Prospek dan Strategi Pengembangan Sistem
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Prospek dan Strategi Pengembangan Sistem Budidaya
dan Agribisnis Tanaman Jagung di Lahan Rawa :
Kendala dan Tantangan
Achmad Rachman, Muhammad Noor, Yanti Rina
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Jl. Kebun Karet, Loktabat. Kotak Pos 31.Telp/fax 0511 4772534
Email: [email protected]. Banjarbaru 70712
Abstrak
Jagung merupakan salah satu dari lima komoditas unggulan (beras, kedelai, daging dan gula)
dalam Program Kementerian Pertanian 2010-2014. Pemerintah menargetkan pencapaian produksi
dari 0,93 juta ton pada tahun 2010 menjadi 1,54 juta ton pada tahun 2014 dengan luas panen dari
142,5 ribu ha pada tahun 2010 menjadi 237,5 ribu ha pada tahun 2014. Jagung juga termasuk salah
satu dari 25 komoditas Top Agribisnis yang berada pada urutan ke 14 (urutan ke-1 kelapa sawit dan
ke-25 padi/beras) dengan nilai ekspor dari US $ 4,3 juta pada tahun 2006 meningkat menjadi US $
18,5 juta pada tahun 2007 dan US $ 16,5 juta pada tahun 2008.
Jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi di lahan rawa yang dapat ditanam
pada musim kemarau maupun musim hujan. Pengembangan sistem usaha tani dan agribisnis jagung
di lahan rawa menunjukkan perspektif yang baik karena beberapa keunggulan dan peluang yang
dimiliki lahan rawa. Namun tingkat produktivitas jagung di lahan rawa masih tergolong rendah
dengan keberagaman yang cukup tinggi berkisar 3,5-5,5 t/ha, dibandingkan target yang diharapkan
6,5 t/ha. Beberapa kendala dari lahan rawa diantaranya adalah sifat dan watak tanah dan air dengan
kunci utama adalah pengelolaan air dan pembenahan tanah. Oleh karena itu, dukungan teknologi
budidaya dan pengelolaan tanah, air, dan hara dalam pengembangan jagung di lahan rawa sangat
diperlukan meliputi penyiapan lahan dan olah tanah, perbenihan, penggunaan varietas unggul,
ameliorasi dan pemupukan, pemberian mulsa dan bahan organik sehubungan dengan sifat dan watak
tanah, air dan hara di atas. Dari keragaan agribisnis jagung di lahan rawa ditunjukkan masih
lemahnya penyediaan sarana produksi (benih, pupuk), share pendapatan yang diterima petani masih
kecil dibandingkan pedagang, serapan pasar terhadap produksi belum berkembang atau merata
walaupun peluang cukup besar. sehingga memerlukan upaya perluasan dan distribusi.
Dalam meningkat sistem budidaya dan sistem agribisnis jagung dilahan rawa diperlukan
langkah-langkah antara lain 1). perubahan orientasi produksi dari usahatani jagung (panen muda) ke
usahatani jagung panen pipilan kering, 2) pemanfaatan dan pengembangan teknologi budidaya yang
spesifik lokasi, dan 3) dukungan kelembagaan yang efesien dan efektif.
Kata kunci : Peluang, kendala, Agribisnis, lahan rawa, jagung
panen masing-masing dari 142,5 ribu ha pada
tahun 2010 menjadi 166,3 ribu ha pada tahun
2011; 190,0 ribu ha pada tahun 2012; 213,7
ribu ha pada tahun 2013; dan 237,5 ribu ha
pada tahun 2014. Jagung juga termasuk salah
satu dari 25 komoditas Top Agribisnis yang
berada pada urutan ke 14 (urutan ke-1 kelapa
sawit dan ke-25 beras) dengan nilai ekspor
dari US $ 4,3 juta pada tahun 2006 menjadi US
Pendahuluan
Jagung merupakan salah satu dari lima komoditas unggulan (beras, kedelai, daging dan gula) dalam Program Kementerian
Pertanian 2010-2014. Pemerintah mentargetkan pencapaian produksi dari 0,93 juta ton
pada tahun 2010 menjadi 1,08; 1,23; 1,34;
dan 1,54 juta ton berturut-turut pada tahun
2011, 2012, 2013 dan 2014 dengan luas
15
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
$ 18,5 juta pada tahun 2007 dan US $ 16,5 juta
pada tahun 2008 (Sujatmaka, 2009).
Dalam program Kementerian Pertanian 2010-2014 telah ditetapkan sistem pertanian industrial unggul berbasis sumberdaya
lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan
petani. Dengan demikian maka pengembangan
agribisnis jagung yang diharapkan dalam sistem pertanian yang terintegrasi antara produksi dan kebutuhan. Produktivitas jagung
nasional tergolong masih rendah dan sangat
beragam antara 5-6 t/ha. Peningkatan produktivitas untuk mencapai target di atas diharapkan dapat mencapai 6,5 t/ha sebagaimana
telah dituangkan dalam Program Kementerian
Pertanian yang antara lain yaitu pada 1).
Program Pengelolaan Tanaman Pangan dan
2). Pengelolaan Lahan dan Air.
Berkenaan dengan lahan rawa, luas
sumber daya lahan rawa mencapai 33,4 juta
hektar yang terdiri atas 1) rawa pantai, 2)
rawa pasang surut, dan 3) rawa lebak, tetapi
luas lahan rawa yang cocok untuk pengembangan pertanian diperkirakan 9,5 juta hektar. Lahan rawa tersebar pada 16 provinsi
yang terpusat pada Pulau Kalimantan sepanjang pantai Selatan dan Timur, Pulau Sumatera sepanjang pantai Timur dan Utara, Sulawesi sepanjang pantai Barat dan Timur, dan
Papua sepanjang pantai Selatan.
Sebagian besar lahan rawa di atas
masih ditutupi hutan primer, hutan sekunder,
semak belukar, dan rawa monoton. Pembukaan dan pencetakan sawah di lahan rawa di
mulai sejak tahun 1969 sampai 1992 untuk
pendukung Program Transmigrasi yang mencapai 1,8 juta hektar di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Selanjutnya pembukaan
besar-besaran lahan rawa dan gambut
(Pembukaan Lahan Gambut) seluas 1,4 juta
hektar di Kalimantan Tengah tahun 19951996, dihentikan tahun 1999, kemudian dilanjutkan kembali dengan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Pertanian
Kawasan PLG sejak 2007. Sementara ini telah
disiapkan pembukaan lahan rawa secara luas
di Merauke, Papua untuk mendukung produksi pertanian/perkebunan. Keseluruhan
lahan rawa yang dibuka oleh pemerintah dan
masyarakat setempat diperkirakan mencapai
5,0 juta hektar, namun yang sudah dimanfaatkan baru mencapai sekitar 3,2 juta hektar masing-masing 2,4 juta ha oleh masyarakat lokal setempat dan 0,8 juta hektar
masyarakat transmigran. Luas lahan (panen)
jagung secara nasional baru mencapai 0,93
ribu ha, sementara dari sepuluh provinsi utama (Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalsel,
Kalteng, Kaltim, Kalbar, Sulbar, Sulteng) terdapat sekitar 2.269.950 ha lahan rawa yang
sudah dibuka dan diantaranya 1.110 ribu ha
belum dimanfaatkan sama sekali (Noor et al.,
2010). Maka peluang untuk perluasan areal
atau optimalisasi penggunaan lahan untuk
pengembangan produksi jagung terbuka luas.
Jagung merupakan komoditas penting
kedua setelah padi di lahan pasang surut baik
pada musim kemarau maupun musim hujan.
Pada musim hujan jagung banyak diusahakan
pada lahan pasang surut tipe luapan B
dengan sistem surjan, sedang pada musim
kemarau diusahakan pada tipe luapan C atau
D dengan sistem drainase dangkal (Ananto et
al., 2000). Pengembangan lahan rawa dalam
mendukung ketahanan pangan, khususnya
pengembangan sistem usaha tani dan agribisnis jagung menunjukkan perspektif yang
baik karena beberapa keunggulan dan peluang dari lahan rawa. Keunggulan lahan
16
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
rawa antara lain : 1) hamparan lahan yang
cukup luas, 2) topografi relatif datar, 3) ketersediaan air yang berlimpah, dan 4) kearifan lokal dalam pengelolaannya. Peluang pengembangan lahan rawa didorong oleh kondisi strategis nasional dan global yang antara
lain : (1) permintaan pangan nasional dan
dunia yang semakin bertambah, (2) kompensasi dari hilangnya lahan pertanian di Jawa,
(3) penyangga pangan pada kekeringan ekstrim di luar lahan rawa, (4) levelling off produktivitas pangan di Jawa, dan (5) sebagai
prasarana untuk pengentasan kemiskinan
(Noor et al., 2010). Tambahan lagi, tingkat
resiko kegagalan pada usaha tani jagung lebih
kecil dibandingkan dengan usaha padi dan
kedelai (Ananto et al., 2000). Limbah jagung
juga mempunyai prospek untuk pakan ternak
sapi sehingga dapat diintegrasikan dalam
sistem pengelolaan ”zero waste” yang patut
untuk dikembangkan. Luas 1 hektar jagung
(60-80 ribu populasi) dapat dihasilkan 18 ton
limbah pakan/musim-selama 4 bulan. Apabila keperluan 1 ekor sapi 25 kg pakan/hari,
maka 1 keluarga petani (dengan lahan jagung
seluas 1 ha) mampu memberi pakan untuk 6
(enam) ekor sapi selama 4 bulan.
