Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu : Kritik Isaiah Berlin terhadap universalisme pencemaran

(1)

Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu:

Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai tugas akhir perkuliahan di UIN Jakarta untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh:

Saidiman

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006


(2)

Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu:

Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh:

Saidiman

NIM: 0033118814

Di Bawah Bimbingan

Drs. Fakhruddin, M.Ag.

NIP: 150231347

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006


(3)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 November 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam Program Strata I (SI) pada Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 27 November 2006 Sidang Munaqasah,

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag.

NIP. 150262447 NIP. 150254185

Anggota,

Penguji Pembimbing,

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Drs. Fakhruddin, M.Ag.


(4)

KATA PENGANTAR

Sejak Isaiah Berlin diperkenalkan kepada publik Indonesia melalui terjemahan karya terkenalnya, Four Essays on Liberty, oleh Freedom Institute dan LP3ES, Berlin telah menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi perkembangan intelektual penulis. Daya tarik terhadap Berlin mendapat dukungan dari bidang ilmu yang penulis geluti di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Jakarta, di samping memang penulis memiliki minat terhadap kajian filsafat politik secara umum. Diterimanya tema skripsi ini sekaligus sebagai legitimasi bagi penulis untuk mengembangkan pemikiran ini lebih jauh.

Kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini, perkuliahan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta secara umum, adalah karunia yang sangat besar. Selama kurang lebih enam tahun, penulis berinteraksi dengan banyak kalangan di kampus UIN tercinta juga dengan pelbagai komunitas di seputar Jakarta dan Yogyakarta. Pelbagai kalangan dan komunitas itulah, baik langsung maupun tidak, telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis untuk mengangkat tema dan menyelesaikan penulisan tugas akhir perkuliahan di UIN ini. Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prof. Dr. Amsal Bachtiar, beserta jajarannya yang telah begitu banyak membantu penulis dalam menempuh dan menyelesaikan perkuliahan di UIN Jakarta. Terima kasih juga kepada Bapak Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M.Fils., dan Sekretaris Jurusan, Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag., yang mau menyibukkan diri


(5)

melayani penulis selama penyelesaian akhir perkuliahan di UIN. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ketua dan Sekretaris Jurusan AF yang lalu, Drs. Syamsuri, M.Ag. dan Drs. Masri Mansur. Bapak Pembimbing, Drs. Fakhruddin, M.Ag., yang dengan segala perhatian dan ketekunan membaca dan memberi catatan-catatan terhadap skripsi penulis, terima kasih banyak.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), tempat penulis mengenal dunia yang sebenarnya. Kawan Zezen (terima kasih atas printer gratisnya), Herman, Seif, Ridwan, Adry, Akib, Didi, Bre, Agus, Zaim Rofiqi, Husni, Hudri, Acun, Fa’at, Soleh, Mustafa, Nugie, Evi, Reza, Gyn, Ajid, Ilham, Linda, Ayi, Yayang, Hafni, Hanif, Bana, Mahmudin, Nana, Syukron, Iqbal, Biyah, Towik, Nanang, Muhammad Ja’far dan kawan-kawan Formaci lainnya yang begitu banyak, kalian semua adalah teman yang baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan saya di pelbagai organisasi: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan BEM UIN 2004, Mujahid, Eky, Apep, Faisal, Amel, Risha, Uep, Muhajir dan yang lainnya, juga kawan-kawan di Teater Altar, Forkot, PMII, IMM, teater Syahid dan lain-lain. Ucapan terima kasih juga buat kawan-kawan di Jaringan Islam Liberal Kampus (lembaga pertemuan ide kaum muda Islam liberal seluruh Indonesia), kawan Slamet Thohari, Hatim Ghazali dan lain-lain. Teman-teman AF angkatan 2000 juga banyak berjasa kepada penulis, merekalah kawan-kawan perdana penulis di UIN Jakarta.

Terima kasih juga patut saya sampaikan kepada kawan-kawan saya sesama perantauan: kawan-kawan saya seangkatan dari MAKN Makassar, Echa, Nahar dan


(6)

Adlan; kawan-kawan alumnus Ponpes DDI Mangkoso dan MAKN Makassar, Muid, Adlan Nawawie, Syahrullah, Syawaluddin dan lainnya; serta kawan-kawan dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Penulis bersyukur bisa berinteraksi dengan pelbagai komunitas: Komunitas Utan Kayu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Lembaga Survey Indonesia (LSI), PPIM UIN Jakarta, INCIS, Kapal Perempuan dan terutama Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), tempat penulis beraktivitas saat ini. Ucapan terima kasih juga kepada person-person di pelbagai komunitas di atas yang berinteraksi secara pribadi dengan penulis: Saiful Mujani (intelektual-peneliti yang banyak memberi dukungan dan berlaku layaknya kakak yang sangat penyayang), Ahmad Sahal, Nong Darol Mahmada, Neng Dara Affiah, Sirojuddin Abbas, Budhis Utami, Anick HT, Ace Hasan Syadzily dan M. Dawam Rahardjo (orang tua yang idealis dan bersemangat).

Ibuku terkasih, Rosni, terima kasih telah memberiku kasih sayang yang tak terkira. Ayahku, Achmad Bora, yang tidak pernah lelah untuk mendukungku sejak awal. Adik-adikku, Swarni, Didi Suhardi, Maman Suratman, juga almarhumah Masniar. Dukungan keluarga ini adalah ruh bagiku untuk tetap bertahan.

Teman sejati yang kurang lebih lima tahun ini berbagi begitu banyak hal dengan penulis, Indri Sri Sembadra, tari warna pelangiku, tudung sutra senjaku, terima kasih. Denganmu, dunia seolah selalu mengalun bergelut senda.

Kepada semua pihak dan kawan yang membantu penulis dalam menempuh studi yang tidak mudah ini, terima kasih untuk semuanya.


(7)

Ciputat, 14 November 2006


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….………. i

DAFTAR ISI………..……… iv

BAB I PENDAHULUAN…... 1

Latar Belakang………. 1

Batasan dan Rumusan Masalah………. 12

Tinjauan Kepustakaan……… 13

Tujuan Penelitian………. 15

Metode Penelitian…………...……….. 16

Sistematika

Penulisan……….. 17

BAB II RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN………. 20

A. Riwayat Hidup………. 20

B. Pemikiran………...……….. 28

C. Karya-karya…………...……….. 34

BAB III TIGA PENGKRITIK PENCERAHAN………... 37


(9)

B. Johann Georg Hamann………... 43

C. Johann Gottfried Herder……… 45

BAB IV PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME……… 48

A. Dua Konsep Kebebasan……… 48

B. Value Pluralism……….. 57

C. Liberalisme Pluralis……….. 63

D. Gagasan Kebebasan dalam Islam……… 69

BAB V PENUTUP………. 74

A. Kesimpulan………. 74

B. Evaluasi Kritis……… 76


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

C. A. Latar Belakang

Rasanya sulit diterima nalar, bahwa serangan Israel ke Palestina dan

Libanon (2006), juga serangan Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan (2002),

adalah misi pembebasan. Tapi juga adalah fakta bahwa berkali-kali Presiden

Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert,

menyebut serangannya sebagai misi pembebasan.

Pasca-serangan teroris (11 September 2001) yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat gencar melancarkan serangan militer terhadap Afganistan dan Iraq, merencanakan menyerang Iran, dan mendukung agresi militer Israel terhadap Palestina dan Libanon. Dengan dalih perluasan liberalisme, Amerika Serikat merasa berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada Afganistan, Irak, dan dunia secara umum. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan liberalisme? Sampai batas mana ia benar-benar membebaskan? Lalu kenapa justru kerapkali mengungkung dan memaksa? Lalu seberapa valid klaim pembebasan yang dilakukan oleh AS dan Israel, ketika harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa dampak perang yang mereka kobarkan demikian memilukan?


(11)

Pertengahan tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengundang kontroversi, yakni tentang haramnya paham liberalisme (kebebasan). Lagi-lagi muncul pertanyaan besar, apa sebetulnya yang salah dalam paham liberalisme, paham yang juga dipercaya mendasari kehendak bebas bangsa Indonesia dari penjajahan?

Salah satu pemikir yang terkenal liberal, Friedrich A. Hayek, mulai mencoba mendefinisikan liberalisme dengan ungkapan Abraham Lincoln yang diplomatis:

“The world has never had a good definition of the word liberty, and the American people just now are much in need one. We all declare for liberty: but in using the same word, we do not mean the same thing…Here are two, not only different but incompatible things, called by the same name,

liberty.”1

(Dunia tidak pernah memiliki satu definisi yang baik mengenai kata kebebasan (liberty), dan masyarakat Amerika sekarang ini menginginkan persatuan. Kita semua mendeklarasikan kebebasan: dengan menggunakan kata yang sama, tapi kita tidak bermaksud sama…Di sini ada dua, bukan hanya sesuatu yang berbeda bahkan tidak kompatibel, yang disebut dengan nama yang sama, kebebasan.)

1

Abraham Lincoln, The Writings of Abraham Lincoln, ed. A. B. Lapsley, dikutip oleh Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), h. 1.


(12)

Persoalan definisi yang mengganggu Hayek di atas menemukan

penegasannya pada beragam peristiwa dunia yang dilatarbelakangi oleh konsep liberalisme. Ide kebebasan individu dalam liberalisme ternyata telah menjadi momok menakutkan bagi kebebasan itu sendiri. Perang Dunia I dan II adalah buah dari liberalisme. Pembantaian kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II adalah puncak pembelengguan kebebasan individu oleh liberalisme. Munculnya rezim diktator komunis di Uni Sovyet dan Cina juga adalah buah liberalisme. Mewabahnya kemiskinan di Dunia Ketiga yang diyakini banyak orang sebagai akibat invasi dominasi ekonomi kapitalis adalah dampak nyata liberalisme. Munculnya rezim ultranasionalis dan politik aliran juga adalah buah perjuangan liberalisme. Merebaknya terorisme pun tidak bisa dilepaskan dari liberalisme.

Tentu saja liberalisme juga banyak mendatangkan manfaat bagi ummat manusia, misalnya progresifitas, kemajuan peradaban, perdamaian, demokrasi, runtuhnya totalitarianisme, dan sebagainya. Tapi paradoks liberalisme yang terjadi di dunia nyata tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang salah dalam liberalisme yang dianut oleh banyak orang itu? Kenapa banyak contoh justru menunjukkan bahwa liberalisme membunuh kebebasannya sendiri?

