Adat dan Budaya Masyarakat Tenganan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam
kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh
nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu
sendiri. Identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali
sendiri dan ada pula yang datang dari pulau Jawa. Penduduk asli daerah Bali
berasal dari keluarga besar Autronesia dan diperkirakan telah masuk ke Pulau
Bali dua abad SM dan penduduk ini bertempat tinggal di desa tradisonal yang
dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga. Dalam perkembangan berikutnya barulah
masuknya orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe Desa Apanaga.
Orang-orang Bali yang termasuk ke dalam kelompok Bali Aga adalah
mereka yang berdiam di Pulau Bali mendahului orang Bali Apanaga. Ini
bermaksud untuk memberikan keterangan tentang orang Bali dengan kebudayaan
Pra Hindu dengan orang Bali dengan Kebudayaan Hindu. Perbedaan ini terutama
pada faktor geneologis dan faktor budaya. Perbedaan faktor geneologis, yaitu
orang Bali Aga adalah termasuk ke dalam orang Bali Apanaga ditambah dengan
orang Bali keturunan Mongoloid. Sedangkan orang Bali Apanaga atau orang Bali
dataran Jawa Hindu yang datang ke Bali melalui persebaran penduduk ekspedisi,

seperti ekspedisi Singasari 1284 M dan ekspidisi Gajah Mada tahun 1343 M.

1

Perbedaan faktor budaya, sangat terlihat jelas antara Desa Bali aga dan
Desa Apanaga karena pada umunya Desa Bali Aga terletak di daerah-daerah
pegunungan yang sangat jauh dengan hirup-pikuk perkembangan kehidupan,
seperti di Karangasem, yaitu Desa Tenganan. Unsur kebudayaan pada daerah ini
masih terasa kental karena menarik, unik, dan berbeda dengan daerah Bali
lainnya. Kebudayaan yang dimaksud adalah unsur budaya kesenian. Depdiknas
(2006: 5) menyatakan, kesenian merupakan bagian dari budaya dan merupakan
sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa
manusia.Kesenian yang ada di Desa Tenganan mempunyai cirri khas tersendiri
karena pada umumnya Desa Bali Aga tidak terlalu kaku untuk menerima
perubahan tetapi mereka tetap menjujung tinggi tradisi turun-temurun nenek
moyang dan leluhur masing-masing.
Dalam mempelajari kebudayaan asli maupun kebudayaan yang telah
bercampur dengan kebudayaan lain sesuai perkembangan zaman tentunya yang
kita pelajari adalah suatu peninggalan sejarah kebudayaan yang nyata dan tetap
menyimpan makna sendiri dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Sejarah nyata

dari suatu kebudayaan dapat berupa karya seni berbagai bentuk. Oleh karena itu,
perlu menganalisis kesenian-kesenian yang ada di Desa Tenganan dengan
mengetahui sejarah, fungsi, keunikan kesenian tersebut.

Seperti halnya,

kebudayaan kesenian tersebut tetap dijaga dengan mengedepankan seni untuk
menjunjung nenek moyang, leluhur dan Tuhan yang Maha Kuasa.

2

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah,
antara lain :
1.

Bagaimana Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan?

2.


Bagaimana

Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain Tenun

Gringsing?
3.

Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Perang Pandan?

4.

Bagaimana Keunikan Kesenian Seni Lukis Prasi?

5.

Bagaimana Keunikan Kesenian Arsitektur Bangunan?

1.3 Tujuan Penulisan
1.


Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan.

2.

Untuk Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain
Tenun Gringsing.

3.

Untuk Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian Perang Pandan.

4.

Untuk Mengetahui Keunikan Kesenian Senu Lukis Prasi.

5.

Untuk Mengetahui Keunikan Kesenian Arsitektur Bangunan.

3


1.4 Metode Penulisan
Untuk Menyelesaikan makalah ini, penulis menggunakan metode
penulisan pustakan karena makalah ini disusun dari data – data pustaka baik
berupa buku ataupun internet.

1.5 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat
Tulisan ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui
bagaimana peran masyarakat asli untuk melestarikan kebudayaan asli setempat,
seperti kesenian dan system tatanan kehidupan masyarakat daerah setempat.
Tulisan ini juga dapat digunakan untuk menambah kecintaan masyarakat terhadap
arsitektur dan keunikan budaya tradisonal asli masyarakat Bali. Sehingga timbul
rasa memiliki dan kebanggaan.
2. Bagi penulis
Dengan melakukan penulisan ini, penulis mendapat banyak informasi
mengenai budaya- budaya seni desa Tenganan dan system tatanan kemasyarakatan
sebagai desa tradisional wisata serta, memotivasi penulis untuk lebih mencintai
kebudayaan Bali.


4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Desa Tengan
Tenganan adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Desa
Tenganan merupakan salah satu desa Bali Aga. Bali Aga adalah desa yang masih
mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan
tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar
bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat
dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.
Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata
"tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih
dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari
daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit
Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).


