Paradigma Baru TNI dan Peluang Kembaliny
PARADIGMA BARU TNI DAN PELUANG
KEMBALINYA TENTARA KE PANGGUNG POLITIK
(Studi mengenai Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde
Baru)
Agus Sutisna, tisna_1965@ymail.com
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik
SPs Universitas Nasional Jakarta
Abstrak
Pasca reformasi 1998 Markas Besar ABRI menerbitkan dokumen
yang berisi paradigma baru ABRI dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Paradigma ini dimaksudkan sebagai respon positif kalangan
militer terhadap tuntutan reformasi untuk meredefinisi dan mereposisi
peran ABRI dalam kehidupan politik yang selama rezim Orde Baru
dianggap
telah
menghambat
perkembangan
demokrasi
dan
pelanggaran-pelanggaran atas Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai ekses
dari penerapan doktrin Dwi Fungsi. Secara ringkas substansi paradigma
baru itu dapat dirumuskan dalam jargon : “tidak selalu harus di depan;
tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi
secara langsung tetapi tidak langsung; dan siap berbagi peran dengan
komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan”. Studi ini membahas esensi dan
kecenderungan paradigma baru tersebut dalam kaitannya dengan
peluang/kemungkinan ABRI (sekarang TNI) kembali melakukan
intervensi dalam kehidupan politik di era reformasi dalam kerangka
konsepsi hubungan sipil-militer di Indonesia. Data untuk studi ini
dihimpun dari berbagai sumber literatur dan dokumen yang relevan;
kemudian dianalisis dan disajikan secara kualitatif. Hasil studi
menunjukkan, bahwa paradigma baru TNI tidak menyatakan secara
assertif bahwa TNI akan mundur sepenuhnya dari panggung politik. Oleh
karena itu peluang kembalinya TNI ke panggung kehidupan politik
Indonesia tetap terbuka, terutama jika para elit dan otoritas sipil gagal
mewujudkan demokrasi dan stabilitas politik-keamanan nasional.
Kata-kata Kunci : Relasi Sipil-Militer, Dwi Fungsi ABRI, Paradigma Baru
TNI,
Demokrasi, Panggung Politik
1.
Latar Belakang
Merespon desakan berbagai elemen masyarakat agar ABRI
mundur dari arena kehidupan politik yang merupakan area masyarakat
sipil, tanggal 5 Oktober 1998 Markas Besar ABRI menerbitkan “buku
putih” berjudul : ABRI Abad XXI : Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi
Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa.
Suatu dokumen yang oleh Tim
PPW-LIPI dinilai sebagai indikasi adanya keinginan di lingkungan internal
ABRI untuk melakukan perubahan.1
Sebagaimana tercatat dalam sejarah kiprahnya, sepanjang era
pemerintahan Orde Baru, ABRI merupakan aktor politik utama yang
peranannya dalam kehidupan politik sangat dominan dan determinatif.
Beralaskan doktrin Dwi Fungsi yang ditafsir-kembangkan oleh Soeharto
dari
konsep
“Jalan
Tengah”nya
Nasution,
ABRI
praktis
menjadi
pengendali kehidupan politik nasional. Doktrin ini menegaskan, bahwa
selain berfungsi sebagai alat pertahanan-keamanan negara, ABRI juga
mengemban fungsi sosial-politik. Fungsinya yang kedua inilah yang
kemudian banyak dikritik dan digugat oleh masyarakat, karena dianggap
menjadi sumber penghambat tumbuh-kembangnya demokrasi. Seperti
dikemukakan Daniel S. Lev, dwi-fungsi ABRI bukan saja memonopoli
1 Tim Peneliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Pasang Surut Keterlibatan Militer
dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia, Jakarta : LIPI-MIZAN, 1999, hal. 204.
politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi
kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara
diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.2
Selain melalui doktrin Dwi Fungsi, dominasi ABRI dalam kehidupan
politik Indonesia pada masa Orde Baru juga difasilitasi oleh model
struktur kekuasaan territorial yang membentang dari pusat hingga ke
desa. Dalam hasil kajiannya, Peter Britton3 mengungkapkan :
“...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya
disetiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah,di setiap desa
dengan tugas memelihara nan, mengawasi kegiatan-kegiatan aparat
pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas politik.
Para perwira militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun,
semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan penting
sebagai pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah daerah, pemerintah
pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah pengendalian”.
Dominasi dan cengkraman tentara dalam kehidupan politik itu
bukan saja telah mengakibatkan tersendatnya pertumbuhan demokrasi
di Indonesia. Melainkan juga telah melahirkan rentetan peristiwa dan
berbagai bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh aparatur
ABRI di berbagai daerah. Sebut saja misalnya peristiwa Tanjung Priok
(1984), Talangsari Lampung (1989), kerusuhan 27 Juli 1996 dan Timtim
pasca referendum penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur (1999)
dll.
Ringkasnya, pelbagai distorsi dan ekses negatif penerapan dotkrin
Dwi Fungsi yang dikombinasikan dengan model struktur kekuasaan
2 Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS
Paska Perubahan Rezim 1998, Jakarta : KontraS, 2005, hal. 8
3 Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1996,
hal 126.
teritorial
telah
“menjerumuskan”
ABRI
sebagai
tulang
punggung
pertahanan-keamanan negara yang mestinya fokus pada kesiagaan
pengamanan negara dari berbagai ancaman (domestik maupun luar
negeri, potensial maupun nyata) ke dalam area permainan politik yang
sejatinya merupakan domain masyarakat sipil, yang oleh sebab itu
kerapkali “memaksa” mereka untuk berhadapan dengan rakyatnya
sendiri; dengan para mahasiswa, para aktifis LSM, para kyai serta
elemen-elemen masyarakat sipil lainnya.4
Itulah sebabnya, kehadiran “buku putih” yang berisi paradigma
baru
peran
sosial-politik
ABRI
menerbitkan,
sekurang-kurangnya
harapan positif terhadap positioning masa depan ABRI yang lebih tepat
dalam lanskap kepolitikan bangsa. Satu hal harus segera ditegaskan
dalam kaitan reposisi ini, terlepas dari sejarah kelamnya sepanjang era
Orde Baru, keberadaan ABRI yang saat ini sudah berganti nama dengan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah suatu keniscayaan sejarah.
Kehadirannya
bersifat
mutlak
sebagai
pilar
utama
pertahanan-
keamanan negara-bangsa.
Maka menjadi penting memang untuk terus mendiskusikan
bagaimana posisi paling tepat dan jalan lurus yang harus ditempuh oleh
TNI sebagai salah satu komponen utama negara dan sistim nasional.
Pada
saat
yang
sama,
tidak
kalah
pentingnya
pula
adalah
mendiskusikan bagaimana performa kepolitikan yang harus dibangun,
4 Lihat Tim LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto di Belakang
Peristiwa 27 Juli ?, Jakarta : LIPI-Mizan, 2001.
suasana
sehat
dan
dinamis
dalam
kerangka
mengkonsolidasikan
demokrasi, serta perilaku politik yang harus dikembangkan oleh para
eksponen masyarakat sipil yang menjadi aktor-aktor pada domain
kehidupan politik negara-bangsa sedemikian rupa, sehingga tidak
“mengundang” syahwat politik tentara untuk kembali “berjoget ria” di
panggung kepolitikan bangsa.
2.
Fokus Kajian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, studi ini difokuskan
pada 2 (dua) pokok pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana paradigma baru tentara Indonesia dalam kerangka
hubungan sipil-militer pasca reformasi 1998 ?
2. Bagaimana
peluang
tentara
Indonesia
kembali
ke
panggung
kehidupan politik di era reformasi ?
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan/metode kualitatif. Data
dan informasi untuk kebutuhan analisis dikumpulkan melalui studi
literatur, dokumen, dan eksplorasi peristiwa-peristiwa dinamis seputar
hubungan
sipil-militer
dalam
lanskap
kehidupan politik
Indonesia
mutakhir (pasca reformasi). Data dan informasi yang terhimpun
sedemikian rupa itu dianalisis dan interpretasi, kemudian disajikan
secara deskriptif.
