BIOREMEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENANGAN (1)

EKOLOGI RESTORASI
BIOREMEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN
PENCEMARAN AKIBAT TAMBANG BATUBARA

OLEH:
ENI ANGRIANI
1406111274

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017

I. PENDAHULUAN
Tanah merupakan sumberdaya alam yang bersama-sama dengan hutan dan
air membentuk suatu ekosistem yang sangat mempengaruhi aktivitas manusia.
Pendayagunaan sumberdaya alam melalui eksploitasi, pemanfaatan pada suatu
komponen dalam suatu ekosistem khususnya lahan, pada hakekatnya akan
menimbulkan perubahan dalam ekosistem tersebut yang akan berimplikasi pada
seluruh jaringan sistem kehidupan.
Setiap pembangunan ekonomi selalu menuntut alokasi sumberdaya,

terutama sumberdaya alam. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat
mengakibatkan tindakan pemanfaatan sumberdaya alam untuk mencukupi
kebutuhan pangan, sandang, papan meningkat dengan pesat pula. Dalam
prakteknya upaya untuk mencapai target tersebut seringkali menimbulkan
masalah-masalah lingkungan yang kompleks, salah satunya sebagai akibat dari
penggunaan lahan untuk kegiatan pertambangan. Hal ini merupakan pemicu
timbulnya permasalahan degradasi ekosistem yang berawal dari terdegradasinya
lahan yang ditunjukkan dengan tingginya tingkat erosi dan menurunnya
kemampuan peresapan air yang lebih lanjut mengakibatkan penurunan kesuburan
tanah.
Degradasi lahan didefinisikan sebagi kehilangan atau penurunan kegunaan
atau perubahan kemampuan lahan yang tidak tergantikan. Degradasi lahan
berimplikasi pada menurunnya status sumberdaya alam yang berakibat dari
berubahnya kondisi tanah, rusaknya sistem tata air dan berkurangnya
keanekaragaman flora dan fauna atau pergantian suatu bentuk organisma oleh
bentuk lain. Dengan demikian terdegradasinya lahan dalam suatu ekosistem pada
akhirnya akan membuat terdegradasinya ekosistem secara keseluruhan. Degradasi
ekosistem disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti adanya bencana alam dan
faktor-faktor antropogenik seperti pertambahan penduduk yang kemudian
meningkatkan interaksi manusia dengan lingkungannya.

Disamping itu untuk menunjang keberhasilan dalam merehabilitasi
lahan rusak akibat pertambangan, maka dapat dilakukan berbagai upaya seperti

perbaikan lahan pra tanam dengan memperbaiki aplikasi prinsip ekologi yang
tepat dengan kondisi lingkungan.
Merestorasi ekosistem rusak bertujuan untuk :
1. Protektif; dalam hal ini memperbaiki stabilitas lahan,mempercepat
penutupan tanah dan mengurangi surface run off dan erosi tanah,
2. Produktif; yang mengarah pada peningkatan kesuburan tanah (soil
fertility) yang lebih produktif, sehingga bisa diusahakan tanaman yang
tidak saja menghasilkan kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk nonkayu (rotan, getah, obat-obatan, buah-buahan dan lain-lain), yang dapat di
manfaatkan oleh masyarakat disekitarnya, dan
3. Konservatif; yang merupakan kegiatan untuk membantu mempercepat
terjadinya suksesi secara alami kearah peningkatan keanekaragaman hayati
spesies lokal; serta menyelamatkan dan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan
potensial lokal yang telah langka (Rahmawaty,2002)