Budidaya tanaman jagung di lahan rawa masih bersifat konvensional yang umumnya ditanam pada lahan sawah setelah padi
secara monokultur, lahan surjan secara terus
menerus dan monokultur, lahan surjan secara tumpang sari dengan tanaman perkebunan atau hortikultura (seperti cokelat,
jeruk). Produktivitas jagung di lahan rawa
sangat beragam. Hasil penelitian di Karang
Agung, Provinsi Sumatera Selatan menunjukan hasil jagung pada lahan rawa pasang
surut berkisar 3,5-5,5 ton pipilan kering/ha,
tergantung pada tipologi lahan, varietas, dan
masukan amelioran dan pupuk (Ismail et
al.,1993).
Tulisan ini mengemukakan tentang
prospek dan strategi pengembangan sistem
budidaya dan agribisnis tanaman jagung di
lahan rawa untuk mendukung program swasembada jagung 2010.
Prospek Budidaya Jagung di Lahan
Rawa
Agroekosistem rawa mempunyai karakteristik yang berbeda dengan agroekosistem lainnya seperti lahan kering atau lahan
irigasi. Tingkat produktivitas lahan rawa sangat ditentukan oleh sifat dan watak tanah, air
dan iklim serta pengelolaannya. Sifat dan watak utama dari lahan rawa antara lain tekstur
umumnya liat, mengandung lapisan pirit, adanya lapisan gambut yang bersifat hidrofobik,
salinitas yang tinggi pada musim kemarau, kemasaman yang tinggi disertai dengan kadar Al,
Fe, dan Mn yang tinggi, kahat hara makro (P,
K, Mg, Ca) dan mikro (Cu, Zn, Mo, B), daya
sangga (mekanika) tanah rendah, tingkat serangan hama dan virulensi penyakit tanaman
tinggi. Dukungan teknologi budidaya dan pengelolaan tanah, air, dan hara dalam pengembangan jagung di lahan rawa sangat diperlukan sehubungan dengan sifat dan watak tanah, air dan hara di atas. Uraian berikut mengemukakan tentang aspek budidaya dan pengelolaan tanah, air dan hara dalam upaya
meningkatkan hasil jagung untuk mendukung
pengembangan agribisnis di lahan rawa.
Penyiapan Lahan dan Olah Tanah
Penyiapan lahan dilakukan dengan penebasan atau penyemprotan herbisida (sistemik) yang kemudian dilanjutkan dengan olah
tanah. Olah tanah dapat dengan cangkul, tetapi
17
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
apabila lahan yang diusahakan cukup luas
(hamparan) sebaiknya dengan traktor. Olah
tanah dengan traktor dapat dilakukan 1 atau 2
kali dalam setahun dengan kata lain diperlukan hanya apabila keadaan tanah kurang
gembur. Penyiapan lahan dengan pembakaran
perlu dihindari karena dapat berakibat penurunan kesuburan tanah selanjutnya karena
hilangnya bahan organik dan mikroorganisme
tanah serta dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Perbenihan
Benih yang digunakan petani biasanya
berasal dari hasil penangkaran setempat atau
benih sendiri. Oleh karena sudah turunan beberapa kali (> 3 kali) sehingga terjadi penurunan kualitas dan produktivitas. Terlebih lagi
penyimpanan yang kurang baik dapat menurunkan lagi lebih jauh kualitas benih sehingga
perolehan hasil dan kualitas jauh dari harapan. Dalam konteks, pengembangan yang lebih luas, maka pengadaan benih memerlukan
penanganan sendiri. Upaya menumbuhkan
munculnya penangkar-penangkar benih setempat sangat penting. Keperluan benih ratarata mencapai 25-27 kg/ha dengan kisaran 25
-33 kg/ha (Ananto et al., 2000).
Penggunaan Varietas
Beragam varietas dapat ditanam di lahan rawa baik rawa pasang surut maupun
rawa lebak. Hasil peneltian di lahan rawa pasang surut Kayu Agung, Provinsi Sumatera
Selatan menunjukkan dari lima varietas diperoleh hasil tertinggi pada varietas Arjuna
dengan hasil 4,9-5,5 ton pipilan kering/ha dan
Wiyasa dengan hasil 4,5-5,5 ton pipilan kering/ha masing-masing ditanam pada lahan
potensial dan lahan sulfat masam dengan pem
-berian 1 ton kapur/ha (Ismail et al, 1993).
Hasil penelitian di lahan rawa lebak dangkal,
Desa Pulau Damar, Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan terdapat tiga dari sepuluh varietas yang mampu
tumbuh (tanpa kapur) yaitu varietas Malang
komposit-11, Hibrida Bisi-2 dan Arjuna dengan hasil 3,16-3,71 ton pipilan kering/ha
(Nurtirtayani, 2001). Hasil penelitian di lahan
gambut Desa Margo Mulyo, Sugihan Kiri, Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan lebih
rendah dibandingkan dengan lahan potensial
(pasang surut dan lebak) hanya mencapai 2,33,5 t pipilhan kering/ha (Ananto et al., 2000).
Hasil jagung hibrida menunjukan lebih tinggi
yaitu 2,6-3,5 ton/ha dibandingkan Arjunakomposit hanya mencapai 2,3 ton/ha.
Ameliorasi dan Pemupukan
Sifat bawaan (inherence) dari lahan
rawa adalah kemasaman yang tinggi atau mudah menjadi masam apabila teroksidasi atau
terdekomposisi karena adanya lapisan pirit
(FeS2) dan lapisan gambut yang mentah. Pemberian amelioran (kapur/dolomit) dan pupuk
organik/anorganik diperlukan di lahan rawa
selain dapat meningkatkan pH dan status hara
juga dapat meningkatkan hasil jagung. Hasil
penelitian di lahan sulfat masam rawa pasang
surut Kayu Agung, Provinsi Sumatera Selatan
menunjukkan pemberian 1 ton kapur/ha dengan disebar pada larikan/ barisan tanaman
dapat meningkatkan hasil menjadi 4,3-5,5 ton
pipilan kering/ha tergantung pada varietas.
Hasil jagung tertinggi dicapai pada varietas
Arjuna dan Wiyasa masing-masing 5,5 dan 5,4
ton pipilan kering /ha (Ismail et al, 1993).
Pemupukan untuk tanaman jagung di
lahan rawa sebaiknya didasarkan pada status
hara yang setiap tahun dilakukan evaluasi.
Kebutuhan pupuk N, P dan K rata-rata untuk
18
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
dan 5 kg CuSO4 pada lahan gambut diperoleh
hasil 4,47 t/ha pipilan kering (Ismail et al.,
1993).
tanaman jagung di lahan rawa masing-masing
150 kg Urea, 100-125 kg SP-36 dan 50-100 kg
KCl/ha, tergantung pada tipologi lahan dan
hasil yang diharapkan (Tabel 1). Tabel 1
Tabel 1. Uji paket pemupukan untuk tanaman jagung di lahan rawa pasang surut, Sumatera
Selatan. Tahun 1999
Tipologi lahan
Rata-rata
(t/ha)
Paket Pupuk
NPK-1
NPK-2
NPK-3
Sulfat Masam
2,75
2,57
2,10
2,47
Potensial
5,57
5,16
5,51
5,41
Gambut Dangkal
2,86
4,86
3,79
3,84
Keterangan :
NPK-1= 150-125-100; NPK-2 =150-100-100; NPK-3 = 150-125-50
Mulsa atau Bahan Organik
menunjukkan bahwa hasil jagung pada lahan
sulfat masam paling rendah (2,5 t/ha) perlu
pemberian amelioran untuk mencapai hasil
yang tinggi, pada lahan gambut penambahan
pupuk K (100 kg KCl) dan pupuk P (100 kg SP36) dapat memberikan hasil paling tinggi
(4,86 t/ha), dan pada lahan potensial
ditunjukkan pemberian P (125 kg SP-36) dan
pupuk K (50 kg KCl) mendapatkan hasil yang
cukup tinggi (5,5 t/ha). Pemberian kapur/
dolomit 500 kg/ha, 90 kg K2O, 10 kg ZnSO4
Pemberian mulsa atau bahan organik
memegang peranan penting pada budidaya
jagung di lahan rawa. Hasil penelitian Arifin
dan Nazemi (2005) menunjukkan pemberian
kangkung liar (Ipomea aquatica) atau enceng
gondok (Eichornea crassipes) sebanyak 3,2 t/
ha dapat meningkatkan hasil jagung pada
lahan sulfat masam 70-87% dengan hasil
masing-masing 5,41 dan 5,10 t/ha pipilan
kering (Tabel 2).
Tabel. 2. Pengaruh bahan organik dari dua sumber terhadap hasil jagung di lahan
sulfat masam, KP. Belandean, Batola, Provinsi Kalimantan Selatan. 2000
Takaran (t/ha)
0
1,6
3,2
4,8
Rata-rata
Hasil jagung (t/ha pipilan kering)
Kangkung
Enceng gondok
2,89 a
3,00 a
3,88 ab
4,00 ab
5,41 b
5,10 b
4,99 b
5,04 b
4,71
4,78
Angka sekolam yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata pada uji Beda Duncan pada taraf 5%
Sumber : Nazemi dan Arifin (2005)
19
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Pemberian bahan organik dalam
bentuk abu sekam, berangkasan padi, dan
serbuk gergaji juga dapat meningkatkan hasil
jagung pada lahan gambut sebanyak 600 kg/
ha dapat meningkatkan hasil 25-40% dengan
hasil masing-masing 5,20; 4,42 dan 4,02 t/ha
pipilan kering (Tabel 3).