2.1.1 Masyarakat Desa Tenganan
Sejarah lain mengatakan bahwa keberadaan Desa Tenganan ini terkait erat
dengan keberadaan Raja Mayadanawa yang berpusat di Bedahulu. Mayadanawa
disebutkan sebagai raja yang congkak dan tidak mau mengakui keberadaan Tuhan.
Masyarakatnya juga dilarang melakukan ritualisasi kepada Tuhan. Akibat ulahnya

5

tersebut, para Dewa di khayangan menjadi marah. Lalu, para dewa melakukan
rapat di Gunung Agung. Hasilnya, Dewa Indra selaku dewa perang diutus ke bumi
untuk memerangi Mayadanawa. Singkat cerita, dalam perang antara dewa Indra
dengan Mayadanawa, raja berperangai raksasa itu kalah. Untuk merayakan
kemenangannya itu, Indra bermaksud melaksanakan upacara Aswameda Yadnya.
Dalam upacara menurut versi ini, Indra akan menggunakan seekor kuda putih
yang bernama Ucchaih Srawa oang Bali menyebutnya Once Srawa untuk
dijadikan kurbannya.
Kebetulan sekali, kuda ini digunakan Indra saat memerangi Mayadanawa.
Tahu dirinya akan dijadikan kurban, kuda yang sakti tersebut langsung melarikan
diri dari Bedahulu. Untuk mencari kudanya yang hilang, Indra akhirnya mengutus
orang-orang Tenganan (ketika itu orang Tenganan masih tinggal di Bedahulu

dekat Pejeng) untuk mencari kuda putihnya yang akan dijadikan kurban
Aswameda.
Kelompok pencari kuda tersebut dibagi dua kelompok. Mereka mencari
memencar dengan arah berlawanan. Satu kelompok mencari kearah utara, satunya
lagi menuju timur. Kelompok yang menuju ke timur sangat beruntung karena
berhasil menemukan kuda tersebut walaupun dalam keadaan mati. Kuda tersebut
mereka

temukan

dilereng

bukit

Tenganan.

Kelompok yang menemukan kuda ini tidak mau kembali ke Bedahulu.
Indra yang mengetahui kejadian itu akhirnya memberikan wilayah disekitar
bangkai kuda tersebut kepada kelompok yang menemukannya. Dengan syarat,


6

sejauh mana bangkai kuda itu tercium, sejauh itu wilayah yang dihadiahkan.
Akhirnya, karena ingin mendapatan wilayah yang luas, bangkai kuda tersebut
langsung dipotong-potong dan dibawa sejauh mereka bisa berjalan. Keadaan
inipun diketahui oleh Indra. Lalu, Indra memanggil orang-orang tersebut. Tempat
dari mana Indra memanggil orang tersebut kini berdiri sebuah Pura yang bernama
Pura Batu Madeg yang tempatnya disebelah pos Polisi Candidasa. Sedangkan
ditempat orang yang membawa bangkai kuda tepatnya berbatasan dengan Desa
Macang kini menjadi Pura Pengulapan. Kedua pura ini disungsung oleh Desa
Tenganan.
Sampai saat inipun, Tenganan dengan masyarakat Bedahulu masih ada
hubungan. Setiap sasih Kapat kalender Tenganan, masyarakat Bedahulu pasti
melakukan persembahyangan ke Tenganan. Demikian juga Tenganan pada bulan
yang ditentukan menurut kalender Tenganan akan melakukan persembahyangan
ke Bedahulu. Peran Dewa Indra yang sangat besar dalam kejadian tersebut
membuat warga Tenganan menjadi penganut Indra. Ini dibuktikan dengan adanya
perang

pandan


yang

merupakan

ritual

kepada

Indra.

Sementara itu, versi lainnya dikatakan oleh Sadra agak dekat dengan
sejarah. Keberadaan Tenganan menurut versi ini dimulai dengan ketegangan antar
sekta yang ada di Bali ketika pemerintahan Raja Udayana Warmadewa. Ketika itu,
di Bali ada banyak sekta. Sekta inipun saat itu nampaknya tidak pernah akur dan
sarat dengan intrik politik. Raja Udayana Warmadewa yang khawatir dengan
kondisi ini langsung bersikap. Raja mengundang Mpu Kuturan yang merupakan

7


penganut Buddha sebagai mediator. Pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga
yang artinya pertemuan tiga unsure yang terdiri Raja, sekta-sekta di Bali dan Mpu
Kuturan sebagai mediator. Tempat melakukan pertemuan tersebut kini menjadi
Pura Samuan Tiga yang ada di Bedahulu, Gianyar.
Berkat campur tangan Mpu Kuturan, keributan sekta-sekta tersebut bisa
diredam dan menghasilkan paham Siwa. Untuk menyatukannya, maka
dibangunlah Pura Besakih yang secara politis dinilai sebagai pemersatu
masyarakat

dari

banyak

Sekta.

Pada dasarnya, orang Tenganan menerima keputusan tersebut. Namun tidakah
sepenuhnya. Bukti penerimaan dapat dilihat adanya bangunan pura Khayangan
tiga dalam desa tersebut. Tetapi, masyarakat Tenganan lebih banyak ritualnya
ditujukan kepada Indra. ‘’Orang-orang Tenganan itu penyembah Indra. Mereka
kan

orang

Arya

dari

bangsa

Ksatrya’’ujar

Sadra

saat

itu.

Namun demikian, menurut penemuan ilmiah. Pada tahun 1978, seorang
ilmuwan asal Swis bernama George Breguet pernah melakukan studi genetika di
Tenganan. Hasilnya, darah warga Tenganan ternyata memiliki kesamaan dengan
darah orang Calkutta, India tepatnya dari Orisa, Benggali. Bukti lainnya yang
menguatkan orang Tenganan ada hubungan dengan India yakni adanya tenun
dobel ikat. Menurut Sadra, tenun ini hanya ditemukan ditiga lokasi yakni India,
Jepang dan Tenganan (Indonesia). Bukti lainnya, di tanah Benggali hingga saat ini
juga masih ditemukan ritual Bali Yatra yaitu perjalanan suci orang-orang Orissa

8

ke Bali.corak kain Gringsing yang ada di Tenganan juga sangat mirip dengan
corak kain Gringsing yang dibuat orang Orissa.