II. KONDISI KERUSAKAN LAHAN KRITIS BEKAS TAMBANG
Dalam berbagai upaya yang dilakukan untuk merestorasi lahan kritis bekas
tambang, maka perlu diketahui berbagai kondisi sifat fisik, kimia dan biologi

lahan yang mengalami kerusakan, sehingga usaha rehabilitasi yang dilakukan
dapat berhasil sesuai dengan tujuannya.
2.1 Kondisi Fisik Lahan
Profil tanah normal terganggu akibat pengerukan, penimbunan dan
pemadatan alat-alat berat. Hal ini mengakibatkan buruknya sistem tata air dan
aerasi yang secara langsung mempengaruhi fase dan perkembangan akar. Tekstur
dan struktur tanah menjadi rusak sehingga mempengaruhi kapasitas tanah untuk
menampung air dan nutrisi. Lapisan tanah tidak berprofil sempurna, sehingga
akan berpengaruh dalam membangun pertumbuhan tanaman yang kondusif.
Pengaruh angin cukup serius pada permukaan tanah yang tidak stabil, dimana
tanah dapat diterbangkan, tertutup oleh tanah, biji-bijian terbang dan dipindahkan
ke areal tumbuh yang tidak diinginkan (Jordan, 1985). Bahan material yang
digunakan selama pertambangan akan membatasi infiltrasi air sehingga akan

mengurangi produksi asam dan erosi. Lugo (1997) menyatakan bahwa tanah yang
ada pada permukaan tanah yang tidak sempurna sangat tidak stabil.
Akibat pemadatan tanah menyebabkan pada musim kering tanah menjadi
padat dan keras. Pada tanah yang bertekstur padat ini, penyerapan air ke dalam
tanah berlangsung lambat karena pori-pori tanah sangat kecil, sehingga akan dapat
meningkatkan laju aliran air permukaan yang berdampak pada peningkatan laju

erosi. Kondisi tanah yang keras dan padat sangat berat untuk diolah yang secara
tidak langsung berdampak pada peningkatan kebutuhan tenaga kerja.
2.2 Kondisi Kimia Lahan
Kondisi kimia lahan bekas pertambangan menunjukkan bahwa kesuburan
tanah, pH dan keberadaan nutrisi dalam tanah rendah, sedangkan keberadaan
metal logam berat tinggi, karena larutan dari metal sulfida. Keadaan unsur hara
seperti 5 unsur N dan P yang rendah, reaksi tanah asam atau alkali merupakan
masalah utama. pH tanah yang rendah mengakibatkan menurunnya persediaan zat
makanan seperti : P, K, Mg dan Ca yang berakibat cukup berbahaya pada
tingginya suhu tanah. Akibat keasaman tanah yang tinggi dapat menyebabkan :
1. Rusaknya sistem penyerapan unsur P, Ca, Mg dan K oleh tanaman.
Kekurangan unsur P menjadi masalah, karena rendahnya unsur P dalam
sisa-sisa penambangan.
2. Meningkat tersedianya Al, Mn dan Fe, Cu, Zn dan Ni.
3. Terciptanya kondisi biotik yang tidak menguntungkan, seperti rusaknya
fiksasi atau penyerapan unsur N, khususnya pH dibawah 6, memperkuat
aktifitas Mycorrhiza, mengakibatkan kurangnya penyerapan unsur P dan K
serta meningkatkan toksisitas tanah (Jordan, 1985).
Sedangkan akibat kebebasan tanah yang tinggi adalah :
1. Merusak pelepasan unsur Fe, Mn, Bo, P, Cu dan Zn dari tanah

2. Meningkat tersedianya unsur Mg, Ca, S dan K
3. Meningkatkan toksisitas tanah.
Akibat keasaman sisa penambangan selalu menyebabkan bertambahnya
unsur Fe atau senyawa sejenis Fe, senyawa yang berasal dari rusaknya tanah
akibat hujan yang menghasilkan asam sulfur. Di beberapa lahan pasca tambang

emas dan tembaga kandungan logam berat seperti: Cu, Al, Zn dan Fe dapat juga
menjadi toksik dan membahayakan pertumbuhan tanaman.
2.2 Kondisi Biologi Lahan
Terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk
menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu
penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi
penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung
mempengaruhi kehidupan tanaman. Rendahnya aktifitas mikroba tanah karena
pengaruh berbagai faktor lingkungan mikroba tersebut, seperti penurunan pH
tanah, kelembaban tanah, kandungan bahan organik, daya pegang tanah terhadap
air dan struktur tanah (Kartasapoetra, 1988).
Adanya mikroba tanah sangat potensial dalam perkembangan dan
kelangsungan hidup tanaman.