Penggunaan sarana produksi (input) seperti
benih, pupuk umumnya di lahan rawa
diberikan petani sesuai dengan kemampuan
permodalan yang dimiliki. Petani umumnya
masih menggunakan varietas lokal, seperti
varietas Kima. Apabila digunakan varietas
unggul maka bibit yang digunakan selanjutnya
Tabel 3. Pengaruh bahan organik terhadap hasil jagung di lahan gambut, Pangkoh,
Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. 2000
Takaran (kg/ha)
Hasil jagung (t/ha pipilan kering)
Abu sekam
Berangkasan padi
Serbuk gergaji
0
3,70 a
3,55 a
3,14 a
300
4,07 a
4,08 ab
4,21 b
600
5,20 b
4,42 b
4,02 b
900
5,12 b
4,18 b
4,01 b
Rata-rata
4,52
4,06
3,84
Angka sekolam yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata pada uji Beda Duncan pada taraf 5%
Sumber : Nazemi dan Arifin (2005)
Sistem Agribisnis Jagung di Lahan Rawa
diambil dari tanaman sebelumnya, oleh
karena itu hasil di tingkat petani bervariasi.
Penggunaan bibit varietas lokal di Kalimantan
Selatan masih tinggi (40,45%), disusul varietas hibrida (54,38%) dan komposit 5,08%
(BPS Tingkat I Kalsel, 2009). Penggunaan pupuk anorganik dan organik mencapai 46%,
tidak menggunakan pupuk 15%, tidak menggunakan pupuk organik 2%, dan tidak menggunakan pupuk anorganik 37%. Alasan petani
dalam penggunaan benih varietas unggul dan
pupuk rendah karena harganya mahal (8096%), persediaan terbatas dan distribusi tidak
lancar (Tabel 4).
Sistem agribisnis jagung di lahan rawa
secara sederhana dapat dipilah dalam tiga sub
sistem, yaitu 1) subsistem pengadaan sarana
produksi, 2) subsistem usaha tani, dan 3)
subsistem
pemasaran.
Uraian
berikut
mengemukakan kondisi dan kendala dari
masing-masing sub sistem dalam mendukung
pengembangan agribisnis jagung di lahan
rawa.
Subsistem Pengadaan Sarana Produksi
Faktor sarana produksi merupakan
faktor penting dalam usahatani jagung untuk
mencapai hasil yang sesuai dengan harapan.
20
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 4. Tanggapan petani terhadap penggunaan benih dan pupuk dalam usaha tani
jagung di Provinsi Kalimantan Selatan, 2009
No
Uraian
Benih (%)
Pupuk(%)
80
96
1.
Harga Mahal
2.
Persediaan sulit dan terbatas
56,67
86,67
3.
Distribusi tidak lancar
16,67
63,33
4.
Modal petani kurang
23,33
43,33
5.
Datang tidak tepat waktu
26,67
40,00
6.
Pengetahuan petani kurang
30,00
33,33
7.
Perawatan sulit dan mahal
30,00
8.
Penyuluh dan kelompok tani kurang aktif
-
26,67
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan (2009)
Kebanyakan petani baik di lahan pasang surut
maupun di lahan rawa lebak menggunakan
jenis jagung manis (sayur) yang dipanen
muda. Analisis biaya dan pendapatan usaha
tani jagung per hektar di tingkat petani pada
lahan pasang surut dan lahan lebak disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari usahatani jagung
manis setelah dikurangi biaya total baik di
lahan pasang surut maupun lahan lebak lebih
besar dibandingkan dari usaha tani jagung
kuning (hibrida) dan jagung putih (lokal). Pengusahaan jagung manis (hibrida) di tingkat
petani baik di lahan pasang surut maupun lahan lebak cukup efisien ditunjukkan dengan
R/C > 2, sementara pada jagung kuning
(hibrida) dan jagung putih (lokal) kurang efisien (< 2).
Usaha tani jagung yang ditanam dalam
bentuk pola tanam yaitu jagung-padi + tomat
seperti hasil penelitian Mukhlis et al (2009)
menunjukkan bahwa produksi jagung varietas
unggul yang dicapai sebesar 49.535 tongkol/0,8ha dan keuntungan Rp. 13.804.125,-/
Penggunaan benih berkualitas dan pupuk yang cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman merupakan kunci dalam peningkatan
produktivitas. Masalah ketersediaan benih
dan pupuk yang terlambat dan terbatas sering
dialami tidak saja oleh petani di lahan rawa
bahkan hampir secara umum dalam tiga tahun
terakhir ini. Kelangkaan benih dan pupuk serta biaya usahatani sering menjadi kendala
dalam proses pembuatan dan pendistribusian.
Dalam hal ini maka perlu penggalian dan pengembangan kembali cara-cara pengadaan benih secara mandiri oleh petani pada pusat-pusat produksi utama.
Subsistem Usahatani
Usahatani jagung di lahan rawa masih
bersifat skala kecil dan tersebar (sporadis).
Usaha tani jagung di lahan rawa pasang surut
umumnya pada tipe luapan C dan D secara
monokultur, sedangkan pada tipe B secara
tumpang sari (surjan). Usahatani jagung di
lahan rawa lebak umumnya pada tipologi
lebak dangkal, tetapi pada musim kemarau
merata ditanam pada lahan lebak tengahan.
21
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 5. Analisis usaha tani jagung di lahan pasang surut dan lahan lebak.
Provinsi Kalimantan Selatan, 2009
Lahan Pasang Surut* Lahan Lebak**
No
Uraian
1.
Produksi (tongkol)
2.
3.
Jagung Manis
(petani)
Jagung hibrida Jagung Lokal Jagung Manis
(petani)
(petani)
(penelitian)
Jagung Lokal
(petani)
16. 000
45.000
14.000
37.240
18.375
Penerimaan (Rp/ha)
12.800.000
9.000.000
7.000.000
16.422.000
6.431.250
Biaya total (Rp/ha)
5.708.000
7.405.000
4.921.667
7.117.000
4.430.875
-Sarana produksi
2.188.000
3.685.000
1.201.667
1.277.500
1.231.500
-Tenaga kerja
3.520.000
3.720.000
3.720.000
5.839.500
3.199.375
4.
Keuntungan (Rp/ha)
7.092.000
1.595.000
2.078.333
9.305.000
2.000.375
5.
R/C
2,24
1,21
1,42
2,31
1,45
Keterangan : 13 tongkol jagung manis = 1 kg pipilan kering; 12 tongkol jagung putih/lokal = 1 kg pipilan
kering; 10 tongkol jagung hibrida = 1 kg pipilan kering
Sumber : *)Sutikno et al (2009) dan **) Mukhlis et al (2008), data diolah
varietas unggul, penggunaan amelioran dan
pupuk yang cukup dan perbaikan pola tanam
(diversifikasi jagung-padi+tomat) dapat meningkatkan hasil 2 kali lipat dan keuntungan
sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan pola
petani.
0,8ha sementara dengan teknologi petani
25.725 tongkol/ha dan keuntungan Rp
6.366.500,-/ha. Pola tanam jagung-padi + tomat lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola petani dengan nilai MBCR > 2 (Tabel
6). Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas
lahan dapat ditingkatkan dengan penggunaan
Tabel 6. Analisis biaya dan pendapatan pola tanam di KP. Tawar, 2009
No.
1.
Pola tanam
Produksi
Biaya total
(Rp)
Keuntungan
(Rp)
R/C
MBCR
Pola Introduksi (Jagung-Padi +Tomat)
-Jagung (mk) 49.535 tkl
24.767.500
10.963.375
13.804.125
2,26
-padi (mh)
4.500 t
13.500.000
7.312.836
6.187.164
1,85
-Tomat (mk)
6.725 t
16.812.500
6.143.453
10.669.047
2,74
55.080.000
24.419.664
30.660.336
2,25
12.862.500
6.496.000
6.366.500
1,98
Total
2.
Penerimaan
(Rp)
Pola Petani (jagung)
Jagung
25.725 tkl
Ket : Luas sawah 0,8 ha (padi-jagung), luas guludan 0,2 ha (tomat) pola introduksi
Sumber : Mukhlis et al (2009)
22
2,35
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Dengan demikian untuk meningkatkan kemampuan posisi tawar menawar dari petani,
maka diperlukan pemberdayakan kelompok
tani/Gapoktan dan KUD.
Subsistem Pemasaran
Para petani beranggapan bahwa usahatani jagung lebih menguntungkan dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti
kedelai karena hasil jagung selalu diserap
pasar. Namun berbeda dengan hasil penelitian
pemasaran yang dikemukakan Ramli et al
(2003) di Kabupaten Kotawaringin Barat dan
Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalteng menunjukkan bahwa besarnya marjin pemasaran
jagung untuk pasar Pangkalan Bun mencapai
42,8 % yang terdiri dari biaya pemasaran
7,4% dan marjin keuntungan 35,4 % dari harga beli konsumen. Dari saluran ini menunjukkan bahwa petani memperoleh harga sebesar
57 % dari harga akhir sedangkan keuntungan
yang terbesar adalah pedagang pengumpul
desa. Saluran pemasaran jagung berasal dari
lahan pasang surut Kabupaten Kotawaringin
Barat (Pangkalan Bun) Kalimantan Tengah
dan Kabupaten Kapuas (Kuala Kapuas)
adalah : Produsen pedagang pengumpul
antar daerah pengecer Konsumen.
