Mengingat Kembali Bapak Jurnalis Indepen
Zia Dzulfia Fahmi
A.T, Pramoedya . 1985. Sang Pemula. Jakarta: Penerbit Hasta Mitra
1. Metodologi Penulisan
R.M. Tirto Adhi Soerjo selama ini hanya dikenal sebagai ‘Bapak Pers Nasional’,
seperti yang telah diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah Indonesia setelah berhasil
merebut kemerdekaan. Namun lewat rekaman sejarah, Pramoedya sadar bahwa peran
R.M. Tirto Adhi Soerjo lebih dari sekadar perintis pers. Buku ini merupakan sebuah
biografi perjalanan hidup seorang priayi Jawa yang lebih memilih untuk keluar dari
kebiasaan leluhurnya: mengemis jabatan pada pemerintah kolonial. Seperti yang kita
ketahui, setelah kebangkrutan kongsi dagang VOC pada abad ke-17, Indonesia mulai
diperkenalkan pada sistem pemerintahan modern di mana kedudukan raja atau sultan
tidak lagi kuat. Pemerintahan dipegang oleh Binennlandsch Bestuur dan Priayi sebagai
pegawai negeri. Kedudukan priayi yang sebelumnya rendah mulai diangkat oleh
pemerintah kolonial karena mereka dibutuhkan sebagai perpanjangantangan. Namun hal
tersebut tidak membuat ia lupa daratan. Di usianya yang masih muda ia telah menjadi
perintis banyak hal, bukan hanya dalam kemandirian pers pribumi, tetapi juga perjuangan
keadilan bagi rakyat kecil, perintis kewirasastaan pribumi, hingga penggagas gerakan
emansipasi wanita.
Buku ini ditulis dengan berdasarkan dokumen yang cukup banyak, seperti tulisantulisan Tirto Adhi Soerjo yang diterbitkan oleh surat kabar Pembrita Betawi, Soenda
Berita,Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, Putri Hindia, dan masih banyak lagi. Penulisan
buku ini menjadi suatu langkah awal yang penting untuk memberikan tempat yang layak
bagi Tirto Adhi Soerjo dalam sejarah modern Indonesia. Kehadirannya yang seringkali
tidak dianggap dalam perjalanan perjuangan bangsa, membuat Pram berpikir bahwa ia
harus memperjuangkan Tirto Adhi Soerjo yang belum mendapatkan keadilan sejarah.
Adapun menurut pembagiannya, buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah tulisan Pram sendiri, yang dimaksudkan sebagai pengantar, lalu bagian kedua
adalah kumpulan beberapa karya non-fiksinya yang diterbitkan di beberapa surat kabar
pada waktu itu, dan terakhir adalah kumpulan karya fiksinya. Keduanya, baik fiksi
maupun non-fiksi yang dicantumkan dalam buku ini, merupakan karya jurnalistik yang
sengaja dipilih agar membantu pembaca mengenal pribadi Tirto secara lebih cermat,
meliputi cita-cita politik dan estetiknya, tempat ia berpijak dan pemihakannya, aktivitas
dan produktivitasnya, emosi-emosi dan penalarannya, dengan kata lain: amal bakti bagi
bangsanya.
Lewat buku ini kita tidak hanya akan mengenal lebih dalam perjuangan seorang
jurnalis penggagas pers ‘dari pribumi untuk pribumi’, tetapi juga dapat mengetahui
banyak hal, diantaranya bagaimana peran dan sifat priayi-- yang saat itu dapat dikatakan
sebagai pegawai negeri—terhadap bangsanya sendiri, gagasannya tentang pergerakan
perempuan, pentingnya berwiraswasta dan memberikan bantuan hukum secara cumacuma, dan yang terpenting dan akan dibahas lebih lanjut: kemunculan pers pribumi
pertama serta perkembangannya dari sekadar saluran informasi, menjadi senjata
perlawanan terhadap ketidakadilan yang diterima pribumi kecil (dalam kasus ini, karena
biografi yang ditulis adalah Tirto Adhi Soerjo, maka surat kabar yang diangkat adalah
Soenda Berita dan Medan Prijaji)
2. Substansi Buku
a. Gambaran Singkat Sang Pemula
Lahir pada tahun 1875 di Blora, Jawa Tengah, Tirto adalah cucu dari R.M.T
Tirtonoto, seorang Bupati Bojonegoro yang dikenal baik lewat jasa-jasanya baik
untuk pemerintah kolonial maupun rakyat. Adapun yang dilakukannya untuk
kolonial adalah keberhasilannya memadamkan pemberontakan 40 serdadu Bugis.
Sedangkan bagi rakyat, ia telah berjasa dalam membudidayakan tembakau di
lembah Bengawan Solo, sehingga daerah endapan kwarter sungai yang awalnya
miskin kerontang menjadi sejahtera. Karena hal tersebut, Tirtonoto dijanjikan
karunia bintang oleh Komisaris Pemerintah, namun ia menolak karena ia merasa
itu memang sudah menjadi tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Dalam sistem
masyarakat yang sangat hierarkis, penolakan tersebut bisa menjadi petaka.