Isaiah Berlin adalah salah satu pemikir besar Abad 20 yang berusaha mencari akar persoalan dalam liberalisme, sembari mengemukakan bagaimana


(13)

mengkonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang bisa bunuh diri ini. Kendati ada persoalan, bukan berarti liberalisme (kebebasan) tidak bisa

didefinisikan atau harus dibiarkan liar dan menjadi instrumen politik-ekonomi siapa saja yang berkepentingan. Isaiah Berlin adalah salah satu tokoh yang berusaha memperkenalkan konsep liberalisme secara genuin.

Kegelisahan Berlin berawal dari kenyataan sejarah, begaimana liberalisme melahirkan fasisme, komunisme, politik identitas, dan Nazisme. Suatu ketika, Berlin menulis sejarah pemikiran Karl Marx, Karl Marx: His Life and Environment.2 Sebetulnya, Marx bagi Berlin tidak begitu menarik, karena dari awal ia menentang ide totalitariannya. Berlin terpukau ketika menemukan bahwa ide totalitarian Marx ternyata berangkat dari tradisi pemikiran liberal Pencerahan, terutama dari filsafat Pencerahan Perancis pada abad ke-18. Para pendahulu Marx itu adalah orang-orang yang membuka mata dunia dengan pembebasan dari kegelapan, yakni perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayul, kebodohan, dan ketertindasan.3 Dobrakan para filsuf Pencerahan diakui oleh Berlin sebagai prestasi yang sungguh luar biasa, tetapi menimbulkan pertanyaan besar ketika ide Pencerahan bermuara pada totalitarianisme.

Pertanyaan besar tentang muara totaliter Pencerahan inilah yang ingin dipecahkan oleh Isaiah Berlin. Bukan berarti Berlin keluar dan menolak sepenuhnya

2

Lihat Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment, (New York: A Galaxi Book, 1963)

3


(14)

ide Pencerahan, melainkan dia menjadi pengikut yang tidak penurut.4 Berlin menyimpulkan bahwa inti kisruh Pencerahan adalah klaim universalisme yang diembannya. Pencerahan, betapapun memperjuangkan pengejawantahan diri individu melalui rasionalisme, tetapi ia mengklaim absolutisme dan universalisme rasio atau kemampuan manusia. Menyandarkan segala kebenaran kepada

rasionalitas secara langsung telah melakukan klaim kebenaran absolut, sesuatu yang sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri, melalui perlawanannya terhadap klaim kebenaran absolut metafisika, agama, tradisionalisme, dan sebagainya. Dengan demikian, Rasionalisme Pencerahan adalah bentuk baru dari Monisme.

Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang

dikembangkan para pemikir sejak Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh beberapa ciri pemikiran. Pertama, kaum monis meyakini bahwa semua pertanyaan yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa

direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran

4

Ahmad Sahal menggambarkan kondisi ini dengan ungkapan: "Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan, tapi dia tetaplah seoarang liberal. Dia, betapapun, tetaplah anak kandung yang sah dari Pencerahan, meski bukan anak yang penurut.” Lihat Ahmad Sahal, Isaiah Berlin dan Liberalisme Tanpa Universalisme, dalam Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004), h. X.


(15)

diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.5Kebenaran diandaikan tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah yang sama: Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran, Aristoteles meyakini Biologi sebagai jalannya, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci, Rousseau percaya bahwa kebenaran itu terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani biasa, dan lain-lain.6Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.7

Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan bagi ide pembebasan itu sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh satu konsep tertentu yang rigid yang terpola. Berlin menolak itu semua, sebab dunia, terutama manusia, bukanlah benda mati yang bisa diukur dengan menggunakan pola perhitungan yang bersifat pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin memulai kritiknya terhadap universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran.

Dalam buku The Hedgehog and The Fox, Berlin mengindetifikasi bahwa dalam sejarah pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis dan monistik. Berlin mengutip satu bait syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani, Archilochus, yang menyatakan: “The fox knows many things, but the hedgehog

5

Ahmad Sahal, h. xiii. Lihat juga Berlin, The Power, h. 5.

6

Berlin, The Power, h. 6.

7


(16)

knows one big thing” (rubah mengetahui banyak hal, sedangkan landak mengetahui satu hal besar).8 Syair ini ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang mengetahui banyak strategi penyerangan, bisa dikalahkan oleh satu sistem

pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin, syair itu diartikan bahwa landak dan rubah adalah tipologi pemikiran: di satu sisi, ada orang yang

menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal, satu sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya; di sisi lain, ada jenis pemikir yang mengandaikan banyaknya tujuan, yang kerapkali tidak berhubungan bahkan berkontradiksi.9 Landak adalah tipologi yang pertama dan rubah adalah yang kedua. Berlin menulis:

“…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust are, in varying degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.”10

(“…Dante termasuk kategori pertama, Shakespeare masuk kategori kedua; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust, dalam

8

Dikutip oleh Isaiah Berlin, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, (New York: Simon and Schuster, 1953), h. 1.

9

Berlin, The Hedgehog, h. 1.

10


(17)

tingkat yang berbeda, adalah landak; Herodotus, Aristoteles, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce adalah rubah.)

Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung jatuh pada kategori pertama, landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir kedua, rubah. Berlin terutama terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder.

Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan langsung ke titik pusatnya, ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan peran vital matematika sebagai ilmu pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar dari kemanusiaan. Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang mengetahui manusia, melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia, oleh karenanya, hanya bisa diketahui segala detailnya oleh penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia hanya mungkin dipelajari dengan mengapresiasi segala motivasi, tujuan, harapan, ketakutan, kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada


(18)

manusia.11 Vico dengan tegas mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa direduksi ke dalam pola-pola tertentu.

Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan yang paling baik bagi tradisi rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa semua kebenaran itu partikular, tidak pernah bersifat umum. Rasio, bagi Hamann, tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu, dia hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu, yang sebetulnya tidak pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan

realitas.12Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme Pencerahan, bagi Hamann dan diamini oleh Berlin, mencoba membatasi sesuatu yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan mungkin tanpa batas. Dari Hamann, Berlin menyimpulkan, bahwa “what is real is individual” (apa yang riil itu bersifat individual).13 Artinya, segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda dengan yang lain.

J. G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang universalisme Pencerahan. Herder memperkenalkan konsep keragaman budaya, dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah. Herder percaya bahwa untuk memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas dan pembangunannya. Untuk itu, diperlukan kapasitas Einfühlung (feeling into atau

11

Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 246.

12

Berlin, The Proper, h. 249.

13


(19)

empati) kepada pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra, organisasi sosial, masyarakat, budaya, atau tahapan-tahapan sejarah.14 Herder menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris15, sebab tidak ada budaya yang benar-benar sepenuhnya bisa diterapkan kepada yang lain. Herder

mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan masing-masing budaya, meskipun perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin. Pernyataan tentang budaya yang satu adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya, kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak (mankind was not one but many).16 Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya sendiri.17

Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara konsep pluralisme dan liberalisme. Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala sesuatu tumbuh, bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin saling berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit. Tepatnya, Berlin adalah seorang pluralis liberal. Penulis biografi pemikiran Isaiah Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara pluralisme dan

14

Berlin, The Proper, h. 253.

15

Paris diyakini sebagai pusat pemikiran Pencerahan.

16

Berlin, The Power, h. 9.

17


(20)

liberalisme.18 Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi juga liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi.

Untuk menjernihkan posisi liberalismenya, Berlin menulis esai panjang, Two Consepts of Liberty.19 Dalam esai “Two Consept of Liberty,” Berlin mengemukakan dua konsep kebebasan yang bertolak belakang. Pertama, konsep kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty). Positive liberty diartikan sebagai kebebasan yang mengarah ke luar. Jenis kebebasan ini adalah adopsi dari nalar Pencerahan yang menempatkan rasionalisme sebagai unsur terpentingnya. Sementara itu, negative liberty diartikan sebagai terbebasnya seseorang dari halangan-halangan. Dalam kebebasan negatif, individu menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Pada akhirnya, kebebasan positif dikenai beban moral untuk melakukan ekspansi kebebasan. Kebebasan harus disebarluaskan demi tercapainya sebuah kehidupan yang baik. Persoalannya, bagaimana mendefinisikan kebaikan itu sendiri? Bagi penganut kebebasan positif, prinsip kebebasan bertumpu kepada rasionalitas. Masalahnya, apa yang kita sebut sebagai rasionalitas, atau keberakalan, ternyata tidak tunggal. Dari sinilah kemudian muncul keyakinan monistik, bahwa pasti ada satu kebenaran rasio yang mengatasi kebenaran rasio yang lain yang beragam. Perbedaan dalam tingkat rasionalitas bukan karena kebenaran itu beragam, melainkan tingkat

18

Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 143.

19

Esai itu juga menjadi ceramah Berlin di Universitas Oxford pada tahun 1958. Lihat Isaiah Berlin, Empat Esai, h. 227 – 301.


(21)

capaian rasiolah yang beragam. Dalam hal ini, tingkat yang lebih tinggi bisa memberikan penerangan terhadap yang lebih rendah. Kerapkali hanya karena kurangnya pengetahuan, orang tidak menyadari kebutuhan dan kepentingannya. Atas dasar ini, pemaksaan atas dasar kebebasan dijustifikasi. Dengan demikian, sebagaimana diakui oleh Berlin, totalitarianisme ternyata tidak berasal dari konsep lain, ia justru berasal dari konsepsi kebebasan itu sendiri. Atas nama pembebasan dan kebaikan umum, Hitler membantai jutaan orang.

Sementara itu, konsep kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mencari siapa yang menindas kebebasannya, melainkan sejauh mana ia dikontrol. Orang bisa dikatakan bebas ketika semakin banyak hal yang dia bisa kerjakan secara bebas dan di luar kontrol orang lain. Konsep ini mirip dengan konsepsi kuno mengenai hidup zuhud, bahwa orang akan semakin bebas ketika ia mampu meredam sebanyak mungkin keinginannya. Keinginan adalah sumber penderitaan. Oleh karenanya, kebebasan sempurna adalah ketika seseorang telah mati.20 Berlin tentu tidak memaksudkan kehidupan seperti ini dengan konsepsi kebebasan negatifnya. Sebab apalah artinya hidup tanpa keinginan.

