Apa Dampak Positif dan Negatif Pembangun
Apa Dampak Positif dan Negatif Pembangunan Blok Masela?
January 27, 2016 M Ambari, Jakarta
Pro dan kontra pembangunan kilang gas di Blok Masela, Maluku, terus bergulir dan
menggelinding menjadi bola salju. Selain pihak yang menyatakan persetujuannya, ada juga yang
tetap bersikeras menolak rencana pembangunan tersebut. Pihak tersebut, adalah Koalisi Masela
yang berasal dari tokoh akademisi dan juga aktivis lingkungan di Maluku.
Dalam keterangan resmi yang diterima Mongabay, Koalisi Masela berpendapat, dalam
membangun kilang gas, sebaiknya diperhatikan juga perlindungan terhadap lingkungan
sekitarnya. Karenanya, pilihan yang tepat untuk membangun kilas gas di Blok Masela, adalah
dengan konsep terapung (off shore).
KIlang LNG Masela Maluku. Foto : maritim.go.id
Pilihan dengan konsep terapung, dalam penilaian Koalisi memiliki resiko yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan membangun di darat (on shore). Resiko tersebut, terutama berkaitan
dengan lingkungan sekitar. Berikut penilaiannya:
1. Tidak perlu dilakukan pipanisasi ratusan kilometer dari lokasi cadangan gas ke Kilang di
darat. Opsi ini akan menghindari perusakan biota laut dan terumbu karang yang valuasi
ekonominya tak terhingga.
2. Tidak perlu dilakukan pembukaan lahan 600-800 ribu hektar yang akan berujung pada
pembukaan hutan dan vegetasi tutupan lahan di lokasi kilang. Apabila lokasi kilang darat
di Tanimbar, maka beberapa spesies endemik Tanimbar akan dipastikan punah.
3. Laporan Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States
Geological Survey (USGS) dan earthquaketrack.com menunjukkan bahwa lokasi yang
akan dipilih sebagai lokasi kilang darat, dimana pipanisasi akan berujung, adalah wilayah
langganan gempa. Risiko terhadap ketahanan pipa dan keselamatan para pekerja di kilang
darat sangat tinggi.
Sementara, jika kilang gas dibangun di darat, maka dampaknya akan terasa seperti di bawah ini:
1. Hengkangnya investor. Investor datang dan berdiskusi sejak tahun 1998 memang dalam
rangka mengembangkan Kilang Terapung (FLNG), bukan berpikir darat. Pilihan bagi
mereka adalah: Terapung atau tidak sama sekali. Apabila kita memaksa dengan opsi
darat, itu sama dengan melambaikan tangan tanda perpisahan kepada para investor.
2. Risiko kerusakan lingkungan. Valuasi terhadap terumbu karang, spesies endemik dan
hutan dan vegetasi tutupan yang ada di Tanimbar sangat mahal. Menurut sebuah laporan,
Deforestasi seluas 1,4 juta hektar di Kalimantan sama dengan total kerugian negara
sebesar Rp31,5 triliun. Artinya kehilangan 800 hektar akan sama dengan kehilangan
Rp18 triliun. Belum lagi valuasi terhadap biota laut dan spesies endemik yang sebenarnya
tidak terbandingkan ditukar dengan uang sebesar apapun apabila ada opsi lain yang lebih
ramah lingkungan.
3. Ditambah dengan kerugian akibat gagal menghemat Rp63 triliun (atau USD4,5 miliar)
yang dapat dilakukan apabila opsi terapung dipilih karena biayanya lebih murah
dibandingkan membangun kilang darat. Nilai selisih Rp63 triliun itu sama dengan 6 kali
anggaran Kementerian-nya Bu Susi, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
4. Kilang darat diperkirakan akan membutuhkan 800 ribu tenaga kerja. Besar memang, tapi
kemungkinan Maluku hanya dapat menyediakan sekitar 200 ribu orang. Tingkat pencari
kerja di Maluku hanya 50 ribu. Sedangkan angka pengguran terbukanya 70 ribu.10
Penduduk Tanimbar pun hanya sekitar 120 ribu. Kalaupun terserap semua, belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Artinya akan ada migrasi besar besaran tenaga
kerja dari luar Maluku.
5. Pengadaan tanah 40 hektar untuk pembangunan logistic supply base saja diperkirakan
akan berlangsung lama, apalagi membebaskan 800 hektar? Lalu, berapa lama kita harus
menunggu untuk benar-benar bisa menikmati gas nya? Kilang terapung hanya butuh 3-5
tahun dibangun.