Pemerintah kolonial tersinggung akan penolakan yang diterima, terlebih
penolakan tersebut datang dari seorang pribumi asli. Maka setelah itu mereka
mulai mencari kesalahan Tirtonoto, dan memberhentikan dengan paksa ia dari
jabatannya sebagai bupati.Perlakuan ketidakadilan tersebut kiranya menjadi awal
pembentukan karakternya yang kuat dalam menentang ketidakadilan di kemudian
hari. Ia sempat bersekolah di STOVIA, namun tidak lulus karena kesibukannya
bekerja di surat kabar.
b. Priayi yang Bukan Priayi
Setelah kebangkrutan VOC, seperti yang kita ketahui, Indonesia mulai
diperkenalkan pada tata pemerintahan modern, yang dibawa oleh Daendles.
Pemerintahan modern menggeser kedudukan raja atau sultan yang sebelumnya
sangat kuat dalam tatanan masyarakat. Binnenlandsch Bestuur menggunakan
Priayi sebagai perpanjangan tangan untuk berhubungan langsung dengan rakyat
pribumi. Hal ini pada masa selanjutnya diterima dengan gembira oleh kasta priayi,
karena lewat jalan ini, mereka bisa memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai
pejabat pemerintah dan kekayaan yang luar biasa banyak. Pram menyebutkan,
bahwa kasta bangsawan-priayi merupakan golongan atas masyarakat yang
konsumtif, tidak produktif, dan terlebih tidak kreatif. Mereka kebanyakan
menggunakan jabatan sebagai alat memperkaya diri. Gelar menjadi sangat penting
dan begitu diidam-idamkan, seperti Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung.
Gelar ini selain membawa mereka setingkat dengan letnankolonel, juga membuat
kedudukan mereka semakin tinggi di mata rakyat. Dan inilah yang dibenci oleh
Tirto Adhi Soerjo. Ia sejak muda percaya bahwa seseorang, dalam bertahan hidup,
harus percaya pada diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, tidak takut akan
kemiskinan, dan tidak takut tidak berpangkat. Prinsip tersebut dipengaruhi oleh
perjalanan hidup kakeknya yang diberhentikan secara paksa dan tidak
diperbolehkan bepergian jauh, juga perjuangan neneknya, R.A Tirtonoto, dalam
mencari kebenaran dan keadilan atas perlakuan pemerintah terhadap mendiang
suaminya. Selain itu, pendidikan barat yang ia terima juga menjadi pembanding
atas kerakusan kastanya tersebut. setelah lulus dari sekolah dasar Belanda, ia
melanjutkan sekolah ke STOVIA dan meninggalkan Rembang menuju Betawi.
Sebagai seseorang yang lahir dari kelas bangsawan, pemilihan sekolah ini menjadi
fenomena langka pada masanya, karena golongan bangsawan atas biasanya
melanjutkan pelajaran ke sekolah untuk calom pegawai negeri. Sebuah persolan
yang mudah dipahami, karena dokter pada masa itu dikenal dengan pekerjaan
pengabdian, sedang pegawai negeri adalah pekerjaan memerintah. Pergaulan yang
semakin luas membuat ia melepas semua ikatan dan aturan ketat keluarga ningratpriayi. Dan tekadnya untuk berdiri di atas kaki sendiri tanpa mengemis pada
kolonial pun menjadi semakin kuat.
c. Tirto Adhi Soerjo dalam Pers Sebelum 1900
Terjunnya Tirto Adhi Soerjo ke dalam dunia jurnalistik diawali dengan
kegemarannya menulis. Saat masih berada dalam kelas persiapan (usianya pada
saat itu sekitar 14 -15 tahun) ia sudah mengirimkan berbagai tulisan ke sejumlah
kabar terbitan Betawi, dan selanjutnya mulai benar-benar terjun ke dalamnya
dengan membantu Chabar Hindia Olanda (terbit: Batavia, 1888 – 1897) yang
dipimpin oleh Alex Regensburg selama dua tahun, lalu karena surat kabar tersebut
bangkrut, ia pindah menjadi pembantu Pembrita Betawi ( 1884 – 1916) pimpinan
Overbeek Bloem, lalu pindah lagi menjadi pembantu tetap Pewarta Priangan di
Bandung.
Perlu diketahui, meski nama-nama surat kabar di atas menggunakan nama
melayu, namun pemilik, pendiri, dan pengelolanya bukan murni dari pribumi.
Pribumi masih sekadar menjadi pembantu. Sifat pers dan penerbit pada masa itu
lebih ke arah perniagaan semata, di mana orang-orang didalamnya menjual tulisan
dan informasi dengan berbagai macam bentuk. Pers belum sampai pada tahap
pembentukan pendapat umum, atau menurut Tirto sendiri di kemudian hari
“pengawal pikiran umum’. Namun keadaan tersebut berubah setelah kedatangan
Karel Wiljbrands, seseorang yang langsung diangkat menjadi pimpinan redaksi
Niews van den Dag voor Nederlandsch Indie yang akan terbit di Betawi, sedapur
dengan Pembrita Betawi. Tirto, yang saat itu menjabat sebagai redaktur kepala
dan penanggungjawab Pembrita Betawi langsung berada dalam pengaruhnya.
Wiljbrands mengajarkannya banyak hal: bagaimana cara untuk kelak memiliki
terbitan sendiri, mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan
Hindia Belanda: hak dan kewajibannya, juga tata pemerintahan.