Demikian pula distribusi jagung di
Kalimantan Selatan khususnya di lahan rawa
lebak menunjukkan bahwa volume jagung
yang disalurkan melalui lembaga pedagang
pengumpul desa/kecamatan masing-masing
jagung manis (hibrida) sebesar 79% dan jagung putih (lokal) 77,4 % untuk tujuan pasar
di Kalimantan Selatan, sedangkan untuk tujuan Kalimantan Tengah melalui pedagang antar daerah masing-masing jagung manis
19,8% dan jagung putih 14,5%. Untuk pemasaran jagung tersebut bagian harga yang diterima petani masih rendah. Hal ini disebabkan oleh harga jagung yang rendah dan
biaya pemasaran yang tinggi (Rina, 2005).
Strategi dan Pengembangan Agribisnis
Jagung
Perubahan Orientasi Produksi
Selama ini jagung diusahakan petani
berupa jagung manis baik di lahan pasang
surut maupun di lebak yang masih berorientasi pada pemenuhan untuk konsumsi keluarga dan sebagian dijual ke pasar. Walaupun
dalam kondisi internal sosial ekonomi petani
orientasi seperti dikemukakan di atas cukup
menguntungkan, tetapi secara agribinis usahatani jagung tidak dapat cepat berkembang. Hal
ini karena kapasitas pasar jagung muda yang
terbatas, sehingga sedikit kelebihan produksi
saja maka harga akan turun, disamping itu
jagung panen muda tidak tahan lama dan
tidak bisa diolah dalam produk lain.
Perubahan orientasi produksi dari
usahatani jagung (panen) muda ke usaha tani
(panen) pipilan kering perlu dilakukan, hal ini
sudah berkembang di lahan kering seperti di
Kabupaten Tanah Laut, Pleihari Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk lahan rawa strategi
yang paling tepat adalah dengan melakukan
diversifikasi vertikal, artinya produksi jagung
muda pada batas tertentu tetap dipertahankan
namun apabila memasuki fase diseconomies of
scale, orientasi perlu diubah ke usahatani jagung pipilan kering. Jagung pipilan kering
dapat menguntungkan jika ditanam menggunakan teknologi yang tepat seperti yang
dilakukan penyuluh pertanian lapangan (PPL)
di Desa Simpang Jaya, Kabupaten Barito Kuala,
Provinsi Kalsel menghasilkan 6 ton pipilan
23
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
kering/ha. Jagung pipilan kering dapat disimpan lama dan dapat diolah dalam bentuk
produk lain.
melalui pendayagunaan gapoktan seperti penyediaan sarana produksi dan permodalan, tetapi pemasaran jagung pipilan dari petani belum mempunyai jaringan atau pasar yang pasti, sehingga petani tidak termotivasi untuk
melakukan penanaman dalam skala luas.
Pengembangan Teknologi Spesifik Lokasi
Teknologi budidaya jagung lahan rawa
sangat diperlukan dan saat ini sudah tersedia.
Dengan adanya pelaksanaan SLPTT Jagung
diharapkan peranan BADAN LITBANG PERTANIAN (BALITTRA dan BPTP) sebagai sumber teknologi dapat ditingkatkan sehingga
dihasilkan teknologi yang spesifik lokasi. Hal
ini terlihat dari varietas-varietas yang berkembang atau ditanam petani umumnya dari
perusahaan-perusahaan lain seperti sweet
corn, super dan sebagainya. Sedangkan hasil
penelitian (Badan Litbang) seperti varietas
Sukmaraga justru berkembang di lahan kering
Kalimantan Selatan, namun khusus untuk lahan rawa masih belum ada varietas spesifik
yang mantap untuk digunakan petani secara
keseluruhan dan merata. Beberapa hasil penelitian sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa produktivitas jagung di lahan rawa dapat ditingkatkan 5-6 t/ha pipilan
kering.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dan implikasi kebijakan yang diperlukan antara lain :
1. Ketersediaan lahan rawa cukup luas dan
dari lahan rawa yang telah dibuka dapat
dioptimalkan produktivitasnya. Dengan
keunggulan dan peluang yang dimiliki lahan rawa mempunyai prospek untuk menjadi sumber pertumbuhan dan pengembangan baru komoditas jagung dalam mendukung swasembda jagung tahun 2010.
2. Sistem budidaya dan pengelolaan lahan
rawa dalam menunjang pengembangan
agribisnis jagung perlu perbaikan/peningkatan seperti penyediaan dan penggunaan
benih varietas unggul, pupuk berimbang,
pemanfaatan bahan amelioran dan bahan
organik serta perbaikan pola tanam/diversifikasi untuk meningkatkan produksi
menjadi 6,5 t/ha dan sasaran pendapatan
senilai US $ 2.500-3.000/KK/tahun.
3. Dari keragaan agribisnis jagung di lahan
rawa ditunjukkan masih lemahnya penyediaan sarana produksi (benih, pupuk dan
lainnya), share pendapatan yang diterima
petani masih kecil dibandingkan pedagang, serapan pasar terhadap produksi
belum berkembang atau merata walaupun
peluang cukup besar. Sehingga memerlukan upaya perluasan dan distribusi.
4. Perbaikan sistem budidaya dan sistem
agribisnis jagung di lahan rawa memer-
Dukungan Kelembagaan
Adopsi teknologi memerlukan secara
penuh dukungan sistem kelembagaan yang me
-madai. Kelembagaan dimaksud adalah kelembagaan sarana produksi, kelembagaan permodalan dan kelembagaan pemasaran.
Jagung yang berkembang di lahan rawa masih pada jagung panen muda hal ini karena jika jagung pipilan belum memiliki pasar
yang lancar dibandingkan penanaman jagung
di lahan kering. Peran serta pemerintah dalam
hal pemasaran sangat diperlukan karena
walapun jagung sudah dihasilkan dengan baik
24
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
lukan langkah-langkah antara lain : perubahan orientasi produksi dari usahatani
jagung (panen muda) ke usahatani jagung
panen pipilan kering, pemanfaatan dan
pengembangan teknologi budidaya yang
spesifik lokasi, dan dukungan kelembagaan yang efesien dan efektif.
Nurtiryani, 2001. Daya hasil beberapa genotipe/varietas jagung pada dua tingkat
takaran pengapuran di lahan rawa lebak dangkal. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian : Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa, Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru.
Noor, M, I. Las, A. Rachman, I.M. Subiksa,
Sukarman, K. Nugroho, Isdijanto ArRiza, 2010. Pengembangan Lahan Rawa Berkelanjutan untuk Mendukung
Ketahanan Pangan Nasional. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian
Pertanian, Banjarbaru.
Ramli, R. Y. Rina, Y. Mankin, T. Indraswati dan
D. Ratnasari. 2003. Analisis Pemasaran
Tanaman Pangan (Kedelai, Jagung,
Ubikayu dan Pisang) di Kalimantan Tengah. Laporan Akhir Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Parsipatif,
BPTP Provinsi Kalimantan Tengah.
Palangkaraya.
Rina, Y. 2005. Pemasaran Jagung di Lahan Lebak Kalimantan Selatan. Dalam R.
Mudjisihono, N.K. Wardhani, A. Koesnowo, A. Musofie, E. Sukara, M.F.
Masyhudi dan S. Isnijah (Penyunting).
Dalam Prosiding Seminar Nasional Implementasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Pulitbang Sosek Pertanian. Badan Litbangtan. Jakarta.
Sujatmaka, 2009. Merebut kejayaan agrobisnis. Majalah SWASEMBADA. No, 12/
XXV/11. Sajian Utama.
Sutikno, H, Y. Rina, S. Umar dan M. Imberan.
2009. Model Pengembangan Pertanian
Melalui Optimasi Penggunaan Sumberdaya Lahan, Manusia dan Teknologi
untuk Mendukung Pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Daerah
Pasang Surut Kalimantan Selatan.
Laporan Akhir APBN TA 2009 melalui
Dana
Bansos
DIKTI.
Balittra,
Banjarbaru.
Daftar Pustaka
Ananto, E, E. et al. 2000. Pengembangan Usaha
Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan: Mendukung Ketahanan
Pangan dan Pengembangan Agribisnis.
Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Selatan. 2009 Sosialisasi Hasil Pendataan Usaha Tani 2009 (PUT09). Badan
Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Selatan. Banjarmasin.
Ismail, G.I. et al. 1993. Sewindu Penelitian
Pertanian di Lahan Rawa 1985-1993.
Proyek SWAMPS II. Badan Litbang
Pertanian, Deptan, Bogor/Jakarta.
Mukhlis. H. Dj Noor, N. Fauziati, Y Rina, Nurtirtayani dan R.S. Simatupang. 2008.
Sistem Olah Tanah- Hara Terpadu
pada Sistem Surjan untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Le-bak.
Laporan Akhir. Balittra. Banjar-baru.
Mukhlis, N. Fauziati, dan M. Saleh. 2009. Pengembangan Teknologi Konservasi Tanah, dan Air Untuk Mengatasi Cekaman Air, Meningkatkan IP (menjadi >
200) Dan produktivitas (>25%) Di Lahan Lebak. Laporan Akhir. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
Banjarbaru.
Nazemi, D dan Arifin, M. Z. 2005. Teknologi
budidaya jagung dan pemanfaatan bahan amelioran di lahan pasang surut.
Dalam Prosiding Seminar Nasional
Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumber
-daya Lahan Rawa dam Pengendalian
Pencemaran Lingkungan, 5-7 Oktober
2004 di Banjarbaru. Puslitnak. Bogor.