Model kebebasan negatif Berlin sekaligus meneguhkan bahwa dia adalah seorang liberal dan penganut setia Pencerahan, tapi tanpa universalisme. Liberalisme negatif Berlin juga menjadi bantahan serius terhadap model liberalisme yang dikembangkan para pendahulunya, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan tentu saja Imanuel Kant. Landasan rasionalitas yang menjadi tumpuan konsep

20


(22)

liberalisme Kant jelas tertolak melalui penjelasan di atas, bahwa rasionalitas tidak bisa dipakai sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran, ia bisa sangat menindas. Bentham mendefinisikan kebebasan sebagai tiadanya halangan untuk terpenuhinya hasrat manusia. Dengan demikian, bagi Bentham, manusia akan semakin bebas ketika hasratnya dikurangi. Konsepsi seperti ini ditentang oleh Mill, yang menganggap bahwa kebebasan justru adalah terpenuhinya kapasitas individu untuk memenuhi segala hasrat yang ia inginkan.21

Kritikan Berlin terhadap dua pemikir utilitarian itu adalah karena dicantumkannya tujuan dalam konsep liberalisme mereka. Tujuan yang dimaksud adalah terpenuhinya hasrat bagi Bentham atau kemaslahatan bagi Mill. Liberalisme bertujuan atau positif liberty mengandaikan bahwa liberalisme penting bukan pada dirinya sendiri, melainkan adalah instrumen bagi kepentingan yang lain, yakni utility. Melalui negative liberty, Berlin ingin menegaskan bahwa liberalisme atau kebebasan penting pada dirinya sendiri. Di sinilah Berlin menjadi penganut liberalisme dan Pencerahan sejati dengan menganulir tendensi universalisme di dalamnya.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berangkat dari pendahuluan di atas, penulis menemukan hal menarik dalam pemikiran Isaiah Berlin. Berlin mengembangkan konsep baru mengenai kebebasan untuk membersihkan proyek Pencerahan dari tendensi universalisme dan totalitarianisme. Tulisan ini akan masuk ke dalam persoalan pokok dalam pemikiran

21


(23)

Berlin, yakni bagaimana memformulasikan konsep kebebasan tanpa harus mematok diri pada rasionalitas yang menindas.

Penulis akan membatasi tulisan ini pada kritika utama Berlin terhadap universalisme Pencerahan. Dengan demikian, penulis tidak akan terlalu jauh mengemukakan semua bentuk pemikiran Berlin, seperti kajian-kajian sejarahnya, yang sebetulnya juga begitu dominan dalam karya-karya Berlin. Untuk itu, beberapa hal yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini adalah: pertama, pandangan Berlin mengenai konsepsi Pencerahan secara umum; kedua, konsep kebebasan menurut Berlin; ketiga, tawaran pluralisme sebagai kritik terhadap universalisme Pencerahan; dan keempat mengenai posisi kritis Berlin ketika berhadapan dengan konsep liberalisme dan pluralisme. Untuk lebih memperjelas, penulis akan menyinggung beberapa percikan pemikiran lain yang berkaitan dengan tema ini, terutama dari para tokoh yang berpengaruh kepada pemikiran Berlin.

Secara ringkas, tulisan ini ingin menjawab rumusan pertanyaan: pertama, bagaimana Berlin mendefinisikan Pencerahan, hubungannya dengan konsep monisme? Kedua, bagaimana Berlin bergerak di antara dua ekstrim: tendensi monistik dalam liberalisme dan tendensi relativis dalam pluralisme? Rumusan pertanyaan di atas akan menjadi titik soal penulis dalam keseluruhan pembahasan ini.


(24)

C. Tinjauan Kepustakaan

Isaiah Berlin adalah pemikir yang terkenal melalui karya-karya sejarah pemikirannya. Berlin mendokumentasi sejarah pemikiran dengan sangat baik, terutama karena ia memberikan gambaran yang cukup jauh terhadap implikasi pemikiran maupun

asal muasal pemikiran dari pemikir yang ia kaji. Tokoh seperti Karl Marx dan Leo Tolstoy menjadi begitu berbeda di tangan Berlin. Karl Marx digambarkan sebagai hasil

eksperimen filsafat Pencerahan yang pada mulanya memperjuangkan individualisme, sesuatu yang kemudian bertentangan dengan pemikiran Marx yang memperjuangkan kolektivisme. Di tengan Berlin, Leo Tolstoy menjadi pemikir Sovyet yang anti filsafat

Pencerahan tetapi juga tidak tunduk kepada komunisme Sovyet.

Dari pemikiran seperti ini, Berlin menjadi inspirasi bagi banyak pemikir kontemporer khususnya mereka yang bergelut dalam tema-tema seperti liberalisme, pluralisme dan multikulturalisme. Berlin juga memicu kontroversi pemikiran antara liberalisme dan pluralisme. Berlin termasuk pemikir yang mengawali penemuan cacat di dua pemikiran yang sedang digemari pemikir kontemporer tersebut. Ada beberapa karya yang penulis temukan yang menjadikan konsep Berlin mengenai liberalisme dan pluralisme sebagai landasan pemikirannya. Penulis-penulis itu antara lain adalah John Gray, Isaiah Berlin, yang membahas secara detail tentang implikasi relativis dari pemikiran pluralisme Berlin; William A. Galston, Liberal Pluralism, menulis tentang implikasi konsep Berlin mengenai value pluralism terhadap praktik dan teori politik; George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, menulis tentang konsepsi


(25)

Berlin mengenai liberalisme dan pluralisme yang menuguhkan bahwa Berlin bukanlah seorang relativis, melainkan pluralis yang liberal; Richard Bellamy, Rethinking Liberalism, membahas kisruh antara pemikiran Berlin, John Struart Mill dan T. H. Green mengenai konsep liberalisme; juga banyak esai-esai tentang pemikiran Berlin yang ditemukan di pelbagai jurnal.

Sayangnya, penulis tidak menemukan satu karya utuh mengenai pemikiran Berlin di Indonesia. Penulis hanya menemukan satu terjemahan karya Berlin berjudul Four Essays on Liberty yang kemudian diterjemahkan menjadi Empat Esai Kebebasan oleh A. Zaim Rofiqi dan diterbitkan oleh Freedom Institute dan LP3ES tahun 2004. Penulis juga hanya menemukan satu esai yang ditulis oleh Ahmad Sahal yang berjudul Isaiah Berlin dan Liberalisme tanpa Universalisme di Harian Kompas tahun 2004, yang sekaligus dijadikan pengantar dalam buku terjemahan yang telah disebutkan di atas. Sejauh pengetahuan penulis, memang tidak ada lagi karya berbahasa Indonesia yang membahas pemikiran Isaiah Berlin selain yang telah disebutkan di atas.

Kelangkaan buku berbahasa Indonesia yang membahas karya Isaiah Berlin ini pulalah yang sedikit menyulitkan penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat terbantu sebab beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan CSIS menyediakan buku-buku Isaiah Berlin maupun pemikiran tentang liberalisme dan pluralisme dengan sangat lengkap. Perpustakaan-perpustakaan itu tidak hanya menyediakan


(26)

buku, melainkan juga jurnal-jurnal ilmiah yang membahas perdebatan mutakhir mengenai tema yang sedang penulis kerjakan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum mengenai pemikiran Isaiah Berlin, khususnya konsep liberalisme, pluralisme serta objek kritikannya terhadap universalisme Pencerahan. Di samping itu, penulis juga

ingin memperkenalkan lebih jauh pemikiran Isaiah Berlin ke publik intelektual Indonesia. Penulis menyadari bahwa pemikir seperti Isaiah Berlin belum terlalu terkenal

di Indonesia, dilihat dari minimnya pemikiran Berlin yang menjadi objek kajian intelektual Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis juga ingin mengajak berbagai kalangan

untuk mengkaji liberalisme dan pluralisme yang kerapkali diperdebatkan secara tidak proporsional dan keluar dari konteks pemikiran itu sendiri.

E. Metode Penelitian

Sebagaimana lazimnya sebuah kajian filsafat, apalagi itu menyangkut percikan pemikiran dari salah satu tokoh, kajian ini murni menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Studi pustaka yang dimaksud meliputi pengumpulan informasi, baik dari buku, majalah, koran, jurnal, makalah-makalah, maupun informasi-informasi yang sifatnya personal dengan narasumber ternama. Pengumpulan bahan-bahan pustaka itu meliputi pustaka primer dan sekunder. Penulis


(27)

tidak menutup kemungkinan memperoleh informasi dari manapun, termasuk bahan-bahan diskusi di berbagai forum, sebab buku-buku mengenai Isaiah Berlin yang beredar di Tanah Air demikian minim sehingga butuh usaha ekstra untuk mengumpulkan segala informasi tersebut.

Bahan-bahan yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa deskriptif analitis. Deskriptif analitis digunakan sebagai instrumen untuk menggambarkan fokus penelitian sambil mengajukan posisi kritis peneliti. Penulis tidak berpretensi untuk untuk melakukan kajian kausalitas, yakni mencari secara lebih jauh kenapa pemikiran ini muncul, melainkan sekedar memaparkan bagaimana pemikiran ini apa adanya. Di samping itu, penulis juga tidak mau terjebak dalam belenggu pesona pemikiran Isaiah Berlin, tetapi lebih jauh mengambil posisi kritis.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memenuhi sistematika standar penulisan, tulisan ini akan dimulai dengan Bab I, Pendahuluan. Di Bab I, penulis mengurai latar belakang persoalan yang ingin dikemukakan penulis dalam tulisan ini. Bab ini juga akan mengemukakan Rumusan dan

Batasan masalah, Tinjauan Kepustakaan, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab ini penting untuk mengurai secara umum keseluruhan isi tulisan. Pembahasan umum diperlukan agar tercipta pengetahuan yang utuh mengenai


(28)

Bab II akan bicara tentang riwayat hidup, pemikiran, dan karya-karya Isaiah Berlin. Bab ini penting untuk mengetahui konteks kehidupan Berlin di mana ia melahirkan pemikirannya. Bab ini akan menunjukkan bahwa pemikiran Berlin

benar-benar memiliki akar dalam perjalanan hidup Berlin, termasuk dengan pilihan-pilihan hidup yang ia ambil. Di samping itu, Bab ini akan menjadi semacam sarana untuk menunjukkan konteks sosial di mana pemikiran Berlin muncul. Sebelum membahas

lebih jauh pemikiran Berlin, bagian penting diajukan menjadi Bab II karena akan memberikan konteks bagi pemikiran Berlin.

Pada Bab III, penulis akan mengurai sekelumit pemikiran tiga tokoh yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Berlin. Ketiga tokoh itu adalah Giambattista Vico, Johann

Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Ketiganya, menurut Berlin, adalah pengkritik Pencerahan yang paling utama. Vico dan Hamann adalah pengkritik utama Pencerahan yang langsung menggugat klaim kebenaran rasional dan semua fondasi

logika yan diandaikan oleh Pencerahan. Herder kemudian akan melakukan gugatan terhadap implikasi logika Pencerahan pada interaksi budaya. Bab ini mendahului pembahasan mengenai inti pemikiran Berlin yang dibahas dalam tulisan ini sebagai

semacam konteks geneologi pemikiran yang muncul pada diri Berlin.