2.2 Budaya Seni Kerajinan Kain Gringsing
Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang
dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun.
Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan
memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara
khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti 'sakit' dan sing yang berarti
'tidak', sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung
di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara,
seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan
dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.
2.2.1 Sejarah Kain Tenun Gringsing
Berdasarkan mitos, adanya kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra,
pelindung dan guru kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum
dengan keindahan langit di malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut
melalui motif tenunan kepada rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu
mengajarkan para wanita untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang
melukiskan dan mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan
langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap alami digunakan masyarakat
Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya memiliki kekuatan
magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu menyembuhkan

9

penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyatakan bahwa teknik
penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu
Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.
Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul
Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan
dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra
merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa
teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan
mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan
lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun
patola untuk dikembangkan di Indonesia.

Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan
dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan
alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji
satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa
didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami
proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan
pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga
maksimum satu tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari.
Semakin lama perendaman, benang akan makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri (Aleurites moluccana) diambil langsung di hutan Tenganan
dan pembuat kain gringsing harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang,
10

serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang
menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan
durian) yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh
pemiliknya, melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.
Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi
pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang
akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat
oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan
menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan
akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan
pewarnaan yang sesuai.
Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi
lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun
ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi
hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus
ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi akan
bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang
terlihat tegas.

11

2.2.2 Pewarna
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu.
Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah
'babakan' (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang
dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah,
minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu
kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.

2.2.3 Motif
Konon, dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun,
hingga saat ini yang masih dikerjakan hanya beberapa saja, di antaranya adalah:


Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai

busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa
macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang
(tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa
(satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah),
dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).


Sanan Empeg, dicirikan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng

berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing bermotif ini adalah sebagai
sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi

12

masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar desa
Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang
melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
Cecempakaan, dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi



sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing
Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh),
Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24
benang).


Cemplong, dicirikan dengan bunga besar di antara bunga-bunga

kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi
cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan
upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang),
senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40
benang) yang sudah hampir punah.


Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian

kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk sarana upacara dan
kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).


Wayang, terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing wayang

putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan
hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu hitam
sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk sosok
wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan tersebut diperlukan

13

ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan penenunan
kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan
wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.



Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak

besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk
(ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.
Motif-motif kuno kain gringsing lainnya yang masih dikenal meliputi:
Teteledan, Enjekan Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding Ai,
Dinding Sigading, dan Talidandan. Warna dan keunikan desain ikat mulai
mengalami perubahan dibandingkan dengan motif kain-kain kuno yang sebagian
tersimpan di museum-museum di Eropa, seperti Museum Basel, Swiss. Pada
tahun 1972, kelompok peneliti dari Museum Fur Volkerkunde, Basel, membawa
foto-foto kain gringsing yang sebagian sudah tidak ditemukan lagi di Desa
Tenganan. Foto-foto tersebut dipelajari dan dibuat kembali oleh masyarakat
Tenganan untuk melestarikan motif-motif kuno kain grings

14

2.3 Budaya Seni Geret Pandan (Perang Pandan)
Perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan,
Kecamatan Karangasem, Bali. Perang pandan juga disebut dengan istilah makerekere. Upacara perang pandan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik wisatawan
dalam negeri maupun wisatawan asing. Peran pandan merupakan salah satu tradisi
yang dilakukan untuk menghormati dewa Indra atau Dewa perang. Perang pandan
merupakan bagian dari ritual Sasihh Sembah. Sasih sembah ialah ritual terbesar
yang ada di Desa Tenganan.
2.3.1 Sejarah Perang Pandan
Masyarakat Desa Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dari
umumnya masyarakat Bali. Masyarakat di Desa Tenganan menganut agama Hindu
Indra. Pemeluk agama Hindu Indra tidak membedakan umatnya dalam kasta.
Mereka juga menempatkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi. Masyarakat
Tenganan percaya bahwa desa yang mereka tempati merupakan hadian dari Dewa
Indra.
Jaman dahulu daerah Tenganan di pimpin oleh seorang raja yang kejam
bernama Maya Denawa. Maya Denawa menganggap dirinya sebagai seorang
Dewa. Selain menganggap dirinya Dewa, Maya Denata juga melarang masyarakat
Tenganan untuk melakukan ritual keagamaan. Pengakuan Maya Denata sebagai
dewa membuat murka para Dewa, kemudian Dewa Indra diutus untuk melawan
Maya Denata. Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra dimenangkan oleh
Dewa Indra. Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra tersebut kini di

peringati masyarakat Desa Tenganan dengan upacara perang pandan, karena Dewa
Indra adalah dewa perang.
2.3.2 Tempat Dilaksanakannya Perang Pandan
Upacara perang pandan dilaksanakan di Desa Tenganan. Tenganan adalah
salah satu desa tertua yang ada di pulau Bali. Desa ini dikelilingi oleh bukit seperti
benteng. Ritual perang pandan dilakukan di depan balai pertemuan desa
Tenganan.
2.3.3 Waktu Pelaksanaan
Perang pandan dilakukan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam
penanggalan desa adat Tenganan. Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih
selama dua hari berturut-turut. Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun
sekali. Perang pandan dilaksanakan mulai dari jam 2 sore hingga selesai selama
tiga jam.