Perkembangannya sebagai jurnalis yang menuntut keadilan dan kebenaran
pada masa selanjutnya juga dipengaruhi oleh tulisan Multatuli, hal tersebut
dibuktikan lewat banyaknya ia menyebut pengarang Max Havelaar tersebut dalam
penerbitannya sendiri. Pembrita Betawi, yang sebelum kedatangan Wiljbrands
masih bersifat sama dengan surat kabar lain yaitu menjualnya tulisan dan
memberikan informasi, mulai berubah. Tirto sebagai jurnalis mulai menggunakan
sisi lain media yang dapat digunakan sebagai alat perjuangan memperoleh
keadilan dan kebenaran. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat pembongkaran
skandal Donner dalam upaya menurunkan Bupati Madiun, Brotodiningrat. J.J
Donner sendiri adalah seorang Residen Madiun yang bersekongkol dengan priayi
lain untuk menjatuhkan Brotonegoro dan menginginkan dirinya menjadi bupati
(saat itu bupat sangat tinggi kedudukannya, bahkan dapat setara dengan
letnankolonel). Ia memfitnah dengan cara mengirimkan sirat pada Gubernur
Jenderal Rooseboom yang menyatakan bahwa Brotonegoro merupakan otak dari
segala kerusuhan yang terjadi di Karesidenan Madiun, dan masih banyak
kejelekan lainnya. Melihat hal ini, Tirto segera menghimpun data tentang
ketidakbenaran Donner. Beberapa koran lain ikut juga mengecam Donner. Tirto
berseru pada pemerintah agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Brotodiningrat
akhirnya dibawa ke pengadilan untuk diperiksa, namun Donner menghalangi
munculnya saksi dengan menggunakan kekuasaannya sebagai residen. Pada
akhirnya Bupati Madiun dinyatakan bersalah dan dibuang ke Padang. Namun
Tirto tidak menyerah sampai disana, ia bersama Pembrita Betawi terus berusaha
membongkar kejanggalan-kejanggalan yang ada. Meski tidak berhasil karena
kuatnya aparat melindungi Donner, namun peristiwa ini menjadi awal dari
perjuangan Tirto lewat tulisan.
d. Menjadi Sang Penggagas
Ia telah mempelajari banyak hal lewat pengalamannya. Pengaruh dari
pembimbing sekaligus rekan jurnalis Wiljbrands, tulisan Multatuli, mempelajari
adil dari Islam, membentuk ia menjadi seorang penggagas banyak hal pada
masanya. Ia menggunakan pers dan perdagangan untuk memajukan bangsa, dan
Soenda Berita menjadi laboratorium pertamanya.
1. Soenda Berita
Soenda Berita terbit pada Februari 1903 dengan modal penjualan
seluruh harta benda Tirto yang ada di Betawi, ditambah dengan bantuan
Bupati Cianjur. Inilah surat kabar pertama dalam sejarah pers Indonesia, yang
bertempat di desa, dan dijalankan seorang diri—selama satu tahun pertama.
Pendirian Soenda Berita oleh Tirto (selanjutnya disebut SB) ini membawa
program yang jelas, yaitu menaikkan tingkat pengetahuan pribumi di berbagai
bidang dan menyiapkan pembacanya memasuki zaman modern. Adapun isi
dari SB sendiri ialah rubrik kesehatan, pengobatan, kedokteran, bakteriologi,
meteorologi, hukum, ketataprajaan, hukum Islam, seluk beluk fotografi,
pewayangan, perkreditan, kimia, tata pengadilan, pengajaran, tinjauan pers,
farmasi, terjemahan lampiran negara serta lampirannya. Dan ini semua ia
kerjakan sendiri selama satu tahun. Usahanya untuk membuat pembaca
mengerti bahwa terbitan itu juga milik masyarakat dan merupakan bagian dari
masyaraka dilakukan dengan pengumuman administrasi dan pencantuman
nama-nama orang pembesar yang berlangganan. Selanjutnya SB harus ia
tinggalkan karena hendak belajar hukum di Betawi dan diambil alih oleh
August Waardenburg. SB hanya bertahan terbit selama empat tahun (1903 –
1906). Meski begitu, selain sebagai surat kabar ‘dari pribumi untuk pribumi’
pertama, ia jugamenjadi pelopor dalam sejarah pers nasional yang membuka
ruang untuk wanita pribumi. Rubrik yang: masak-memasak, sulam, bordir,
urusan rumah tangga, dll. Dan yang lebih penting ialah: ditulis oleh wanita
sendiri.
2. Medan Prijaji
Medan Prijaji mulai terbit Januari tahun 1907, sepulangnya ia dari
pengembaraannya di Maluku. Kurangnya dokumen antara tahun 1905 – 1906
membuat alasan mengapa ia pergi ke Maluku tidak diketahui. Jika sebelumnya
Tirto dikenal sebagai jurnalis yang sabar, terbuka, dan lembut, setelah
kepulangannya dari Maluku ia berubah menjadi lebih
garang dan
menggunakan setiap kesempatan untuk menampar aparat pemerintah. Hal
tersebut diperkirakan karena selama di Maluku ia baru benar-benar melihat
kebiadaban pemerintah, yang membuat rakyat Maluku menjadi miskin,
dirundung kelaparan, pernag kolonial, dan penyakit. Hatinya yang sakit
melihat itu semua membuat ia semakin keras melawan kolonial. Dari sana ia
menyimpulakan bahwa ia harus kembali berjuang, dan Medan Prijaji sebagai
alatnya. Delapan butir gagasan menjadi dasar pendirian MP: memberi
informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberi bantuan hukum, tempat orang
tersia-sia mengadukan haknya, lapangan pekerjaan bagi yangmembutuhkan,
penggerak bangsa untuk berorganisasi, memajukan bangsa, dan memperkuat
bangsanya dengan usaha perdagangan.