Bab IV berisi konsep utama Isaiah Berlin mengenai kebebasan. Bab ini akan menunjukkan bagaimana kepiawaian Berlin mencari konsep baru mengenai kebebasan (liberalisme) untuk menyerang konsep kebebasan lama yang dianut oleh Imanuel Kant, Bentham, John Struart Mill, dan para pengikutnya. Di Bab ini juga akan dibahas konsep


(29)

tradisi berpikir monis secara umum. Pada bagian ketiga dari Bab ini, penulis mencoba mengajukan penyelesaian pengenai perdebatan tentang bagaimana Berlin memposisikan liberalisme dan pluralisme dalam konsepsinya, dan sebetulnya Berlin berada pada posisi mana pada dua perdebatan besar itu. Di Bab ini, penulis mencoba

memberikan beberapa jawaban terhadap keraguan banyak komentator terhadap validitas semua konsep Berlin dalam upayanya menyerang universalisme Pencerahan.

Sengaja pembahasan inti pemikiran Berlin ini ditempatkan pada Bab IV, setelah pendahuluan, riwayat dan percik pemikiran tiga tokoh pengkritik Pencerahan yang melandasi pemikiran Berlin secara umum, untuk memberikan semacam keterangan bagaimana Berlin mengajukan gugatan terhadap universalisme Pencerahan. Di akhir bab ini, dikemukakan sekelumit gagasan kebebasan yang berkembang dalam pemikiran

pemikir Islam. Tentu saja penjelasan pada bagian ini tidak terlalu detail, sebab penulis hanya ingin menunjukkan bahwa gagasan kebebasan individu yang diperjuangkan oleh

Berlin, kendatipun kerapkali terlihat tidak konsisten dan dilematis, sebetulnya gagasan telah muncul dan diterapkan dalam pemikiran Islam liberal, yang juga bermuara pada

penolakan terhadap absolutisme dan otoritarianisme. Bagian ini tentu bisa dikembangkan lebih jauh, tetapi penulis sengaja membatasinya, karena pembahasan ini

memang berfokus kepada pemikiran Isaiah Berlin. Bagian ini hanya untuk memberikan satu contoh bagaimana gagasan itu diterapkan dalam kondisi riil masyarakat tertentu.

Tulisan ini akan diakhiri dengan Bab Penutup. Pada Bab ini, penulis mencoba mencari benang merah dari semua perdebatan yang ada dalam pemikiran Berlin mengenai konsep kebebasan dan kritiknya terhadap universalisme Pencerahan. Di


(30)

samping itu, penulis juga memberikan beberapa saran dalam membaca pemikiran Berlin.


(31)

BAB II

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN

A. Riwayat Hidup

Isaiah Berlin dikenal sebagai pemikir yang berdiri pada posisi kritis antara monisme dan pluralisme. Kendati ia menaruh perhatian serius kepada pluralisme, tapi ia tidak pernah benar-benar meninggalkan monisme. Itulah sebabnya, pluralisme yang dianut oleh Berlin adalah pluralisme yang tidak terjebak kepada relativisme atau nihilisme. Banyak komentar yang meneguhkan posisi Berlin tersebut, sebagai pluralis yang bukan relativis. Penegasan banyak komentator itu dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman sejumlah kalangan yang menganggap Berlin adalah seorang relativis.

Di usia 88 tahun, Isaiah Berlin meninggal dunia di Oxford, Inggris, 6 November 1997. Kepergian Berlin meninggalkan luka, ia adalah seorang filsuf dan sejarawan ide yang merekam dengan baik perkembangan dan masa depan intelektual Barat. Berlin bahkan bisa dikatakan sebagai ensiklopedi pemikiran. Berbagai karya dan buah pemikiran pelbagai tokoh begitu hidup di tangan Berlin.22

Berlin lahir dari keluarga Yahudi di sebuah apartemen bernama Albertsrasse, lantai 4, di pinggiran ibu kota Latvia atau Livonia, Riga, 6 Juni 1909. Silsilah keluarga

22


(32)

Berlin berasal dari Chabad Hasidim, yang sekarang disebut sebagai Lubavich. Keluarga Berlin adalah kaum Yahudi yang taat, terutama kakeknya. Awalnya, kelahiran Isaiah

Berlin tidak terlalu diharapkan. Ibu Isaiah Berlin, Mussa Marie Berlin, sebelumnya mengalami trauma ketika ia melahirkan anak pertama tahun 1907, anak itu meninggal. Ibu Berlin bahkan dikatakan tidak akan mungkin melahirkan lagi. Religiusitas keluarga

Berlin tampak ketika ibunya mengandung. Di tengah kepanikan akan bahaya melahirkan, keluarga Berlin selalu mengunjungi rumah ibadah untuk berdo’a agar proses melahirkan tidak membawa bencana. Mereka juga menjadikan kisah-kisah Bible

sebagai pegangan.23

Livonia pada masa itu adalah salah satu provinsi imperium Tsar Rusia. Riga adalah kota yang unik, ia masuk wilayah Imperium Rusia, tapi secara budaya dekat ke Jerman. Warga Riga berkebangsaan Rusia, tapi menggunakan bahasa Jerman.24 Irisan dan pertemuan antar budaya membaur dalam keramaian kota. Riga juga menjadi salah satu pusat pengembangan gereja atau catedral Ortodox. Di kota dengan budaya yang unik inilah Berlin menghabiskan masa kecilnya, sampai akhirnya ia pindah ke Andreapol tahun 1915.Berlin mengalami pahitnya berada di kota perbatasan ketika Rusia dan Jerman meningkatkan kekuatan militer, saling mengancam, dan akhirnya Jerman menduduki Livonia pada tahun 1914, ketika Berlin berusia 5 tahun.25

23

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 10

24

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 11.

25


(33)

Masa-masa itu adalah pergolakan revolusi Rusia. Berlin tumbuh di tengah pergolakan revolusi. Kelak ia akan menjadi penetang komunisme yang sangat cerdas. Tahun 1917, ketika revolusi Rusia benar-benar dimulai untuk pertama kalinya, Berlin, sebagaimana keluarga yang lain, mengalami guncangan dan harus menyelamatkan diri. Situasi buruk itu diperparah oleh invasi Jerman yang telah menjadi sangat anti-Semit. Berlin kemudian dibawa serta keluarganya pindah ke Petrograd.

Pelajaran pertama tentang agama diperoleh Berlin ketika ia masuk sekolah Hebrew, sebuah sekolah untuk anak-anak Yahudi. Di sekolah ini, Berlin secara serius mengikuti pelajaran tentang agama dan budaya Yahudi. Dari para rabbi, Berlin mendengarkan tulisan-tulisan dalam bahasa asli Hebrew. Suatu ketika, rabbi mengatakan, “anak-anak sekalian, ketika kamu beranjak dewasa, kalian akan menyaksikan bagaimana setiap lembar tulisan ini adalah darah dan airmata Yahudi.” Bertahun-tahun kemudian Berlin akan mengatakan bahwa kaum Yahudi memang diliputi oleh trauma darah dan airmata.26 Di sekolah pertama ini, Berlin sudah membaca War and Peace dan Anne Karenina karya Leo Tolstoy, pemikir dan sastrawan yang pemikirannya diidentikkan dengan pemikiran Berlin.

Karena situasi yang selalu tidak bersahabat, bahkan cenderung mengerikan, bagi kaum Yahudi, keluarga Berlin kemudian berusaha pindah ke London, Inggris. London menjadi pilihan karena di kota ini, kaum Yahudi tumbuh subur dengan aman. 3 Februari 1921, keluarga Berlin benar-benar pindah ke kota kecil di pinggiran

26


(34)

London, Surbiton, tepatnya di St James Road. Berlin kemudian melanjutkan sekolah di Arundel House School di Surbiton. Di London, keluarga Berlin hidup berpindah-pindah. Tahun pertama, keluarga penuh cerita ini berpindah tempah sebanyak tiga kali: St James Road, Surbiton; 8 Barrylands Road, Surbiton; dan Effingham Road, Long Ditton, Surrey.27

Angan-angan keluarga Berlin tentang London yang damai dan ramah kepada Yahudi ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Berlin bersusah payah menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa yang relatif baru tersebut. Kendatipun di Petrograd Berlin telah lulus bahasa Inggris, ia tetap kesulitan ketika harus menggunakan bahasa tersebut sehari-hari di lingkungan yang berbahasa Inggris asli. Bahasa Inggris Berlin yang tidak memadai itu kerapkali menjadi bahan cemoohan teman-teman Berlin. Tapi lambat laun, Berlin berhasil mengatasi rasa inferior. Suatu ketika Berlin diejek oleh teman-temannya dengan sebutan “dirty jew”, ia menjawab dengan rasa percaya diri, “no, dirty German,”28

Pada musim gugur 1928, Berlin pindah ke Oxford. Kota ini kemudian akan menjadi sangat berarti bagi Berlin. Berlin menyebut Oxford sebagai kota pembebasan. Kota ini memperkenalkan Berlin kepada dunia yang sebenarnya. Berlin mulai harus belajar berdansa dan bergaul dengan banyak kalangan. Tahun 1920-an adalah tahun emas bagi para homoseksual. Berlin menyimak Harold Acton membaca Sea and Sardinia karya D.H. Lawrence dalam sebuah ‘very oily, buttery voice dan

27

Ignatief, Isaiah Berlin.

28


(35)

sedang tenggelam dalam permainan erotik homo. Berlin pun bergaul dengan dunia homoseksualitas ini. Pada masa itu, homoseksualitas adalah style dan menjadi semacam bentuk perlawanan terhadap anti-intelektualisme di sekolah-sekolah publik.29

Tahun 1930, Berlin semakin jauh masuk ke dalam pergaulan intelektual di mana ia menjadi editor Oxford Outlook, sebuah penerbitan mahasiswa. Sekitar tahun itu pula, Oxford menjadi pusat perhatian dunia filsafat. Di sana muncul nama-nama terkenal seperti Bertrand Russell dan Wittgenstein. Bukan hanya intelektualisme, tapi juga kesenian menjadi semacam instrumen Berlin untuk melakukan perlawanan terhadap kampanye anti-Semitisme yang dilancarkan Nazi Jerman. Di Oxford Outlook, Beethoven dan Schubert menjadi musik perlawanan. Berlin sendiri sangat terpukau kepada Bach, Mozart, Beethoven, Schubert, Rossini, dan Donizeti. Kecintaan Berlin kepada musik piano pertengahan abad ke-19, membuatnya tidak mudah untuk berpaling dari tokoh seperti Wagner. Berlin kagum kepada Wagner, meskipun ia tidak sepakat dengan gagasan kekerasan dan hasrat seksualnya.30 Sebagaimana umumnya diketahui, Wagner adalah musikus yang menginspirasi Nietzsche. Sementara Nietzsche dipahami sebagai sumber idiologi totaliter NAZI.