2.3.4 Alat
Tradisi perang pandan, dilakukan dengan menggunakan pandan berduri
sebagai alat atau senjata untuk berperang. Pandan berduri yang digunakan adalah
pandan yang sudah diikat sehingga berbentuk seperti gada. Peserta perang pandan
juga sebuah tameng. Tameng tersebut digunakan untuk melindungi diri dari
serangan lawan. Tameng yang digunakan pada perang pandan terbuat dari rotan
yang dianyam.

Perang pandan diiringi musik gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di
daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. Alat
musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu
saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak
boleh menyentuh tanah.
2.3.5 Peserta
Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan.
Pemuda dari dalam desa berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan
pemuda dari luar desa sebagai peserta pendukung. Anak-anak yang sudah mulai
beranjak dewasa juga sudah turut ambil bagian dalam upacara ini. Upacara ini
juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa.
2.3.6 Urutan Acara
Upacara perang pandan didahului dengan mengelilingi desa sebagai wujud
permintaan keselamatan kepada Dewa. Setelah mengelilingi desa, kemudian
dilanjutkan ritual minum tuak bersama. Tuak kemudian di kumpulkan bersama
dan dibuang di sebelah panggung. Pemangku adat akan memberikan aba-aba
tanda perang dimulai. Perang dilakukan berpasangan yaitu sejumlah dua orang.
Peserta perang pandan akan menari-nari dan sesekali menyabetkan pandan berduri
pada peserta lainnya sealam datu menit lalu bergantian dengan pasangan lain.
Meskipun tubuhnya berdarah, pada peserta tetap terlihat senang karena hal itu
adalah salah satu ungkapan syukur mereka dan cara menghormati Dewa Indra.
Setelah perang selesai peserta yang terluka diolesi ramuan tradisional yang terbuat
dari kunyit. Acara selanjutnya setelah perang usai adalah melakukan sembahyang

di pure. Meskipun peserta terluka tetapi tidak ada dendam di antara peserta. Hal
tersebut disimbolkan dengan makan bersama yang menunjukkan kebersamaan.
Acara tersebut dinamakan megibung.

2.3.7 Pakian
Peserta perang pandan memakai pakaian adat Tenganan yang bernama
kain tenun Pegringsingan. Masyarakat pria hanya menggunakan sarung atau
disebut kamen, selendang atau disebut saput, dan ikat kepala atau udeng. Pria
tersebut tidak mengenakan baju alias bertelanjang dada.

2.4 Seni Lukis Prasi (Seni Lontar)

Seni lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali,
termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan
mempunyai karakteristik tersendiri. Bahan dasar terbuat dari daun lontar yang
sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Seni lukis prasi yang terbuat dari daun
lontar dengan gambar ilustrasi wayang di dalamnya, merupakan transpormasi dari
naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya, yang ditulis atau
digambar dengan menggunakan pisau khusus yang disebut pangrupak.
Untuk menyingkap rahasia maupun kekhususan dari cara pembuatan
lukisan prasi, harus dikaji dan dicermati proses keseluruhan, mulai dari

menyiapkan/pengolahan bahan baku, peralatan yang dipakai, teknik menulis pada
daun lontar (teknik menggambar) penulisan sampai pewarnaannya.
2.4.1 Pengolahan Bahan
Bahan utama sebagai dasar untuk membuat gambar prasi adalah daun
lontar. Istilah lontar dan rontal di Bali umumnya disamakan. Lontar adalah bentuk
metatesis dari kata rontal. Kata rontal terdiri dari dua patah kata, yaitu ron dan tal.
Kata ron dan tal itu termasuk bahasa Jawa Kuna yang diperkirakan sudah ada
sebelum jaman Raja Balitung, awal abad ke-10. Ron artinya daun, dan tal artinya
pohon. Kata rontal dan lontar itu sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia
umum (Suwidja, 1979:1).
Dengan begitu, sebutan daun rontal dipakai untuk menyebut daun dari
pihon lontar yang sebelum dipergunakan sebagai bahan tulis. Sedang setelah ia
dipakai sebagai bahan tulis seperti tulisan naskah kakawin, kidung, dan
gegambaran, maka ia disebut lontar. Maka muncul pula nama atau istilah yang
memakai kata “Pustaka Lontar” maupun “budaya lontar”.
Untuk mengenal lebih dekat tentang bahan baku khususnya lontar di Bali,
sebaiknya terlebih dahulu diketahui tentang daun lontar itu sendiri. Daun rontal
sebagai bahan baku utama seni lukis prasi dihasilkan oleh pohon rontal (barrosus
sundaicus), termasuk keluarga palma (palmacase) Pohon ini tumbuh di daerah
tropis dengan keadaan tanah yang kering serta curah hujan yang rendah/jarang
(Suwidja, 1979:2).
Kabupaten Karangasem yang terletak paling Timur pulau Bali, yang
merupakan kabupaten mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan di atas,