4.
Landasan Teori
Fenomena keterlibatan atau intervensi militer dalam politik di
berbagai negara telah banyak dikaji dan diperbincangkan dalam
kerangka hubungan sipil-militer. Pada umumnya para ahli memetakan
isu hubungan sipil-militer ini ke dalam dua
perspektif. Pertama
perspektif Barat dan kedua perspektif negara berkembang atau negara
otoriter.5 Di negara-negara barat dimana demokrasi pada umumnya
telah mengalami konsolidasi dan establish berlaku model civilian
supremacy upon the military (supremasi sipil atas militer). Dalam model
ini, militer berada dalam posisi sebagai sub-ordinat dari pemerintahan
sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Sementara
di negara-negara berkembang pada umumnya atau di negara-negara
otoriter, militer kerap dianggap sebagai kekuatan politik yang memiliki
hak untuk ikut mengatur dan mengambil keputusan-keputusan politik
strategis bersama kekuatan politik lainnya, terutama partai politik dan
parlemen. Di atas basis cara pandang inilah kemudian militer di negaranegara berkembang atau otoriter seringkali --jika tidak selalu-- terlibat
jauh (intervensi) dalam kehidupan politik.
Intervensi militer ke dalam kehidupan politik itu oleh S.E. Finer
dipetakan dalam 5 (lima) model sebagai berikut. 6 Yaitu melalui : (1)
saluran konstitusional resmi; (2) kolusi dan atau kompetisi dengan
5 Ikrar Nusa Bhakti, “Hubungan Baru Sipil-Militer”, Kompas, edisi 28 Juni 2000.
6 Tim Peneliti PPW-LIPI, Op.Cit., hal. 37
otoritas sipil; (3) intimidasi terhadap otoritas sipil; (4) ancaman nonkooperasi dengan atau kekerasan terhadap otoritas sipil; dan (5)
penggunaan kekerasan pada otoritas sipil.
Perspektif lain diperkenalkan oleh
Marcus
Mietzner7
yang
memetakan 4 (empat) model intervensi militer dalam kehidupan politik.
Pertama model Praetorian. Dalam model ini, militer praktis mengontrol
semua pranata kenegaraan dan masyarakat sipil. Lembaga-lembaga
negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh militer
baik secara langsung maupun melalui otoritas sipil yang loyal dan
tunduk pada kehendak militer. Model ini melahirkan rezim Praetorian
yang biasanya berkuasa melalui pintu masuk situasi darurat di negara
yang bersangkutan. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin dan
Afrika pada dekade 1950-an merupakan contoh dari model Praetorian
ini.
Kedua, model Participant-Rule. Di dalam model ini Mietzner
menggambarkan keterlibatan (intervensi) langsung dilakukan oleh
militer
dalam
sepenuhnya
pemerintahan,
atas
pemerintah.
namun
Dalam
tidak
model
memegang
ini
biasanya
kontrol
militer
membangun aliansi atau melayani kepentingan elit sipil serta terlibat
dalam pemerintahan. Contoh negara dengan model ini adalah Filipina di
bawah rezim Marcos dan Thailand pada dekade 1980-an.
7 Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent
Transition to
Democratic Consolidatio, Singapore : ISEAS, 2009.
Ketiga, model Guardian. Di dalam model ini militer tidak terlibat
secara langsung dalam pemerintahan sipil. Artinya militer tetap berada
di luar pemerintahan dan bertugas menjalankan fungsinya sebagai alat
utama
pertahanan-keamanan
negara.
Akan
tetapi,
biasanya
berdasarkan legitimasi historis, militer menjadi kekuatan yang sangat
menentukan (determinative) nasib pemerintahan sipil. Militer dalam
tipologi ini biasanya memiliki apa yang disebut sebagai esprit de corpus
sebagai penjaga ideologi bangsa atau keutuhan negara. Turki adalah
contoh negara dengan model seperti ini.
Keempat, model Referee. Militer dalam model ini digambarkan
oleh Meitzner layaknya wasit (refree) yang bukan hanya menjadi
“pengadil” dalam situasi konflik antar faksi atau kekuatan aktor-aktor
politik sipil. Tetapi juga bisa menjadi “king makers” yang menentukan
dalam pertarungan kekuasaan antar faksi politik di negaranya. Model ini
biasanya
dijumpai
pada
negara-negara
otoriter
atau
yang
baru
memasuki tahapan transisi demokrasi dimana persaingan antar faksi
politik demikian tinggi. Dan dalam konteks persaingan ini militer hadir
sebagai faktor penentu perihal faksi mana yang akan didukung untuk
berkuasa. Sebagai imbalannya militer diberikan jatah kursi menteri,
otoritas ekslusif untuk mengatur sendiri institusi dan kebijakannya, atau
berupa konsesi-konsesi ekonomi bagi para elitnya.
Intervensi militer ke dalam politik di negara-negara berkembang
atau negara pasca kolonial tentu bukan tanpa sebab dan latarbelakang.
Sejumlah literatur mendeskripsikan intervensi angkatan bersenjata
dalam politik suatu negara pada umumnya diakibatkan situasi-situasi
berikut ini8 :
(1)
Jatuhnya
prestise
pemerintah
atau
partai
politik
yang
memegang pemerintahan, yang menyebabkan rezim bersangkutan
semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban
dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi
krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan
pendapat; (2) Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin
politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer
apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif; (3)
Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang
besar
atau
oleh
negara-negara
tetangga
dalam
hal
perebutan
kekuasaan; (4) Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di
negara-negara tetangga; (5) Permusuhan sosial dalam negeri, yang
paling jelas terjadi di negara-negara yang diperintah oleh suatu
kelompok minoritas; (6) Krisis ekonomi, yang menyebabkan dicabutnya
kebijakan penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat
kota yang terorganisir; (7) Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan
partai yang tidak efesien, atau anggapan bahwa pejabat-pejabat sipil
8 Lihat misalnya Calude E.Welch, Jr., “Cincinnatus in Africa: The Possibility of Military
Withdrawl From
Politics,” dan Robert P. Clarck, “Devolopment and Instabillity: Political change in the
Non-Western World”,
dalam Robert P. Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta:
Erlangga, 1989, hal. 155156.
berniat menjual bangsanya kepada suatu kelompok asing; (8) Struktur
kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer menjadi satusatunya saluran yang terbuka untuk anak miskin naik status dari bawah
ke atas; (9) Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada anggotaanggota militer bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang
mempunyai cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk
menarik negara keluar dari tata-caranya yang tradisional; (10) Pengaruh
asing, dapat melibatkan perwakilan militer negara asing, pengalaman
yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-pusat
latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam bentuk peralatan dan
senjata; dan (11) Kekalahan militer dalam perang dengan negara lain,
khususnya kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil
telah mengkhianati mereka dengan merundingkan ketentuan-ketentuan
perdamaian yang tidak menguntungkan atau karena salah menjalankan
kegiatan perang di belakang garis pertempuran.
Dalam konteks sejarah kepolitikan atau hubungan sipil-militer di
Indonesia, para ahli memetakan sejumlah faktor yang telah mendorong
ABRI melakukan intervensi ke dalam kehidupan politik. Faktor-faktor itu
antara lain : tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara;
adanya
ancaman
mempertahankan
kebijakan
terhadap
privilege
pertahanan,
keamanan
seperti
memperoleh
nasional;
otonomi
dan
ambisi
dalam
tentara
merumuskan
mengunakan
anggaran
pertahanan institusi militer; serta melindungi aset dan akses ekonomi
dan tugas sejarah.9
Sementara itu, Daniel S. Lev menyimpulkan10, bahwa dalam
sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat subjektif dari
kalangan perwira tentara itu sendiri untuk masuk ke ranah kehidupan
politik. Yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik
pemerintah; dicampurinya urusan internal tentara oleh pimpinan politik;
terjadinya pertentangan dikalangan perwira tentara sendiri, serta tidak
disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh tentara.
5.