25
ISBN : 978-979-8940-29-3
Prospek dan Strategi Pengembangan Sistem Budidaya
dan Agribisnis Tanaman Jagung di Lahan Rawa :
Kendala dan Tantangan
Achmad Rachman, Muhammad Noor, Yanti Rina
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Jl. Kebun Karet, Loktabat. Kotak Pos 31.Telp/fax 0511 4772534
Email: [email protected]. Banjarbaru 70712
Abstrak
Jagung merupakan salah satu dari lima komoditas unggulan (beras, kedelai, daging dan gula)
dalam Program Kementerian Pertanian 2010-2014. Pemerintah menargetkan pencapaian produksi
dari 0,93 juta ton pada tahun 2010 menjadi 1,54 juta ton pada tahun 2014 dengan luas panen dari
142,5 ribu ha pada tahun 2010 menjadi 237,5 ribu ha pada tahun 2014. Jagung juga termasuk salah
satu dari 25 komoditas Top Agribisnis yang berada pada urutan ke 14 (urutan ke-1 kelapa sawit dan
ke-25 padi/beras) dengan nilai ekspor dari US $ 4,3 juta pada tahun 2006 meningkat menjadi US $
18,5 juta pada tahun 2007 dan US $ 16,5 juta pada tahun 2008.
Jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi di lahan rawa yang dapat ditanam
pada musim kemarau maupun musim hujan. Pengembangan sistem usaha tani dan agribisnis jagung
di lahan rawa menunjukkan perspektif yang baik karena beberapa keunggulan dan peluang yang
dimiliki lahan rawa. Namun tingkat produktivitas jagung di lahan rawa masih tergolong rendah
dengan keberagaman yang cukup tinggi berkisar 3,5-5,5 t/ha, dibandingkan target yang diharapkan
6,5 t/ha. Beberapa kendala dari lahan rawa diantaranya adalah sifat dan watak tanah dan air dengan
kunci utama adalah pengelolaan air dan pembenahan tanah. Oleh karena itu, dukungan teknologi
budidaya dan pengelolaan tanah, air, dan hara dalam pengembangan jagung di lahan rawa sangat
diperlukan meliputi penyiapan lahan dan olah tanah, perbenihan, penggunaan varietas unggul,
ameliorasi dan pemupukan, pemberian mulsa dan bahan organik sehubungan dengan sifat dan watak
tanah, air dan hara di atas. Dari keragaan agribisnis jagung di lahan rawa ditunjukkan masih
lemahnya penyediaan sarana produksi (benih, pupuk), share pendapatan yang diterima petani masih
kecil dibandingkan pedagang, serapan pasar terhadap produksi belum berkembang atau merata
walaupun peluang cukup besar. sehingga memerlukan upaya perluasan dan distribusi.
Dalam meningkat sistem budidaya dan sistem agribisnis jagung dilahan rawa diperlukan
langkah-langkah antara lain 1). perubahan orientasi produksi dari usahatani jagung (panen muda) ke
usahatani jagung panen pipilan kering, 2) pemanfaatan dan pengembangan teknologi budidaya yang
spesifik lokasi, dan 3) dukungan kelembagaan yang efesien dan efektif.
Kata kunci : Peluang, kendala, Agribisnis, lahan rawa, jagung
panen masing-masing dari 142,5 ribu ha pada
tahun 2010 menjadi 166,3 ribu ha pada tahun
2011; 190,0 ribu ha pada tahun 2012; 213,7
ribu ha pada tahun 2013; dan 237,5 ribu ha
pada tahun 2014. Jagung juga termasuk salah
satu dari 25 komoditas Top Agribisnis yang
berada pada urutan ke 14 (urutan ke-1 kelapa
sawit dan ke-25 beras) dengan nilai ekspor
dari US $ 4,3 juta pada tahun 2006 menjadi US
Pendahuluan
Jagung merupakan salah satu dari lima komoditas unggulan (beras, kedelai, daging dan gula) dalam Program Kementerian
Pertanian 2010-2014. Pemerintah mentargetkan pencapaian produksi dari 0,93 juta ton
pada tahun 2010 menjadi 1,08; 1,23; 1,34;
dan 1,54 juta ton berturut-turut pada tahun
2011, 2012, 2013 dan 2014 dengan luas
15
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
$ 18,5 juta pada tahun 2007 dan US $ 16,5 juta
pada tahun 2008 (Sujatmaka, 2009).
Dalam program Kementerian Pertanian 2010-2014 telah ditetapkan sistem pertanian industrial unggul berbasis sumberdaya
lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan
petani. Dengan demikian maka pengembangan
agribisnis jagung yang diharapkan dalam sistem pertanian yang terintegrasi antara produksi dan kebutuhan. Produktivitas jagung
nasional tergolong masih rendah dan sangat
beragam antara 5-6 t/ha. Peningkatan produktivitas untuk mencapai target di atas diharapkan dapat mencapai 6,5 t/ha sebagaimana
telah dituangkan dalam Program Kementerian
Pertanian yang antara lain yaitu pada 1).
Program Pengelolaan Tanaman Pangan dan
2). Pengelolaan Lahan dan Air.
Berkenaan dengan lahan rawa, luas
sumber daya lahan rawa mencapai 33,4 juta
hektar yang terdiri atas 1) rawa pantai, 2)
rawa pasang surut, dan 3) rawa lebak, tetapi
luas lahan rawa yang cocok untuk pengembangan pertanian diperkirakan 9,5 juta hektar. Lahan rawa tersebar pada 16 provinsi
yang terpusat pada Pulau Kalimantan sepanjang pantai Selatan dan Timur, Pulau Sumatera sepanjang pantai Timur dan Utara, Sulawesi sepanjang pantai Barat dan Timur, dan
Papua sepanjang pantai Selatan.
Sebagian besar lahan rawa di atas
masih ditutupi hutan primer, hutan sekunder,
semak belukar, dan rawa monoton. Pembukaan dan pencetakan sawah di lahan rawa di
mulai sejak tahun 1969 sampai 1992 untuk
pendukung Program Transmigrasi yang mencapai 1,8 juta hektar di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Selanjutnya pembukaan
besar-besaran lahan rawa dan gambut
(Pembukaan Lahan Gambut) seluas 1,4 juta
hektar di Kalimantan Tengah tahun 19951996, dihentikan tahun 1999, kemudian dilanjutkan kembali dengan Program Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Pertanian
Kawasan PLG sejak 2007. Sementara ini telah
disiapkan pembukaan lahan rawa secara luas
di Merauke, Papua untuk mendukung produksi pertanian/perkebunan. Keseluruhan
lahan rawa yang dibuka oleh pemerintah dan
masyarakat setempat diperkirakan mencapai
5,0 juta hektar, namun yang sudah dimanfaatkan baru mencapai sekitar 3,2 juta hektar masing-masing 2,4 juta ha oleh masyarakat lokal setempat dan 0,8 juta hektar
masyarakat transmigran. Luas lahan (panen)
jagung secara nasional baru mencapai 0,93
ribu ha, sementara dari sepuluh provinsi utama (Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Kalsel,
Kalteng, Kaltim, Kalbar, Sulbar, Sulteng) terdapat sekitar 2.269.950 ha lahan rawa yang
sudah dibuka dan diantaranya 1.110 ribu ha
belum dimanfaatkan sama sekali (Noor et al.,
2010). Maka peluang untuk perluasan areal
atau optimalisasi penggunaan lahan untuk
pengembangan produksi jagung terbuka luas.
Jagung merupakan komoditas penting
kedua setelah padi di lahan pasang surut baik
pada musim kemarau maupun musim hujan.
Pada musim hujan jagung banyak diusahakan
pada lahan pasang surut tipe luapan B
dengan sistem surjan, sedang pada musim
kemarau diusahakan pada tipe luapan C atau
D dengan sistem drainase dangkal (Ananto et
al., 2000). Pengembangan lahan rawa dalam
mendukung ketahanan pangan, khususnya
pengembangan sistem usaha tani dan agribisnis jagung menunjukkan perspektif yang
baik karena beberapa keunggulan dan peluang dari lahan rawa. Keunggulan lahan
16
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
rawa antara lain : 1) hamparan lahan yang
cukup luas, 2) topografi relatif datar, 3) ketersediaan air yang berlimpah, dan 4) kearifan lokal dalam pengelolaannya. Peluang pengembangan lahan rawa didorong oleh kondisi strategis nasional dan global yang antara
lain : (1) permintaan pangan nasional dan
dunia yang semakin bertambah, (2) kompensasi dari hilangnya lahan pertanian di Jawa,
(3) penyangga pangan pada kekeringan ekstrim di luar lahan rawa, (4) levelling off produktivitas pangan di Jawa, dan (5) sebagai
prasarana untuk pengentasan kemiskinan
(Noor et al., 2010). Tambahan lagi, tingkat
resiko kegagalan pada usaha tani jagung lebih
kecil dibandingkan dengan usaha padi dan
kedelai (Ananto et al., 2000). Limbah jagung
juga mempunyai prospek untuk pakan ternak
sapi sehingga dapat diintegrasikan dalam
sistem pengelolaan ”zero waste” yang patut
untuk dikembangkan. Luas 1 hektar jagung
(60-80 ribu populasi) dapat dihasilkan 18 ton
limbah pakan/musim-selama 4 bulan. Apabila keperluan 1 ekor sapi 25 kg pakan/hari,
maka 1 keluarga petani (dengan lahan jagung
seluas 1 ha) mampu memberi pakan untuk 6
(enam) ekor sapi selama 4 bulan.