Pendirian MP ini juga unik, karena berasal dari pelanggan yang lebih
dahulu membayarkan uang langganannya selama setahun. Gagasan ini pada
dasarnya tak lain menggunakan dana masyarakat dalam berniaga, jadi tak
perlu modal sendiri. Adapun rubrik-rubrik di dalamnya: mutasi pegawai
negeri, salinan Lembaga Negara danLampirannya, cerita bersambung, serta
surat masuk dan jawabannya. Surat pembaca dan jawaban serta pemberian
bantuan hukum sebagai pemberian jasa redaksi MP inilah kemudian yang
membuat suratkabar itu berkembang. MP sempat mengalami kesulitan
keuangan bahkan di tahun pertamanya sehingga mengancam mogoknya
penerbitan. Hal ini disebabkan iklan yang masuk terlampau sedikit, dan nafsu
Tirto untuk memajukan bangsanya melalui pers terlampau terlalu cepat dan
terburu-buru.
Sepak terjang Tirto Adhi dalam usaha memajukan bangsanya rupanya
mulai menimbulkan keresahan dan kecemburuan karena suksesnya Tirto
membangun satu lagi surat kabar khusus wanita, Poetri Hindia. Kecemburuan
itu datang dari rekan sesama jurnalis, G. Francis. Ia mulai melancarkan
serangan-serangan untuk menjatuhkan Tirto dan berhasil membuatnya dikirim
kepembuangan di Telukbetung, Lampung selama dua bulan. Pembuangan
tidak membuat intuisinya sebagai seorang jurnalis mati. Disana justru ia
mengusut dan membongkar penyalahgunaan kekusaan mulai dari kepala
kampung sampai Residen Lampung, sehingga hanya dalam waktu dua bulan
pemerintah dipaksa menampung akibat pembongkarannya, dan perbaikan tata
pemerintahan. Sepulangnya ke Bogor, ia disambut banyak orang. Juga banyak
surat-surat permohonan bantuan hukum dari banyak daerah, Betawi, Bandung,
Tangerang, Jogja, Solo, Madiun, Semarang, Surabaya.
Tahun 1909 – 19011 menjadi tahun kejayaan MP, karena surat kabar
tersebut berhasil membongkar banyak peristiwa bagi kepentingan rakyat kecil.
Samapi 1909, orang yang telah bebas berkat usaha Tirto melalui pers maupun
bantuan hukum mencapai 225 orang yang datang dari berbagai latar belakang.
Tiras MP sebagai harian pada saat itu bahkan meloncat naik menjadi 2000.
Namun kejayaan ini tidak berjalan lama. MP harus gugur pada Agustus 1912
dengan beberapa penyebab: persaingan dengan publikasi surat kabar lain di
Jawa Tengah, dicabutnya iklan-iklan dari perusahaan besar, finansir Eropa
yang enggan memberikan kredit, dan kekuasaan pengadilan kolonial mendapat
bahan secukupnya untuk menghentikan kegiatannya (hal ini terkait kasus
Bupati Rembang). Tirto Adhi Soerjo tenggelam dalam hutang yang tidak dapat
dibayar dan oleh para pemberi hutang ia digugat dan disandera. Persidangan
pada 17 Desember 1912 menyatakan ia bersalah dan dijatuhi hukuman buang
di Ambon selama 6 bulan setelah masa penyaderaan. Penyanderaan dan
pembuangannya telah memutuskannya dari dunia luar. Mentalnya patah. Dan
itu bukan pekerjaan sulit bagi pemerintah.
e. Kekuatan Pers
Medan Prijaji berakhir karena ketakutan-ketakutan pemerintah terhadap
keberanian seorang pribumi. Pemerintah tidak menyukai adanya perusahaan
pribumi yang bonafit, karena itu bisa merupakan kekuatan politik di tangan orang
yang sadar politik. Sifatnya yang radikal membuat banyak pengiklan takut dan
enggan untuk memasang iklannya lagi. Hal tersebut diperparah dengan adanya
surat-surat rahasia Rinkes kepada Gubernur Jenderal yang menjelek-jelekkan MP,
terutama Tirto Adhi Soerjo.
Kelebihan Buku
Pramoedya mengolah buku ini berdasarkan dokumen dan data-data yang
kredibel, sehingga layak untuk dibaca dan dijadikan penelitian lebih lanjut.
Bahasa yang digunakan mengalir. Pembagian buku meski tidak benar-benar
secara kronologis, namun tetap dapat dimengerti. Setiap orang yang memiliki
pengaruh besar dalam perjalanan hidup Tirto Adhi Soerjo diceritakan secara
cukup gamblang. Bagian kedua dan ketiga dari buku juga dicantumkan
tulisan-tulisan milik Tirto Adhi Soerjo, sehingga membuat pembaca dapat
lebih mengenal sosok tersebut. Pram selalu berhasil mengawinkan sejarah dan
sastra dengan baik.
Kekurangan Buku
Terdapat beberapa peristiwa atau istilah yang terkadang sulit dipahami oleh
pembaca, dan tidak terdapat dalam keterangan buku. Selain itu, meski
berusaha bersifat objektif, namun penulis seringkali terbawa emosi dan
kekaguman sendiri terhadap tokoh yang ditulisnya. Hal tersebut mungkin
dapat dimaklumi karena tujuan dari penulisan biografi ini pada dasarnya
memang untuk memperkenalkan sosok Tirto Adhi Soerjo yang lebih dari
sekadar insan pers, tetapi juga pejuang keadilan, penggagas pergerakan wanita
dan bidang sosial lainnya.