yaitu musim kemaraunya panjang, banyak lahan yang mengalami kekeringan dan
tandus. Di wilayah kabupaten Karangasem, ada dua kecamatan, yaitu kecamatan
Abang dan kecamatan Kubu, yang memiliki lahan tanaman pohon rontal yang
persebarannya cukup luas. Hampir semua desa-desa yang wilayahnya berbatasan
dengan kedua wilayah kecamatan tersebut banyak tumbuh pohon lontar. Di
antaranya, desa Datah, kecamatan Abang dan desa Kubu serta desa Tianyar yang
merupakan wilayah perbatasan antara kabupaten Karangasem dengan kabupaten
Buleleng. Di wilayah desa tersebut, didominasi oleh jenis tumbuhan pohon rontal
dibandingkan dengan jenis tumbuhan yang lainnya. Tumbuhnya pohon rontal
secara liar, tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui pembudidayaan. Daun rontal,
biasanya dijual ke tempat-tempat pembuatan seni lukis prasi oleh penduduk desa
penghasil daun rontal. Salah satu di antaranya adalah desa Tenganan
Pegringsingan.
Sebagai dasar menulis maupun menggambar, ternyata daun rontal sudah
menjadi tradisi jaman dahulu. Jaman dahulu oleh karena di Nusantara belum ada
kertas maka daun lontar dipakai alat tulis menulis. Adapun cara dan peraturan
membuat kertas dari daun rontal , sudah ditulis oleh pujangga Indonesia pada
jaman dahulu kala. Yang berarti pula daun rontal itu sudah dipergunakan dari
sejak jaman dahulu di Nusantara termasuk Bali sebagai alat tulis maupun
menggambar (Suwidja, 1979: 3).
Untuk menghasilkan bahan yang siap pakai dalam menggambar prasi,
daun rontal sebelum di gunakan harus diproses atau diolah terlebih dahulu. Dalam
pengolahan bahan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian agar diperoleh

hasil sesuai yang diinginkan. Untuk itu, dipilih daun rontal yang serat-seratnya
halus dan permukaannya yang mulus. Daun rontal yang baik untuk melukis prasi
adalah rontal taluh ( ental taluh) yang mempunyai serat-serat yang halus, lebih
lebar dan panjang.
Pada umumnya di Bali dikenal tiga jenis rontal/ental, yaitu: (1) Ental
Taluh, yang memiliki serat halus, lebih lebar dan panjang. Apabila ditulisi dengan
alat pangrupak suaranya sangat ringan atau halus. (2) Ental Guak, memiliki setar
agak kasar, lebar dan pangjang sedang, saat dipakai digores dengan alat
pangrupak menimbulkan suara yang lebih keras, karena seratnya lebih kasar,
harus ditekan lebih kuat. (3) Ental Kedis, serat-seratnya halus tetapi ukurannya
terlalu kecil, panjang dan lebarnya kurang memadai. Bila digores hasilnya sama
dengan Ental Taluh halus dan lembut. Hanya bisa digunakan untuk gambar yang
berukuran kecil (Suwidja, 1979: 5).
Cara pengolahan daun rontal di Tenganan Pegringsingan dilakukan secara
turun temurun. Daun rontal yang baru dibeli atau dipetik dari pohonnya,
kemudian dijemur selama satu sampai dua hari sampai agak kering (Bali:
alumudang). Kemudian semua lidi-lidi yang terdapat pada daun diambil atau
dihilangkan. Setelah dihilangkan lidi-lidinya daun rontal kemudian dipotong
ujung-ujungnya atau bagian yang tidak bisa dipergunakan, misalnya bagian yang
cacat atau robek.
Selanjutnya daun direndam dalam air tawar selama 3 – 4 hari, kemudian
dikeringkan dengan cara menganginkan atau membiarkan dalam keadaan terbuka
pada tempat yang teduh. Setelah kering dipotong kedua ujungnya serta tulang

(lidi) daun dibuang sehingga diperoleh lembatan-lembaran yang rapi memanjang
dengan ukuran tertentu, yang siap untuk proses berikutnya.
Untuk menghilangkan zat hijau daunnya, direndam dengan air tawar
selama tiga sampai empat hari, kemudian dibersihkan dengan sikat (sepet) yang
dibuat dari sabut kelapa guna menghilangkan bintik-bintik dan kotoran-kotoran
lainnya. Apabila daun rontal tersebut sudah bersih benar, kembali dijemur selama
satu hari. Untuk membuat daun rontal menjadi lemas atau tidak kaku, dan
membikin warnanya supaya agak kuning kemerah-merahan (Bali: gading) daun
rontal harus rirebus. Waktu merebus, daun rontal yang sudah disiapkat digulung
rapi terlebih dahulu, kemuadian baru dimaksukkan ke dalam air yang mendidih.
Terlebih dahulu air telah dicampur dengan daun liligundi (Vitex trifolia L.),
gambir secukupnya dan kunyit warangan. Apabila air yang dipergunakan telah
mendidih sampai dua kali lalu diangkat ditiriskan dan dijemur sampai kering. Dan
bila ada kesulitan waktu meratakan (mungkin karena terlalu kering) maka perlu
ditaruh pada tempat yang teduh (Bali: dayuhin). Setelah agak lemas baru
diratakan dengan menyusunnya satu demi satu atau helai demi helai lalu di jepit
(dipres) dengan sebuah alat yang disebut blagbag selama kurang lebih 10 hari.
Selanjutnya, daun lontar direbus dalam air mendidih selama 3 jam, dan
sebagai bahan pengawet ditambahkan kulit pohon kelapa, kulit pohon kopi, kulit
pohon intaran, dan daun pepaya dalam jumlah disesuaikan dengan banyaknya air
rebusan. Adapun penggunaan dari bahan-bahan tambahan yang disebutkan,
disamping sebagai pengawet juga supaya lentur dan tidak mudah patah.