Budidaya tanaman jagung di lahan rawa masih bersifat konvensional yang umumnya ditanam pada lahan sawah setelah padi
secara monokultur, lahan surjan secara terus
menerus dan monokultur, lahan surjan secara tumpang sari dengan tanaman perkebunan atau hortikultura (seperti cokelat,
jeruk). Produktivitas jagung di lahan rawa
sangat beragam. Hasil penelitian di Karang
Agung, Provinsi Sumatera Selatan menunjukan hasil jagung pada lahan rawa pasang
surut berkisar 3,5-5,5 ton pipilan kering/ha,
tergantung pada tipologi lahan, varietas, dan
masukan amelioran dan pupuk (Ismail et
al.,1993).
Tulisan ini mengemukakan tentang
prospek dan strategi pengembangan sistem
budidaya dan agribisnis tanaman jagung di
lahan rawa untuk mendukung program swasembada jagung 2010.
Prospek Budidaya Jagung di Lahan
Rawa
Agroekosistem rawa mempunyai karakteristik yang berbeda dengan agroekosistem lainnya seperti lahan kering atau lahan
irigasi. Tingkat produktivitas lahan rawa sangat ditentukan oleh sifat dan watak tanah, air
dan iklim serta pengelolaannya. Sifat dan watak utama dari lahan rawa antara lain tekstur
umumnya liat, mengandung lapisan pirit, adanya lapisan gambut yang bersifat hidrofobik,
salinitas yang tinggi pada musim kemarau, kemasaman yang tinggi disertai dengan kadar Al,
Fe, dan Mn yang tinggi, kahat hara makro (P,
K, Mg, Ca) dan mikro (Cu, Zn, Mo, B), daya
sangga (mekanika) tanah rendah, tingkat serangan hama dan virulensi penyakit tanaman
tinggi. Dukungan teknologi budidaya dan pengelolaan tanah, air, dan hara dalam pengembangan jagung di lahan rawa sangat diperlukan sehubungan dengan sifat dan watak tanah, air dan hara di atas. Uraian berikut mengemukakan tentang aspek budidaya dan pengelolaan tanah, air dan hara dalam upaya
meningkatkan hasil jagung untuk mendukung
pengembangan agribisnis di lahan rawa.
Penyiapan Lahan dan Olah Tanah
Penyiapan lahan dilakukan dengan penebasan atau penyemprotan herbisida (sistemik) yang kemudian dilanjutkan dengan olah
tanah. Olah tanah dapat dengan cangkul, tetapi
17
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
apabila lahan yang diusahakan cukup luas
(hamparan) sebaiknya dengan traktor. Olah
tanah dengan traktor dapat dilakukan 1 atau 2
kali dalam setahun dengan kata lain diperlukan hanya apabila keadaan tanah kurang
gembur. Penyiapan lahan dengan pembakaran
perlu dihindari karena dapat berakibat penurunan kesuburan tanah selanjutnya karena
hilangnya bahan organik dan mikroorganisme
tanah serta dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Perbenihan
Benih yang digunakan petani biasanya
berasal dari hasil penangkaran setempat atau
benih sendiri. Oleh karena sudah turunan beberapa kali (> 3 kali) sehingga terjadi penurunan kualitas dan produktivitas. Terlebih lagi
penyimpanan yang kurang baik dapat menurunkan lagi lebih jauh kualitas benih sehingga
perolehan hasil dan kualitas jauh dari harapan. Dalam konteks, pengembangan yang lebih luas, maka pengadaan benih memerlukan
penanganan sendiri. Upaya menumbuhkan
munculnya penangkar-penangkar benih setempat sangat penting. Keperluan benih ratarata mencapai 25-27 kg/ha dengan kisaran 25
-33 kg/ha (Ananto et al., 2000).
Penggunaan Varietas
Beragam varietas dapat ditanam di lahan rawa baik rawa pasang surut maupun
rawa lebak. Hasil peneltian di lahan rawa pasang surut Kayu Agung, Provinsi Sumatera
Selatan menunjukkan dari lima varietas diperoleh hasil tertinggi pada varietas Arjuna
dengan hasil 4,9-5,5 ton pipilan kering/ha dan
Wiyasa dengan hasil 4,5-5,5 ton pipilan kering/ha masing-masing ditanam pada lahan
potensial dan lahan sulfat masam dengan pem
-berian 1 ton kapur/ha (Ismail et al, 1993).
Hasil penelitian di lahan rawa lebak dangkal,
Desa Pulau Damar, Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan terdapat tiga dari sepuluh varietas yang mampu
tumbuh (tanpa kapur) yaitu varietas Malang
komposit-11, Hibrida Bisi-2 dan Arjuna dengan hasil 3,16-3,71 ton pipilan kering/ha
(Nurtirtayani, 2001). Hasil penelitian di lahan
gambut Desa Margo Mulyo, Sugihan Kiri, Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan lebih
rendah dibandingkan dengan lahan potensial
(pasang surut dan lebak) hanya mencapai 2,33,5 t pipilhan kering/ha (Ananto et al., 2000).
Hasil jagung hibrida menunjukan lebih tinggi
yaitu 2,6-3,5 ton/ha dibandingkan Arjunakomposit hanya mencapai 2,3 ton/ha.
Ameliorasi dan Pemupukan
Sifat bawaan (inherence) dari lahan
rawa adalah kemasaman yang tinggi atau mudah menjadi masam apabila teroksidasi atau
terdekomposisi karena adanya lapisan pirit
(FeS2) dan lapisan gambut yang mentah. Pemberian amelioran (kapur/dolomit) dan pupuk
organik/anorganik diperlukan di lahan rawa
selain dapat meningkatkan pH dan status hara
juga dapat meningkatkan hasil jagung. Hasil
penelitian di lahan sulfat masam rawa pasang
surut Kayu Agung, Provinsi Sumatera Selatan
menunjukkan pemberian 1 ton kapur/ha dengan disebar pada larikan/ barisan tanaman
dapat meningkatkan hasil menjadi 4,3-5,5 ton
pipilan kering/ha tergantung pada varietas.
Hasil jagung tertinggi dicapai pada varietas
Arjuna dan Wiyasa masing-masing 5,5 dan 5,4
ton pipilan kering /ha (Ismail et al, 1993).
Pemupukan untuk tanaman jagung di
lahan rawa sebaiknya didasarkan pada status
hara yang setiap tahun dilakukan evaluasi.
Kebutuhan pupuk N, P dan K rata-rata untuk
18
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
dan 5 kg CuSO4 pada lahan gambut diperoleh
hasil 4,47 t/ha pipilan kering (Ismail et al.,
1993).
tanaman jagung di lahan rawa masing-masing
150 kg Urea, 100-125 kg SP-36 dan 50-100 kg
KCl/ha, tergantung pada tipologi lahan dan
hasil yang diharapkan (Tabel 1). Tabel 1
Tabel 1. Uji paket pemupukan untuk tanaman jagung di lahan rawa pasang surut, Sumatera
Selatan. Tahun 1999
Tipologi lahan
Rata-rata
(t/ha)
Paket Pupuk
NPK-1
NPK-2
NPK-3
Sulfat Masam
2,75
2,57
2,10
2,47
Potensial
5,57
5,16
5,51
5,41
Gambut Dangkal
2,86
4,86
3,79
3,84
Keterangan :
NPK-1= 150-125-100; NPK-2 =150-100-100; NPK-3 = 150-125-50
Mulsa atau Bahan Organik
menunjukkan bahwa hasil jagung pada lahan
sulfat masam paling rendah (2,5 t/ha) perlu
pemberian amelioran untuk mencapai hasil
yang tinggi, pada lahan gambut penambahan
pupuk K (100 kg KCl) dan pupuk P (100 kg SP36) dapat memberikan hasil paling tinggi
(4,86 t/ha), dan pada lahan potensial
ditunjukkan pemberian P (125 kg SP-36) dan
pupuk K (50 kg KCl) mendapatkan hasil yang
cukup tinggi (5,5 t/ha). Pemberian kapur/
dolomit 500 kg/ha, 90 kg K2O, 10 kg ZnSO4
Pemberian mulsa atau bahan organik
memegang peranan penting pada budidaya
jagung di lahan rawa. Hasil penelitian Arifin
dan Nazemi (2005) menunjukkan pemberian
kangkung liar (Ipomea aquatica) atau enceng
gondok (Eichornea crassipes) sebanyak 3,2 t/
ha dapat meningkatkan hasil jagung pada
lahan sulfat masam 70-87% dengan hasil
masing-masing 5,41 dan 5,10 t/ha pipilan
kering (Tabel 2).
Tabel. 2. Pengaruh bahan organik dari dua sumber terhadap hasil jagung di lahan
sulfat masam, KP. Belandean, Batola, Provinsi Kalimantan Selatan. 2000
Takaran (t/ha)
0
1,6
3,2
4,8
Rata-rata
Hasil jagung (t/ha pipilan kering)
Kangkung
Enceng gondok
2,89 a
3,00 a
3,88 ab
4,00 ab
5,41 b
5,10 b
4,99 b
5,04 b
4,71
4,78
Angka sekolam yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata pada uji Beda Duncan pada taraf 5%
Sumber : Nazemi dan Arifin (2005)
19
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Pemberian bahan organik dalam
bentuk abu sekam, berangkasan padi, dan
serbuk gergaji juga dapat meningkatkan hasil
jagung pada lahan gambut sebanyak 600 kg/
ha dapat meningkatkan hasil 25-40% dengan
hasil masing-masing 5,20; 4,42 dan 4,02 t/ha
pipilan kering (Tabel 3).