Hari-hari selanjutnya dilewatkan Berlin di sebuah lembaga pendidikan yang bernama All Soul College. Berlin mendaftar ke All Soul tahun 1932. Sebagai seorang Yahudi, Berlin tidak cukup percaya diri untuk masuk ke All Soul. Teman-teman

29

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 43.

30


(36)

dekat Berlinlah yang meyakinkan bahwa All Soul adalah salah satu pilihan terbaik. Teman-teman Berlin di All Soul memanggilnya Shaya, nama kecil Berlin yang diambil dari Isaiah.

Darah keluarga Yahudi yang saleh ternyata tetap diwarisi secara kreatif oleh Berlin. Kendati ia bergaul secara bebas, Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan

kesalehan sebagai seorang Yahudi. Identitas Yahudi yang masih dipegangnya barangkali sebagai akibat dari represi terhadap kaum Yahudi ketika itu. Berlin bahkan menjadi pengikut Zionis, sebuah sekte Yahudi yang memperjuangkan berdirinya negara

Israel di Palestina. Kendati Berlin mengaku sebagai Zionis, dia menolak anggapan umum bahwa seluruh hidupnya diabdikan kepada kelompok ini. Berlin sendiri masih

bingung dengan mitos yang berkembang di kalangan kaum Zionis bahwa Palestina yang merupakan tanah tanpa rakyat itu harus diberikan kepada rakyat tanpa tanah. Akhirnya, Berlin memilih sebuah rekonsiliasi, bahwa tanah Yahudi di Palestina harus

menjadi awal bagi integrasi ekonomi seluruh bangsa Arab. Tapi setelah mengamati secara bijak, ternyata pendirian negara Israel menyimpan banyak masalah yakni

munculnya sinkretisme, korupsi, dan fasisme. Tahun 1934, Berlin membatalnya kunjungannya ke Tanah Yang Dijanjikan (the Promised Land), Palestina, ia memilih

berkunjung ke Italia.31

Dalam pengertian intelektual, Berlin dipengarhi oleh kehidupan ganda: pertama, Rachmilievitch – sebagai pengembara, sejarahwan, yang dipenuhi oleh literatur Rusia, Jerman, dan Yahudi, yang berada dalam kesatuan bahasa yang unik;

31


(37)

kedua, oleh kolega-kolega filosofis di Oxford – yaitu Anglo-Saxon, prosedural dan rasionalis.32 Berlin menemukan sahabat akrab yang gagah, seorang berdarah setengah Yahudi, A.J. Ayer, yang akrab ia panggil Freddie. Mereka berdua menjalin persahabatan yang kompetitif selama 50 tahun. Keduanya begitu dekat, tapi juga begitu berbeda dalam banyak hal. Perbedaan pandangan itu, misalnya, terlihat ketika mereka mendefinisikan keyahudian yang mengalir dalam darah mereka. Bagi Ayer, keyahudian adalah warisan atavistik dimana pemikiran rasional akan membuangnya; sementara Berlin memandang keyahudian sebagai satu identitas yang dapat dipertanyakan tetapi tidak pernah benar-benar bisa dibuang. Persaingan keduanya memuncak ketika mereka berkompentisi mendapatkan tiket masuk ke All Soul, di mana Berlin berhasil masuk, sementara Ayer tidak. Mereka berpisah: Berlin ke All Soul, Ayer melanjutkan studi ke Vienna.33 Ayer kemudian muncul sebagai seorang yang sangat terpengaruh positivistik, sebuah aliran filsafat yang sangat kuat di Vienna.

Mazhab Vienna lambat laun merasuk ke dalam pemikiran Berlin. Sahabatnya, Ayer, telah mempopulerkan doktrin-doktrin mazhab Vienna secara umum dan terutama pemikiran Wittgenstein. Sebetulnya, Wittgenstein tidak murni menjadi bagian lingkaran Vienna (Vienna Circle), ia menjadi begitu terkenal ketika karyanya, Tractatus, dipublikasikan pada tahun 1921. Di semua tempat, Wittgenstein dibicarakan. Wittgenstein menjadi bahan utama perbincangan di kafe-kafe, kendati

32

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 81.

33


(38)

tidak begitu banyak orang yang benar-benar mengerti dan pernah membaca karyanya. Ayer dan Berlin berada di antara sekian pengagum Wittgenstein. Mereka kerapkali mengulang-ulang diktum Wittgenstein, “whereaof one cannot speak, thereof one must silent” (ketika seseorang tidak bisa berbicara, maka sebaiknya ia diam). Berlin memang telah membaca Tractatus, tapi kalimat yang selalu terngiang di kepalanya adalah “death is not an event in life” (mati bukanlah satu fase dari kehidupan).34

Di samping A.J. Ayer, sahabat lain yang begitu dekat dengan Berlin adalah J.L. Austin. Austin terpilih masuk ke All Soul satu tahun setelah Berlin. Berlin dan Austin melewatkan hari-harinya di All Soul bersama-sama. Mereka saling mempengaruhi, dan

kerapkali saling mengunjungi kamar masing-masing. Austin kerapkali membisikkan sesuatu kepada Berlin:

they all talk about determinism and say they believe in it. I’ve never met a determinist in my life, I mean a man who really did believe in it, as you and I believe than men a mortal. Have you?” 35

(mereka bicara tentang determinism dan mereka mengatakan bahwa mereka mempercainya. Saya belum pernah bertemu dengan seorang determinis dalam hidup saya, yang saya maksud adalah orang yang benar-benar mempercainya, sebagaimana kamu dan saya yang percaya bahwa manusia itu fana. Bukankah demikian?)

Kata-kata itu untuk menggambarkan komitmen mereka untuk ide tentang kebebasan yang tak mungkin dihindarkan dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya, Berlin tampak berusaha menggabungkan kecenderungan pemikiran dua sahabat

34

Ignatief, Isaiah Berlin, h. 83.

35


(39)

karibnya: antara positivisme logis (logical positivism) dari Ayer dan filsafat bahasa yang skeptis dari Austin. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari di mana Berlin terlibat aktif dalam dua arus pemikiran, antara kecenderungan universalistik dan pluralistik, antara skeptisisme dan determinisme, antara antara kebebasan dan ketergantungan, dan seterusnya. Semuanya itu terjadi dalam sebuah forum diskusi di Brethrem.

B. Pemikiran

Perhatian Berlin terhadap filsafat dimulai ketika ia menjadi mahasiswa pada akhir 1920-an dan awal 1930-an di Oxford. Saat itu memang kebanyakan mahasiswa begitu terpesona dengan filfasat. Perhatian terhadap filsafat akhirnya membawa Berlin

kepada arus empirisme yang begitu kuat saat itu, terutama yang dibawakan oleh G.E. Moore dan Betrand Russell. Pertama-tama, Berlin tertarik dengan konsep mengenai dunia kebermaknaan, yang dihubungkan dengan paradigma kebenaran dan kesalahan,

pengetahuan dan opini, dan terutama mengenai kemungkinan satu preposisi dapat diverifikasi ketika dia diekspresikan. Pandangan seperti ini dianut dan dikembangkan

oleh kelompok pemikir yang dikenal sebagai Vienna School (Mazhab Wina): mereka adalah murid-murid Russell, antara lain Carnap, Wittgenstein, dan Schlick. Pandangan

mereka kira-kira adalah, bahwa makna sebuah preposisi adalah cara di mana ia diverifikasi. Jika tidak ada cara dalam memverifikasi satu ungkapan, maka hal itu bukanlah statement yang kapabel bagi analisa kebenaran atau kesalahan, tidak faktual,


(40)

dan oleh karenanya tidak bermakna. Barangkali itu hanyalah ungkapan hasrat, imajinasi sastrawi, atau ekspresi lain yang tidak layak berada dalam klaim kebenaran empiris.36

Kendatipun Berlin dipengaruhi oleh Mazhab Wina, ia tidak pernah benar-benar menjadi pengikut setianya. Bagi Berlin, posisi Mazhab Wina berbahaya, karena pada akhirnya semua preposisi akan dipertanyakan. Menyatakan bahwa semua angsa itu putih adalah generalisasi yang bukan tanpa makna. Jika berpegang teguh pada verifikasionalisme, maka keseluruhan konsep tentang angsa yang putih akan runtuh jika ada satu saja angsa yang berwarna hitam. Semua preposisi dan kesimpulan akan memiliki cacat verifikasional. Satu preposisi, bagi Berlin, sudah memiliki makna sejak awal, kendatipun ada yang kurang dan ada yang sedikit lengkap.37

Sebagaimana yang telah diceritakan pada bagian awal Bab ini, Berlin juga sempat bergaul dengan filsuf-filsuf semacam A.J. Ayer, J.L. Austin, dan Stuatr Hampshire yang berada dalam bayang-bayang Oxford Empirisism, dan dalam beberapa tingkat oleh Oxford Realism—yaitu kepercayaan bahwa ada dunia external yang independen dari observasi manusia. Kendati demikian, Berlin masih percaya bahwa pengalaman empiris adalah semua kata yang dapat diekspresikan, tidak ada dunia yang lain. Dalam hal ini, verifikasi bukan hanya kriteria pengetahuan, kepercayaan, atau hipotesis. Preposisi, pada dirinya sendiri, memiliki kebenaran.

Berlin juga bersentuhan dengan arus pemikiran fenomenalisme (phenomenalism). Fenomenalisme berbicara seputar pertanyaan mengenai apakah

36

Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 2.

37


(41)

pengalaman manusia dibatasi kepada apa yang diberikan oleh pengertian, sebagaimana yang dipikirkan oleh filsuf Inggris, Berkeley dan Hume, ataukah di sana ada satu entitas independen dari pengalaman. Bagi filsuf seperti John Lock dan pengikutnya, di sana ada realitas, kendatipun tidak mungkin kita tidak bisa rasakan secara langsung, namun ia menjadi penyebab atas pengalaman atas perasaan tersebut. Filsuf lain menyatakan bahwa dunia eksternal adalah realitas material yang bisa dicecap secara langsung. Pandangan semacam ini biasanya disebut sebagai realisme, sebagai lawan dari pandangan bahwa dunia diciptakan oleh kecakapan-kecakapan kemanusiaan, seperti akal imajinasi dan semacamnya.