A.T, Pramoedya . 1985. Sang Pemula. Jakarta: Penerbit Hasta Mitra
1. Metodologi Penulisan
R.M. Tirto Adhi Soerjo selama ini hanya dikenal sebagai ‘Bapak Pers Nasional’,
seperti yang telah diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah Indonesia setelah berhasil
merebut kemerdekaan. Namun lewat rekaman sejarah, Pramoedya sadar bahwa peran
R.M. Tirto Adhi Soerjo lebih dari sekadar perintis pers. Buku ini merupakan sebuah
biografi perjalanan hidup seorang priayi Jawa yang lebih memilih untuk keluar dari
kebiasaan leluhurnya: mengemis jabatan pada pemerintah kolonial. Seperti yang kita
ketahui, setelah kebangkrutan kongsi dagang VOC pada abad ke-17, Indonesia mulai
diperkenalkan pada sistem pemerintahan modern di mana kedudukan raja atau sultan
tidak lagi kuat. Pemerintahan dipegang oleh Binennlandsch Bestuur dan Priayi sebagai
pegawai negeri. Kedudukan priayi yang sebelumnya rendah mulai diangkat oleh
pemerintah kolonial karena mereka dibutuhkan sebagai perpanjangantangan. Namun hal
tersebut tidak membuat ia lupa daratan. Di usianya yang masih muda ia telah menjadi
perintis banyak hal, bukan hanya dalam kemandirian pers pribumi, tetapi juga perjuangan
keadilan bagi rakyat kecil, perintis kewirasastaan pribumi, hingga penggagas gerakan
emansipasi wanita.
Buku ini ditulis dengan berdasarkan dokumen yang cukup banyak, seperti tulisantulisan Tirto Adhi Soerjo yang diterbitkan oleh surat kabar Pembrita Betawi, Soenda
Berita,Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, Putri Hindia, dan masih banyak lagi. Penulisan
buku ini menjadi suatu langkah awal yang penting untuk memberikan tempat yang layak
bagi Tirto Adhi Soerjo dalam sejarah modern Indonesia. Kehadirannya yang seringkali
tidak dianggap dalam perjalanan perjuangan bangsa, membuat Pram berpikir bahwa ia
harus memperjuangkan Tirto Adhi Soerjo yang belum mendapatkan keadilan sejarah.
Adapun menurut pembagiannya, buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah tulisan Pram sendiri, yang dimaksudkan sebagai pengantar, lalu bagian kedua
adalah kumpulan beberapa karya non-fiksinya yang diterbitkan di beberapa surat kabar
pada waktu itu, dan terakhir adalah kumpulan karya fiksinya. Keduanya, baik fiksi
maupun non-fiksi yang dicantumkan dalam buku ini, merupakan karya jurnalistik yang
sengaja dipilih agar membantu pembaca mengenal pribadi Tirto secara lebih cermat,
meliputi cita-cita politik dan estetiknya, tempat ia berpijak dan pemihakannya, aktivitas
dan produktivitasnya, emosi-emosi dan penalarannya, dengan kata lain: amal bakti bagi
bangsanya.
Lewat buku ini kita tidak hanya akan mengenal lebih dalam perjuangan seorang
jurnalis penggagas pers ‘dari pribumi untuk pribumi’, tetapi juga dapat mengetahui
banyak hal, diantaranya bagaimana peran dan sifat priayi-- yang saat itu dapat dikatakan
sebagai pegawai negeri—terhadap bangsanya sendiri, gagasannya tentang pergerakan
perempuan, pentingnya berwiraswasta dan memberikan bantuan hukum secara cumacuma, dan yang terpenting dan akan dibahas lebih lanjut: kemunculan pers pribumi
pertama serta perkembangannya dari sekadar saluran informasi, menjadi senjata
perlawanan terhadap ketidakadilan yang diterima pribumi kecil (dalam kasus ini, karena
biografi yang ditulis adalah Tirto Adhi Soerjo, maka surat kabar yang diangkat adalah
Soenda Berita dan Medan Prijaji)
2. Substansi Buku
a. Gambaran Singkat Sang Pemula
Lahir pada tahun 1875 di Blora, Jawa Tengah, Tirto adalah cucu dari R.M.T
Tirtonoto, seorang Bupati Bojonegoro yang dikenal baik lewat jasa-jasanya baik
untuk pemerintah kolonial maupun rakyat. Adapun yang dilakukannya untuk
kolonial adalah keberhasilannya memadamkan pemberontakan 40 serdadu Bugis.
Sedangkan bagi rakyat, ia telah berjasa dalam membudidayakan tembakau di
lembah Bengawan Solo, sehingga daerah endapan kwarter sungai yang awalnya
miskin kerontang menjadi sejahtera. Karena hal tersebut, Tirtonoto dijanjikan
karunia bintang oleh Komisaris Pemerintah, namun ia menolak karena ia merasa
itu memang sudah menjadi tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Dalam sistem
masyarakat yang sangat hierarkis, penolakan tersebut bisa menjadi petaka.
Pemerintah kolonial tersinggung akan penolakan yang diterima, terlebih
penolakan tersebut datang dari seorang pribumi asli. Maka setelah itu mereka
mulai mencari kesalahan Tirtonoto, dan memberhentikan dengan paksa ia dari
jabatannya sebagai bupati.Perlakuan ketidakadilan tersebut kiranya menjadi awal
pembentukan karakternya yang kuat dalam menentang ketidakadilan di kemudian
hari. Ia sempat bersekolah di STOVIA, namun tidak lulus karena kesibukannya
bekerja di surat kabar.
b. Priayi yang Bukan Priayi
Setelah kebangkrutan VOC, seperti yang kita ketahui, Indonesia mulai
diperkenalkan pada tata pemerintahan modern, yang dibawa oleh Daendles.