Hasil dan Pembahasan
1. Paradigma Baru TNI
Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, dalam kerangka
merespon tuntutan agar ABRI menarik diri dari kehidupan politik sebagai
bagian penting dari agenda reformasi 1998, Markas Besar ABRI
menerbitkan suatu dokumen yang diberi judul “ABRI Abad XXI :
Redefinisi,
Reposisi
dan
Reaktualisasi
Peran
ABRI
dalam
Kehidupan Bangsa”. Dokumen ini memuat sikap sekaligus paradigma
baru ABRI dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara
setelah terjadinya turbulensi politik yang dipuncaki oleh mundurnya
9 Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani dan
Transisi di Indonesia,”
dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi
Demokrasi di Indonesia,
Jakarta: CSIS, 1999, hal. 10
10 Daniel S. Lev, “ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Jurnal Diponegoro 74,
Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI, hal.7-8.
Soeharto dari jabatan Presiden setelah lebih dari 30 (tiga puluh tahun)
tahun berkuasa. Suatu paradigma yang dilandasi cara berpikir yang
bersifat analitik dan prospektif ke masa depan berdasarkan pendekatan
komprehensif yang memandang ABRI sebagai bagian dari sistem
nasional.
Paradigma baru ini dalam fungsi sosial politik mengambil bentuk
implementasi sebagai berikut11 :
Pertama, mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di
depan. Artinya, posisi sentral yang pada masa Orde Baru mereka
nikmati, kini dapat berubah untuk memberi jalan guna dilaksanakan
oleh institusi fungsional yang bersangkutan.
Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi.
Pada masa Orde Baru, penugasan di luar struktur ABRI mencakup
lingkup amat luas. Kini lingkup tersebut makin diperkecil dan dibatasi
pada
posisi
yang
memiliki
nilai
strategis
serta
mengurangi
keterlibatannya dalam kegiatan politik praktis. Memperngaruhi di sini
tidak
dimaksudkan
intervensi,
tetapi
lebih
bermakna
kontribusi
pemikiran yang konstruktif.
Ketiga, mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi
tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelibatan ABRI
secara berlebihan.
Keempat, kesediaan untuk
melakukan
political role
sharing
(kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan
11 Tim Peneliti PPW-LIPI, Op. Cit., hal. 204-206.
pemerintahan)
dengan
komponen
bangsa
lainnya.
Jalinan
dan
pembagian peran dengan mitra sipil akan menempatkan peran setiap
institusi secara fungsional.
Ringkasnya, paradigma baru ABRI itu dapat dirumuskan sebagai
berikut :
“tidak selalu harus di depan; tidak lagi menduduki tapi
mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara langsung tetapi tidak
langsung; dan siap berbagi peran dengan komponen bangsa lainnya
dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan.”
Paradigma baru ini menggantikan paradigma lama ABRI yang full-power
sebagai
stabilisator
dan
dinamisator
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara.12
Mencermati 4 (empat) bentuk implementasi paradigmatika baru
ABRI tersebut, beberapa simpulan hipotetis dalam kerangka hubungan
sipil-militer di Indonesia, atau secara khusus isu keterlibatan TNI dalam
kehidupan politik pasca Orde Baru ini dapat dirumuskan sebagai berikut
:
Pertama, paradigma itu menunjukkan secara tersirat, bahwa TNI
sesungguhnya tidak sepenuhnya akan mundur dari keterlibatannya
dalam kepolitikan bangsa. TNI berkomitmen mundur dari panggung
politik dengan sejumlah syarat tertentu. Analisis KontraS menduga,
bahwa salah satu syarat itu adalah jika hak-hak privilege (istimewa)
mereka tidak dilucuti oleh otoritas (pemerintah) sipil. Jika privillege itu
terganggu maka TNI akan memberanikan diri maju kedepan baik secara
12 Tim KontraS, OP.Cit., hal. 26.
langsung maupun tidak langsung. Artinya TNI tidak akan surut dari
panggung politik begitu saja.13
Penulis sendiri melihat di antara syarat penting yang tersirat itu
adalah menyangkut soal keselamatan negara-bangsa yang dapat saja
menjadi rentan atau berpotensi terancam setelah TNI mundur dari
panggung politik oleh karena pertarungan politik di kalangan elit sipil
atau tensi dinamika kepolitikan yang sangat tinggi sebagai implikasi
dibukanya kran kebebasan dan demokrasi, yang menjurus pada
instabilitas politik-keamanan negara-bangsa. Jika ini terjadi, hemat
penulis, TNI tidak akan berpangku tangan; TNI akan “terpaksa” kembali
ke panggung politik untuk memenuhi “panggilan tugas sebagai tentara
pejuang” guna menyelamatkan negara-bangsa.
Kedua, muatan paradigma itu juga menunjukkan bahwa TNI
sebetulnya masih memposisikan diri sebagai kekuatan politik utama
dalam lanskap demokrasi kepolitikan Indonesia pasca Orde Baru. Sikap
pemosisian diri ini jelas terbaca dalam kalimat “dalam mengambil
keputusan penting TNI siap berbagi peran (political role sharing) dengan
komponen bangsa lainnya”. Kalimat ini mengisyaratkan dua hal;
pertama TNI menyadari betul bahwa pada masa Orde Baru mereka
merupakan kekuatan politik tunggal yang secara hegemonic menjadi
penentu dalam setiap pengambilan berbagai keputusan strategis negara
dan
pemerintahan;
kedua
13 Tim KontraS, Op.Cit., hal.26
posisi
ini
tidak
akan
mereka
lepas
sepenuhnya,
TNI
hanya
akan
“berbagi”
dengan
(dan
bukan
“menyerahkan”) kepada komponen bangsa lainnya.
Terkait dengan gagasan mengenai berbagi peran dengan pihak
sipil itu, KontraS melihat bahwa dalam paradigma barunya TNI sama
sekali tidak menyadari bahwa peranannya dimasa lalu adalah peranan
yang telah menciptakan “kekacauan”. Disamping itu juga, TNI tidak
menyadari bahwa dalam masa demokratisasi ini, sejalan dengan normanorma yang lazim menjadi rujukan dan dipraktikkan dalam tradisi
demokrasi, TNI mestinya hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil. 14
Ketiga,
paradigma
mengubah
tradisi
“menduduki
menjadi
mempengaruhi” dan “mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung”
meskipun secara semantik cukup jelas maknanya, namun substansi
phrasa ini jelas menyiratkan masih kuatnya semangat dan keinginan TNI
untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis. Dalam praktiknya, istilah
“mempengaruhi”
dalam
sekurang-kurangnya
aktifitas
sama
saja
politik
bobot
praktis
seringkali
implikasinya,
lebih,
dengan
“menduduki”.
Keempat, dalam paradigma baru TNI itu juga tidak secara tegas
dan eksplisit dinyatakan bahwa doktrin Dwi Fungsi dihapuskan oleh
sebab
telah
menimbulkan
berbagai
distorsi
yang
menghambat
pertumbuhan demokrasi dalam kehidupan politik Indonesia sepanjang
era Orde Baru.
14 Ibid., hal.27
Dengan demikian, tanpa bermaksud menegasikan perubahanperubahan kearah positif yang sudah dicapai sejauh ini, paradigma baru
TNI sesungguhnya belum mengubah secara total dan signifikan posisi,
budaya dan postur TNI dalam lanskap kepolitikan negara-bangsa pasca
Orde Baru. Seperti disimpulkan Kusnanto Anggoro, bahwa
dengan
paradigma barunya itu TNI sesungguhnya masih tetap berada dalam
ruang konservatisme menyangkut kepercayaan pada supremasi sipil
dalam pengelolaan negara.15
2. Dinamika Kepolitikan Pasca Reformasi
dan Peluang Kembalinya Tentara ke Panggung Politik
Memasuki era reformasi setelah 30 tahun lebih berada dalam
cengkraman rezim otoriter Orde Baru yang represif dan anti-demokrasi,
lanskap kehidupan politik Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena
ledakan partisipasi politik secara massif sebagai implikasi dari dibukanya
kran kebebasan. Dimana-mana, gairah partisipasi politik berbagai
elemen masyarakat tumbuh dan merebak sebagaimana tercermin
antara
lain
kekecewaan
dalam
atau
berbagai
tuntutan
aksi
atas
unjukrasa
beragam
mengartikulasikan
persoalan
bangsa;
bertumbuhnya organisasi-organisasi baru yang mewadahi elemenelemen civil society; dan kebebasan pers.
