Apa itu Brexit Britain Exit

 Apa itu Brexit (Britain Exit)?
Referendum 'Brexit' adalah pemungutan suara dari seluruh warga
negara Inggris, Irlandia Utara, Wales dan Skotlandia, untuk memutuskan
apakah Britania Raya harus keluar dari Uni Eropa atau tetap berada di Uni
Eropa.
Pada tahun 2015, Perdana Menteri David Cameron berjanji akan
mengadakan referendum jika ia berhasil memenangkan pemilihan umum
2015 ketika menanggapi para anggota parlemen bahwa Inggris tidak
mempunyai hak suara di Uni Eropa sejak tahun 1975. Pada saat itu Cameron
menyatakan “Ini saatnya bagi warga negara Inggris untuk mengambil hak
suaranya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan urusan Uni Eropa
dalam politik Inggris”. Jadi sebenarnya isu Brexit ini sudah lama muncul sejak
2015.
Brexit adalah suatu agenda politik yang penting dan dapat memberi
dampak terhadap pasar keuangan Eropa nantinya. Pada Januari 2015, David
Cameron berusaha membuat kesepakatan dengan para pemimpin Uni Eropa
untuk mengubah kedudukan keanggotaan Inggris di Uni Eropa. Dia
mengatkan bahwa kesepakatan yang adil adalah jika ingin Inggris tetap
tergabung didalam Uni Eropa maka Inggris harus mendapatkan status
“khusus” dari 28 negara anggota lainnya. Dimana hal tersebut akan membuat
hak suara Inggris dipertimbangkan oleh negara anggota lainnya, seperti

tingkat imigrasi yang tinggi dan menyerahkan Inggris untuk mengontrol
perkembangan usahanya sendiri dalam segala aspek.
Poin utama dalam kesepakatan tersebut diantaranya :
1. Pembayaran Kesejahteraan Imigran
Cameron menyatakan akan memotong nilai keuntungan dari
para pekerja yang berasal dari Uni Eropa saat mereka
mendapatkan pekerjaan di Inggris dan dapat menghentikan
jumlah orang yang datang di Inggris dalam jumlah besar. Para
pendatang baru tidak akan mendapatkan klaim kredit pajak dan
tunjangan kesejahteraan lainnya.
2. Mempertahankan Poundsterling
Cameron mengatakan bahwa Inggris tidak akan bergabung
dengan Euro. Dia juga menjamin bahwa negara-negara Eropa
lainnya tidak akan mendiskriminasi Inggris karena
menggunakan mata uang yang berbeda. Semua mata uang
British yang mengalami Bail Out dari negara Eropa yang
memiliki masalah akan segera diganti dengan mata uang lain.
3. Tunjangan Anak
Para buruh Imigran masih dapat memberikan tunjangan anak ke
negara asalnya, dimana biaya tunjangan diambil dari patokan

biaya hidup dari negara asal, bukan dari Inggris.
4. Industri London
Perlindungan bagi industri jasa keuangan di Inggris yang
berpusat di London secara penuh dikontrol oleh Inggris sendiri,
sehingga Eropa tidak perlu ikut campur terhadap segala urusan
keuangan yang terjadi di Inggris.
5. Menjalankan usaha Sendiri
Untuk pertama kalinya komitmen bahwa Inggris bukan negara
serikat dengan negara-negara anggota Eropa lainnya. Cameron
ingin menerbitkan peraturan yang menjamin tidak akan adanya
campur tangan dari luar Inggris terhadap setiap usaha yang
dilakukannya. Sehingga Inggris mampu menjalankan setiap
usaha mereka sendiri.
 Dampak Brexit bagi Inggris
Efek Brexit alias British Exit terhadap perekonomian Inggris menurut
Office for National Statistics (ONS) sejauh ini dampaknya tidak terlalu besar,
berbeda dengan perkiraan sebelumnya. Angka resmi belum mencerminkan
jatuhnya keyakinan seperti yang diprediksi beberapa survei sejak referendum
yang menghasilkan Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa (UE).
Perkiraan awal bahwa seluruh sektor perekonomian akan terkena