III. DAMPAK PERTAMBANGAN BATUBARA
Pertambangan batubara menimbulkan kerusakan lingkungan baik aspek
iklim mikro setempat dan tanah. Kerusakan klimatis terjadi akibat hilangnya
vegetasi sehingga menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air,
pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen, pengatur suhu.
Lahan bekas tambang batubara juga mengalami kerusakan. Kerapatan tanah
makin tinggi, porositas tanah menurun dan drainase tanah, pH turun, kesedian
unsur hara makro turun dan kelarutan mikro meningkat. baik, dan mengandung
sulfat. Lahan seperti ini tidak bisa ditanami. Bila tergenang air hujan berubah
menjadi rawa-rawa.
Salah satu daerah pertambangan batu bara yang cukup besar di Indonesia
berada di Provinsi Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan dengan provinsi lain di
Indonesia, pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Selatan sangat
merusak lingkungan dan lahan pertanian yang ada di provinsi tersebut, terutama
pertambangan yang dilakukan secara illegal. Selain menghasilkan asam tambang
yang dapat memasamkan tanah, penggalian tanah dan batu-batuan yang menutup

lapisan batu bara dilakukan secara tidak terkendali dan penumpukan hasil galian
(overburden) tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan pemerintah.
Akibatnya lahan dengan tumpukan tanah dan batu-batuan eks pertambangan

sangat sulit untuk ditumbuhi vegetasi.
Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan
batubara :
1. Lubang tambang. Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat
beberapa tandon raksasa atau kawah bekas tambang yang menyebabkan
bumi menganga sehingga tak mungkin bisa direklamasi
2. Air Asam tambang: mengandung logam berat yang berpotensi
menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang
3. Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang
mengkhawatirkan seperti tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang
berbahaya bagi makhluk hidup.
4. Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung
yang juga mengandung logam berbahaya seperti boron, selenium dan
nikel dll.
5. Polusi udara : akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi
kesehatan penduduk dan

menyebabkan infeksi saluran pernapasan.

Menurut logika, udara kotor pasti mempengaruhi kerja paru-paru. Peranan

polutan ikut andil dalam merangsang penyakit pernafasan seperti
influensa, bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis seperti asma dan
bronchitis kronis.
Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara
langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil
penelitian Widyati (2006) dalam Widyati (2010) pada lahan bekas tambang
batubara PT. Bukit Asam Tbk. menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air
berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan

unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena
terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan,
1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam Widyati
(2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam
berat pada lingkungan tersebut.
Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alatalat yang terbuat dari besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga
menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan
alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan
flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada di
sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini
menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal

dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat
mengganggu kesehatan manusia.
Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diijinkan untuk kegiatan
pertambangan relatif kecil (1,336 juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan
bahkan luas total areal penambangan yang masih aktif dan yang sudah selesai
ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area daratan total)
(Anonim, 2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil,
kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di
permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan
terhadap lansekap setempat; areal areal vegetasi yang ada dan habitat fauna
menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas tanah yang menutupi ‘cadangan
mineral menghasilkan’ perubahan yang tegas dalam topografi, hidrologi, dan
kestabilan lansekap. Apabila pengelolaan lingkungan tidak efektif, pengaruh lokal
(on-site) ini dapat mengakibatkan usikan lanjutan di luar areal penambangan (offsite), yang bersumber dari erosi air dan angin terhadap sisa galian yang belum
terstabilkan atau bahan sisa yang berasal dari pengolahan mineral. Pengaruhpengaruh ini dapat pula meliputi sedimentasi sungai-sungai, dan penurunan
kualitas air akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur
beracun dalam air sungai tersebut.