Penggunaan sarana produksi (input) seperti
benih, pupuk umumnya di lahan rawa
diberikan petani sesuai dengan kemampuan
permodalan yang dimiliki. Petani umumnya
masih menggunakan varietas lokal, seperti
varietas Kima. Apabila digunakan varietas
unggul maka bibit yang digunakan selanjutnya
Tabel 3. Pengaruh bahan organik terhadap hasil jagung di lahan gambut, Pangkoh,
Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. 2000
Takaran (kg/ha)
Hasil jagung (t/ha pipilan kering)
Abu sekam
Berangkasan padi
Serbuk gergaji
0
3,70 a
3,55 a
3,14 a
300
4,07 a
4,08 ab
4,21 b
600
5,20 b
4,42 b
4,02 b
900
5,12 b
4,18 b
4,01 b
Rata-rata
4,52
4,06
3,84
Angka sekolam yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata pada uji Beda Duncan pada taraf 5%
Sumber : Nazemi dan Arifin (2005)
Sistem Agribisnis Jagung di Lahan Rawa
diambil dari tanaman sebelumnya, oleh
karena itu hasil di tingkat petani bervariasi.
Penggunaan bibit varietas lokal di Kalimantan
Selatan masih tinggi (40,45%), disusul varietas hibrida (54,38%) dan komposit 5,08%
(BPS Tingkat I Kalsel, 2009). Penggunaan pupuk anorganik dan organik mencapai 46%,
tidak menggunakan pupuk 15%, tidak menggunakan pupuk organik 2%, dan tidak menggunakan pupuk anorganik 37%. Alasan petani
dalam penggunaan benih varietas unggul dan
pupuk rendah karena harganya mahal (8096%), persediaan terbatas dan distribusi tidak
lancar (Tabel 4).
Sistem agribisnis jagung di lahan rawa
secara sederhana dapat dipilah dalam tiga sub
sistem, yaitu 1) subsistem pengadaan sarana
produksi, 2) subsistem usaha tani, dan 3)
subsistem
pemasaran.
Uraian
berikut
mengemukakan kondisi dan kendala dari
masing-masing sub sistem dalam mendukung
pengembangan agribisnis jagung di lahan
rawa.
Subsistem Pengadaan Sarana Produksi
Faktor sarana produksi merupakan
faktor penting dalam usahatani jagung untuk
mencapai hasil yang sesuai dengan harapan.
20
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 4. Tanggapan petani terhadap penggunaan benih dan pupuk dalam usaha tani
jagung di Provinsi Kalimantan Selatan, 2009
No
Uraian
Benih (%)
Pupuk(%)
80
96
1.
Harga Mahal
2.
Persediaan sulit dan terbatas
56,67
86,67
3.
Distribusi tidak lancar
16,67
63,33
4.
Modal petani kurang
23,33
43,33
5.
Datang tidak tepat waktu
26,67
40,00
6.
Pengetahuan petani kurang
30,00
33,33
7.
Perawatan sulit dan mahal
30,00
8.
Penyuluh dan kelompok tani kurang aktif
-
26,67
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan (2009)
Kebanyakan petani baik di lahan pasang surut
maupun di lahan rawa lebak menggunakan
jenis jagung manis (sayur) yang dipanen
muda. Analisis biaya dan pendapatan usaha
tani jagung per hektar di tingkat petani pada
lahan pasang surut dan lahan lebak disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari usahatani jagung
manis setelah dikurangi biaya total baik di
lahan pasang surut maupun lahan lebak lebih
besar dibandingkan dari usaha tani jagung
kuning (hibrida) dan jagung putih (lokal). Pengusahaan jagung manis (hibrida) di tingkat
petani baik di lahan pasang surut maupun lahan lebak cukup efisien ditunjukkan dengan
R/C > 2, sementara pada jagung kuning
(hibrida) dan jagung putih (lokal) kurang efisien (< 2).
Usaha tani jagung yang ditanam dalam
bentuk pola tanam yaitu jagung-padi + tomat
seperti hasil penelitian Mukhlis et al (2009)
menunjukkan bahwa produksi jagung varietas
unggul yang dicapai sebesar 49.535 tongkol/0,8ha dan keuntungan Rp. 13.804.125,-/
Penggunaan benih berkualitas dan pupuk yang cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman merupakan kunci dalam peningkatan
produktivitas. Masalah ketersediaan benih
dan pupuk yang terlambat dan terbatas sering
dialami tidak saja oleh petani di lahan rawa
bahkan hampir secara umum dalam tiga tahun
terakhir ini. Kelangkaan benih dan pupuk serta biaya usahatani sering menjadi kendala
dalam proses pembuatan dan pendistribusian.
Dalam hal ini maka perlu penggalian dan pengembangan kembali cara-cara pengadaan benih secara mandiri oleh petani pada pusat-pusat produksi utama.
Subsistem Usahatani
Usahatani jagung di lahan rawa masih
bersifat skala kecil dan tersebar (sporadis).
Usaha tani jagung di lahan rawa pasang surut
umumnya pada tipe luapan C dan D secara
monokultur, sedangkan pada tipe B secara
tumpang sari (surjan). Usahatani jagung di
lahan rawa lebak umumnya pada tipologi
lebak dangkal, tetapi pada musim kemarau
merata ditanam pada lahan lebak tengahan.
21
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 5. Analisis usaha tani jagung di lahan pasang surut dan lahan lebak.
Provinsi Kalimantan Selatan, 2009
Lahan Pasang Surut* Lahan Lebak**
No
Uraian
1.
Produksi (tongkol)
2.
3.
Jagung Manis
(petani)
Jagung hibrida Jagung Lokal Jagung Manis
(petani)
(petani)
(penelitian)
Jagung Lokal
(petani)
16. 000
45.000
14.000
37.240
18.375
Penerimaan (Rp/ha)
12.800.000
9.000.000
7.000.000
16.422.000
6.431.250
Biaya total (Rp/ha)
5.708.000
7.405.000
4.921.667
7.117.000
4.430.875
-Sarana produksi
2.188.000
3.685.000
1.201.667
1.277.500
1.231.500
-Tenaga kerja
3.520.000
3.720.000
3.720.000
5.839.500
3.199.375
4.
Keuntungan (Rp/ha)
7.092.000
1.595.000
2.078.333
9.305.000
2.000.375
5.
R/C
2,24
1,21
1,42
2,31
1,45
Keterangan : 13 tongkol jagung manis = 1 kg pipilan kering; 12 tongkol jagung putih/lokal = 1 kg pipilan
kering; 10 tongkol jagung hibrida = 1 kg pipilan kering
Sumber : *)Sutikno et al (2009) dan **) Mukhlis et al (2008), data diolah
varietas unggul, penggunaan amelioran dan
pupuk yang cukup dan perbaikan pola tanam
(diversifikasi jagung-padi+tomat) dapat meningkatkan hasil 2 kali lipat dan keuntungan
sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan pola
petani.
0,8ha sementara dengan teknologi petani
25.725 tongkol/ha dan keuntungan Rp
6.366.500,-/ha. Pola tanam jagung-padi + tomat lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola petani dengan nilai MBCR > 2 (Tabel
6). Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas
lahan dapat ditingkatkan dengan penggunaan
Tabel 6. Analisis biaya dan pendapatan pola tanam di KP. Tawar, 2009
No.
1.
Pola tanam
Produksi
Biaya total
(Rp)
Keuntungan
(Rp)
R/C
MBCR
Pola Introduksi (Jagung-Padi +Tomat)
-Jagung (mk) 49.535 tkl
24.767.500
10.963.375
13.804.125
2,26
-padi (mh)
4.500 t
13.500.000
7.312.836
6.187.164
1,85
-Tomat (mk)
6.725 t
16.812.500
6.143.453
10.669.047
2,74
55.080.000
24.419.664
30.660.336
2,25
12.862.500
6.496.000
6.366.500
1,98
Total
2.
Penerimaan
(Rp)
Pola Petani (jagung)
Jagung
25.725 tkl
Ket : Luas sawah 0,8 ha (padi-jagung), luas guludan 0,2 ha (tomat) pola introduksi
Sumber : Mukhlis et al (2009)
22
2,35
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Dengan demikian untuk meningkatkan kemampuan posisi tawar menawar dari petani,
maka diperlukan pemberdayakan kelompok
tani/Gapoktan dan KUD.
Subsistem Pemasaran
Para petani beranggapan bahwa usahatani jagung lebih menguntungkan dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti
kedelai karena hasil jagung selalu diserap
pasar. Namun berbeda dengan hasil penelitian
pemasaran yang dikemukakan Ramli et al
(2003) di Kabupaten Kotawaringin Barat dan
Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalteng menunjukkan bahwa besarnya marjin pemasaran
jagung untuk pasar Pangkalan Bun mencapai
42,8 % yang terdiri dari biaya pemasaran
7,4% dan marjin keuntungan 35,4 % dari harga beli konsumen. Dari saluran ini menunjukkan bahwa petani memperoleh harga sebesar
57 % dari harga akhir sedangkan keuntungan
yang terbesar adalah pedagang pengumpul
desa. Saluran pemasaran jagung berasal dari
lahan pasang surut Kabupaten Kotawaringin
Barat (Pangkalan Bun) Kalimantan Tengah
dan Kabupaten Kapuas (Kuala Kapuas)
adalah : Produsen pedagang pengumpul
antar daerah pengecer Konsumen.