Jokowi Harus Konsisten
Karena lebih banyak dampak negatifnya, Ketua Umum Perkumpulan KANAL Maluku, Azis
Tunny, mengingatkan visi Nawa Cita Presiden Joko Widodo agar diterapkan dengan konsisten
dan menyeluruh.
“Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan menciptakan kesejahteraan masyarakat Maluku dan
Indonesia yang sejahtera secara berkelanjutan, Koalisi MASELA menegaskan dukungan kami
terhadap pengembangan teknologi kemaritiman, dalam hal ini pengembangan Kilang Terapung
dalam Pemanfaatan Blok Masela,” ujar Azis.
Bantahan Rizal Ramli
Sementara itu Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli berpendapat, banyaknya
argumentasi yang menyebutkan bahwa kilang terapung merupakan pilihan yang tepat, harus
ditelaah dengan seksama. Menurutnya, argumen yang beredar saat ini semuanya tidak dipahami
dengan jelas.
“Berbagai argumen teknis ini seolah-olah benar adanya. Namun di mata para ahli yang paham
betul teknologi migas, semuanya justru menjadi lelucon belaka,” ungkap Rizal di Jakarta,
kemarin.
Dia mengungkapkan, terkait informasi di bagian selatan Maluku yang disebut-sebut banyak
gempa, itu juga pantas untuk dicari kebenarannya. Karena, data sesimotektonik dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) menunjukkan, selama 200 tahun terakhir kawasan itu sama sekali tidak mengalami
gempa.
“Gempa memang terjadi, tapi itu lokasinya di bagian tengah dan utara Maluku,” tegas dia.
Selain itu, Rizal Ramli juga mengatakan, beberapa fakta justru menunjukkan kilang terapung
(FLNG) menyimpan banyak risiko. Antara lain, hingga kini di dunia belum ada FLNG yang
beroperasi. Satu-satunya proyek FLNG yang tengah dikerjakan adalah di Prelude, Australia,
dengan kapasitas hanya 3,6 juta ton/tahun dan beroperasi 2017. Sedangan di Masela,
kapasitasnya mencapai 7,5 juta ton/tahun.
“Dengan berbagai kelemahan dan risiko tersebut, masihkah kita akan memanfaatkan ladang gas
Masela dengan membangun kilang apung? Pada saat yang sama, begitu banyak benefit yang bisa
diraih jika pembangunannya dilakukan dengan menggunakan kilang darat,” pungkas dia.
January 27, 2016 M Ambari, Jakarta
Pro dan kontra pembangunan kilang gas di Blok Masela, Maluku, terus bergulir dan
menggelinding menjadi bola salju. Selain pihak yang menyatakan persetujuannya, ada juga yang
tetap bersikeras menolak rencana pembangunan tersebut. Pihak tersebut, adalah Koalisi Masela
yang berasal dari tokoh akademisi dan juga aktivis lingkungan di Maluku.
Dalam keterangan resmi yang diterima Mongabay, Koalisi Masela berpendapat, dalam
membangun kilang gas, sebaiknya diperhatikan juga perlindungan terhadap lingkungan
sekitarnya. Karenanya, pilihan yang tepat untuk membangun kilas gas di Blok Masela, adalah
dengan konsep terapung (off shore).
KIlang LNG Masela Maluku. Foto : maritim.go.id
Pilihan dengan konsep terapung, dalam penilaian Koalisi memiliki resiko yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan membangun di darat (on shore). Resiko tersebut, terutama berkaitan
dengan lingkungan sekitar. Berikut penilaiannya:
1. Tidak perlu dilakukan pipanisasi ratusan kilometer dari lokasi cadangan gas ke Kilang di
darat. Opsi ini akan menghindari perusakan biota laut dan terumbu karang yang valuasi
ekonominya tak terhingga.
2. Tidak perlu dilakukan pembukaan lahan 600-800 ribu hektar yang akan berujung pada
pembukaan hutan dan vegetasi tutupan lahan di lokasi kilang. Apabila lokasi kilang darat
di Tanimbar, maka beberapa spesies endemik Tanimbar akan dipastikan punah.
3. Laporan Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States
Geological Survey (USGS) dan earthquaketrack.com menunjukkan bahwa lokasi yang
akan dipilih sebagai lokasi kilang darat, dimana pipanisasi akan berujung, adalah wilayah
langganan gempa. Risiko terhadap ketahanan pipa dan keselamatan para pekerja di kilang
darat sangat tinggi.