Di satu sisi, situasi tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa
demokrasi yang sesungguhnya sedang tumbuh dalam masyarakat
15 Kusnanto Anggoro, Op. Cit., hal. 13-17.
Indonesia. Tetapi tidak jarang diantara bentuk-bentuk ekspresi dan
atikulasi partisipasi politik itu juga menjurus ke arah yang destruktif dan
berpotensi
masyarakat,
menimbulkan
gesekan
menjurus
arah
ke
dan
benturan
instabilitas,
sosial
bahkan
dalam
berpotensi
menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Terbuka luasnya kran kebebasan yang telah memicu tumbuh
suburnya gairah partisipasi dan berdemokrasi masyarakat Indonesia
pasca reformasi 1998 ini tampak hampir dalam semua lapangan dan
dimensi
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara
(kebudayaan, informasi dan komunikasi, ekonomi, sosil-politik, bahkan
juga hukum). Dalam bidang kebudayaan dan kesenian, kebebasan itu
tampak dalam bentuk-bentuk ekspresi dan artikulasi berbagai kegiatan
dan kerya seni-budaya yang pada masa Orde Baru sukar bisa dilakukan.
Di bidang informasi dan komunikasi, kebebasan itu lebih menonjol lagi
dengan mengarus derasnya penyebaran dan pertukaran informasi
melalui saluran-saluran yang tersedia dan semakin kaya ragam dan
bentuknya.
Dalam bidang politik terbukanya kran kebebasan dan gairah
partisipasi rakyat itu tampak marak dan massif, baik di ruang-ruang
political society (masyarakat politik) seperti partai politik, parlemen dan
pemerintahan, maupun di dalam arena civil society (masyarakat sipil)
seperti Ormas, LSM, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya, di
pusat kekuasaan maupun di daerah.
Kegiatan
demokrasi
elektoral
(kepemiluan)
yang
menyita
perhatian dan energi segenap bangsa nyaris sepanjang tahun; adu
kekuatan antara parlemen dengan pemerintah dalam konteks relasi
DPR-Presiden yang dikuasai masing-masing oleh partai atau koalisi
partai politik yang berbeda sehingga melahirkan fenomena
democratic
legitimacy;
kisruh
dan
sengketa
antara
dual
lembaga
kepemerintahan seperti konflik Polri vs KPK; aksi buruh yang nyaris
tanpa jeda menuntut perbaikan nasib; aksi berbagai elemen civil society
yang juga tak pernah sepi menyuarakan kepentingan publik atas
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat seperti
kenaikan harga BBM dan komoditas publik lainnya; semuanya itu
menggambarkan betapa rentan sesungguhnya dinamika kehidupan
politik Indonesia di era reformasi ini. Suatu kondisi yang berdasarkan
pengalaman sejarah dimanapun di negara-negara pasca kolonial dan
transisional, dapat dengan mudah “mengundang” kembali intervensi
militer, manakala otoritas sipil gagal menyelesaikannya secara damai
dan demokratis.
Tentu saja dari semua bentuk kegaduhan politik itu, merujuk pada
sejarah keterlibatan militer dalam kepolitikan Indonesia yang paling
potensial membuka jalan bagi intervensi militer adalah kegaduhan dan
konflik
yang
menyangkut
berlangsung
relasi
di
antara
ruang
political
society.
Terutama
Parlemen-Presiden/Pemerintah
dan
pertarungan kepentingan di dalam parlemen sendiri menyangkut
berbagai isu strategis kenegaraan dan pemerintahan.
Oleh sebab itu, berlatar gambaran sederhana tersebut yang
dikonfimasikan
dengan
sejumlah
perspektif
teoritik,
substansi
paradigma baru TNI dan aspek kesejarahan sebagaimana dipaparkan di
depan, menurut hemat penulis potensi militer untuk kembali intervensi
dan kembali ke panggung politik Indonesia di era reformasi ini tetap
terbuka. Terutama jika pemerintah dan
elit-elit sipil/partai politik di
parlemen gagal menciptakan stabilitas politik lalu berimplikasi pada
timbulnya kerawanan-kerawanan aspek keamanan nasional; gagal
menghadirkan wajah demokrasi yang memperkuat integrasi bangsa lalu
berimbas pada terancamnya keselamatan negara-bangsa; dan akhirnya
kehilangan kepercayaan dari rakyat, maka TNI sebagaimana sudah
sering ditunjukkan dalam perjalanan sejarah bangsa ini, secara subyektif
akan
merasa
“terpanggil”
untuk
maju
kembali
dengan
misi
menyelamatkan bangsa dan negara. Inilah yang terjadi pada peristiwa
17 Oktober 1952 dan pasca peristiwa pemberontakan G 30 S PKI tahun
1965, dimana ABRI tampil ke depan dengan misi menyelamatkan
ideologi, negara dan bangsa.
6.
Kesimpulan
Paradigma baru TNI yang diharapkan akan memperkuat agenda
demokratisasi melalui redefinisi, reposisi dan reaktualisasi perannya
sebagai alat pertahanan keamanan negara sebagaimana dituntut oleh
kalangan masyarakat sipil, sesungguhnya belumlah sampai pada apa
yang secara ideal diharapkan. Selain tidak secara eksplisit dan tegas
menghapuskan doktrin Dwi Fungsi ABRI, substansi paradigma tersebut
juga tidak menyatakan secara assertif, bahwa ABRI atau TNI menarik diri
sepenuhnya dari kehidupan politik. Paradigma itu hanya memuat
sejumlah komitmen, yakni : tidak selalu harus di depan; tidak lagi
menduduki tapi mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara
langsung tetapi tidak langsung; dan siap berbagi peran dengan
komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan.
Di sisi lain, dinamika kehidupan politik pasca Orde Baru hingga
saat ini
masih menunjukkan kecenderungan ke arah kegaduhan dan
instabilitas. Para elit sipil dan otoritas pemerintahan sipil yang dihasilkan
melalui
pemilu
belum
sepenuhnya
berhasil
mewujudkan
tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis sekaligus tertib
dan stabil.
Pertemuan dua fakta tersebut, yakni : paradigma baru TNI yang
tidak sepenuhnya mundur dari kehidupan politik dan situasi politik yang
cenderung gaduh sepanjang waktu serta menjurus ke arah instabilitas
politik-keamanan, jika tidak disikapi dengan tepat dan segera, ia akan
menjadi “tiket sekaligus pintu masuk” bagi TNI untuk kembali ke
panggung politik. Dan secara historis, ini adalah keniscayaan sejarah
bangsa yang telah berulang kali terbukti.
Daftar Pustaka
1. Bhakti, Ikrar Nusa, “Hubungan Baru Sipil-Militer”, Kompas, edisi 28
Juni 2000.
2. Clark, Robert P., Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga,
Jakarta: Erlangga, 1989.
3. Finer, S.E., The Man on Horseback : The Role of Military in Politics,
New York : Preafer, 1962.
4. Lev, Daniel S., “ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Jurnal
Diponegoro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI,
5. Mabes TNI, TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran
TNI Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Markas Besar TNI, 1999.
6. Mietzner, Marcus, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia:
From Turbulent Transition to Democratic Consolidation, Singapore :
ISEAS, 2009.
7. Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2000.
8. Sukma, Rizal dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan
Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: CSIS, 1999.
9. Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia
Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, Jakarta : KontraS,
2005.
10. Tim LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto di
Belakang Peristiwa 27 Juli ?, Jakarta : LIPI-Mizan, 2001.
11. Tim Peneliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Pasang Surut
Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia,
Jakarta : LIPI-MIZAN, 1999, hal. 204.