Pemerintahan modern menggeser kedudukan raja atau sultan yang sebelumnya
sangat kuat dalam tatanan masyarakat. Binnenlandsch Bestuur menggunakan
Priayi sebagai perpanjangan tangan untuk berhubungan langsung dengan rakyat
pribumi. Hal ini pada masa selanjutnya diterima dengan gembira oleh kasta priayi,
karena lewat jalan ini, mereka bisa memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai
pejabat pemerintah dan kekayaan yang luar biasa banyak. Pram menyebutkan,
bahwa kasta bangsawan-priayi merupakan golongan atas masyarakat yang
konsumtif, tidak produktif, dan terlebih tidak kreatif. Mereka kebanyakan
menggunakan jabatan sebagai alat memperkaya diri. Gelar menjadi sangat penting
dan begitu diidam-idamkan, seperti Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung.
Gelar ini selain membawa mereka setingkat dengan letnankolonel, juga membuat
kedudukan mereka semakin tinggi di mata rakyat. Dan inilah yang dibenci oleh
Tirto Adhi Soerjo. Ia sejak muda percaya bahwa seseorang, dalam bertahan hidup,
harus percaya pada diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, tidak takut akan
kemiskinan, dan tidak takut tidak berpangkat. Prinsip tersebut dipengaruhi oleh
perjalanan hidup kakeknya yang diberhentikan secara paksa dan tidak
diperbolehkan bepergian jauh, juga perjuangan neneknya, R.A Tirtonoto, dalam
mencari kebenaran dan keadilan atas perlakuan pemerintah terhadap mendiang
suaminya. Selain itu, pendidikan barat yang ia terima juga menjadi pembanding
atas kerakusan kastanya tersebut. setelah lulus dari sekolah dasar Belanda, ia
melanjutkan sekolah ke STOVIA dan meninggalkan Rembang menuju Betawi.
Sebagai seseorang yang lahir dari kelas bangsawan, pemilihan sekolah ini menjadi
fenomena langka pada masanya, karena golongan bangsawan atas biasanya
melanjutkan pelajaran ke sekolah untuk calom pegawai negeri. Sebuah persolan
yang mudah dipahami, karena dokter pada masa itu dikenal dengan pekerjaan
pengabdian, sedang pegawai negeri adalah pekerjaan memerintah. Pergaulan yang
semakin luas membuat ia melepas semua ikatan dan aturan ketat keluarga ningratpriayi. Dan tekadnya untuk berdiri di atas kaki sendiri tanpa mengemis pada
kolonial pun menjadi semakin kuat.
c. Tirto Adhi Soerjo dalam Pers Sebelum 1900
Terjunnya Tirto Adhi Soerjo ke dalam dunia jurnalistik diawali dengan
kegemarannya menulis. Saat masih berada dalam kelas persiapan (usianya pada
saat itu sekitar 14 -15 tahun) ia sudah mengirimkan berbagai tulisan ke sejumlah
kabar terbitan Betawi, dan selanjutnya mulai benar-benar terjun ke dalamnya
dengan membantu Chabar Hindia Olanda (terbit: Batavia, 1888 – 1897) yang
dipimpin oleh Alex Regensburg selama dua tahun, lalu karena surat kabar tersebut
bangkrut, ia pindah menjadi pembantu Pembrita Betawi ( 1884 – 1916) pimpinan
Overbeek Bloem, lalu pindah lagi menjadi pembantu tetap Pewarta Priangan di
Bandung.
Perlu diketahui, meski nama-nama surat kabar di atas menggunakan nama
melayu, namun pemilik, pendiri, dan pengelolanya bukan murni dari pribumi.
Pribumi masih sekadar menjadi pembantu. Sifat pers dan penerbit pada masa itu
lebih ke arah perniagaan semata, di mana orang-orang didalamnya menjual tulisan
dan informasi dengan berbagai macam bentuk. Pers belum sampai pada tahap
pembentukan pendapat umum, atau menurut Tirto sendiri di kemudian hari
“pengawal pikiran umum’. Namun keadaan tersebut berubah setelah kedatangan
Karel Wiljbrands, seseorang yang langsung diangkat menjadi pimpinan redaksi
Niews van den Dag voor Nederlandsch Indie yang akan terbit di Betawi, sedapur
dengan Pembrita Betawi. Tirto, yang saat itu menjabat sebagai redaktur kepala
dan penanggungjawab Pembrita Betawi langsung berada dalam pengaruhnya.
Wiljbrands mengajarkannya banyak hal: bagaimana cara untuk kelak memiliki
terbitan sendiri, mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan
Hindia Belanda: hak dan kewajibannya, juga tata pemerintahan.