IV. BIOREMEDIASI
4.1 Definisi Bioremidiasi

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi
polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi
oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur
kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada
banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan
beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi
metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010).
Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur,
bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai
proses membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant)
secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme
(mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal,
2005). Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme
untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada
perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit
untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang
termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum

hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida,
herbisida,

dan

lain-lain.

Banyak

aplikasi-aplikasi

baru

menggunakan

mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang
bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai
bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis
mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan

bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat
penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada
bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan
pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan
beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium
dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang
diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri
ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada
minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteribakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang
telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan
karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan
jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi
komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di
lingkungan.

4.2 Jenis Bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:


Biostimulasi

Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau
tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri
remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.


Bioaugmentasi

Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu
ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering
digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada

beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk
mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang
dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme
yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke
lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.


Bioremediasi Intrinsik

Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara
yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di
lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang
hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif
dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan
ke lingkungan.

V. PENANGANAN MASALAH
5.1 Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine
drainage (AMD). Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia
maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara
menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya
pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya
dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran
anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia
juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi
dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup
menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010)
menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air

asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn
dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air
sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum
tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan
terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen
dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang
paling menentukan dalam menangani AMD. Sebagai contoh PT. Bukit Asam Tbk
menghambat kontak mineral-oksigen dengan melapisi lahan bekas tambang
dengan blue clay setebal 1-2 m sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
ini per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses AMD secara geokimia jauh lebih
lambat dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh BOS. Sehingga di PT.
Bukit Asam masih terjadi AMD. Oleh karena itu, pengendalian BOS adalah kunci
untuk mengatasi AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan
bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan
organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban
yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat?
Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat
berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur
hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat
mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak
terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang
berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui
produksi serasah maupun eksudat akar.
5.2 Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah
Pertambangan
Batu Bara
Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi,
tembaga, timbal, seng, timah, mangan. Sedangkan bahan galian nonmetalliferous
terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona, borak, asbes, talk, feldspar dan batuan

pospat. Bahan galian untuk bahan bangunan dan batuan ornamen termasuk
didalamnya slate, marmer, kapur, traprock, travertine, dan granite.
Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar
rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi
yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak
lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting.
Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara.
Pembakaran batu bara merupakan metode pemanfaatan batu bara yang telah
sekian lama dilakukan. Masalah yang muncul sebagai akibat pembakaran
langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida. Sulfur yang terdapat dalam
batu bara perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan sejumlah dampak
negatif bagi lingkungan.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah
lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan
oleh oksida-oksida belerang yang timbul akibat pembakaran batubara tersebut
sehingga mampu menimbulkan hujan asam. Sulfur batubara juga dapat
menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan. Oksida belerang
merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma
masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket),
sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta
berbahaya bagi kesehatan (pernafasan).
Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode,
yaitu fisika, kimiawi, dan biologis. Penyingkiran sulfur secara biologis atau
biodesulfurisasi adalah metode penyingkiran sulfur dengan menggunakan
mikroba yang paling murah dan paling sederhana. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu: temperatur, pH, medium nutrisi,
konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel, komposisi medium,
kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat dan surfaktan, serta interaksi dengan
mikroorganisme lain. Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.

Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi
batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus
ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri
ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans
memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan
Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya,
namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.
5.3 Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Penanganan Air Asam
Tambang
Teknologi bioremediasi dapat juga digunakan untuk mengatasi air asam
tambang dan logam berat terlarut terutama dari pertambangan batu bara.
Teknologi tersebut mengandalkan aktivitas berbagai bakteri pereduksi sulfat
diantaranya Desulfotomaculum orientis ICBB 1204, Desulfotomaculum sp ICBB
8815 dan ICBB 8818 yang mengubah sulfat dalam air asam tambang menjadi
hidrogen sulfida dan kemudian bereaksi dengan logam berat. Setelah reaksi
belangsung pH (keasaman) air asam tambang yang mula-mula berkisar dari 2 – 3
meningkat mendekati netral (6-7). Sementara logam berat yang terdapat air asam
tambang mengendap. Dari hasil penelitian Santosa (2009) selama sembilan (9)
tahun diperoleh teknologi yang mampu meningkatkan pH ke netral dan
menurunkan konsentrasi berbagai logam berat diantaranya Cr, Pb dan Cd.
Teknologi ini efisien, karena hanya membutuhkan biaya 1/10 dari biaya
penanganan air asam konvensional.
Menurut Alexander (1977) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa
Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) terdiri dari 2 genus, yaitu Desulfovibrio dan
Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada kisaran pH 6 sampai netral,
sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil
(menyukai suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian lingkungan tanah bekas
tambang batubara setelah diberi perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6
dan suhunya berkisar pada suhu ruangan (25°C – 30°C) tidak termofil (>55°C)
sehingga kuat dugaan bahwa BPS yang ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya

dengan genus Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio et al. (1998) dalam Anonim
(2010a), menyatakan bahwa media Postgate yang digunakan merupakan media
selektif yang paling cocok untuk mengisolasi BPS dari genus Desulfovibrio.
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat
meningkatkan pH tanah bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada
kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Peningkatan pH yang dicapai
hampir mendekati netral (6,66) sehingga sangat baik untuk mendukung
pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kehidupan biota lainnya.
5.4 Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang
Batubara
Umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas)
atau kompos untuk mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000
ton per hektar kompos atau top soil. Metode konvensional ini kurang tepat
diterapkan pada bekas lahan tambang yang luas. Pemanfaatan sludge limbah
industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan. Industri kertas menghasilkan 10
persen sludge dari total pulp yang mengandung N dan P (Anonim, 2006a).
Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen dapat memperbaiki
sifat-sifat tanah lebih efektif dibandingkan perlakuan top soil. Sludge kertas ini
berperan ganda dalam proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara yaitu
sebagai sumber bahan organik tanah (BOT) dan sumber inokulum bakteri
pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada bekas tambang batubara
menimbulkan 2 proses yakni perbaikan lingkungan (soil amendment) dan
inokulasi mikroba yang efektif.
Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas tambang batubara
mampu menurunkan ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48 persen, Zn 78
persen dan Cu 63 persen. BPS mampu mereduksi sulfat menjadi senyawa sulfdalogam yang tidak tersedia.

5.5 Bioremediasi Tanah Tercemar
Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang
cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang
ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa
aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri.
Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat
berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan
menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh
tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki
kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat
dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid,
2009)..
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap
logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik
dan “extrahyphae slime” (Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009). sehingga
mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua
mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun,
karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan
cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan
akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme
pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap
kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit
tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering
terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah
dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram
reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan

Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni
tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan
mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala
keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari
residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi
dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak
tercemar logam berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri
(polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam
pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik
seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009)
menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi dengan cendawan
mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek.
Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation)
dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner
dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza
pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari
limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap
pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH
dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan
surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et
al (1991) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman
setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang
dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya “oil droplets”
dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi,
sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang
bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani :
2009). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang

diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau
penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) dalam Madjid dan
Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat
terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing
tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang
cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur
toksik.
5.6 Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang
Ditimbulkan Oleh Pertambangan Batu Bara
Upaya

pencegahan

dan

penanggulangan

terhadap

dampak

yang

ditimbulkan oleh penambang batu bara dapat ditempuh dengan beberapa
pendekatan, untuk dilakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai berikut :
1. Pendekatan

teknologi,

dengan

orientasi

teknologi

preventif

(control/protective) yaitu pengembangan sarana jalan/jalur khusus untuk
pengangkutan batu bara sehingga akan mengurangi keruwetan masalah
transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar dari ruang udara
yang kotor. Menggunakan masker debu (dust masker) agar meminimalkan
risiko terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).
2. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga
akan terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan
lingkungan.