Penolakan terhadap realisme ini muncul dari mereka yang disebut rasionalis maupun idealis. Berlin menyatakan bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa percaya kepada semua klaim kebenaran metafisis—baik dari kebenaran kaum rasionalis, yang dipelopori oleh Descartes, Spinoza, Leibniz dan, pada beberapa bentuk, Kant, juga kebenaran dari penganut idealisme, yang dikomandoi oleh Fichte, Friedrich Schellling dan Hegel.38 Dunia eksternal ini menyita perhatian Berlin: ia banyak membicarakan dan menuliskan topik-topik ini.

Hidup Berlin yang dilatarbelakangi ancaman otoritarianisme membawanya kepada pemikiran kontra-otoritarianisme tersebut. Ia menemukan bahwa sejarah pemikiran Perancis berujung pada otoritarianisme. Ketika menulis buku Karl Marx: His Life and Environment (1963), Berlin menyatakan bahwa sebetulnya bukan Marx yang begitu menarik perhatiannya, melainkan ia ingin menginvestigasi para

38


(42)

pendahulu Marx, terutama pemikir-pemikir pencerahan Perancis. Berlin mengakui dan memberikan apresiasi terhadap pemikiran Perancis yang telah melakukan pembebasan dari kegelapan dan yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayyul (superstition), kebodohan, tekanan, dan semacamnya. Keberatan Berlin terhadap pemikiran Pencerahan Perancis terletak pada konsekuensinya yang berakhir pada dogmatisme baru. Karl Marx adalah dogmatisme baru yang lahir dari pemikiran Pencerahan Perancis.

Semasa perang, Berlin menjadi pegawai pemerintahan Inggris. Ketika ia kembali ke Oxford untuk mengajar filsafat, ia terjebak ke dalam dua persoalan: pertama, tentang monisme, tradisi pemikiran yang mempengaruhi semesta pemikiran sejak Plato sampai saat itu; kedua, persoalan makna dan aplikasi pemikiran liberal. Kedua masalah inilah yang akan mewarnai perjalanan intelektual Isaiah.

Para pemikir Pencerahan yang terpesona oleh kesuksesan ilmu pengetahuan alam mengambil kesimpulan simplistis bahwa metode investigatif terhadap dunia luar telah memperoleh kemenangan. Yang lain menyatakan bahwa metode saintifik adalah satu-satunya kunci bagi pengetahuan. Saat itu, terjadi perdebatan sengit tentang apakah metode ilmu alam bisa juga masuk ke dalam ranah kemanusiaan.39 Muncul pemikiran bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan satu metode. Inilah dasar monisme modern.

39

Saat itu terjadi apa yang disebut methodenstrait, perdebatan tentang metode. Perdebatan ini menyangkut tentang apakah metode ilmu alam bisa diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.


(43)

Tesis umum dari kaum monis adalah bahwa semua pertanyaan yang benar pasti memiliki jawaban satu jawaban yang benar dan hanya satu, sementara jawaban-jawaban lain pasti salah. Pasti ada satu cara yang mengarahkan pemikir-pemikir cemerlang untuk sampai kepada jawaban yang benar itu. Pada intinya, kaum monis memercai satu solusi final bagi semua persoalan, baik sosial, moral, maupun politik. Penjelasan lebih jauh mengenai monisme akan kita bahas pada Bab IV.

Pemikiran monistik, bagi Berlin, sungguh berbahaya. Dari bentuk pemikiran inilah muncul kediktatoran dan otoritarianisme. Untuk itu, Berlin berusaha mencari pemikiran alternatif sebagai counter terhadap tradisi monistik. Berlin kemudian menemukan pluralisme sebagai jawaban. Pertama-tama, Berlin menggali kembali tradisi pemikiran pluralis yang berkembang di masa-masa awal Pencerahan. Di sana, Berlin menemukan pemikiran seperti Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder, dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir ini, oleh Berlin, disebut sebagai pemikir pluralis murni. Giambattista Vico melancarkan serangan terhadap motode matematis yang dikampanyekan oleh Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Bagi Vico, kemanusiaan tidak bisa direduksi ke dalam pengetahuan matematis. Bukan hanya manusia, yang nota bene memiliki hasrat dan keinginan yang tak bisa ditebak, melainkan keseluruhan alam. Pengetahuan hanya mungkin valid ketika ia berangkat dari alasan kenapa dan bagaimana sesuatu itu ada. Pengetahuan, bagi Vico, identik dengan penciptaan.40

40

Lihat Isaiah Berlin, Vico and Herder, dalam Isaiah Berlin, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Haman, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 32.


(44)

Di samping Vico, Berlin juga membaca dengan serius pemikiran Herder dan Hamann. Pada Herder, Berlin menemukan pemikiran yang bisa menolak tradisi monisme. Herder mengembangkan apa yang disebut perbedaan dan keunikan masing-masing budaya. Herder percaya bahwa setiap budaya memiliki jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan utama. Bagi Herder, setiap budaya menempati kedudukan di pusat grafitasinya masing-masing, dengan rujukan tradisi yang berbeda. Herder menegaskan, bahwa toleransi universal memang mungkin, tapi univikasi budaya adalah destruksi yang berbahaya.41 Sementara Hamann menunjukkan kepada Berlin bahwa semua pengetahuan dan kebenaran adalah partikular. Rasio tak mampu menangkap realitas secara utuh. Sebab realitas menyimpan banyak kejutan. Setiap realitas selalu berbeda karena mereka memiliki individualitasnya masing-masing. Yang paling riil adalah individualitas, bukan kesimpulan deduktif yang reduktif.42

Dari sinilah kemudian Berlin percaya kepada pluralisme. Teori yang muncul dari pemahaman pluralisme ini, oleh Berlin, disebut value pluralism.Value pluralism ingin menunjukkan bahwa adalah nilai-nilai yang beragam. Masing-masing nilai berbeda, tidak mungkin dimusnahkan tapi juga tidak mungkin dipersatukan. Bukan berarti Berlin kemudian jatuh ke dalam relativisme, sebab pada akhirnya Berlin akan berdiri sebagai seorang liberal. Sebagai bentuk kritikan terhadap tradisi Pencerahan, maka bentuk liberalisme Berlin cukup unik. Berlin menolak keras liberalisme model Pencerahan yang universalistik (atau disebut juga sebagai pisitive liberty), melainkan

41

Berlin, The Power, h. 9.

42

Lihat Isaih Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 250.


(45)

liberalisme pluralis (Berlin senang menyebut negative liberty untuk mewakili pendiriannya ini). Posisi liberalisme Berlin yang unik, oleh John Gray, disebut sebagai agonistic liberalisme.43Perdebatan mengenai pluralisme dan liberalism akan hadir secara lebih detail pada Bab V.

C. Karya-karya

Kebanyakan karya Berlin berbentuk esai panjang. Tapi karena esai-esai itu begitu panjang, akhirnya kemudian terbit dalam bentuk buku utuh. Di antara karya-karya

Berlin itu adalah:

1. Karl Marx: His Life and Environment, ditemukan beredar pada tahun 1939. Edisi keempat buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1978. 2. The Age of Enlightenment: The Eighteenth-Centure Philosphers (New York:

New American Library, 1956). Buku ini berisi kumpulan esai tentang uraian karya-karya para filsuf abab ke-delapan belas.

3. Four Essays on Liberty (London: Oxford University Press, 1969). Buku ini berisi empat esai tentang kebebasan. Esai-esai itu adalah Political Ideas in the Twentieth Century, Historical Inevitability, Two Concepts of Liberty, dan John Stuart Mill and the Ends of Life. Inilah satu-satunya buku Berlin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Empat Esai Kebebasan, diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi (Jakarta: Freedom Institute, 2004).

43


(46)

4. Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas (London: Hogarth Press, 1976). Buku ini berisi dua esai yang membahas dua pemikir kontra Pencerahan, Giambattista Vico dan Johann Gottfried Herder.

5. Russian Thinkers (London: Hogarth Press, 1978). Buku ini adalah kumpulan esai panjang. Salah satu esai yang sangat terkenal dari Berlin di buku ini adalah The Hedgehog and the Fox: on Tolstoy’s View of History. Esai tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku utuh dengan judul yang mirip, The Hedgehog and the Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History (New York: Simon and Schuster, 1953).

6. Concepts and Nategories: Philosophical Essays (London: Hogarth Press, 1978). Buku ini berisi kumpulan esai filosofis yang berisi gugatan terhadap berbagai konsep filsafat, yang menurut Berlin berafiliasi terhadap tradisi monisme, seperti verifikasinisme, empirisisme, positivisme, logika matematis, rasionalisme dan lain sebagainya.

7. Against the Current: Essays in the History of Ideas (London: Hogarth Press, 1979). Ini adalah buku kumpulan banyak esai tentang tokoh-tokoh yang berdiri di garis perlawanan terhadap universalisme Pencerahan. Buku ini juga memuat satu esai mengenai Machiavellli yang diyakini oleh Berlin sebagai salah satu tokoh yang melawan tradisi Pencerahan, di samping tokoh-tokoh lain seperti Hamann dan Herzen.


(47)

8. Personal Impressions (London: Hogarth Press, 1980). Buku ini berisi kumpulan esai lepas tentang profil berbagai tokoh dunia, baik tokoh pemikir maupun tokoh politik.

9. The Croocked Timber of Humanity: Chapters in History of Ideas (London: John Murray, 1990). Buku ini juga berisi esai-esai tentang kritik terhadap Pencerahan dan kultur pemikiran Barat.

10.The Magus of the North: J.G. Hamann and the Origins of Modern Irrationalism (London: John Murray, 1993). Buku ini merupakan buku sejarah pemikiran Hamann, satu tokoh yang sangat berpengaruh di dalam perjalanan intektual Berlin.

Setelah Berlin meninggal pada tahun 1997, muncul beberapa buku yang merupakan kumpulan esai maupun kumpulan karya Berlin. Penerbit Pimlico, London, yang mengambil inisiatif menerbitkan kembali karya-karya dalam bentuk yang berbeda. Kumpulan karya dan esai Berlin yang terbit setelah ia meninggal adalah The Power of Ideas (2001), The Proper Study of Mankind (1998), The Roots of Romanticism (2000), The Sense of Reality (1997), Three Critics of The Enlightenment: Vico, Hamann, Herder (2000), Freedom and It’s Betrayal: Six Enemies of Human Liberty (Princeton: Princeton University Press, 2002), dan Liberty (Oxford: Oxford University Press, 2002).