Perkembangannya sebagai jurnalis yang menuntut keadilan dan kebenaran
pada masa selanjutnya juga dipengaruhi oleh tulisan Multatuli, hal tersebut
dibuktikan lewat banyaknya ia menyebut pengarang Max Havelaar tersebut dalam
penerbitannya sendiri. Pembrita Betawi, yang sebelum kedatangan Wiljbrands
masih bersifat sama dengan surat kabar lain yaitu menjualnya tulisan dan
memberikan informasi, mulai berubah. Tirto sebagai jurnalis mulai menggunakan
sisi lain media yang dapat digunakan sebagai alat perjuangan memperoleh
keadilan dan kebenaran. Hal tersebut dapat dibuktikan lewat pembongkaran
skandal Donner dalam upaya menurunkan Bupati Madiun, Brotodiningrat. J.J
Donner sendiri adalah seorang Residen Madiun yang bersekongkol dengan priayi
lain untuk menjatuhkan Brotonegoro dan menginginkan dirinya menjadi bupati
(saat itu bupat sangat tinggi kedudukannya, bahkan dapat setara dengan
letnankolonel). Ia memfitnah dengan cara mengirimkan sirat pada Gubernur
Jenderal Rooseboom yang menyatakan bahwa Brotonegoro merupakan otak dari
segala kerusuhan yang terjadi di Karesidenan Madiun, dan masih banyak
kejelekan lainnya. Melihat hal ini, Tirto segera menghimpun data tentang
ketidakbenaran Donner. Beberapa koran lain ikut juga mengecam Donner. Tirto
berseru pada pemerintah agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Brotodiningrat
akhirnya dibawa ke pengadilan untuk diperiksa, namun Donner menghalangi
munculnya saksi dengan menggunakan kekuasaannya sebagai residen. Pada
akhirnya Bupati Madiun dinyatakan bersalah dan dibuang ke Padang. Namun
Tirto tidak menyerah sampai disana, ia bersama Pembrita Betawi terus berusaha
membongkar kejanggalan-kejanggalan yang ada. Meski tidak berhasil karena
kuatnya aparat melindungi Donner, namun peristiwa ini menjadi awal dari
perjuangan Tirto lewat tulisan.
d. Menjadi Sang Penggagas
Ia telah mempelajari banyak hal lewat pengalamannya. Pengaruh dari
pembimbing sekaligus rekan jurnalis Wiljbrands, tulisan Multatuli, mempelajari
adil dari Islam, membentuk ia menjadi seorang penggagas banyak hal pada
masanya. Ia menggunakan pers dan perdagangan untuk memajukan bangsa, dan
Soenda Berita menjadi laboratorium pertamanya.
1. Soenda Berita
Soenda Berita terbit pada Februari 1903 dengan modal penjualan
seluruh harta benda Tirto yang ada di Betawi, ditambah dengan bantuan
Bupati Cianjur. Inilah surat kabar pertama dalam sejarah pers Indonesia, yang
bertempat di desa, dan dijalankan seorang diri—selama satu tahun pertama.
Pendirian Soenda Berita oleh Tirto (selanjutnya disebut SB) ini membawa
program yang jelas, yaitu menaikkan tingkat pengetahuan pribumi di berbagai
bidang dan menyiapkan pembacanya memasuki zaman modern. Adapun isi
dari SB sendiri ialah rubrik kesehatan, pengobatan, kedokteran, bakteriologi,
meteorologi, hukum, ketataprajaan, hukum Islam, seluk beluk fotografi,
pewayangan, perkreditan, kimia, tata pengadilan, pengajaran, tinjauan pers,
farmasi, terjemahan lampiran negara serta lampirannya. Dan ini semua ia
kerjakan sendiri selama satu tahun. Usahanya untuk membuat pembaca
mengerti bahwa terbitan itu juga milik masyarakat dan merupakan bagian dari
masyaraka dilakukan dengan pengumuman administrasi dan pencantuman
nama-nama orang pembesar yang berlangganan. Selanjutnya SB harus ia
tinggalkan karena hendak belajar hukum di Betawi dan diambil alih oleh
August Waardenburg. SB hanya bertahan terbit selama empat tahun (1903 –
1906). Meski begitu, selain sebagai surat kabar ‘dari pribumi untuk pribumi’
pertama, ia jugamenjadi pelopor dalam sejarah pers nasional yang membuka
ruang untuk wanita pribumi. Rubrik yang: masak-memasak, sulam, bordir,
urusan rumah tangga, dll. Dan yang lebih penting ialah: ditulis oleh wanita
sendiri.
2. Medan Prijaji
Medan Prijaji mulai terbit Januari tahun 1907, sepulangnya ia dari
pengembaraannya di Maluku. Kurangnya dokumen antara tahun 1905 – 1906
membuat alasan mengapa ia pergi ke Maluku tidak diketahui. Jika sebelumnya
Tirto dikenal sebagai jurnalis yang sabar, terbuka, dan lembut, setelah
kepulangannya dari Maluku ia berubah menjadi lebih
garang dan
menggunakan setiap kesempatan untuk menampar aparat pemerintah. Hal
tersebut diperkirakan karena selama di Maluku ia baru benar-benar melihat
kebiadaban pemerintah, yang membuat rakyat Maluku menjadi miskin,
dirundung kelaparan, pernag kolonial, dan penyakit. Hatinya yang sakit
melihat itu semua membuat ia semakin keras melawan kolonial. Dari sana ia
menyimpulakan bahwa ia harus kembali berjuang, dan Medan Prijaji sebagai
alatnya. Delapan butir gagasan menjadi dasar pendirian MP: memberi
informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberi bantuan hukum, tempat orang
tersia-sia mengadukan haknya, lapangan pekerjaan bagi yangmembutuhkan,
penggerak bangsa untuk berorganisasi, memajukan bangsa, dan memperkuat
bangsanya dengan usaha perdagangan.