Demikian pula distribusi jagung di
Kalimantan Selatan khususnya di lahan rawa
lebak menunjukkan bahwa volume jagung
yang disalurkan melalui lembaga pedagang
pengumpul desa/kecamatan masing-masing
jagung manis (hibrida) sebesar 79% dan jagung putih (lokal) 77,4 % untuk tujuan pasar
di Kalimantan Selatan, sedangkan untuk tujuan Kalimantan Tengah melalui pedagang antar daerah masing-masing jagung manis
19,8% dan jagung putih 14,5%. Untuk pemasaran jagung tersebut bagian harga yang diterima petani masih rendah. Hal ini disebabkan oleh harga jagung yang rendah dan
biaya pemasaran yang tinggi (Rina, 2005).
Strategi dan Pengembangan Agribisnis
Jagung
Perubahan Orientasi Produksi
Selama ini jagung diusahakan petani
berupa jagung manis baik di lahan pasang
surut maupun di lebak yang masih berorientasi pada pemenuhan untuk konsumsi keluarga dan sebagian dijual ke pasar. Walaupun
dalam kondisi internal sosial ekonomi petani
orientasi seperti dikemukakan di atas cukup
menguntungkan, tetapi secara agribinis usahatani jagung tidak dapat cepat berkembang. Hal
ini karena kapasitas pasar jagung muda yang
terbatas, sehingga sedikit kelebihan produksi
saja maka harga akan turun, disamping itu
jagung panen muda tidak tahan lama dan
tidak bisa diolah dalam produk lain.
Perubahan orientasi produksi dari
usahatani jagung (panen) muda ke usaha tani
(panen) pipilan kering perlu dilakukan, hal ini
sudah berkembang di lahan kering seperti di
Kabupaten Tanah Laut, Pleihari Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk lahan rawa strategi
yang paling tepat adalah dengan melakukan
diversifikasi vertikal, artinya produksi jagung
muda pada batas tertentu tetap dipertahankan
namun apabila memasuki fase diseconomies of
scale, orientasi perlu diubah ke usahatani jagung pipilan kering. Jagung pipilan kering
dapat menguntungkan jika ditanam menggunakan teknologi yang tepat seperti yang
dilakukan penyuluh pertanian lapangan (PPL)
di Desa Simpang Jaya, Kabupaten Barito Kuala,
Provinsi Kalsel menghasilkan 6 ton pipilan
23
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
kering/ha. Jagung pipilan kering dapat disimpan lama dan dapat diolah dalam bentuk
produk lain.
melalui pendayagunaan gapoktan seperti penyediaan sarana produksi dan permodalan, tetapi pemasaran jagung pipilan dari petani belum mempunyai jaringan atau pasar yang pasti, sehingga petani tidak termotivasi untuk
melakukan penanaman dalam skala luas.
Pengembangan Teknologi Spesifik Lokasi
Teknologi budidaya jagung lahan rawa
sangat diperlukan dan saat ini sudah tersedia.
Dengan adanya pelaksanaan SLPTT Jagung
diharapkan peranan BADAN LITBANG PERTANIAN (BALITTRA dan BPTP) sebagai sumber teknologi dapat ditingkatkan sehingga
dihasilkan teknologi yang spesifik lokasi. Hal
ini terlihat dari varietas-varietas yang berkembang atau ditanam petani umumnya dari
perusahaan-perusahaan lain seperti sweet
corn, super dan sebagainya. Sedangkan hasil
penelitian (Badan Litbang) seperti varietas
Sukmaraga justru berkembang di lahan kering
Kalimantan Selatan, namun khusus untuk lahan rawa masih belum ada varietas spesifik
yang mantap untuk digunakan petani secara
keseluruhan dan merata. Beberapa hasil penelitian sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa produktivitas jagung di lahan rawa dapat ditingkatkan 5-6 t/ha pipilan
kering.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dan implikasi kebijakan yang diperlukan antara lain :
1. Ketersediaan lahan rawa cukup luas dan
dari lahan rawa yang telah dibuka dapat
dioptimalkan produktivitasnya. Dengan
keunggulan dan peluang yang dimiliki lahan rawa mempunyai prospek untuk menjadi sumber pertumbuhan dan pengembangan baru komoditas jagung dalam mendukung swasembda jagung tahun 2010.
2. Sistem budidaya dan pengelolaan lahan
rawa dalam menunjang pengembangan
agribisnis jagung perlu perbaikan/peningkatan seperti penyediaan dan penggunaan
benih varietas unggul, pupuk berimbang,
pemanfaatan bahan amelioran dan bahan
organik serta perbaikan pola tanam/diversifikasi untuk meningkatkan produksi
menjadi 6,5 t/ha dan sasaran pendapatan
senilai US $ 2.500-3.000/KK/tahun.
3. Dari keragaan agribisnis jagung di lahan
rawa ditunjukkan masih lemahnya penyediaan sarana produksi (benih, pupuk dan
lainnya), share pendapatan yang diterima
petani masih kecil dibandingkan pedagang, serapan pasar terhadap produksi
belum berkembang atau merata walaupun
peluang cukup besar. Sehingga memerlukan upaya perluasan dan distribusi.
4. Perbaikan sistem budidaya dan sistem
agribisnis jagung di lahan rawa memer-
Dukungan Kelembagaan
Adopsi teknologi memerlukan secara
penuh dukungan sistem kelembagaan yang me
-madai. Kelembagaan dimaksud adalah kelembagaan sarana produksi, kelembagaan permodalan dan kelembagaan pemasaran.
Jagung yang berkembang di lahan rawa masih pada jagung panen muda hal ini karena jika jagung pipilan belum memiliki pasar
yang lancar dibandingkan penanaman jagung
di lahan kering. Peran serta pemerintah dalam
hal pemasaran sangat diperlukan karena
walapun jagung sudah dihasilkan dengan baik
24
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
lukan langkah-langkah antara lain : perubahan orientasi produksi dari usahatani
jagung (panen muda) ke usahatani jagung
panen pipilan kering, pemanfaatan dan
pengembangan teknologi budidaya yang
spesifik lokasi, dan dukungan kelembagaan yang efesien dan efektif.
Nurtiryani, 2001. Daya hasil beberapa genotipe/varietas jagung pada dua tingkat
takaran pengapuran di lahan rawa lebak dangkal. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian : Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa, Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru.
Noor, M, I. Las, A. Rachman, I.M. Subiksa,
Sukarman, K. Nugroho, Isdijanto ArRiza, 2010. Pengembangan Lahan Rawa Berkelanjutan untuk Mendukung
Ketahanan Pangan Nasional. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian
Pertanian, Banjarbaru.
Ramli, R. Y. Rina, Y. Mankin, T. Indraswati dan
D. Ratnasari. 2003. Analisis Pemasaran
Tanaman Pangan (Kedelai, Jagung,
Ubikayu dan Pisang) di Kalimantan Tengah. Laporan Akhir Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Parsipatif,
BPTP Provinsi Kalimantan Tengah.
Palangkaraya.
Rina, Y. 2005. Pemasaran Jagung di Lahan Lebak Kalimantan Selatan. Dalam R.
Mudjisihono, N.K. Wardhani, A. Koesnowo, A. Musofie, E. Sukara, M.F.
Masyhudi dan S. Isnijah (Penyunting).
Dalam Prosiding Seminar Nasional Implementasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Pulitbang Sosek Pertanian. Badan Litbangtan. Jakarta.
Sujatmaka, 2009. Merebut kejayaan agrobisnis. Majalah SWASEMBADA. No, 12/
XXV/11. Sajian Utama.
Sutikno, H, Y. Rina, S. Umar dan M. Imberan.
2009. Model Pengembangan Pertanian
Melalui Optimasi Penggunaan Sumberdaya Lahan, Manusia dan Teknologi
untuk Mendukung Pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Daerah
Pasang Surut Kalimantan Selatan.
Laporan Akhir APBN TA 2009 melalui
Dana
Bansos
DIKTI.
Balittra,
Banjarbaru.
Daftar Pustaka
Ananto, E, E. et al. 2000. Pengembangan Usaha
Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan: Mendukung Ketahanan
Pangan dan Pengembangan Agribisnis.
Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Selatan. 2009 Sosialisasi Hasil Pendataan Usaha Tani 2009 (PUT09). Badan
Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
Selatan. Banjarmasin.
Ismail, G.I. et al. 1993. Sewindu Penelitian
Pertanian di Lahan Rawa 1985-1993.
Proyek SWAMPS II. Badan Litbang
Pertanian, Deptan, Bogor/Jakarta.
Mukhlis. H. Dj Noor, N. Fauziati, Y Rina, Nurtirtayani dan R.S. Simatupang. 2008.
Sistem Olah Tanah- Hara Terpadu
pada Sistem Surjan untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Le-bak.
Laporan Akhir. Balittra. Banjar-baru.
Mukhlis, N. Fauziati, dan M. Saleh. 2009. Pengembangan Teknologi Konservasi Tanah, dan Air Untuk Mengatasi Cekaman Air, Meningkatkan IP (menjadi >
200) Dan produktivitas (>25%) Di Lahan Lebak. Laporan Akhir. Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa.
Banjarbaru.
Nazemi, D dan Arifin, M. Z. 2005. Teknologi
budidaya jagung dan pemanfaatan bahan amelioran di lahan pasang surut.
Dalam Prosiding Seminar Nasional
Inovasi Teknologi Pengelolaan Sumber
-daya Lahan Rawa dam Pengendalian
Pencemaran Lingkungan, 5-7 Oktober
2004 di Banjarbaru. Puslitnak. Bogor.
25