Pengertian Hukum Ilsam dan Hukum Positif

IDENTIFIKASI DAN INVENTERISASI HUKUM ISLAM
MENJADI HUKUMPOSITIF

Pengertian Hukum Ilsam dan Hukum Positif
1. PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Pengertian hukum islam adalah aturan- aturan yang telah diberikan oleh Allah dan Rasulnya
kepada umat- umat nya yang telah mukallaf. Adapun yang di maksdu mukallaf di sini adalah umatumat Rasulullah SAW yang telah diwajibkan melaksanakan aturan- aturan islah, ciri- ciri mukallaf
adalah Islam, Berakal dan Baligh.
Adapun Hukum Islam menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang
diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan
Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya
dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan. Sedangkan Menurut Muhammad ‘Ali
At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah
mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah
(kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.
2. PENGERTIAN HUKUM POSITIF
Pengertian Hukum Positif adalah hukum yang sedang berjalan atau berlaku pada suatu
Negara. Pada tiap- tiap Negara pasti mempunyai hokum yang berlaku dan hukum yang berlaku itulah
di sebut dengan Hukum Positif. Seperti di Indonesia, hukum yang diterapkan yaitu Hukum KUHP
Perdata dan Pidana. Hukum ini di terapkan karena dikatan mencakup status agama, masyarakat, suku
bangsa, serta kelakuan manusia tiap hari.

Adapun pengertian hukum di Indonesia memiliki aturan- aturan yaitu secara umum dan khusus,
yang di maksud umum adalah hukum yang mencakup hukum adat istiadat, hukum yuris prudensi, dan
hukum agama, sedangkan yang di maksud dengan khusus adalah ketentuan hukum yang ditetapkan
oleh kepala Negara mengenai administrasi Negara. Kemudian aturan lainnya sperti penegakan oleh
pemerintah atau pengakan oleh pengadilan.
Pengertian hukum positif lainnya bahwa hukum ini terbagi dalam dua jenis hukum,yaitu hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Yang dimaksud hukum tertulis adalah hukum yang telah di tetapkan
oleh pejabat yang berwenag sesuai dengan peraturan per undang- undangan dan mempunyai aturan
kebujakan dan administrasi Negara, sedangkan yang di maksud dengan hukum tidak tertulis, yaitu
hukum adat istiadat, hukum agama dan yuris prudensi.
3. HUBUNGAN
Hukum Islam merupakan aturan-aturan yang merupakan hasil pemahaman dan deduksi dari
ketentuan-ketentuan yang diwahyukan Allah swt kepada Nabi Muhamad. Karena itu, sumber utama
hukum Islam adalah al-Qur‟an dan Hadis. Bila diperlukan untuk menggali hukum yang belum ada
atau untuk memahami hukum maka perlu ijtihad (ra‟yu) dengan berbagai metode yang telah
dirumuskan oleh ahli ushul fiqh. Hukum Islam tidak identik dengan hukum dalam pengertian aturan
yang dibuat oleh suatu badan yang diberi wewenang dan pemberlakuan sangsi bagi pelanggarnya.
Berbeda dengan hukum positif, sumber hukum positif murni dari masyarakat. Hal ini dikarenakan
pengambilan atau penemuan hukum positif menggunakan metode induktif. Yaitu dengan mengamati
perbuatan-perbuatan dan sikapanggota masyarakat. Dari berbagai hasil pengamatan inilah kemudian

dibuat peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Hukum Islam dibuat dengan
tujuan sebagaimana tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah swt. Hukum Islam untuk
masyarakat muslim berfungsi mengatur berbagai hubungan manusia diatas bumi ini.
.