(48)

BAB III

TIGA KRITIK UNTUK PENCERAHAN

Berlin hidup di sebuah masa di mana superioritas Pencerahan, dengan rasionalisme sebagai ujung tombaknya, sedang menunjukkan borok busuknya dengan tampilnya Nazisme dan fasisme yang begitu mengancam peradaban dunia. Berlin adalah anak kandung Pencerahan yang berusaha dengan sangat kritis menemukan cacat epistemologis dari tradisi Pencerahan. Tanpa ragu, Berlin membuka kembali risalah-risalah masa lalu yang telah dengan sangat tajam melakukan kritik terhadap Pencerahan. Setidaknya, Berlin begitu terpukau kepada tiga pemikir kontra-Pencerahan yang telah melakukan teoretisasi menggugat langsung kepada intik konsep Pencerahan yang dikumandangkan para founding fathersnya. Tak ayal, tokoh seperti Rene Descartes, Imanuel Kant dan pengikut Barat sentris menjadi para pesakitan yang seolah tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan para penggugat. Tradisi rasionalisme, empirisisme, positivisme dan saintisme merupakan titik pusat kritikan. Tiga tokoh pengkritik Pencerahan, yang mendapat apresiasi dari Berlin dengan sangat mencolok, adalah Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder dan Johann Georg Hamann.


(49)

A. Giambattista Vico

Gugatan utama Vico terfokus kepada klaim kebenaran subjektif yang dideklarasikan oleh kaum Pencerahan, dalam hal ini diwakili oleh Rene Descartes. Descartes telah mendaku menemukan satu pendasaran bagi kebenaran yang pasti melalui apa yang dia sebut sebagai kesangsian metodis atau metode kesangsian (le doute methodique).44 Untuk mencapai kebenaran, mula-mula kita harus meragukan segala sesuatu. Keraguan harus ada sebab jangan-jangan semua kebenaran yang kita andaikan adalah tipuan belaka dari semacam iblis yang begitu cerdik (genius malignus), khayalan-khayalan yang tak berdasar, atau bahkan Tuhan itu sendirilah yang telah menipu, bahkan tipuan itu sendiri.

Metode kesangsian menjadi penting bagi dasar kepastian adalah bahwa dengan menyangsikan segala sesuatu, maka akan ditemukan satu kepastian, yakni kesangsian itu sendiri. Yang pasti dari semua kesangsian adalah kesangsian itu sendiri. Dari sana kemudian ditemukan bahwa aku yang sangsi benar-benar ada. Semakin kita menyangsikan, termasuk menyangsikan bahwa kita sangsi, maka kita semakin nyata. Menyangsikan adalah satu bentuk kegiatan berpikir, maka berpikir adalah proses mengada. Descartes mengatakan je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).45

44

Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 38.

45


(50)

Descartes kemudian menemukan apa yang disebut res cogitans sebagai ide bawaan yang melekat pada manusia sejak semula. Tapi pada kenyataannya, manusia tidak hanya terdiri dari pikiran, melainkan juga sesuatu yang bisa diraba dan dirasakan. Oleh karenanya, kejasmanian adalah sesuatu yang nyata. Kejasmanian ini juga adalah ide bawaan. Descartes menyebut kejasmanian dengan istilah res axtensa. Pada akhirnya, Descartes juga menemukan bahwa aku juga memiliki ide kesempurnaan yang juga merupakan bawaan sejak lahir. Allah adalah ide bawaan.

Kendatipun Descartes mengakui bahwa bukan hanya res cogitans yang menjadi ide bawaan, melainkan juga res extensa dan Allah, tetapi tampak nyata bahwa res cogitans memiliki otoritas yang lebih tinggi. Aspek pikiran cenderung mendominasi dalam filsafat Descartes, itulah sebabnya ia masuk dalam aliran rasionalisme. Aliran ini berkeyakinan bahwa kebenaran pengetahuan diperoleh dari rasio, bukan dari kenyataan di luarnya.

Pada titik inilah Vico masuk untuk melakukan gugatan terhadap Descartes. Keyakinan Descartes pada kebenaran matematis dari realitas digugat, karena hal ini mengabsolutkan kebenaran manusia atau subjek. Dualisme subjek-objek benar-benar merupakan reduksi terhadap kebenaran sejati. Bagi Vico, manusia tidak serta merta bisa mengetahui segala sesuatu dengan melakukan kesimpulan secara clear and distinct karena realitas adalah proses yang terus berjalan.


(51)

Kriteria kebenaran bagi Descartes adalah sejauh klaim kebenaran itu berada dalam kategori clear and distinct.46 Kemajuan intelektual sejati tergantung, sebagaimana pandangan natural science, kepada reduksi atas sesuatu yang dipelajari ke dalam clear and distinct, konsep dan keputusan yang bersifat matematis. Vico mengatakan, jika begitu, maka para sejarawan dan ahli purbakala bisa menyampaikan kepada kita tahun-tahun sejarah Republik Romawi hanya dengan informasi tidak lebih dari pembantu Cicero. Inikah yang disebut science?47 Awalnya Vico menerima pandangan semacam ini, tapi kemudian dengan sangat berani menyerangnya.

Bagi Vico, pengetahuan sempurna hanya diperoleh melalui kasus-kasus, dalam bahasa Vico disebut per caussas. Mengetahui sesuatu secara sempurna hanya jika, dan hanya jika, kita tahu kenapa ia ada sebagaimana adanya, bagaimana ia datang untuk ada, untuk apa ia ada, atau apa dia, bukan semata-mata karena dia ada dengan segala atributnya. Pemahaman tentang per caussas adalah ide kuno yang telah ditemukan dalam filsafat skolastik.48

Dari sini kemudian Vico menghubungkan pengetahuan dengan proses penciptaan. Francisco Sanchez, dalam Quod Nihil Scitur (1581), dalam satu diskusi mengenai sukarnya mengetahui alam dan kekuatan jiwa, menyebutkan bahwa jika manusia ingin memiliki pengetahuan ini dalam tingkat yang sempurna maka

46

Lihat Isaiah Berlin, Three Critics of the Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 30.

47

Berlin, Three Critics.

48


(52)

hendaklah ia menjadi seperti Tuhan, atau menjadi Tuhan itu sendiri.49 Vico mengatakan: “Kita mendemonstrasikan geometri karena kita memakainya.”50

Tuhan mengetahui dunia karena Ia yang membuatnya dengan cara dan alasan yang hanya Ia yang tahu, sementara kita tidak pernah mengetahuinya secara sempurna, karena bukan kita yang membuatnya – karena kita menemukannya siap pakai – dia telah terberi sebagai sebuah ‘brute fact.’51 Hal yang sama bisa diajukan bagi para pengarang novel, bahwa yang paling mengerti maksud dan tujuan satu novel adalah pengarangnya sendiri. Tapi tidak semua apa yang dibuat oleh novelis atau composer atau pematung benar-benar baru, ada saja hal yang ia ambil dari sesuatu yang terberi. Berarti, dalam karya manusia selalu ada unsur ‘brute fact’nya. Manusia hanya bebas menentukan pilihannya, tapi pilihan itu terbatas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, semakin kita memahami per caussas, maka pengetahuan kita semakin memiliki kemungkinan benar (the more we can be said to understand per caussas, the more we truly know).52

Thomas Hobbes dalam De Corpore mengungkapkan: “Si physica demonstrare possemus, faceremus” (if we could demonstrate physics, we would make it). Jika kita mampu menunjukkan kebenaran dan rahasia fisika, maka kita akan menggunakan dan menciptakannya. Tetapi kita tidak pernah bisa, karena hanya Tuhan yang mengetahuinya secara sempurna, dan Tuhan itu sendiri adalah kebenaran

49

Lihat Benedetto Crooce, The Philosophy of Giambattista Vico, (New York: Russel & Russel Inc, 1964), h. 4.

50

Crooce, The Philosophy..

51

Crooce, The Philosophy, h. 32.

52


(53)

sempurna. Isaiah Berlin menyebut hal ini adalah bentuk Platonisme Kristian atau Neoplatonisme.53 Doktrin Pencerahan mengatakan bahwa mengetahui sesuatu haruslah menjadi dirinya, atau setidaknya mendominasinya. Bukan hanya Hobbes yang mendukung keyakinan Vico mengenai keidentikan pengetahuan dan penciptaan, Patrizi mengatakan: “mengetahui haruslah disatukan dengan apa yang diketahui,” Campanella juga menegaskan: “mengetahui haruslah menjadi apa yang diketahui.”54

Tidak diragukan bahwa, dalam Vico, doktrin pengetahuan sempurna identik dengan penciptaan. Bagi Vico, hanya Allah yang bisa mengetahui realitas dengan sebenar-benarnya, manusia tidak bisa melakukannya, mereka tidak dapat mengkontemplasikan (merenungkan) esensi Platonik. Vico tidak sepakat, misalnya dengan Leonardo, bahwa akal menyingkirkan kebutuhan bagi pengalaman. Bahkan pada dasarnya, Vico melampaui pandangan Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan matematika tidak identik dengan pengetahuan dengan dunia riil.55 Vico terutama menolak matematika sebagai sebuah alat bagi pengetahuan terhadap alam, fisika, dan kemanusiaan. Matemetika, bagi Vico, hanya mungkin dipakai bagi dirinya sendiri. Vico menegaskan, “The true (verum) and the made (factum) are convertible” (kebenaran dan penciptaan dapat dipertukarkan).56

Isaiah Berlin tidak hanya terpengaruh oleh pemikiran Vico, pemikiran itu juga dijadikan sebagai instrumen untuk menyerang tradisi berpikir modern yang

53

Crooce, The Philosophy, h. 33.

54

Crooce, The Philosophy.

55

Crooce, The Philosophy, h. 34.

56


(54)

universalistik. Titik berat kebenaran kepada kemanusiaan adalah reduksi habis-habisan terhadap realitas yang memiliki beragam nuansa yang berlapis-lapis. Adanya realitas tidak mungkin dikurung dalam kategori-kategori simplistis. Realitas memiliki latar belakang dan motivasi keberadaan yang terlalu panjang untu disimpulkan dengan menggunakan kategori subjektif. Dari sini Berlin juga menyerang pangkal totalitarianisme modern yang muncul secara sangat kejam dalam bentuk Nazisme, fasisme dan anti-semitisme. Rasionalitas yang dikembangkan Descartes telah merambah jauh membelenggu realitas dan kemanusiaan secara umum.

B. Johann Georg Hamann

Ketika Vico melakukan gugatan terhadap tradisi Pencerahan dengan menggoncangkannya, maka teolog dan filsuf Königsberg, Johann Georg Hamann, telah membanting tradisi universalistik itu. Isaiah Berlin menggambarkan peran pemikir ini dalam menyerang tradisi pencerahan dengan berapi-api:

“The most passionate, consistent, extreme and implacable enemy of the

Enlightenment and, in particular, of all forms of rationalism of his time (he lived and died in the eighteenth centure) was Johann Georg Hamann. His influence, direct and indirect, upon the romantic revolt against universalism and scientific method in any guise was considerable and perhaps crucial.”57

(Musuh yang paling bernafsu, konsisten, ekstrim dan berkepala dari Pencerahan dan, terutama, dari semua bentuk rasionalisme pada masanya (dia hidup dan

57

Lihat Isaiah Berlin, The Magus of the North: J. G. Hamann and the Origins of Modern Irrationalism, dalam Three Critics of The Enlightenment, h. 255.