imbas negatif selama tiga bulan setelah referendum. Ada peringatan terkait
efek jangka pendek saat Inggris saat itu baru berniat meninggalkan Uni
Eropa. Dan pada Juli, sejumlah survei ekonomi menunjukkan keterpurukan
dramatis yang dialami oleh Negeri Ratu Elizabeth -julukan Inggris- tersebut.
Survei IHS Markit menyarankan sektor manufaktur dan jasa yang
mengalami penurunan untuk melakukan antisipasi. Namun survei selanjutnya
telah menunjukkan bahwa aktivitas di sektor manufaktur dan Jasa sudah
bangkit kembali. Efek Brexit tidak lagi muncul dalam angka resmi,
Sektor manufaktur dan konstruksi menurut ONS mengikuti banyak tren
secara global dan kenikan iflasi dapat dipertanggungjawabkan. Penjualan ritel
yang menyusut 0,2% pada bulan Agustus, namun telah tumbuh 1,9% pada
Juli. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda penurunan tajam terkait kepercayaan
konsumen seperti yang ditakutkan," tegas ONS.
Data ONS:
 Sektor manufaktur turun 0,9% pada bulan Juli
 Konstruksi output mendatar pada Juli
 Pertumbuhan tahunan dalam harga rumah jatuh dari 9,7% pada
Juni untuk membaik 8,3% pada bulan Juli
 Defisit Inggris mempersempit di bulan Juli
 Tingkat pengangguran untuk Mei Juli berada di level 4.9%

Nilai tukar pound sterling terus melemah terhadap mata uang dunia
pasca Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa atau dikenal dengan
istilah Brexit.

Bulan Juni lalu, saat voting Brexit masih dibahas, mata uang Inggris itu
masih bertengger di kisaran Rp 20.000. Kini, 3 bulan setelah Brexit, pound
sterling berada di kisaran Rp 16.800 atau sudah berkurang jatuh 16%.
Mengutip data perdagangan Reuters, Rabu (28/9/2016), pound sterling pagi
tadi bergerak di kisaran Rp 16.844, lebih rendah dari posisi kemarin di Rp
16.847.
Pada Januari 2016, poundsterling masih berada di kisaran Rp 20.479.
Poundsterling bergerak naik-turun tapi tak pernah jauh-jauh dari Rp 19.00020.000. Semua itu berubah pada akhir Juni setelah voting memutuskan
Inggris tak mau lagi jadi bagian Uni Eropa. Hari ini, pound sterling berada di
level Rp 16.792. Pelemahan poundsterling ini tak hanya terjadi terhadap
rupiah, tapi juga terhadap dolar AS, euro, dan dolar Kanada.
 Dampak Brexit bagi Uni Eropa
1. Anggaran/Ekonomi
Negara anggota Uni Eropa lain harus mengisi setidaknya
setengah sejumlah kekurangan dari hilangnya kontribusi dana
Inggris kepada Uni Eropa. Total kontribusi Inggris untuk

anggaran Uni Eropa untuk tahun 2016 adalah 19,4 miliar euro,
termasuk pemotongan tarif dan pajak impor. Inggris menerima
sekitar 7 miliar euro dari subsidi regional dan pertanian. Jerman,
negara anggota Uni Eropa terbesar, akan mau tak mau harus
menyediakan uang tunai ekstra untuk menutupi celah ini. Institut
Jerman, Ifo, memperkirakan dana yang diperlukan mencapai 2,5
miliar euro.
UniCredit menyatakan akan terdapat sejumlah
kekurangan di zona euro namun akan dapat teratasi. Sektor
perdagangan, keuangan dan faktor ketidakpastian diperkirakan
akan menyebabkan kondisi keuangan yang lebih sulit dan
penundaan investasi. Uni Eropa akan menurunkan perkiraan
produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,5-1,0 persen dari saat
ini yang sebesar 1,6 persen.
Perdagangan
Negara-negara anggota Uni Eropa mengalami surplus
neraca perdagangan sekitar 100 miliar euro dalam perdagangan
dengan Inggris. Sementara nilai ekspor Inggris lebih besar 20
miliar euro ketimbang nilai impornya. Kondisi serupa juga
berlaku di bidang jasa keuangannya.

Banyak ekonom memperkirakan Brexit akan setidaknya,
untuk sementara, mengurangi pertumbuhan Inggris. Faktor
ketidakpastian juga akan memengaruhi permintaan domestik
dan melemahkan mata uang pound sterling. Ini akan
berimplikasi terhadap kinerja ekspor Uni Eropa ke Inggris, yang
nilainya mencapai sekitar 2,6 persen dari total PDB Uni Eropa
pada 2014. Diperkirakan terjadi "kejutan dari sisi permintaan" di
Inggris yang terkait dengan kemungkinan tarif impor baru.
Pegiat gerakan Brexit menilai Uni Eropa akan ingin
membentuk kesepakatan perdagangan bebas dengan Inggris,
meskipun Inggris keluar dari blok itu. Satu-satunya ekspor
bidang jasa Uni Eropa yang tak akan berpengaruh adalah sektor
wisata ke Inggris.
2. Investasi
Inggris merupakan destinasi penanaman modal asing Uni
Eropa yang terbesar, menurut data daro UNCTAD, dengan ratarata mencapai US$56 miliar per tahun pada periode 2010-2014.
Negara EU lainnya hanya memiliki jumlah penanaman modal
kurang dari jumlah ini.
Sekitar 72 persen investor dalam kajian EY di tahun 2015
menyatakan bahwa akses memasuki pasar tunggal Uni Eropa