A. Inventarisasi Hukum Positif dan hukum islam
Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran Hukum Islam dalam Hukum Positif
merupakan perjuangan eksistensi. Hukum Islam dan masyarakat dianggap sebagai dua dunia yang
terpisah, yang satu dianggap sebagai “keakhiratan” dan yang lain dianggap sebagai “keduniaan”.
Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Hukum Islam justru erat sekali hubungannya dengan
masyarakat, dan ia berlaku bagi seluruh manusia dalam segala bentuk dan susunan masyarakatnya
Didalam kajian ilmu hukum, ada yang disebut hukum positif (ius constituendum) dan hukum
yang dicita-citakan (ius constitutum). Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini di suatu
Negara. Hukum yang dicita-citakan yaitu hukum yang hidup di masyarakat, tetapi belum menjadi
hukum positif secara legal formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif
(ius constituendum)hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu bidang ubudiyah dan
mu’amalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi
hukum yang dicita-citakan (iusconstitutum). Misalnya, UU No. 1 Tahun1974 tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. UU
No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. UU No. 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
Positifisasi atau Legalisasi Hukum Islam
Positifisasi Hukum Islam dimaksudkan sebagai upaya melegalisasi syari’at Islam menjadi
hukum positif, kemudian diaplikasikan secara nyata dalam praktik kehidupan. Proses legalisasi
hukum Islam dalam bentuk rancangan undang-undangnya dapat disampaikan dari kalangan eksekutif
maupun legislatif atau pihak lain yang ditunjuk, sebagai naskah usulan kalangan akademisi.
Kemudian rancangan undang-undang tersebut diproses menjadi undang-undang atau
peraturan lain sehingga mempunyai daya ikat serta memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum di
masyarakat. Upaya formalisasi hukum Islam ini tentu saja memerlukan dukungan pemerintah yang
mempunyai otoritas di bidang kekuasaan. Dengan kekuatan politik hukum dan sistem hukum yang
ada, maka pemerintah dapat membuat kebijakan terhadap keberlakuan syari’at Islam ini menjadi
hukum positif.
Dengan legalisasi subtansi hukum Islam yang mencakup segala aspek kehidupan, maka dapat
diadopsi menjadi keragaman dan pengayaan hukum nasional karena selama ini system hukum
nasional umumnya masih bersumber dari hukum adat dan hukum Barat. Syari’at Islam yang diyakini
bersifat universal, bisa dijadikan salah satu norma hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat tanpa mengenal ras, sosial budaya, dan politik. Ia juga dapat menjadi filter bagi hukum
barat, yang tidak sesuai dengan moral dan budaya Indonesia. Demikian juga, hukum Islam bisa
menjadi partner hukum adat yang selama ini telah menjadi kebiasaan lokal masyarakatnya (al‘adah al- muhakkamah), selamaadat dan budaya itu bersesuaian dengan syari’at Islam.

Keragaman sumber hukum materiil, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat dapat diadopsi
secara lengkap dan diangkat menjadi hukum nasional. Khususnya hukum Islam yang banyak tersebar
di dalam kitab-kitab fikih yang masih relevan dengan perkembangan masa kini. Untuk mencapai hal
ini, memerlukan kerja keras dan komitmen yang kuat
antara pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, baik kalangan eksekutif maupun pihak lain
yang mempunyai otoritas di bidang hukum
Aturan atau hukum dalam agama Islâm (selanjutnya disebut hukum Islâm) meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia. Jika diklasifikasikan hukum Islâm itu terbagi dalam dua kategori, yaitu
hukum yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allâh disebut dengan hukum Ibadah
(mahdlah) dan hukum yang mengatur hubungan antar manusia serta hubungan manusia dengan alam
sekitarnya disebut hukum muamalat. Dalam istilah lain dapat dinyatakan bahwa hukum Islâm adalah
hukum yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Allâh dan hubungan manusia dengan
manusia serta alam sekitarnya.

Pada hubungan yang pertama yaitu hubungan manusia dengan Allâh sifat hubungan itu
absolut (tidak bisa diubah). Sebaliknya pada hubungan yang kedua yaitu hubungan sesama manusia
serta alam sekitarnya sifat hubungan itu relatif (dapat diubah berdasarkan perkembangan yang ada).
Dalam kajian hukum Islâm hubungan yang kedua ini juga dikenal dengan istilah fiqh. Dengan
demikian fiqh merupakan hukum Islâm yang dapat berubah dan berkembang, maksudnya bahwa fiqh
di suatu negara dapat berbeda dengan fiqh di negara lain.3 Hal ini menunjukan bahwa perubahan

tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum.
Berdasarkan tertib hukum dalam hukum Islâm, al-Qur’ân merupakan sumber hukum yang
pertama dan utama. Adapun al- Hadits merupakan sumber hukum kedua dan berposisi sebagai
penjelas atas hukum al-Quran. Jika ada suatu masalah yang tidak diatur secara jelas dalam al-Quran
maupun al-Hadits, maka keberlakuannya didasarkan pada hukum hasil ijtihâd para ulama’ yang
terangkum dalam berbagai hukum fiqh.
Dalam hal ini hukum Islam dan hukum positif berbeda yaitu bahwa hukum Islam merupakan titah
Allah yang berisi taklif, tahyir ( pilihan ) dan penetapan. Sedangkan hakikat hukum positif adalahg
suatu perintah dengan disertai sanksi. Hukum sebagai penilaian. Dalam hal ini terdapat persamaan
antara hukum Islam dan hukum positif, bahwa hukum merupakan penilaian. Dalam hukum terdapat
kategori perbuatan manusia menjadi wajib ( harus dikerjakan ), haram ( harus ditinggalkan ) dan
sebagainya, yang berarti terdapat penilaian perbuatan baik dan buruk menurut hukum.
Hukum sebagai hubungan. Hakikat hukum sebagai hubungan ini merupakan hasil telaah terhadap apa
yang diatur dalam hukum atau dalam diskursus hukum disebut hukum subjektif. Dalam hukum Islam
terdapat hukum wadl’I yang berupa sebab, syarat dan man’i yang juga menunjukkan kepada makna
hubungan. Misalnya Sebab adalah sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah
( syar’i ) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum , yang berarti Sebab merupakan penyebab
lahirnya hukum. Oleh karena itu hukum wadl’i dalam konsep hukum Islam mempunyai persamaan
dengan hakikat hukum sebagai hubungan dalam konsep hukum positif.
Hukum Islam sebagai satu kesatuan dengan Islam itu sendiri terus berkembang seiring dengan

perkembangan masyarakat. Hukum Islam berbeda dengan syariah. Secara umum dapat digambarkan
bahwa Islam terdiri dari tiga dimensi yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Jika diibaratkan sebagai
sebuah pohon maka aqidah adalah akarnya, syariah adalah batang yang kokoh dan menjulang tinggi,
sementara daun dan buah yang lebat adalah akhlak. Dimensi syariah yang merupakan batang dari
Islam tidak mungkin tegak tanpa akar yang kuat dan tidak ada artinya tanpa daun dan buah yang
rindang yang akan memberikan manfaat bagi semesta.
Syariah secara bahasa berarti jalan menuju tempat air dan di dalam Islam syariah dapat dikatakan
sebagai perangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT yang terdapat di dalam Al Quran.
Dengan demikian tidak boleh dan tidak bisa berubah. Turunan dari syariah yang bersifat
aplikatif disebut fiqih dan fiqih merupakan buah fikir para ulama atau ahli hukum yang didasarkan
atas syariah karena syariah merupakan pedoman pokok bagi perilaku manusia. Oleh karena itu jika
syariah tidak dapat berubah dan bersifat pokok atau pedoman maka fiqih dapat berubah-ubah sesuai
dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat dengan syarat tidak bertentangan
dengan syariah. Fiqih sendiri terbagi menjadi dua yaitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. Didalam
menjalankan fiqih terutama fiqih ibadah dalilnya sangat jelas yaitu apa yang tersebut didalam QS 3:
31 yang terjemahannya berbunyi: Jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad SAW).
Jadi dalam hal peribadatan maka hal mutlak adalah sesuai dengan apa yang dicontohkan dan
dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan Hukum islam atau Islamic law tidak semata-mata fiqih yang telah dirumuskan oleh para
ahli fikih atau fuqoha atau para mujahid. Hukum islam lebih kepada aturan-aturan hukum yang dibuat

dan ditetapkan oleh para ahli hukum untuk dapat diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan

perkembangan zaman, perkembangan kemasyarakatan dan telah diadopsi menjadi bagian dari hukum
positif. Sedangkan Hukum positif merupakan hukum yang berlaku saat ini dinegara kita. Hukum
islam yang telah ditransformasikan kedalam sistem hukum kita dan berlaku saat ini merupakan hukum
islam yang telah menjadi hukum positif misalnya nilai-nilai hukum islam yang terdapat di dalam UU
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan kaidah-kaidah waqaf yang terdapat didalam UU tentang waqaf,
demikian juga UU Perbankan syariah dan beberapa peraturan perundangan lainnya.
Transformasi nilai-nilai ajaran islam kedalam sistem hukum kita merupakan suatu keniscayaan
mengingat hukum islam merupakan the living law dan kita ketahui bahwa hukum islam merupakan
salah satu dari lima sistem hukum yang berkembang didunia. Oleh karena hukum islam merupakan
the living law maka nilai-nilai yang dikandungnya bukan hal yang mustahil menjadi bagian dari
hukum positif. Keniscayaan bahwa hukum islam menjadi bagian dari hukum positif terlihat pula dari
dasar Negara kita yaitu Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan di
dalam Pasal 29 UUD 1945 adanya kebebasan menjalankan syariah agamanya, namun demikian
pengaturan didalam melaksanakan ajaran agama harus diatur sedemikian rupa didalam hukum positif
agar didalam pelaksanaanya tetap dapat dicapai ketertiban.
Pemberlakuan Hukum Islâm di Indonesia
Pada awalnya sebelum Islâm masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme. Tetapi setelah agama Islâm masuk pada abad VII Masehi,

ternyata mampu mengubah pola pikir masyarakat pada waktu itu. Hal ini karena cara penyebaran
agama Islâm dilakukan secara damai (penetration passifique) melalui perdagangan, perkawinan,
pengobatan dan pendidikan.
Perkembangan agama Islâm di Indonesia dapat dibuktikan dengan berdirinya kerajaankerajaan Islâm seperti kerajaan Banten, Samudera Pasai, Demak, dan lain sebagainya. Pada saat itu
hukum Islâm sudah diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memeluk
agama Islâm. Hakim atau yang dikenal dengan istilah qâdlî pada umumnya adalah para ulama yang
diberi kekuasaan oleh raja atau Sultan yang sedang berkuasa untuk menangani perkara-perkara
perdata dan pidana pada masyarakat pada waktu itu.
Pada saat Belanda datang ke Indonesia, yang tujuan utamanya berdagang, dan membawa
hukumnya sendiri yaitu hukum Eropa, sesungguhnya hukum adat, hukum Islâm dan hukum Eropa
berlaku secara berdampingan dalam masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah Belanda.
Bahkan pada 1855, pemerintah Hindia Belanda memberikan perhatiannya kepada hukum Islâm, yaitu
dengan dikeluarkannya Regeringsreglement (Staatblad 1855-2)
Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam
Salah satu kebijakan pembangunan nasional adalah menata sistem hukum nasional yang
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang bersifat
diskriminatif, ketidakadilan gender dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi.
Negara Indonesia bukanlah negara sekular sehingga dalam kehidupan bernegara tidak perlu
dipisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama Hal ini dibuktikan dengan isi

pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dari isi pasal 29 tersebut tersirat bahwa semua peraturan perundangan-undangan tidak boleh ada
yang bertentangan dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa

Berikut ini beberapa aturan perundang-undangan yang telah dijiwai hukum Islâm dan
merupakan representasi dari pemberlakuan hukum Islâm menjadi hukum positif di Indonesia.
Undang-Undang Perkawinan Politik hukum memberlakukan hukum Islâm bagi pemeluknya
dibuktikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.17 Landasan hukum berlakunya
hukum Islâm tersebut terdapat pada Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berdasarkan ketentuan
tersebut, suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang Islâm baru dianggap sah apabila dilaksanakan
berdasarkan aturan hukum Islâm, yakni haruslah memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut
hukum Islâm. Demikian juga keabsahan perkawinan bagi agama lain harus dilaksanakan berdasarkan
atau memenuhi aturan hukum pada agama itu.
Undang-Undang perkawinan juga menentukan penggolongan penduduk berdasarkan pada
agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Yang
dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini adalah Peradilan Agama bagi yang beragama
Islâm dan Peradilan Umum bagi lainnya.
Undang-Undang Peradilan Agama
Berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tanpa terkecuali dapat difahami bahwa Pasal tersebut merupakan jaminan
hak konstitusional bagi seluruh masyarakat. Terjaminnya hak-hak warganegara di bidang agama
ditetapkan dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya. Atas dasar adanya kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu itulah diadakan
peradilan khusus untuk pemeluk agama Islâm.
Selain kekhususan tersebut, sesungguhnya keberadaan Peradilan Agama (PA) lebih
merupakan kehendak atau realitas sejarah. Sejak masa kesultanan atau kerajaan Islâm, PA sudah ada
meskipun masih dalam bentuknya yang sangat sederhana, seperti peradilan serambi yaitu peradilan
yang ditempatkan di serambi masjid. Pada saat itu, jika masyarakat mempunyai persoalan, mereka
akan menghadap para ulama’ untuk mendapatkan solusinya berdasarkan hukum Islâm. Dengan
demikian pada saat itu seorang ulama’ sekaligus juga berposisi sebagai hakim.
Eksistensi peradilan agama di Indonesia menjadi kokoh dan menjadi lembaga mandiri setelah
adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 1 menyatakan bahwa
peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islâm. Pasal tersebut dipertegas
oleh Pasal 2 yang menyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islâm mengenai perkara tertentu yang diatur
dalam undang-undang.
Pengertian perkara tertentu tersebut dijelaskan dalam Pasal 49 yang menyatakan bahwa

pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islâm di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, sadakah, dan ekonomi syarî’ah.
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1999. Keterlibatan negara dalam pengaturan ibadah haji karena ibadah haji merupakan ibadah

yang sangat kompleks, penyelenggaraannya harus melibatkan institusi luar negeri. Kesalahan satu
aspek saja dapat berakibat fatal sebab menyangkut banyak kepentingan di dalamnya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pelaksanaan hukum Islâm di Indonesia sering kali menimbulkan pemahaman yang berbeda di
kalangan umat Islâm. Akibatnya hukum yang diputuskan pada suatu peristiwa juga sering menjadi
perdebatan. Oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum terutama di lembaga
peradilan, diperlukan upaya penyeragaman/kesatuan pemahaman dan kejelasan hukum Islâm.
Keinginan itulah yang menjadi dasar lahirnya kompilasi Hukum Islâm, yang akan menjadi pegangan
bagi hakim di lingkungan peradilan agama.
Kompilasi Hukum Islâm (KHI) merupakan kumpulan hukum Islâm (fiqh) yang disusun
berdasarkan kondisi dan kebutuhan ummat Islâm di Indonesia. Oleh karena itu KHI bukan merupakan
madzhab baru melainkan penyatuan beberapa madzhab dalam hukum Islâm yang disesuaikan dengan
budaya Indonesia. Sesuai dengan fungsinya, posisi KHI merupakan buku standar yang dapat dijadikan
pedoman atau rujukan bagi hakim untuk memutus perkara yang diajukan ke PA, dan sekaligus
menjadi pelengkap atas peraturan perundang-undangan yang ada.
Prospektif Berlakunya Hukum Islâm di Indonesia
Hukum Islâm masuk ke Indonesia pada abd ke-13, yakni bersamaan dengan masuknya
agama Islâm ke Indonesia dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang signifikan.
Sebagaimana telah diuraian sebelumnya bahwa hukum Islâm pada masa pemerintahan Hindia
Belanda secara yuridis formal telah tercantum dalam perundang-undangan pada masa tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya hukum Islâm telah diterima oleh masyarakat, elit politik
maupun legislatif, yang berkeinginan untuk melegislasi hukum Islâm. Dengan demikian
perkembangan hukum Islâm di Indonesia merupakan wujud aktualita dinamika masyarakat.
Dukungan seluruh komponen masyarakat memberikan andil yang sangat besar dalam menghadapi
tantangan.
Pada masa yang akan datang pemberlakuan hukum Islâm di Indonesia memerlukan perhatian
yang lebih serius untuk mengimbangi perkembangan masyarakat yang semakin maju dan terbuka
pada semua informasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak semua hukum Islâm dapat diterapkan
secara langsung, tetapi ada sebagian yang harus melalui proses pembudayaan atau melalui politik
pemerintahan. Hukum Islâm yang disebutkan terakhir baru akan memiliki kedudukan yang mantap
dan berlaku dalam suatu masyarakat atau negara apabila telah menjadi hukum positif, yaitu melalui
proses politik dan proses legislasi oleh kekuasaaan negara.
Hal itu sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto, bahwa keberlakuan dan
keberlangsungan hukum bergantung pada 5 (lima) komponen, yaitu materi hukum itu sendiri, pihakpihak yang membentuk dan menerapkan hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum, lingkungan/mayarakat dimana hukum tersebut berlaku dan faktor kebudayaan di dalam
pergaulan hidup.