Agus Sutisna
Rangkasbitung, 30 April 2015
tisna_1965@ymail.com
KEMBALINYA TENTARA KE PANGGUNG POLITIK
(Studi mengenai Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde
Baru)
Agus Sutisna, tisna_1965@ymail.com
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik
SPs Universitas Nasional Jakarta
Abstrak
Pasca reformasi 1998 Markas Besar ABRI menerbitkan dokumen
yang berisi paradigma baru ABRI dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Paradigma ini dimaksudkan sebagai respon positif kalangan
militer terhadap tuntutan reformasi untuk meredefinisi dan mereposisi
peran ABRI dalam kehidupan politik yang selama rezim Orde Baru
dianggap
telah
menghambat
perkembangan
demokrasi
dan
pelanggaran-pelanggaran atas Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai ekses
dari penerapan doktrin Dwi Fungsi. Secara ringkas substansi paradigma
baru itu dapat dirumuskan dalam jargon : “tidak selalu harus di depan;
tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi
secara langsung tetapi tidak langsung; dan siap berbagi peran dengan
komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan”. Studi ini membahas esensi dan
kecenderungan paradigma baru tersebut dalam kaitannya dengan
peluang/kemungkinan ABRI (sekarang TNI) kembali melakukan
intervensi dalam kehidupan politik di era reformasi dalam kerangka
konsepsi hubungan sipil-militer di Indonesia. Data untuk studi ini
dihimpun dari berbagai sumber literatur dan dokumen yang relevan;
kemudian dianalisis dan disajikan secara kualitatif. Hasil studi
menunjukkan, bahwa paradigma baru TNI tidak menyatakan secara
assertif bahwa TNI akan mundur sepenuhnya dari panggung politik. Oleh
karena itu peluang kembalinya TNI ke panggung kehidupan politik
Indonesia tetap terbuka, terutama jika para elit dan otoritas sipil gagal
mewujudkan demokrasi dan stabilitas politik-keamanan nasional.
Kata-kata Kunci : Relasi Sipil-Militer, Dwi Fungsi ABRI, Paradigma Baru
TNI,
Demokrasi, Panggung Politik
1.
Latar Belakang
Merespon desakan berbagai elemen masyarakat agar ABRI
mundur dari arena kehidupan politik yang merupakan area masyarakat
sipil, tanggal 5 Oktober 1998 Markas Besar ABRI menerbitkan “buku
putih” berjudul : ABRI Abad XXI : Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi
Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa.
Suatu dokumen yang oleh Tim
PPW-LIPI dinilai sebagai indikasi adanya keinginan di lingkungan internal
ABRI untuk melakukan perubahan.1
Sebagaimana tercatat dalam sejarah kiprahnya, sepanjang era
pemerintahan Orde Baru, ABRI merupakan aktor politik utama yang
peranannya dalam kehidupan politik sangat dominan dan determinatif.
Beralaskan doktrin Dwi Fungsi yang ditafsir-kembangkan oleh Soeharto
dari
konsep
“Jalan
Tengah”nya
Nasution,
ABRI
praktis
menjadi
pengendali kehidupan politik nasional. Doktrin ini menegaskan, bahwa
selain berfungsi sebagai alat pertahanan-keamanan negara, ABRI juga
mengemban fungsi sosial-politik. Fungsinya yang kedua inilah yang
kemudian banyak dikritik dan digugat oleh masyarakat, karena dianggap
menjadi sumber penghambat tumbuh-kembangnya demokrasi. Seperti
dikemukakan Daniel S. Lev, dwi-fungsi ABRI bukan saja memonopoli
1 Tim Peneliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Pasang Surut Keterlibatan Militer
dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia, Jakarta : LIPI-MIZAN, 1999, hal. 204.
politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi
kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara
diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.2
Selain melalui doktrin Dwi Fungsi, dominasi ABRI dalam kehidupan
politik Indonesia pada masa Orde Baru juga difasilitasi oleh model
struktur kekuasaan territorial yang membentang dari pusat hingga ke
desa. Dalam hasil kajiannya, Peter Britton3 mengungkapkan :
“...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya
disetiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah,di setiap desa
dengan tugas memelihara nan, mengawasi kegiatan-kegiatan aparat
pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas politik.
Para perwira militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun,
semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan penting
sebagai pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah daerah, pemerintah
pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah pengendalian”.
Dominasi dan cengkraman tentara dalam kehidupan politik itu
bukan saja telah mengakibatkan tersendatnya pertumbuhan demokrasi
di Indonesia. Melainkan juga telah melahirkan rentetan peristiwa dan
berbagai bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh aparatur
ABRI di berbagai daerah. Sebut saja misalnya peristiwa Tanjung Priok
(1984), Talangsari Lampung (1989), kerusuhan 27 Juli 1996 dan Timtim
pasca referendum penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur (1999)
dll.
Ringkasnya, pelbagai distorsi dan ekses negatif penerapan dotkrin
Dwi Fungsi yang dikombinasikan dengan model struktur kekuasaan
2 Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS
Paska Perubahan Rezim 1998, Jakarta : KontraS, 2005, hal. 8
3 Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1996,
hal 126.
teritorial
telah
“menjerumuskan”
ABRI
sebagai
tulang
punggung
pertahanan-keamanan negara yang mestinya fokus pada kesiagaan
pengamanan negara dari berbagai ancaman (domestik maupun luar
negeri, potensial maupun nyata) ke dalam area permainan politik yang
sejatinya merupakan domain masyarakat sipil, yang oleh sebab itu
kerapkali “memaksa” mereka untuk berhadapan dengan rakyatnya
sendiri; dengan para mahasiswa, para aktifis LSM, para kyai serta
elemen-elemen masyarakat sipil lainnya.4
Itulah sebabnya, kehadiran “buku putih” yang berisi paradigma
baru
peran
sosial-politik
ABRI
menerbitkan,
sekurang-kurangnya
harapan positif terhadap positioning masa depan ABRI yang lebih tepat
dalam lanskap kepolitikan bangsa. Satu hal harus segera ditegaskan
dalam kaitan reposisi ini, terlepas dari sejarah kelamnya sepanjang era
Orde Baru, keberadaan ABRI yang saat ini sudah berganti nama dengan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah suatu keniscayaan sejarah.
Kehadirannya
bersifat
mutlak
sebagai
pilar
utama
pertahanan-
keamanan negara-bangsa.
Maka menjadi penting memang untuk terus mendiskusikan
bagaimana posisi paling tepat dan jalan lurus yang harus ditempuh oleh
TNI sebagai salah satu komponen utama negara dan sistim nasional.
Pada
saat
yang
sama,
tidak
kalah
pentingnya
pula
adalah
mendiskusikan bagaimana performa kepolitikan yang harus dibangun,
4 Lihat Tim LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto di Belakang
Peristiwa 27 Juli ?, Jakarta : LIPI-Mizan, 2001.
suasana
sehat
dan
dinamis
dalam
kerangka
mengkonsolidasikan
demokrasi, serta perilaku politik yang harus dikembangkan oleh para
eksponen masyarakat sipil yang menjadi aktor-aktor pada domain
kehidupan politik negara-bangsa sedemikian rupa, sehingga tidak
“mengundang” syahwat politik tentara untuk kembali “berjoget ria” di
panggung kepolitikan bangsa.
2.
Fokus Kajian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, studi ini difokuskan
pada 2 (dua) pokok pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana paradigma baru tentara Indonesia dalam kerangka
hubungan sipil-militer pasca reformasi 1998 ?
2. Bagaimana
peluang
tentara
Indonesia
kembali
ke
panggung
kehidupan politik di era reformasi ?
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan/metode kualitatif. Data
dan informasi untuk kebutuhan analisis dikumpulkan melalui studi
literatur, dokumen, dan eksplorasi peristiwa-peristiwa dinamis seputar
hubungan
sipil-militer
dalam
lanskap
kehidupan politik
Indonesia
mutakhir (pasca reformasi). Data dan informasi yang terhimpun
sedemikian rupa itu dianalisis dan interpretasi, kemudian disajikan
secara deskriptif.
4.