Proses berikutnya, daun lontar dicuci sampai bersih, dijemur dibawah
sinar matahari sampai benar-benar kering. Selanjutnya di pres dengan
menggunakan alat yang sederhana, terbuat dari balok kayu yang dirancang
sedemikian rupa, yang berfungsi mengencangkan permukaan daun lontar.
Daun lontar yang sudah disiapkan, sebelum ditulis atau diberi gambar,
masih perlu dirapikan, diberi lubang untuk lontar yang memakai tali. Pinggir
lontar diamplas dan diberi cat warna merah yang diramu sendiri oleh si seniman.
Warna merah yang dibuat disebut gincu, yang terdiri dari ramuan seperti: gambir
ditambahkan air secukupnya. Gambir setelah dicampur dengan air akan
memunculkan warna merah kekuningan yang disebut warna gincu.
Bahan pewarna, yang digunakan melukis prasi oleh para seniman di
Tenganan Pegringsingan menggunakan daging buah kemiri yang sudah dibakar.
Buah kemiri dikupas, dicari dagingnya kemudian dibakar sampai berwarna hitam.
Arang tersebut diambil digunakan untuk mewarnai. Warna yang dihasilkan sudah
tentu hitam sesuai dengan warna arang dari buah kemiri. Kemudian, diamkan
beberapa saat. Setelah itu, daun lontar pun siap dilukis.

2.5 Seni Arsitektur Bangunan Desa Tenganan
Pola permukiman desa Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem. Dengan
awangan, rumah tinggal warga desa tersusun linier dari Utara-Selatan dengan
pintu pekarangan/jelanan awang menghadap Barat atau Timur (Sumber: Hidratno
1973:Runa, 1993; Sudarma, 2003)

Lingkungan Desa Tenganan Pageringsingan, merupakan lingkungan
"tertutup" dengan masing-masing sebuah pintu pada setiap arah mata angin.
Untuk memasukinya, mesti melewati awangan yaitu rangkaian halaman depan
masing-masing pekarangan rumah tinggal. Ciri kekunoannya, tampak sedang
mengalami perubahan sangat mencolok, karena masyarakat tampak makin lama
makin bersifat pragmatis. Padahal di masa lalu, kegiatan hampir seluruh warga
Tenganan adalah kegiatan peribadatan; tak ada tanah milik pribadi, yang ada
adalah tanah desa.
Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali (ciri kebudayaan
megalitik) makin ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang satu dengan
awangan lainnya yang saling berhadapan adalah sebuah selokan air yang disebut
boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-masing pekarangan
rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1 m - 1,5 m yang disebut teba pisan.
Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari utara ke selatan adalah 3 buah yaitu
awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan utama
didirikan paling banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci),
awangan tengah, dan awangan kangin (Timur) (Hidratno 1973: 2-17, Runa, 1993:
83 dalam Sudarma, 2003:30).
Perubahan: dahulunya digunakan untuk menyimpan alat-alat upacara
dan pertanian tapi sekarang digunakan untuk memajang barang dagangan.
Dulu padi yang ditanam adalah padi lokal yang tahan lama disimpan,
tetapi dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian maka padi yang ditanam
tidak tahan lama disimpan sehingga jineng (kumbung) menjadi kosong) dan

mungkin lama kelamaan hilang; kalau pun ada, bisa jadi bukan gabah bakal
beras yang disimpan, tetapi barang kerajinan bakal dolar industri wisata seperti
gambar di atas.
Dengan demikian maka awangan adalah halaman luar dari rumah tinggal,
ruang sosial sekaligus sebagai jalan. Sedangkan teba sebagai halaman belakang
letaknya di belakang dapur (paon) sehari-harinya merupakan tempat membuang
kotoran dan memelihara babi. Kapling bangunan yang dipakai sebagai tempat
tinggal disebut pekarangan yang terletak di tengah antara awangan dan teba.
Menurut tradisi tutur adalah desa “keturunan prajurit Majapahit” (Pangarsa,
1992). Bisa jadi, tradisi permukiman Bali Aga dan Majapahit, sebetulnya tak
berbeda jauh.
Dalam satu pekarangan ada beberapa tipe bangunan (bale-bale). Pintu
masuk (jelanan awang atau kori ngeleb), bale buga (tempat upacara dan tempat
menyimpan benda keramat milik desa, peralatan upacara/pertanian, serta tempat
tidur orang tua), bale tengah (tempat upacara kelahiran /tebenan, upacara
kematian/luanan; untuk tempat tidur, menerima tamu, menenun, dan duduk�duduk
ada "bale tambahan" yang disebut pelipir), paon termasuk pintu belakangnya,
serta sangah kelod (tempat sembahyang dan sesajen untuk Brahma/Pertiwi di
pojok Barat Laut, Wisnu/Betara Majapahit di Tenggara, dan Siwa/Hyang Guru di
atas) merupakan bangunan-bangunan wajib yang harus dimiliki oleh tiap-tiap
keluarga dengan berbagai ketentuan desa menyangkut letak, bentuk, serta
bahannya, sedangkan bangunan lainnya seperti bale meten, kamar mandi/wc, dan