Sementara, jika kilang gas dibangun di darat, maka dampaknya akan terasa seperti di bawah ini:
1. Hengkangnya investor. Investor datang dan berdiskusi sejak tahun 1998 memang dalam
rangka mengembangkan Kilang Terapung (FLNG), bukan berpikir darat. Pilihan bagi
mereka adalah: Terapung atau tidak sama sekali. Apabila kita memaksa dengan opsi
darat, itu sama dengan melambaikan tangan tanda perpisahan kepada para investor.
2. Risiko kerusakan lingkungan. Valuasi terhadap terumbu karang, spesies endemik dan
hutan dan vegetasi tutupan yang ada di Tanimbar sangat mahal. Menurut sebuah laporan,
Deforestasi seluas 1,4 juta hektar di Kalimantan sama dengan total kerugian negara
sebesar Rp31,5 triliun. Artinya kehilangan 800 hektar akan sama dengan kehilangan
Rp18 triliun. Belum lagi valuasi terhadap biota laut dan spesies endemik yang sebenarnya
tidak terbandingkan ditukar dengan uang sebesar apapun apabila ada opsi lain yang lebih
ramah lingkungan.
3. Ditambah dengan kerugian akibat gagal menghemat Rp63 triliun (atau USD4,5 miliar)
yang dapat dilakukan apabila opsi terapung dipilih karena biayanya lebih murah
dibandingkan membangun kilang darat. Nilai selisih Rp63 triliun itu sama dengan 6 kali
anggaran Kementerian-nya Bu Susi, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
4. Kilang darat diperkirakan akan membutuhkan 800 ribu tenaga kerja. Besar memang, tapi
kemungkinan Maluku hanya dapat menyediakan sekitar 200 ribu orang. Tingkat pencari
kerja di Maluku hanya 50 ribu. Sedangkan angka pengguran terbukanya 70 ribu.10
Penduduk Tanimbar pun hanya sekitar 120 ribu. Kalaupun terserap semua, belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Artinya akan ada migrasi besar besaran tenaga
kerja dari luar Maluku.
5. Pengadaan tanah 40 hektar untuk pembangunan logistic supply base saja diperkirakan
akan berlangsung lama, apalagi membebaskan 800 hektar? Lalu, berapa lama kita harus
menunggu untuk benar-benar bisa menikmati gas nya? Kilang terapung hanya butuh 3-5
tahun dibangun.
Jokowi Harus Konsisten
Karena lebih banyak dampak negatifnya, Ketua Umum Perkumpulan KANAL Maluku, Azis
Tunny, mengingatkan visi Nawa Cita Presiden Joko Widodo agar diterapkan dengan konsisten
dan menyeluruh.
“Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan menciptakan kesejahteraan masyarakat Maluku dan
Indonesia yang sejahtera secara berkelanjutan, Koalisi MASELA menegaskan dukungan kami
terhadap pengembangan teknologi kemaritiman, dalam hal ini pengembangan Kilang Terapung
dalam Pemanfaatan Blok Masela,” ujar Azis.
Bantahan Rizal Ramli
Sementara itu Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli berpendapat, banyaknya
argumentasi yang menyebutkan bahwa kilang terapung merupakan pilihan yang tepat, harus
ditelaah dengan seksama. Menurutnya, argumen yang beredar saat ini semuanya tidak dipahami
dengan jelas.
“Berbagai argumen teknis ini seolah-olah benar adanya. Namun di mata para ahli yang paham
betul teknologi migas, semuanya justru menjadi lelucon belaka,” ungkap Rizal di Jakarta,
kemarin.
Dia mengungkapkan, terkait informasi di bagian selatan Maluku yang disebut-sebut banyak
gempa, itu juga pantas untuk dicari kebenarannya. Karena, data sesimotektonik dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) menunjukkan, selama 200 tahun terakhir kawasan itu sama sekali tidak mengalami
gempa.
“Gempa memang terjadi, tapi itu lokasinya di bagian tengah dan utara Maluku,” tegas dia.
Selain itu, Rizal Ramli juga mengatakan, beberapa fakta justru menunjukkan kilang terapung
(FLNG) menyimpan banyak risiko. Antara lain, hingga kini di dunia belum ada FLNG yang
beroperasi. Satu-satunya proyek FLNG yang tengah dikerjakan adalah di Prelude, Australia,
dengan kapasitas hanya 3,6 juta ton/tahun dan beroperasi 2017. Sedangan di Masela,
kapasitasnya mencapai 7,5 juta ton/tahun.
“Dengan berbagai kelemahan dan risiko tersebut, masihkah kita akan memanfaatkan ladang gas
Masela dengan membangun kilang apung? Pada saat yang sama, begitu banyak benefit yang bisa
diraih jika pembangunannya dilakukan dengan menggunakan kilang darat,” pungkas dia.