merupakan faktor utama penanaman modal mereka di Inggris.
Diperkirakan, para investor akan mencari akses dari negara lain
jika Inggris tidak dapat menyediakan pintu masuk ke pasar
tunggal Uni Eropa.
3. Imigrasi
Warga imigran atau ekspatriat akan menjadi kubu yang
paling menderita jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Berbagai
kebijakan soal imigran di Inggris akan mengalami perubahan
drastis. Jumlah imigran di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu
orang, selalu naik 100 ribu setiap tahunnya sejak 1998.
Usai referendum yang memenangkan "keluar" dari UE,
para ekspatriat Eropa di Inggris terancam dideportasi. Menurut
laporan CNN, warga Eropa di Inggris mengaku resah.
Brexit juga akan mengancam 1,2 juta pekerja imigran di
Inggris yang datang dari negara-negara Eropa Timur. Menurut
data Reuters, pada 2014 sebanyak 853 ribu pekerja imigran
Inggris berasal dari Polandia, 175 ribu dari Romanua dan 155
ribu dari Lithuania.
Negara Eropa dengan ekonomi besar lainnya, Jerman,
juga diperkirakan akan kedatangan lebih banyak imigran Uni

Eropa dengan keluarnya Inggris.

 Dampak Brexit bagi Indonesia
1. Ekonomi
'Brexit' akan berpengaruh pada arus investasi di
Indonesia yang datang dari Inggris. Namun dampak tersebut
tidak terlalu signifikan, dan akan lebih terasa pada negaranegara di Uni Eropa.
Jika Inggris keluar dari Uni Eropa, tidak akan berdampak
besar terhadap ekonomi negara berkembang seperti Indonesia.

Senada dengan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI),
Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Indonesia, Bambang
Brodjonegoro mengatakan, 'Brexit' akan berdampak pada
ekonomi global dan Indonesia juga merupakan bagian dari
ekonomi global yang juga akan terkena dampaknya.
Namun, pengaruh Brexit bagi Indonesia tidak akan
signifikan dan hanya bersifat sementara atau jangka pendek
saja.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan keluarnya Inggris
dari keanggotaan Uni Eropa tidak akan berdampak secara

langsung bagi Indonesia.
"Efeknya bagi kita sebenarnya tidak besar, tapi spirit
proteksi itu akan terjadi di banyak negara," kata Kalla
Menurut Kalla, Indonesia akan tetap menjaga hubungan
baik dengan Inggris dan Uni Eropa tanpa dipengaruhi sentimen
kemenangan Brexit.
"Indonesia sama saja sebenarnya. Mengekspor ke
Inggris dan mengekspor ke Uni Eropa sama saja. Efeknya lebih
banyak terjadi di internal Uni Eropa," ujarnya.
Ia mengatakan, sentimen negatif untuk meningkatkan
proteksi juga dapat terjadi antara Inggris dan Amerika Serikat
yang selama ini memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan
Uni Eropa.
"Apalagi kondisi ekonomi di Amerika juga sedang
bermasalah," kata dia.
Meskipun tidak berdampak besar bagi Indonesia, Kalla
mengakui Brexit akan menyebabkan sentimen negatif bagi
investor asing yang menanamkan modalnya di Inggris, termasuk
investor asal Indonesia.
"Itu (Brexit) bisa juga menyebabkan kebijakan-kebijakan

yang sama di banyak negara, buktinya investasi di Inggris dari
asing sekarang mulai menurun karena mereka tidak bisa bebas
masuk Eropa, jadi terjadilah saham-saham yang jangkauannya
luas menjadi negatif," ucapnya.
2. Hubungan dengan Inggris dan Uni Eropa
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan dampak
hasil referendum Brexit bagi politik Indonesia sangat
terbatas.Prioritas kemitraan Indonesia dengan Inggris, maupun
kemitraan Indonesia-Uni Eropa tak akan berubah.
"Indonesia meyakini hasil referendum tidak akan
mempengaruhi hubungan bilateral Indonesia dengan Inggris
dan menjadi kepentingan bersama kedua negara untuk terus
memupuk kerja sama di berbagai bidang strategis," ujar Retno
melalui keterangan tertulis pada Jumat, 24 Juni.
Sementara, terkait kerja sama di bidang ekonomi, kata
Retno, Indonesia masih harus menilai tindak lanjut dari
Withdraw Agreement Inggris-Uni Eropa.
"Indonesia memiliki perjanjian kerja sama dalam
kemitraan komprehensif CEPA dan FLEGT License," kata dia.
Lagipula, hasil referendum di Inggris tidak serta merta