Landasan Teori
Fenomena keterlibatan atau intervensi militer dalam politik di
berbagai negara telah banyak dikaji dan diperbincangkan dalam
kerangka hubungan sipil-militer. Pada umumnya para ahli memetakan
isu hubungan sipil-militer ini ke dalam dua
perspektif. Pertama
perspektif Barat dan kedua perspektif negara berkembang atau negara
otoriter.5 Di negara-negara barat dimana demokrasi pada umumnya
telah mengalami konsolidasi dan establish berlaku model civilian
supremacy upon the military (supremasi sipil atas militer). Dalam model
ini, militer berada dalam posisi sebagai sub-ordinat dari pemerintahan
sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Sementara
di negara-negara berkembang pada umumnya atau di negara-negara
otoriter, militer kerap dianggap sebagai kekuatan politik yang memiliki
hak untuk ikut mengatur dan mengambil keputusan-keputusan politik
strategis bersama kekuatan politik lainnya, terutama partai politik dan
parlemen. Di atas basis cara pandang inilah kemudian militer di negaranegara berkembang atau otoriter seringkali --jika tidak selalu-- terlibat
jauh (intervensi) dalam kehidupan politik.
Intervensi militer ke dalam kehidupan politik itu oleh S.E. Finer
dipetakan dalam 5 (lima) model sebagai berikut. 6 Yaitu melalui : (1)
saluran konstitusional resmi; (2) kolusi dan atau kompetisi dengan
5 Ikrar Nusa Bhakti, “Hubungan Baru Sipil-Militer”, Kompas, edisi 28 Juni 2000.
6 Tim Peneliti PPW-LIPI, Op.Cit., hal. 37
otoritas sipil; (3) intimidasi terhadap otoritas sipil; (4) ancaman nonkooperasi dengan atau kekerasan terhadap otoritas sipil; dan (5)
penggunaan kekerasan pada otoritas sipil.
Perspektif lain diperkenalkan oleh
Marcus
Mietzner7
yang
memetakan 4 (empat) model intervensi militer dalam kehidupan politik.
Pertama model Praetorian. Dalam model ini, militer praktis mengontrol
semua pranata kenegaraan dan masyarakat sipil. Lembaga-lembaga
negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dikuasai oleh militer
baik secara langsung maupun melalui otoritas sipil yang loyal dan
tunduk pada kehendak militer. Model ini melahirkan rezim Praetorian
yang biasanya berkuasa melalui pintu masuk situasi darurat di negara
yang bersangkutan. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin dan
Afrika pada dekade 1950-an merupakan contoh dari model Praetorian
ini.
Kedua, model Participant-Rule. Di dalam model ini Mietzner
menggambarkan keterlibatan (intervensi) langsung dilakukan oleh
militer
dalam
sepenuhnya
pemerintahan,
atas
pemerintah.
namun
Dalam
tidak
model
memegang
ini
biasanya
kontrol
militer
membangun aliansi atau melayani kepentingan elit sipil serta terlibat
dalam pemerintahan. Contoh negara dengan model ini adalah Filipina di
bawah rezim Marcos dan Thailand pada dekade 1980-an.
7 Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent
Transition to
Democratic Consolidatio, Singapore : ISEAS, 2009.
Ketiga, model Guardian. Di dalam model ini militer tidak terlibat
secara langsung dalam pemerintahan sipil. Artinya militer tetap berada
di luar pemerintahan dan bertugas menjalankan fungsinya sebagai alat
utama
pertahanan-keamanan
negara.
Akan
tetapi,
biasanya
berdasarkan legitimasi historis, militer menjadi kekuatan yang sangat
menentukan (determinative) nasib pemerintahan sipil. Militer dalam
tipologi ini biasanya memiliki apa yang disebut sebagai esprit de corpus
sebagai penjaga ideologi bangsa atau keutuhan negara. Turki adalah
contoh negara dengan model seperti ini.
Keempat, model Referee. Militer dalam model ini digambarkan
oleh Meitzner layaknya wasit (refree) yang bukan hanya menjadi
“pengadil” dalam situasi konflik antar faksi atau kekuatan aktor-aktor
politik sipil. Tetapi juga bisa menjadi “king makers” yang menentukan
dalam pertarungan kekuasaan antar faksi politik di negaranya. Model ini
biasanya
dijumpai
pada
negara-negara
otoriter
atau
yang
baru
memasuki tahapan transisi demokrasi dimana persaingan antar faksi
politik demikian tinggi. Dan dalam konteks persaingan ini militer hadir
sebagai faktor penentu perihal faksi mana yang akan didukung untuk
berkuasa. Sebagai imbalannya militer diberikan jatah kursi menteri,
otoritas ekslusif untuk mengatur sendiri institusi dan kebijakannya, atau
berupa konsesi-konsesi ekonomi bagi para elitnya.
Intervensi militer ke dalam politik di negara-negara berkembang
atau negara pasca kolonial tentu bukan tanpa sebab dan latarbelakang.
Sejumlah literatur mendeskripsikan intervensi angkatan bersenjata
dalam politik suatu negara pada umumnya diakibatkan situasi-situasi
berikut ini8 :
(1)
Jatuhnya
prestise
pemerintah
atau
partai
politik
yang
memegang pemerintahan, yang menyebabkan rezim bersangkutan
semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban
dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi
krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan
pendapat; (2) Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin
politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer
apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif; (3)
Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang
besar
atau
oleh
negara-negara
tetangga
dalam
hal
perebutan
kekuasaan; (4) Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di
negara-negara tetangga; (5) Permusuhan sosial dalam negeri, yang
paling jelas terjadi di negara-negara yang diperintah oleh suatu
kelompok minoritas; (6) Krisis ekonomi, yang menyebabkan dicabutnya
kebijakan penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat
kota yang terorganisir; (7) Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan
partai yang tidak efesien, atau anggapan bahwa pejabat-pejabat sipil
8 Lihat misalnya Calude E.Welch, Jr., “Cincinnatus in Africa: The Possibility of Military
Withdrawl From
Politics,” dan Robert P. Clarck, “Devolopment and Instabillity: Political change in the
Non-Western World”,
dalam Robert P. Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Jakarta:
Erlangga, 1989, hal. 155156.
berniat menjual bangsanya kepada suatu kelompok asing; (8) Struktur
kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer menjadi satusatunya saluran yang terbuka untuk anak miskin naik status dari bawah
ke atas; (9) Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada anggotaanggota militer bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang
mempunyai cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk
menarik negara keluar dari tata-caranya yang tradisional; (10) Pengaruh
asing, dapat melibatkan perwakilan militer negara asing, pengalaman
yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-pusat
latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam bentuk peralatan dan
senjata; dan (11) Kekalahan militer dalam perang dengan negara lain,
khususnya kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil
telah mengkhianati mereka dengan merundingkan ketentuan-ketentuan
perdamaian yang tidak menguntungkan atau karena salah menjalankan
kegiatan perang di belakang garis pertempuran.
Dalam konteks sejarah kepolitikan atau hubungan sipil-militer di
Indonesia, para ahli memetakan sejumlah faktor yang telah mendorong
ABRI melakukan intervensi ke dalam kehidupan politik. Faktor-faktor itu
antara lain : tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara;
adanya
ancaman
mempertahankan
kebijakan
terhadap
privilege
pertahanan,
keamanan
seperti
memperoleh
nasional;
otonomi
dan
ambisi
dalam
tentara
merumuskan
mengunakan
anggaran
pertahanan institusi militer; serta melindungi aset dan akses ekonomi
dan tugas sejarah.9
Sementara itu, Daniel S. Lev menyimpulkan10, bahwa dalam
sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat subjektif dari
kalangan perwira tentara itu sendiri untuk masuk ke ranah kehidupan
politik. Yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik
pemerintah; dicampurinya urusan internal tentara oleh pimpinan politik;
terjadinya pertentangan dikalangan perwira tentara sendiri, serta tidak
disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh tentara.
5.
