
(3): 301-335. 2010
Farid,
Hilmar.
2011.
Sekali
Lagi
Politik
Adalah
Panglima.
http://hilmarfarid.com/wp/sekali-lagi-politik-adalah-panglima/. Diakses tanggal
20 Agustus 2015.
Habermas, Jurgen. The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry into
Category of Bourgeois Society, Thomas Burger (terj.). Cambridge: Polity Press. 1989.
Heryanto, Ariel. Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde
Baru. Yogyakarta: Jalasutra. 2012.
Kartika, Sony Dharsono. Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains. 2004
Prasetyo, Antonius Galih. ―Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen
Habermas tentang Ruang Publik‖. Jurnal Sosial Politik UGM. Volume 16 No. 2
November 2012: 169-184.
Soedarso, SP. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Jakarta: Studio Delapan
Puluh Enterprise bekerjasama dengan Badan Penerbit ISI Yogyakarta. 2000.
Swastika, Alia. Tanpa tahun. Agensi dan Internasionalisme: Memanggungkan
Indonesia di Peta Seni Rupa Global.
https://www.academia.edu/12109379/Agensi_dan_Internasionalisme_Memanggu
ngkan_Indonesia_di_Peta_Seni_Rupa_Global. Diakses tanggal 21 Agustus 2015
Yuliman, Sanento. Dua Seni Rupa, Serpihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta:
Kalam. 1976.