langsung berlaku, karena pasal 50 treaty on European Union
harus diaktifkan dan proses negosiasi antara Inggris dan Uni
Eropa harus berlangsung untuk menyepakati Withdrawal
Agreement.
3. Hubungan perdagangan dengan Inggris
Mantan Menteri Perdagangan RI, Mari Elka Pangestu
mengatakan dampak langsung dan jangka pendek tidak terasa
bagi Indonesia.
"Karena perdagangan kita dengan Inggris tidak terlalu
banyak," kata Mari.
Namun menurutnya, dalam jangka pendek akan terjadi
kerentanan di pasar uang.
“Mata uang poundsterling dan euro akan memimpin
dalam aliran kerentanan pasar uang ini. Mata uang dolar AS
akan menguat. Tentu dampaknya rupiah melemah,” ujar Mari.
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian
Darmin Nasution mengatakan, meski Inggris keluar dari Uni
Eropa, bukan berarti ekonomi negeri tersebut akan membaik,
mengingat saat ini mayoritas perdagangan Inggris adalah
dengan negara-negara Uni Eropa.
"Bila keluar dari Uni Eropa, Inggris pasti akan mulai
mencari-cari penghambat perdagangan dengan Uni Eropa,"
kata Darmin.
 Alasan Britain Exit dilaksanakan
Pada tahun 1975, Inggris juga pernah mengadakan referendum
apakah akan keluar sebagai anggota Uni Eropa atau tetap di dalam Uni
Eropa. Pada waktu itu diputuskan, Inggris tetap berada di dalam Uni Eropa.
Namun ada sekelompok golongan yang merasa bahwa sejak tahun
1975 tersebut, Uni Eropa semakin mengontrol kehidupan sehari-hari mereka.
Selain itu, sebagian rakyat Inggris merasa bahwa Inggris terbebani
oleh Uni Eropa, di mana Uni Eropa membuat peraturan yang dinilai banyak
membatasi bisnis di Inggris.
Hal lain yang menjadi pertimbangan bagi Inggris untuk keluar dari Uni
Eropa adalah karena Uni Eropa menarik uang untuk biaya keanggotaan
sejumlah miliaran dolar dan Inggris merasa hanya sedikit keuntungan yang
diperoleh.
Ada lagi hal lainnya yang menjadi pertimbangan Inggris untuk keluar
dari Uni Eropa yaitu salah satu prinsip Uni Eropa tentang 'Free Movement'
yang membawa banyak imigran datang dan menetap di Inggris.
Sebagian warga negara Inggris menginginkan keluar dari Uni Eropa,
namun setengahnya menyatakan ingin terus tergabung bersama Uni Eropa
dimana hasil saat ini sebelum referendum masih berimbang. Banyaknya
tuntutan dari Inggris membuat Uni Eropa terlalu berat untuk mengabulkannya.
biaya keanggotaan senilai miliaran pound yang disetorkan per tahun,