Hasil dan Pembahasan
1. Paradigma Baru TNI
Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, dalam kerangka
merespon tuntutan agar ABRI menarik diri dari kehidupan politik sebagai
bagian penting dari agenda reformasi 1998, Markas Besar ABRI
menerbitkan suatu dokumen yang diberi judul “ABRI Abad XXI :
Redefinisi,
Reposisi
dan
Reaktualisasi
Peran
ABRI
dalam
Kehidupan Bangsa”. Dokumen ini memuat sikap sekaligus paradigma
baru ABRI dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara
setelah terjadinya turbulensi politik yang dipuncaki oleh mundurnya
9 Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani dan
Transisi di Indonesia,”
dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi
Demokrasi di Indonesia,
Jakarta: CSIS, 1999, hal. 10
10 Daniel S. Lev, “ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Jurnal Diponegoro 74,
Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI, hal.7-8.
Soeharto dari jabatan Presiden setelah lebih dari 30 (tiga puluh tahun)
tahun berkuasa. Suatu paradigma yang dilandasi cara berpikir yang
bersifat analitik dan prospektif ke masa depan berdasarkan pendekatan
komprehensif yang memandang ABRI sebagai bagian dari sistem
nasional.
Paradigma baru ini dalam fungsi sosial politik mengambil bentuk
implementasi sebagai berikut11 :
Pertama, mengubah posisi dan metode tidak selalu harus di
depan. Artinya, posisi sentral yang pada masa Orde Baru mereka
nikmati, kini dapat berubah untuk memberi jalan guna dilaksanakan
oleh institusi fungsional yang bersangkutan.
Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi.
Pada masa Orde Baru, penugasan di luar struktur ABRI mencakup
lingkup amat luas. Kini lingkup tersebut makin diperkecil dan dibatasi
pada
posisi
yang
memiliki
nilai
strategis
serta
mengurangi
keterlibatannya dalam kegiatan politik praktis. Memperngaruhi di sini
tidak
dimaksudkan
intervensi,
tetapi
lebih
bermakna
kontribusi
pemikiran yang konstruktif.
Ketiga, mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi
tidak langsung. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelibatan ABRI
secara berlebihan.
Keempat, kesediaan untuk
melakukan
political role
sharing
(kebersamaan dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan
11 Tim Peneliti PPW-LIPI, Op. Cit., hal. 204-206.
pemerintahan)
dengan
komponen
bangsa
lainnya.
Jalinan
dan
pembagian peran dengan mitra sipil akan menempatkan peran setiap
institusi secara fungsional.
Ringkasnya, paradigma baru ABRI itu dapat dirumuskan sebagai
berikut :
“tidak selalu harus di depan; tidak lagi menduduki tapi
mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara langsung tetapi tidak
langsung; dan siap berbagi peran dengan komponen bangsa lainnya
dalam pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan.”
Paradigma baru ini menggantikan paradigma lama ABRI yang full-power
sebagai
stabilisator
dan
dinamisator
kehidupan
berbangsa
dan
bernegara.12
Mencermati 4 (empat) bentuk implementasi paradigmatika baru
ABRI tersebut, beberapa simpulan hipotetis dalam kerangka hubungan
sipil-militer di Indonesia, atau secara khusus isu keterlibatan TNI dalam
kehidupan politik pasca Orde Baru ini dapat dirumuskan sebagai berikut
:
Pertama, paradigma itu menunjukkan secara tersirat, bahwa TNI
sesungguhnya tidak sepenuhnya akan mundur dari keterlibatannya
dalam kepolitikan bangsa. TNI berkomitmen mundur dari panggung
politik dengan sejumlah syarat tertentu. Analisis KontraS menduga,
bahwa salah satu syarat itu adalah jika hak-hak privilege (istimewa)
mereka tidak dilucuti oleh otoritas (pemerintah) sipil. Jika privillege itu
terganggu maka TNI akan memberanikan diri maju kedepan baik secara
12 Tim KontraS, OP.Cit., hal. 26.
langsung maupun tidak langsung. Artinya TNI tidak akan surut dari
panggung politik begitu saja.13
Penulis sendiri melihat di antara syarat penting yang tersirat itu
adalah menyangkut soal keselamatan negara-bangsa yang dapat saja
menjadi rentan atau berpotensi terancam setelah TNI mundur dari
panggung politik oleh karena pertarungan politik di kalangan elit sipil
atau tensi dinamika kepolitikan yang sangat tinggi sebagai implikasi
dibukanya kran kebebasan dan demokrasi, yang menjurus pada
instabilitas politik-keamanan negara-bangsa. Jika ini terjadi, hemat
penulis, TNI tidak akan berpangku tangan; TNI akan “terpaksa” kembali
ke panggung politik untuk memenuhi “panggilan tugas sebagai tentara
pejuang” guna menyelamatkan negara-bangsa.
Kedua, muatan paradigma itu juga menunjukkan bahwa TNI
sebetulnya masih memposisikan diri sebagai kekuatan politik utama
dalam lanskap demokrasi kepolitikan Indonesia pasca Orde Baru. Sikap
pemosisian diri ini jelas terbaca dalam kalimat “dalam mengambil
keputusan penting TNI siap berbagi peran (political role sharing) dengan
komponen bangsa lainnya”. Kalimat ini mengisyaratkan dua hal;
pertama TNI menyadari betul bahwa pada masa Orde Baru mereka
merupakan kekuatan politik tunggal yang secara hegemonic menjadi
penentu dalam setiap pengambilan berbagai keputusan strategis negara
dan
pemerintahan;
kedua
13 Tim KontraS, Op.Cit., hal.26
posisi
ini
tidak
akan
mereka
lepas
sepenuhnya,
TNI
hanya
akan
“berbagi”
dengan
(dan
bukan
“menyerahkan”) kepada komponen bangsa lainnya.
Terkait dengan gagasan mengenai berbagi peran dengan pihak
sipil itu, KontraS melihat bahwa dalam paradigma barunya TNI sama
sekali tidak menyadari bahwa peranannya dimasa lalu adalah peranan
yang telah menciptakan “kekacauan”. Disamping itu juga, TNI tidak
menyadari bahwa dalam masa demokratisasi ini, sejalan dengan normanorma yang lazim menjadi rujukan dan dipraktikkan dalam tradisi
demokrasi, TNI mestinya hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil. 14
Ketiga,
paradigma
mengubah
tradisi
“menduduki
menjadi
mempengaruhi” dan “mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung”
meskipun secara semantik cukup jelas maknanya, namun substansi
phrasa ini jelas menyiratkan masih kuatnya semangat dan keinginan TNI
untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis. Dalam praktiknya, istilah
“mempengaruhi”
dalam
sekurang-kurangnya
aktifitas
sama
saja
politik
bobot
praktis
seringkali
implikasinya,
lebih,
dengan
“menduduki”.
Keempat, dalam paradigma baru TNI itu juga tidak secara tegas
dan eksplisit dinyatakan bahwa doktrin Dwi Fungsi dihapuskan oleh
sebab
telah
menimbulkan
berbagai
distorsi
yang
menghambat
pertumbuhan demokrasi dalam kehidupan politik Indonesia sepanjang
era Orde Baru.
14 Ibid., hal.27
Dengan demikian, tanpa bermaksud menegasikan perubahanperubahan kearah positif yang sudah dicapai sejauh ini, paradigma baru
TNI sesungguhnya belum mengubah secara total dan signifikan posisi,
budaya dan postur TNI dalam lanskap kepolitikan negara-bangsa pasca
Orde Baru. Seperti disimpulkan Kusnanto Anggoro, bahwa
dengan
paradigma barunya itu TNI sesungguhnya masih tetap berada dalam
ruang konservatisme menyangkut kepercayaan pada supremasi sipil
dalam pengelolaan negara.15
2. Dinamika Kepolitikan Pasca Reformasi
dan Peluang Kembalinya Tentara ke Panggung Politik
Memasuki era reformasi setelah 30 tahun lebih berada dalam
cengkraman rezim otoriter Orde Baru yang represif dan anti-demokrasi,
lanskap kehidupan politik Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena
ledakan partisipasi politik secara massif sebagai implikasi dari dibukanya
kran kebebasan. Dimana-mana, gairah partisipasi politik berbagai
elemen masyarakat tumbuh dan merebak sebagaimana tercermin
antara
lain
kekecewaan
dalam
atau
berbagai
tuntutan
aksi
atas
unjukrasa
beragam
mengartikulasikan
persoalan
bangsa;
bertumbuhnya organisasi-organisasi baru yang mewadahi elemenelemen civil society; dan kebebasan pers.