Pendirian MP ini juga unik, karena berasal dari pelanggan yang lebih
dahulu membayarkan uang langganannya selama setahun. Gagasan ini pada
dasarnya tak lain menggunakan dana masyarakat dalam berniaga, jadi tak
perlu modal sendiri. Adapun rubrik-rubrik di dalamnya: mutasi pegawai
negeri, salinan Lembaga Negara danLampirannya, cerita bersambung, serta
surat masuk dan jawabannya. Surat pembaca dan jawaban serta pemberian
bantuan hukum sebagai pemberian jasa redaksi MP inilah kemudian yang
membuat suratkabar itu berkembang. MP sempat mengalami kesulitan
keuangan bahkan di tahun pertamanya sehingga mengancam mogoknya
penerbitan. Hal ini disebabkan iklan yang masuk terlampau sedikit, dan nafsu
Tirto untuk memajukan bangsanya melalui pers terlampau terlalu cepat dan
terburu-buru.
Sepak terjang Tirto Adhi dalam usaha memajukan bangsanya rupanya
mulai menimbulkan keresahan dan kecemburuan karena suksesnya Tirto
membangun satu lagi surat kabar khusus wanita, Poetri Hindia. Kecemburuan
itu datang dari rekan sesama jurnalis, G. Francis. Ia mulai melancarkan
serangan-serangan untuk menjatuhkan Tirto dan berhasil membuatnya dikirim
kepembuangan di Telukbetung, Lampung selama dua bulan. Pembuangan
tidak membuat intuisinya sebagai seorang jurnalis mati. Disana justru ia
mengusut dan membongkar penyalahgunaan kekusaan mulai dari kepala
kampung sampai Residen Lampung, sehingga hanya dalam waktu dua bulan
pemerintah dipaksa menampung akibat pembongkarannya, dan perbaikan tata
pemerintahan. Sepulangnya ke Bogor, ia disambut banyak orang. Juga banyak
surat-surat permohonan bantuan hukum dari banyak daerah, Betawi, Bandung,
Tangerang, Jogja, Solo, Madiun, Semarang, Surabaya.
Tahun 1909 – 19011 menjadi tahun kejayaan MP, karena surat kabar
tersebut berhasil membongkar banyak peristiwa bagi kepentingan rakyat kecil.
Samapi 1909, orang yang telah bebas berkat usaha Tirto melalui pers maupun
bantuan hukum mencapai 225 orang yang datang dari berbagai latar belakang.
Tiras MP sebagai harian pada saat itu bahkan meloncat naik menjadi 2000.
Namun kejayaan ini tidak berjalan lama. MP harus gugur pada Agustus 1912
dengan beberapa penyebab: persaingan dengan publikasi surat kabar lain di
Jawa Tengah, dicabutnya iklan-iklan dari perusahaan besar, finansir Eropa
yang enggan memberikan kredit, dan kekuasaan pengadilan kolonial mendapat
bahan secukupnya untuk menghentikan kegiatannya (hal ini terkait kasus
Bupati Rembang). Tirto Adhi Soerjo tenggelam dalam hutang yang tidak dapat
dibayar dan oleh para pemberi hutang ia digugat dan disandera. Persidangan
pada 17 Desember 1912 menyatakan ia bersalah dan dijatuhi hukuman buang
di Ambon selama 6 bulan setelah masa penyaderaan. Penyanderaan dan
pembuangannya telah memutuskannya dari dunia luar. Mentalnya patah. Dan
itu bukan pekerjaan sulit bagi pemerintah.
e. Kekuatan Pers
Medan Prijaji berakhir karena ketakutan-ketakutan pemerintah terhadap
keberanian seorang pribumi. Pemerintah tidak menyukai adanya perusahaan
pribumi yang bonafit, karena itu bisa merupakan kekuatan politik di tangan orang
yang sadar politik. Sifatnya yang radikal membuat banyak pengiklan takut dan
enggan untuk memasang iklannya lagi. Hal tersebut diperparah dengan adanya
surat-surat rahasia Rinkes kepada Gubernur Jenderal yang menjelek-jelekkan MP,
terutama Tirto Adhi Soerjo.
Kelebihan Buku
Pramoedya mengolah buku ini berdasarkan dokumen dan data-data yang
kredibel, sehingga layak untuk dibaca dan dijadikan penelitian lebih lanjut.
Bahasa yang digunakan mengalir. Pembagian buku meski tidak benar-benar
secara kronologis, namun tetap dapat dimengerti. Setiap orang yang memiliki
pengaruh besar dalam perjalanan hidup Tirto Adhi Soerjo diceritakan secara
cukup gamblang. Bagian kedua dan ketiga dari buku juga dicantumkan
tulisan-tulisan milik Tirto Adhi Soerjo, sehingga membuat pembaca dapat
lebih mengenal sosok tersebut. Pram selalu berhasil mengawinkan sejarah dan
sastra dengan baik.
Kekurangan Buku
Terdapat beberapa peristiwa atau istilah yang terkadang sulit dipahami oleh
pembaca, dan tidak terdapat dalam keterangan buku. Selain itu, meski
berusaha bersifat objektif, namun penulis seringkali terbawa emosi dan
kekaguman sendiri terhadap tokoh yang ditulisnya. Hal tersebut mungkin
dapat dimaklumi karena tujuan dari penulisan biografi ini pada dasarnya
memang untuk memperkenalkan sosok Tirto Adhi Soerjo yang lebih dari
sekadar insan pers, tetapi juga pejuang keadilan, penggagas pergerakan wanita
dan bidang sosial lainnya.