sangah kaja (pesimpangan) merupakan bangunan tidak wajib atau dapat didirikan
bangunan-bangunan lain sesuai dengan kehendak masing-masing keluarga.
Bale tengah. Bagian depannya untuk menyemayamkan jenasah, bagian
belakang untuk melahirkan, bagian atasnya sebagai tempat menaruh padi kering
(Modifikasi, Runa, 1993: 115; Sudarma, 2003:43).Sekarang fungsinya bertambah
sebagai tempat memajang barang-barang seni serta bagian belakang sebagai
tempat tidur sehari-hari.
Sejalan dengan tata fisik lingkungan desanya, maka tata, fisik masingmasing rumah tinggalnya juga menghasilkan terapan konsep dasar arsitektur
tradisional yang sama, misalnya: bangunan-bangunan suci (bale buga, sanggah
kelod, dan sanggah pesimpangan) letaknya di depan dekat awangan sebagai
Utama Mandala, semakin ke pinggir terletak bangunan tempat tinggal (bale
tengah dan bale meten) sebagai Madia Mandala, sedangkan paling di pinggir
bangunan servis (paon dan km/wc) sebagai Nista Mandala (Sudarma, 2003:41).
Adanya bangunan semi permanen pada sebagian besar natah/ pekarangan
mengakibatkan pekarangan yang relatif kecil tersebut terasa semakin sumpek.
Secara konsepsual, setelah tahun 1980-an, pola lingkungan Desa Adat Tenganan
Pegringsingan

belum

berubah.

Tapi

perubahan-perubahan

fisik

berupa

penambahan bangunan pada ruang desa dan pekarangan kini makin terasa.
Awangan tetap sebagai daerah bernilai utama tempat sebagian besar bangunan
religius. Semakin ke daerah pinggir, terletak pekarangan rumah tinggal daerah
bernilai nista. Yang paling pinggir adalah kuburan. Fasilitas umum baru
cenderung bertambah sejalan dengan program-program pembangunan pemerintah.

Namun ada perubahan mencolok. Salah satu pengaruh adanya fasilitas umum baru
adalah berkurangnya pekarangan rumah tinggal desa karena pada pekarangan
yang kosong itulah pada umumnya fasilitas itu dibangun. Seperti bangunan rumah
tinggal guru di sebelah selatan gedung sekolah dasar, fasilitas tersebut tidak hanya
mengurangi pekarangan rumah tinggal milik desa, tapi juga merusak tatanan yang
ada karena dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi setempat. Beberapa
fasilitas umum baru lainnya (listrik, telepon, air bersih, parkir) dibangun sesuai
dengan pola lingkungan yang sudah ada.
Menjadi pedagang membawa konsekuensi: natah disiasati menjadi ruang
multifungsi sehingga menyebabkan di zona bale buga dibangun warung (gambar
atas). Bale buga menjadi lebih kecil
Pada umumnya tata letak bangunan-bangunan (bale-bale) dalam
pekarangan masih tetap mengikuti tata nilai Tri Mandala (utama-madia-nista).
Bale yang dikategorikan suci seperti buga dan sanggah terletak di depan dekat
awangan, bale profan seperti bale tengah dan meten terletak di tengah, sedangkan
bangunan pelayanan seperti paon (dapur), kamar mandi/wc, serta ruang cuci
terletak di belakang dekat teba. Pada beberapa pekarangan tempat berjualan
mendominasi bale-bale lainnya.
Perubahan: rumah adat: fungsi rumah sebagai rumah tinggal dan ruko
(ruang yang ada dalam rumah lebih banyak dipakai untuk kepentingan
perdagangan) dan terjadi pengaburan; zona natah berubah sebagai tempat
memajang barang-barang dagangan sehingga semua ruang seolah menempati
nilai madya/nista (Modifikasi Runa, 1993: 99 dalam Sudarma, 2003:42).

Unit-unit bangunan baru selain bale-bale dan sanggah seperti ruang tidur,
ruang kerja, tower air, dan gudang pada umumnya diletakkan di daerah nista.
Kamar mandi/wc yang dulunya terbuka, kini hampir semua berupa kamar
mandi/wc tertutup, letaknya di daerah nista sebelah selatan dapur. Bale meten
dalam fungsi komersial untuk mengantisipasi industri wisata
Di balik variasi tata fisik tersebut tampaknya tersirat adanya kelompok
status sosial: kelompok elit, kelompok terdidik, kelompok kaya serta kelompok
hamba desa (wong angendok jenek). Kelompok elit atau bangsawan, statusnya
tercermin pada bale buga yang besar (3 sela). Variasi perubahan unit-unit
bangunan mereka relatif kecil (sedikit).
Kelompok terdidik/berpendidikan lebih tinggi dibanding warga lainnya,
statusnya tercermin pada bangunan bale meten. Bale ini banyak berubah menjadi
bangunan "modern" seperti di kota. Mereka membangun bangunan yang ruangnya
kompleks, efisien, sistem strukturnya menyatu antara struktur utama, dengan
struktur sekundernya, berfasade tertutup, serta cenderung menggunakan. material
buatan. Pintu masuk pekarangan dilengkapi dengan ramp untuk memperlancar
keluar masuknya kendaraan bermotornya.
Kelompok kaya, statusnya tercermin pada langgam bangunan yang
digunakan yaitu langgam tradisional Majapahit dengan berbagai ornamen
berbentuk pepalihan pepatran dan kekarangan dari material kayu, batu padas, dan
batu bata. Pada beberapa rumah keseluruhan ornamen tersebut diukir. Tentu saja
langgam tersebut memerlukan biaya cukup besar. Ciri lainnya adalah banyaknya
barang dagangan dipajang pada bangunan, termasuk di halaman depan (awangan),