(55)

meninggal di abad ke-delapan belas) adalah Johann Georg Hamann. Pengaruhnya, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pemberontakan romantik melawan universalisme dan metode saintifik dalam banyak bentuk sungguh krusial).

Penegasan utama dari Hamann adalah “all truth is particular, never general” (semua kebenaran itu partikular, tidak pernah berlaku umum).58 Hamann adalah seorang penganut agama yang taat. Ia penganut sekte Luteran. Awalnya, Hamann adalah murid setia Pencerahan, tapi ketika terjadi goncangan spritual di dalam dirinya, ia balik haluan menjadi penentang tradisi Pencerahan, bahkan ia dikenal sebagai seorang anti-rasionalis yang sangat gigih.

Hamann mengkampanyekan bahwa rasio tidak kuasa mendemonstrasikan seluruh kenyataan, rasio hanya satu instrumen untuk mengklasifikasi dan menyusun data dalam satu pola tertentu, tetapi tidak pernah benar-benar bisa menunjukkan kenyataan yang sebenarnya secara utuh.59 Alam semesta, bagi Hamann, sebagaimana yang dipercai oleh kaum mistikus Jerman kuno, hanyalah semacam bahasa. Segala sesuatu, tumbuhan atau binatang pada dirinya hanyalah simbol dimana Tuhan berkomunikasi dengan ciptaannya. Hamann membuat satu ungkapan yang sangat baik untuk menggambarkan pemikirannya, “God-intoxicated man” (manusia yang dimabuk Tuhan). Bagi Hamann, semua hal—semua yang ada dan yang mungkin

58

Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Onthology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 249.

59


(56)

ada—tidak hanya diciptakan oleh Tuhan, melainkan juga berbicara kepada kita. Semua hal adalah wahyu. Segala sesuatu adalah keajaiban.60

Oleh karena itu, segala pengetahuan tidak bisa diperlakukan secara umum. setiap entitas memiliki alasan keberadaan yang berbeda. Setiap sesuatu memiliki keunikannya masing-masing. Pengetahuan tentang kebenaran hanyalah persepsi langsung dari entitas individual. Semua konsep tidak akan pernah bisa merepreksikan semua pengalaman individual. Hamann menegaskan, sebagaimana yang dibahasakan oleh Berlin, “what is real is individual” (yang riil adalah yang individual).61 Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa setiap nilai memiliki keunikannya sendiri-sendiri, mereka berbeda dari bentuknya, peristiwanya, pemikirannya, dan tidak ada nilai yang berlaku umum.

Hamann sedikit memberi perhatian terhadap pelbagai teori dan spekulasi tentang dunia eksternal, dia hanya peduli terhadap kehidupan personal individu, yaitu kesenian, pengalaman religius, perasaan dan hubungan personal. Bagi Hamann, Tuhan itu adalah penyair, bukan matematikawan yang bisa mereduksi dan membawa kita ke dalam satu konstruksi verbal tanpa makna, sesuatu yang sangat rapuh tapi dianggap seolah-olah pasti (dalam bahasa Goenawan Mohamad: “sesuatu yang kelak retak dan kita membuatnya abadi”).

C. Johann Gottfried Herder 60

Berlin, Three Critics, h. 253.

61


(57)

Jika pada Vico dan Hamann Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan pada fondasi konseptualnya, maka Herder menampilkan gugatan pada

implikasi cara berpikir Pencerahan yang universalistik. Implikasi universalistik ala Cartesian itu tampak nyata dalam interaksi budaya dan peradaban manusia. Sebagaimana dua tokoh terdahulu, keseluruhan pemikira Herder bermuara pada serangan terhadap universalisme Pencerahan yang terrepresentasi dalam keunggulan budaya Barat. Doktrin Pencerahan yang datang dari para pemikir Perancis benar-benar

telah memuakkan dan merangsang hasrat intelektual Herder menghancurkan pengandaian-pengandaian Pencerahan yang menurutnya rapuh itu. Herder dengan tegas menolak doktrin Pencerahan Perancis yang mengklaim diri memiliki kebenaran

universal, tak lekang oleh waktu dan merupakan kebenaran yang tak perlu dipertanyakan serta berlaku bagi semua orang, di manapun dan kapanpun.

Herder meyakini bahwa budaya-budaya yang berbeda memiliki jawaban yang berbeda terhadap persoalan utama yang mereka hadapi.62 Herder begitu peduli

terhadap aspek kemanusiaan, apa yang hidup dalam sebuah masyarakat, daripada mencari esensi dunia eksternal yang tidak jelas dan membingungkan. Herder percaya bahwa apa yang baik bagi orang Portugis, mungkin tidak begitu baik bagi orang Persia.

Menurut Berlin, Montesquieu telah menyatakan hal yang mirip dengan menyatakan bahwa manusia dan kemanusiaan terbagi menurut lingkungannya. Dia menyebut istilah

climate’ untuk menggambarkan kematian universalisme budaya.

62


(1)

mungkin diambil secara utuh untuk menyelesaikan problem yang berbeda. Kita hanya mungkin mengambil salah satu konsep Berlin untuk menyelesaikan persoalan tertentu, sambil mencoba menyembunyikan konsep lain agar tidak menjadi perusak, demikian sebaliknya. Akhirnya, bisa dikatakan, bahwa sebetulnya Berlin tidak berdiri pada posisi manapun.

Sekalipun demikian, tingkat ketajaman berpikir dan kritisisme yang dikembangkan oleh Berlin tetap merupakan sumbangan yang sangat berarti. Berlin menjadi penganut Pencerahan dalam pengertian yang sebenarnya. Berlin selalu diliputi keraguan, sehingga tidak ada konsep yang bisa berdiri utuh di hadapannya, karena akan selalu ia periksa dan, jika perlu, dihancurkan. Penghancuran itu sendiri akan menjadi konsepsi baru yang akan diperiksa kembali oleh Berlin. Kemudian, ia mungkin akan melakukan rekonstruksi atau pemulihan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Rujukan Primer

Berlin, Isaiah, Concepts and Categories: Philosophical Essays, London: Pimlico, 1999.

---, Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press, 1992. ---, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan,

Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004.

---, Freedom and It’s Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, Princeton: Princeton University Press, 2002.

---, Karl Marx: His Life and Environment, New York: A Galaxi Book, 1963. ---, Liberty, Oxford: Oxford University Press, 2002.

---, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, New York: Simon and Schuster, 1953.

---, The Magus of The North: J. G. Hamann and The Origins of Modern Irrationalism, London: John Murray, 1993.

---, The Power of Ideas, London: Pimlico, 2001.

---, The Proper Study of Mankind, London: Pimlico, 1998. ---, The Roots of Romanticism, London: Pimlico, 2000. ---, The Sense of Reality, London: Pimlico, 1997.

---, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, London: Pimlico, 2000.


(3)

B. Rujukan Sekunder

Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, terj. Alois A. Nugroho dan J. M. Subijanta, Asal-usul Totalitarianisme: Jilid II, Imprealisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

---, The Origins of Totalitarianism, terj. J. M. Subijanta, Asal-usul

Totalitarianisme: Jilid III, Totalitarianisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Beiser, Frederick C., The Cambridge Companion to Hegel, Cambridga: Cambridge University Press, 1993.

Bellamy, Richard, Rethinking Liberalism, London & New York, Pinter, 2000. ---, Liberalism and Pluralism: Towards a Politics of Compromise, London dan

New York: Routledge, 1999.

Bertens, K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Binder, Leonard, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Keritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Boaz, David (ed.), The Libertarian Reader: Classic and Contemporary Readings

from Lao-tzu to Milton Friedman, New York: The Free Press, 1997. Cohen, Marshall, The Philosophy of John Stuart Mill: Ethical, Political, and

Religious, New York: The Modern Library, 1961.

Crowder, George, Liberalism and Value Pluralism, London & New York: Continuum, 2002.

---, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang

dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003).

Flatman, Richard E., Toward A Liberalism, Ithaca and London: Cornell University Press, 1989.


(4)

Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992.

---, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order, terj. Masri Maris, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Galston, William A., Liberal Pluralism: The Implikations of Value Pluralism for Political Theory and Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Gray, John, Isaiah Berlin, New Jersey: Princeton University Press, 1995.

---, Post Liberalism: Studies in Political Thought, London and New York: Routledge, 1993.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Hayek, Friedrick A., The Constitution of Liberty, Chicago: The University of Chicago Press, 1960.

Jerry Z. Muller, The Mind and The Market: Capitalism in Modern European Thought, New York: Alfred A. Knope, 2002.

Kurzman, Charles (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003.

Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosphy: A Introduction, New York: Oxford University Press, 1990.

---, Multicultural Citizenship, New York: Oxford University Press, 1995. ---, The Rights of minority Cultures, New York: Oxford University Press, 1995. Lilla, Mark dkk. (ed.), The Legacy of Isaiah Berlin, New York: New York Review

Book, 2001.

Mendos, Susan, Toleration and The Limits of Liberalism: Issues in Political Theory, London: The MIT Press, 1995.


(5)

---, Utilitarianism, Oxford: Oxford University Press, 2001.

---, Willful Liberalism: Voluntarism and Individuality in Political Theory and Practice, Ithaca & London: Cornell University Press, 1992.

Nozick, Robert, Anarchy, State, and Utopia, New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1974.

Rapar, J. H., Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Rachman, Budhy Munawar (ed.), Ensoklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006.

Rawls, John, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, 2000. ---, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1996.

Ruggiero, Guido de, The History of European Liberalism, Oxford: Oxford University Press, 1927.

Sandel, Michael J., Liberalism and The Limits of Justice, Cambridge: Cambridge University Press, 1982.

--- (ed.), Liberalism and It’s Critics, New York: New York University Press, 1984.

Sen, Amartya, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, New York: Oxford University Press, 1982.

---, Development as Freedom, New York: Alfred A. Knop, Inc., 2000.

Straus, Leo and Joseph Cropsey (ed.), History of Political Philosphy, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Williams, Robert R. (ed.), Beyond Liberalism and Communitarianism: Studies in Hegel Philosphy of Right, New York: State University of New York Press, 2001.


(6)

Zakaria, Fareed, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, New York: W. W. Norton and Company, 2003.