Di satu sisi, situasi tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa
demokrasi yang sesungguhnya sedang tumbuh dalam masyarakat
15 Kusnanto Anggoro, Op. Cit., hal. 13-17.
Indonesia. Tetapi tidak jarang diantara bentuk-bentuk ekspresi dan
atikulasi partisipasi politik itu juga menjurus ke arah yang destruktif dan
berpotensi
masyarakat,
menimbulkan
gesekan
menjurus
arah
ke
dan
benturan
instabilitas,
sosial
bahkan
dalam
berpotensi
menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Terbuka luasnya kran kebebasan yang telah memicu tumbuh
suburnya gairah partisipasi dan berdemokrasi masyarakat Indonesia
pasca reformasi 1998 ini tampak hampir dalam semua lapangan dan
dimensi
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara
(kebudayaan, informasi dan komunikasi, ekonomi, sosil-politik, bahkan
juga hukum). Dalam bidang kebudayaan dan kesenian, kebebasan itu
tampak dalam bentuk-bentuk ekspresi dan artikulasi berbagai kegiatan
dan kerya seni-budaya yang pada masa Orde Baru sukar bisa dilakukan.
Di bidang informasi dan komunikasi, kebebasan itu lebih menonjol lagi
dengan mengarus derasnya penyebaran dan pertukaran informasi
melalui saluran-saluran yang tersedia dan semakin kaya ragam dan
bentuknya.
Dalam bidang politik terbukanya kran kebebasan dan gairah
partisipasi rakyat itu tampak marak dan massif, baik di ruang-ruang
political society (masyarakat politik) seperti partai politik, parlemen dan
pemerintahan, maupun di dalam arena civil society (masyarakat sipil)
seperti Ormas, LSM, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya, di
pusat kekuasaan maupun di daerah.
Kegiatan
demokrasi
elektoral
(kepemiluan)
yang
menyita
perhatian dan energi segenap bangsa nyaris sepanjang tahun; adu
kekuatan antara parlemen dengan pemerintah dalam konteks relasi
DPR-Presiden yang dikuasai masing-masing oleh partai atau koalisi
partai politik yang berbeda sehingga melahirkan fenomena
democratic
legitimacy;
kisruh
dan
sengketa
antara
dual
lembaga
kepemerintahan seperti konflik Polri vs KPK; aksi buruh yang nyaris
tanpa jeda menuntut perbaikan nasib; aksi berbagai elemen civil society
yang juga tak pernah sepi menyuarakan kepentingan publik atas
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat seperti
kenaikan harga BBM dan komoditas publik lainnya; semuanya itu
menggambarkan betapa rentan sesungguhnya dinamika kehidupan
politik Indonesia di era reformasi ini. Suatu kondisi yang berdasarkan
pengalaman sejarah dimanapun di negara-negara pasca kolonial dan
transisional, dapat dengan mudah “mengundang” kembali intervensi
militer, manakala otoritas sipil gagal menyelesaikannya secara damai
dan demokratis.
Tentu saja dari semua bentuk kegaduhan politik itu, merujuk pada
sejarah keterlibatan militer dalam kepolitikan Indonesia yang paling
potensial membuka jalan bagi intervensi militer adalah kegaduhan dan
konflik
yang
menyangkut
berlangsung
relasi
di
antara
ruang
political
society.
Terutama
Parlemen-Presiden/Pemerintah
dan
pertarungan kepentingan di dalam parlemen sendiri menyangkut
berbagai isu strategis kenegaraan dan pemerintahan.
Oleh sebab itu, berlatar gambaran sederhana tersebut yang
dikonfimasikan
dengan
sejumlah
perspektif
teoritik,
substansi
paradigma baru TNI dan aspek kesejarahan sebagaimana dipaparkan di
depan, menurut hemat penulis potensi militer untuk kembali intervensi
dan kembali ke panggung politik Indonesia di era reformasi ini tetap
terbuka. Terutama jika pemerintah dan
elit-elit sipil/partai politik di
parlemen gagal menciptakan stabilitas politik lalu berimplikasi pada
timbulnya kerawanan-kerawanan aspek keamanan nasional; gagal
menghadirkan wajah demokrasi yang memperkuat integrasi bangsa lalu
berimbas pada terancamnya keselamatan negara-bangsa; dan akhirnya
kehilangan kepercayaan dari rakyat, maka TNI sebagaimana sudah
sering ditunjukkan dalam perjalanan sejarah bangsa ini, secara subyektif
akan
merasa
“terpanggil”
untuk
maju
kembali
dengan
misi
menyelamatkan bangsa dan negara. Inilah yang terjadi pada peristiwa
17 Oktober 1952 dan pasca peristiwa pemberontakan G 30 S PKI tahun
1965, dimana ABRI tampil ke depan dengan misi menyelamatkan
ideologi, negara dan bangsa.
6.
Kesimpulan
Paradigma baru TNI yang diharapkan akan memperkuat agenda
demokratisasi melalui redefinisi, reposisi dan reaktualisasi perannya
sebagai alat pertahanan keamanan negara sebagaimana dituntut oleh
kalangan masyarakat sipil, sesungguhnya belumlah sampai pada apa
yang secara ideal diharapkan. Selain tidak secara eksplisit dan tegas
menghapuskan doktrin Dwi Fungsi ABRI, substansi paradigma tersebut
juga tidak menyatakan secara assertif, bahwa ABRI atau TNI menarik diri
sepenuhnya dari kehidupan politik. Paradigma itu hanya memuat
sejumlah komitmen, yakni : tidak selalu harus di depan; tidak lagi
menduduki tapi mempengaruhi; tidak lagi mempengaruhi secara
langsung tetapi tidak langsung; dan siap berbagi peran dengan
komponen bangsa lainnya dalam pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan.
Di sisi lain, dinamika kehidupan politik pasca Orde Baru hingga
saat ini
masih menunjukkan kecenderungan ke arah kegaduhan dan
instabilitas. Para elit sipil dan otoritas pemerintahan sipil yang dihasilkan
melalui
pemilu
belum
sepenuhnya
berhasil
mewujudkan
tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis sekaligus tertib
dan stabil.
Pertemuan dua fakta tersebut, yakni : paradigma baru TNI yang
tidak sepenuhnya mundur dari kehidupan politik dan situasi politik yang
cenderung gaduh sepanjang waktu serta menjurus ke arah instabilitas
politik-keamanan, jika tidak disikapi dengan tepat dan segera, ia akan
menjadi “tiket sekaligus pintu masuk” bagi TNI untuk kembali ke
panggung politik. Dan secara historis, ini adalah keniscayaan sejarah
bangsa yang telah berulang kali terbukti.
Daftar Pustaka
1. Bhakti, Ikrar Nusa, “Hubungan Baru Sipil-Militer”, Kompas, edisi 28
Juni 2000.
2. Clark, Robert P., Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga,
Jakarta: Erlangga, 1989.
3. Finer, S.E., The Man on Horseback : The Role of Military in Politics,
New York : Preafer, 1962.
4. Lev, Daniel S., “ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Jurnal
Diponegoro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI,
5. Mabes TNI, TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran
TNI Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta : Markas Besar TNI, 1999.
6. Mietzner, Marcus, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia:
From Turbulent Transition to Democratic Consolidation, Singapore :
ISEAS, 2009.
7. Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2000.
8. Sukma, Rizal dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan
Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: CSIS, 1999.
9. Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia
Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, Jakarta : KontraS,
2005.
10. Tim LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto di
Belakang Peristiwa 27 Juli ?, Jakarta : LIPI-Mizan, 2001.
11. Tim Peneliti PPW-LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Pasang Surut
Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia,
Jakarta : LIPI-MIZAN, 1999, hal. 204.
Agus Sutisna
Rangkasbitung, 30 April 2015
tisna_1965@ymail.com