natah ditutup, papan nama dan secara keseluruhan variasi perubahan rumah
tinggalnya lebih besar dibanding kelompok elit desa.
Kelompok hamba desa (wong angendok jenek), yang ciri-cirinya antara
lain pada kualitas unit bangunan umumnya lebih rendah dibanding ketiga
kelompok sebelumnya. Tata letak dan dimensi bangunan sakral tidak sepenuhnya
mengikuti aturan desa adat setempat; seperti tata letak sanggah kelod, sanggah
kaja, bahkan pamerajannya, cenderung menggunakan material buatan yang murah
dan praktis. Langgam yang dipakai kebanyakan tanpa ornamen, sistem struktur
dan konstruksinya fungsional. Kelompok ini umumnya tinggal di Banjar Pande.

2.5.1 Budaya Arsitektur Desa Bali Aga Tenganan
Pola permukiman Desa Tenganan mengelompok di tengah-tengah desa,
dikelilingi oleh Bukit Kangin, Bukit Kauh dan Bukit Kaja. Sedangkan di selatan
merupakan pintu keluar desa menuju Sedahan, desa tetangganya. Secara umum,
struktur desa tersusun atas empat arah mata angin yang sekaligus merupakan
''lawangan''. Aktivitas kehidupan terletak pada bagian tengah, sementara sisi barat
dan timur difungsikan untuk kuburan, sisi utara sebagai sumber ekonomi atau
pertahanan pangan, dan sisi selatan difungsikan untuk pemujaan terhadap leluhur.
Permukiman terletak di sisi Barat Daya wilayah desa, menempati lahan
seluas 300x800 meter. Permukiman terdiri dari tiga banjar, leretan yaitu Banjar
Kauh di sebelah barat, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin atau Pande di sebelah
timur. Banjar Kauh dan Tengah adalah banjar ‘asli’ Tenganan Pegringsingan,
sementara Banjar Pande merupakan banjar yang dihuni warga yang pernah

melanggar aturan adat dan orang luar yang diminta desa adat tinggal untuk
keperluan upacara. Setiap warga Tenganan yang sudah menikah, terutama warga
Banjar Kauh dan Tengah diharuskan berpisah dengan orang tuanya dan
menempati rumah mereka sendiri yang dibangun di atas lahan kosong. Rumah
yang dibangun harus mengikuti struktur rumah Tenganan.
Desa yang luasnya sekitar 1500 hektar ini tetap mempertahankan
bangunan-bangunan penting dan rumah-rumahnya seperti aslinya, yatu tiga balai
desa dan rumah-rumah adat yang berderet dan sama persis satu dengan lainnya.
Sepanjang jalan setapak, terdapat ratusan rumah berderet berhimpitan. Hampir
semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau batu kali yang ditambal dengan
tanah. Uniknya, pintu masuk rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran satu
orang dewasa, dan bagian atas pintu menyatu dengan atap rumah yang terbuat dari
rumbia.

BAB III
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Bali adalah salah satu

pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada
ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu sendiri. Identitas kebudayaan
masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali disebut dengan Bali Aga.
Masyarakat Bali Aga terdapat di beberapa desa yang ada di Bali, seperti Desa
Tenganan. Kebudayaan yang terdapat di Desa Tenganan mempunyai karakter
tersendiri, seperti kebudayaan keseniaanya. Kesenian desa Tenganan unik dan
menarik. Kesenian itu, diantaranya seni kerajinan kain gringsing, seni prasi, seni
geret pandan, dan seni arsitektur bangunannya. Kesenian tersebut mempunyai
sejarah dan keunikan tersendiri.

3.2

Saran
Dari uraian di atas penulis dapat menyarankan bahwa, desa Bali Aga

mempunyai kesenian yang begitu menarik dan unik. Oleh karena itu, kita sebagai
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali harus tetap melestarikan dan
menjaga kesenian tersebut agar tidak punah dan di akui oleh orang lain. Selain itu,
kesenian-kesenian tersebut harus diturunkan ke generasi selanjutnya dengan tetap
mempertahankan kebudayaan, tradisi, dan adat istiadat yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Seni Budaya. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno.
Udayana University Press.
Sudarma. 2006. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Desa Tenganan. Denpasar.
Kayam Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta ; Sinar Harapan.
http://panjiindra2345.blogspot.com/2012/10/pengertian-kesenian_23.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_pandan
http://endrone.blogspot.com/2009/05/tenganan.html
http://e-kuta.com/blog/tempat-wisata/berwisata-di-desa-tradisional-tenganan.html
http://infoseputarbali.blogspot.com/2011/04/dimanakah-desa-tenganan-bali.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Tenganan,_Manggis,_Karangasem
http://www.alambudaya.com/2007/10/desa-tenganan-bali.html
http://1001indonesia.net/desa -tenganan/
http://www.balitoursclub.net/desa-tenganan/

LAMPIRAN GAMBAR

Kain Tenun Gringsing

Kain Tenun Gringsing

Perang Pandan

Perang Pandan

Perang Pandan

Megibung

Seni Lukis Prasi

Seni Lukis Prasi

Bangunan di Desa Tenganan

Bangunan di Desa Tenganan