sedikitnya hak kontrol terhadap wilayah perbatasan, dan terlalu banyak
jumlah imigran yang datang ke Inggris membuat Inggris harus mengambil
wacana tentang keluarnya mereka dari Uni Eropa. Hal tersebut tentu
berlawanan dengan aturan yang digunakan oleh negara anggota Eropa,
seperti misalnya warga negara Uni Eropa tidak perlu menggunakan VISA
untuk pergi dan tinggal di negara Eropa lainnya. Selain itu Inggris ingin
mandiri dan berdiri sendiri, dimana mereka juga menolak sebuah wacana
didirikannya negara gabungan “United States of Europe”.
Selain beberapa faktor yang menjadi penyebab Inggris ingin keluar dari
Uni Eropa, namun ada juga faktor yang sebenarnya menguntungkan Inggris
untuk tetap bertahan di Uni Eropa.
David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris menyatakan bahwa
ia ingin Inggris tetap bersama Uni Eropa, dengan syarat segara permintaan
dan kesepakatan yang ia tuntut diterima oleh Negara anggota Eropa lainnya.
Selain itu Partai Buruh, SNP, Plaid Cymru dan Lib Dems juga mendukung
Inggris untuk tetap bergabung. Disisi lain, Barack Obama juga menginginkan
Inggris untuk tetap bersama Uni Eropa seperti Perancis dan Jerman.
 Dampak Brexit bagi Euro
Di era dunia yang terotomasi dan terglobalisasi, potensi ketidakstabilan
di pasar finansial dan efek domino tersebut tentu berdampak pada Euro,
meski sementara ini diperkirakan hanya dalam durasi terbatas.
Christopher Vecchio dari DailyFX menorehkan dalam catatannya awal
pekan ini, "Ada alasan bagus untuk meyakini bahwa bayangan potensi Brexit
adalah penggerak utama kelemahan Euro dalam jangka pendek (disamping
juga peningkatan volatilitas yang berlangsung bersamaan): data ekonomi
Zona Euro tidaklah buruk".
Menurutnya, ada banyak argumen yang mendukung harapan ECB
takkan melonggarkan "kantong"-nya lagi tahun ini, jika isu Brexit tak
diperhitungkan. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa kelemahan Euro
akhir-akhir ini adalah gara-gara Brexit, maka hasil referendum yang
memenangkan resolusi "keluar dari EU" bisa menjaga Euro tetap rendah;
sedangkan bila sebaliknya, maka partisipan pasar nampaknya tidak bersiap
untuk menghadapi Euro melemah dalam jangka panjang.
Senada dengan Vecchio, Morgan Stanley dalam outlook mingguannya
pun menyebutkan bahwa meski mereka mengekspektasikan EUR akan
didukung oleh peningkatan yield obligasi riil, tetapi akan sulit untuk reli karena
kuatnya event-event berisiko regional, termasuk referendum keanggotaan Uni
Eropa tanggal 23 Juni mendatang.
 Kejadian serupa dengan Brexit
Berbeda dengan Brexit yang dilakukan melalui Referendum. Grexit
atau Greek Exit dilakukan karena hutang Yunani yang semakin menumpuk.
Grexit adalah singkatan dari Greek Exit (Yunani Keluar). Istilah ini
muncul sekitar 2012 lalu, saat Yunani berpotensi gagal bayar utang-utangnya
yang menggunung.
Untungnya, pada waktu itu kreditur Yunani yang disebut Troika yaitu
Uni Eropa, International Monetary Fund (IMF), dan Bank Sentral Eropa
(European Central Bank/ECB), memberikan dana talangan baru untuk
membayar utang-utangnya.
Untungnya pada saat itu Yunani dipimpin oleh Perdana Menteri Lucas
Papademos yang berada di garis kanan, sehingga menurut saja terhadap
keinginan dan syarat para kreditur.
Lama tidak terdengar, istilah Grexit ramai diperbincangkan kembali
awal Juni 2015. Negeri dewa-dewi itu terancam tak bisa bayar utang yang
jatuh tempo 30 Juni 2015 sebesar Rp 1,54 miliar (Rp 22 triliun).
Total utang Yunani saat ini sudah mencapai US$ 360 miliar atau
sekitar Rp 4.680 triliun (kurs Rp 13.000). Troika kembali memberikan opsi
bantuan berupa utang baru dengan bunga lebih rendah dan jangka waktu
lebih panjang.
Sebagian anggota parlemen ingin agar Yunani keluar dari
keanggotaan kawasan Euro dan juga Uni Eropa, terutama dari partai komunis
dan partai neo Nazi Golden Dawn, namun pemimpin partai sayap kiri Syriza
yang diperkirakan akan memenangi pemilu, Alexis Tsipras, mengatakan
bahwa Yunani tidak harus keluar dari keanggotaan kawasan Euro, tetapi
sebagian pinjaman harus dihapuskan dan program penghematan harus
dikurangi, syarat yang kemungkinan tidak bisa diterima oleh para anggota
kawasan Euro lainnya, terutama Jerman. Jika bersikeras dengan syarat
tersebut kemungkinan besar Yunani akan dipaksa keluar dari keanggotaan
kawasan Euro, peristiwa yang dinamakan Greek exit atau Grexit.
Grexit diperkirakan akan membawa bencana bagi Yunani. Selain tidak
ada negara atau lembaga internasional yang mau memberikan pinjaman
karena khawatir tidak akan dibayar kembali, negara tersebut juga terancam
perang sipil bahkan kudeta militer akibat semakin memburuknya keadaan
ekonomi. Mata uang Yunani mungkin akan kembali ke Drachma (sebelum
bergabung dengan Euro), namun transisinya akan sulit dilakukan jika nilai
tukarnya terlalu rendah.