Upaya

reklamasi

dan

penghijauan

kembali

bekas

penambangan batu bara dapat mencegah perkembangbiakan nyamuk
malaria. Dikhawatirkan bekas lubang/kawah batu bara dapat menjadi
tempat perindukan nyamuk (breeding place).
3. Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan
pengusahaan penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuanketentuan yang berlaku (law enforcement)

4. Pendekatan

edukatif,

kepada

masyarakat

yang

dilakukan

serta

dikembangkan untuk membina dan memberikan penyuluhan/penerangan
terus menerus memotivasi perubahan perilaku dan membangkitkan
kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.

Referensi :
Anonim. 2010. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi
TanahBekas
Tambang
Batubara.
http://goblog06.blogspot.com/2010/05/pemanfaatan-bakteri-pereduksisulfat_02.html.
Anonim. 2010. Bahan Perkuliahan Teknik Elektro Unand. Sumber Daya
Alam. http://bahanelektro.blogspot.com/2010/02/sda-sumber-daya-alam.
Anonim. 2008. Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan
Limbah
Pertambangan
(Batu
Bara).
http://.bioindustri.blogspot.com/2008/09/bakteri-thiobacillus-ferrooxidans.html.
Anonim. 2006a. Limbah Industri Kertas Perbaiki Lahan Tambang Batubara.
http://www.ipb.ac.id/Bogor Agricultural University – Limbah Industri Kertas
Perbaiki Lahan Tambang Batubara.html.
Anonim. 2006. Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Menuju Pemanfaatan
Lahan
Yang
Berkelanjutan
:
Leaflet
Seminar
Nasional.
http://pkrlt.ugm.ac.id/files/2006%20LEAFLET%20SEMINAR%20PKRLT.pdf.
Arifin, H. 2007. Penambangan Batu Bara Dan Kesehatan Lingkungan.
http://komunitassumpit.wordpress.com/2007/06/22/penambangan-batu-bara-dankesehatan-lingkungan.
Asthary, R. 2008. Pertambangan Batubara : Pro dan Kontra.
www.majarimagazine.com/2008/06/pertambangan-batubara-pro-dan-kontra.
25
maret 2010
Debby. V. Pattimahu. 2004. Restorasi Lahan

Kritis Pasca Tambang Sesuai Kaidah

Ekologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kurnia, U., dkk. 2005. Teknologi Pengendalian Pencemaran Lahan Sawah.
www.balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/tanahsawah/tanahsawah9.
pdf.

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Bahan Ajar Online : Peran dan
Prospek Mikoriza. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman,
Program
Pascasarjana,
Universitas
Sriwijaya.
Sumatera
Selatan.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com
Madjid, A dan Novriani. 2009. Peran dan prospek
http://phospateindo.com/peran-dan-prospek-mikoriza.html.

Mikoriza.

Rahmawaty. 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang Berdasarkan Kaidah
Ekologi . Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Santosa, D.A,. 2009. Teknologi Bioremediasi Pulihkan Lingkungan Tercemar.
www.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/22942/2/2009b1403.pdf
Sofyan,
H.
2009.
Dampak
Lingkungan
Eksploitasi
Tambang
Batubara.http:///haniyahsofyan.blogspot.com/2009/11/dampak-lingkunganekspoitasi-tambang.html.
Onrizal. 2005. Restorasi Lahan Terkontaminasi Logam Berat.
http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-onrizal6.pdf. Widyati, E. 2010. Acid
Mine Drainage – Momok Lahan Bekas Tambang. Lingkungan Pasca Tambang.
http://tambang.blogspot.com/2010/05/air-asam-tambang.html.
Wikipedia. 2010. Bioremediasi – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/Bioremediasi.