B. Identifikasi Hukum Positif dan hukum islam

Secara umum hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama Islam yang
berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Hukum Islam ini baru dikenal di Indonesia setelah agama
Islam disebarkan di tanah air, namun belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia mengenai
ketepatan masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan pada abad ke-1 hijriah atau abad ke-7
masehi, ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13 masehi. Walaupun para
ahli itu berbeda pendapat mengenai kapan Islam datang ke Indonesia hukum Islam telah diikuti dan
dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di Indonesia. Hal ini terlihat dengan banyaknya hasil
studi dan karya ahli hukum Islam di Indonesia sejak dahulu kala.
Jika semenjak agama Islam masuk ke Indonesia hukum Islam di gunakan oleh masyarakat
Indonesia maka dalam sistem hukum yang ada di Indonesia pada saat itu terdapat subsistem hukum
Islam. Karena sebelum datangnya Islam Indonesia sudah mempunyai hukum sendiri yang disebut
hukum adat yang menjadi sistem yang tersendiri. terdapat berbagai teori mengenai hubungan antara
hukum Islam dengan hukum adat ini salah satunya adalah teori receptin in complexu yang
diterangkan oleh Van den Berg yang mengatakan :“selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,
menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti
hukum agama itu dengan setia” dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya hukum adat
itu juga merupakan bagian hukum agamanya karena merupakan hasil resepsi dari agama dalam artian
hukum Islam merupakan bagian dari hukum adat juga karena mayoritas masyarakat Indonesia pada
saat itu adalah beragama Islam. Menurut Soebardi, juga menunjukan bahwa terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan nusantara dan mempunyai
pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pada saat bangsa Belanda melalui organisasi perusahaan dagang belanda (VOC) datang ke
Indonesia dengan maksud yang semula adalah untuk berdagang namun kemudia haluannya berubah
untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk memantapkan tujuannya itu pihak Belanda harus
mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Namun, dalam kenyataannya hukum Belanda
tersebut sangat sulit untuk di terapkan akibat sudah adanya hukum yang hidup telah lama dalam
masyarakat Indonesia. Pihak Belanda-pun harus memahami hal itu jika tidak yang terjadi hanyalah
terdapat perlawanan dari masyarakat Indonesia sendiri. Akhirnya dilakukanlah penggolongan hukum.
dalam hal ini hukum Islam dapat diberlakukan bagi orang-orang yang menganut agama Islam. Bahkan
pada saat itu pihak Belanda meminta kepada D.W Freijer untuk menyusun
suatu compendium (intisari/ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan dalam
Islam.Setelah ringkasan tersebut disempurnakan, ringkasan tersebut diterima oleh pemerintah Belanda
untuk dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di kalangan umat Islam.
Pada abad 19, banyak orang-orang Belanda sangat berharap segera dapat menghilangkan
pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia. Karena menurutnya Islam ini menghambat
penguasaan Belanda di Indonesia. Namun Mr. Scholten Van Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi
dalam rangka penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda
mengatakan “untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga
perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumi putera dan agama Islam, maka harus di
ikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama
serta adat istiadat”. Pandangan Scholten ini dianggap yang menyebabkan pasal 75 Regering
Reglement menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan “undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan” mereka. Selain itu dalam regering reglement tersebut mengadakan
suatu pengadilan agama di jawa dan Madura.

Namun karena alasan-alasan politis yang didukung oleh pandangan Ter Haar bahwa hukum
Islam khususnya kewarisan belum sepenuhnya di terima oleh masyarakat dan merekomendasikan
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk peninjauan kembali kewenangan pengadilan agama
maka semenjak itu terdapat usaha-usaha Belanda untuk merubah kewenangan pengadilan agama yang
akhirnya pada tahun 1937, dengan S.1937 Nomor 116, wewenang mengadili perkara kewarisan di
alihkan yang semula di pengadilan agama ke pengadilan negeri. Akibatnya perihal kewarisan yang
semula didasarkan kepada hukum Islam di pengadilan agama semenjak itu diputuskan berdasarkan
pengadilan biasa yang belum tentu bersandar kepada hukum Islam. Setelah itu penerapan dan
penyebaran hukum Islam-pun mengalami kemandegan akibat keputusan pemerintah Belanda.
Usaha-usaha menempatkan kedudukan hukum Islam dalam kedudukannya semula dilakukan
oleh para pemimpin-pemimpin Islam. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Jepang menjelang
kemerdekaan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) merumuskan dasar negara
dan menentukna hukum dasar bagi negara Indonesia di kemudian hari, para pemimpin Islam yang
menjadi anggota badan tersebut terus berusaha untuk “mendudukkan” hukum Islam dalam Negara
Republik Indonesia kelak. Pertukaran pemikiran terus dilakukan hingga menghasilkan persetujuan
yang dinamakan piagam Jakarta menyatakan diantaranya bahwa negara berdasarkan kepada
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun akibat
tawar-menawar politik kalimat tersebut digantikan hanya dengan kata “Ketuhanan yang maha esa”
saja. Makna ketuhanan yang maha esa ini sudah dianggap sebagai selain mempercayai adanya Tuhan
yang maha esa juga berarti kewajiban menjalankan perintah Tuhan berdasarkan kepercayaan masingmasing, termasuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam.
Setelah Indonesia merdeka maka terdapat berbagai perombakan di bidang hukum. Indonesia
sebagai negara berdaulat harus segera membenahi sistem hukumnya yang semula merupakan sistem
hukum warisan masa kolonial. Usaha-usaha pembentukan suatu sistem hukum yang terunifikasi
secara nasional-pun gencar dilakukan Hingga muncul suatu konsepsi sistem hukum nasional yang
bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945. Lalu bagaimanakah Kedudukan Hukum Islam dalam
sistem Hukum Nasional dimana hukum Islam berdasarkan sejarah Indonesia merupakan suatu kultur
yang telah lama ada.
Sistem hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi yang dianutnya,
yang menempatkan manusia berada dalam posisi yang setara dengan Tuhan. Dalam sistem ini,
manusia memiliki hak untuk membuat hukum dan menentukan halal-haram. Terkait dengan sumber
pokok hukum Perdata (burgerlijk Wetboek), Indonesia masih mengadopsi hukum buatan manusia
(penjajah) yang berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon, yang diadopsi oleh
Belanda. Hukum tersebut berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan
Belanda. Kitab Undang-Undang Pidana (Wetboek van Strafrecht)-nya pun diadopsi dari KUHP untuk
golongan Eropa yang merupakan kopian dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman
Napoleon. Akibat diadopsinya hukum buatan manusia, batasan kejahatan menjadi kacau bahkan
memicu kejahatan lain.
Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, perzinaan (persetubuhan di luar nikah) akan
dikenakan sanksi bila dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan
dari pihak yang dirugikan. Artinya, jika perzinaan itu dilakukan oleh bujang-lajang, suka sama suka,
maka pelaku tidak dikenakan sanksi. Akibatnya, free seks menjadi legal, hamil di luar nikah menjadi
biasa, bahkan aborsi sekalipun. Contoh lain, ketika batasan kepornoan samar, bahkan kepornoan yang
jelas pun dikecualikan (seperti dalam pentas-pentas seni), hal itu akan berdampak pada pelecehan
terhadap perempuan, mulai dari pelecehan ringan hingga pemerkosaan.
Standar hukum Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini meniscayakan hukum Islam
bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah. Sebab, al-Quran dan as-Sunnah adalah tetap, tidak

akan berubah hingga Hari Kiamat. Definisi kejahatan dan jenis sanksi pun jelas hingga tidak akan
memunculkan permasalahan baru. Kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap seluruh
aturan Allah SWT. Artinya, siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman,
maka ia telah melakukan kejahatan (jarîmah) yang berhak atasnya sanksi. Zina, misalnya, diharamkan
Allah SWT (lihat: QS 17: 32) dan pelakunya harus dikenai sanksi. Pezina mukhshan (sudah menikah)
sanksinya adalah rajam (hadis dari Jabir bin Abdillah), sedangkan pezina ghayru mukhshan (belum
menikah), sanksinya adalah dicambuk dengan 100 kali cambukan (lihat QS 24: 2).