Revolusi Digital dan Ketenagakerjaan pdf

I. PENDAHULUAN
Salah satu isu nasional yang saat ini masih menjadi masalah bersama
adalah pengangguran. Berdasarkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
128,3 juta jiwa tergolong masyarakat kategori tenaga kerja pada tahun 2015,
namun disayangkan 7,4 juta di antaranya menganggur. Jika dilihat trennya,
tingkat pengangguran pada umumnya mulai menurun, namun persentasenya
terhadap jumlah tenaga kerja masih tetap signifikan.
2012

Jenis Kegiatan

2013

2014

2015

Februari

Agustus


Februari

Agustus

Februari

Agustus

Februari

Angkatan Kerja

121819813

119849734

123170509

120172003


125316991

121872931

128301588

Bekerja

114061982

112504868

115929612

112761072

118169922

114628026


120846821

7344866

7240897

7410931

7147069

7244905

7454767

Pengangguran

7757831

Tabel 1.1 Jumlah Angkatan Kerja di Indonesia (2012-2015)


Persentase Pengangguran terhadap Angkatan Kerja
8%
6%
4%
2%
0%
Februari

Agustus

2012

Februari

Agustus

2013

Februari


Agustus

2014

Februari
2015

Grafik 1.1 Persentase Pengangguran terhadap Angkatan Kerja (2012-2015)

Penurunan tingkat pengangguran di Indonesia lima tahun terakhir ini
didukung oleh pertumbuhan ekonomi makro negara. Hal tersebut memberi
dampak positif bagi pembukaan lapangan kerja baru di Indonesia. Namun,
setiap tahunnya sekitar dua juta penduduk Indonesia terjun ke dunia kerja.
Pertambahan angkatan kerja ini tidak dapat diimbangi oleh lapangan kerja
yang tersedia. Akibatnya, pengangguran akan terus ada di Indonesia––dan
mayoritas lulusan sarjana yang baru menyelesaikan studi (fresh graduates).
Jumlah pengangguran sarjana secara spesifik meningkat dari 5,34% menjadi
6,22% dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini menjadi krusial mengingat
para lulusan sarjana masuk dalam kelompok usia 15-24 tahun, yang menurut
Macunovich (2012), berperan signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi. Ukuran kelompok usia tersebut memiliki pengaruh besar terhadap
pertumbuhan Produk Domestik Bruto suatu negara dan ekonomi global.

1

Dari perspektif hukum, pada Pasal 27 UUD 1945 ayat (2) disebutkan
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan dan
layak” dan ketenagakerjaan adalah tanggung jawab pemerintah. Oleh karena
itu, pemerintah bertanggung jawab untuk menangani isu pengangguran dan
menciptakan kehidupan masyarakat yang layak. Selain itu, pada UU No. 13
Tahun 2003, terdapat konsep “pembangunan ketenagakerjaan”, yang berarti
pewujudan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional. Dari dua hukum tersebut,
pemerintah dituntut untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah
pengangguran di Indonesia.
Secara empiris, proyeksi oleh BPS, Badan Pembangunan Nasional
(Bappenas), dan United Nations Population Fund dua per tiga populasi akan
tinggal di wilayah rural pada tahun 2035. Dengan laju urbanisasi yang tinggi
di Indonesia, diperkirakan 85 juta jiwa akan tinggal di wilayah rural. Hal ini
berarti dua hal. Pertama, partisipasi tenaga kerja rural cenderung akan lebih

tinggi dari partisipasi tenaga kerja urban. Kedua, sebagai dampaknya adalah
tingkat pengangguran di wilayah urban akan lebih tinggi dari wilayah rural.
Jika tren ini terus berlangsung, maka akan berisiko partisipasi tenaga kerja
semakin rendah dan pengangguran semakin tinggi (Allen, 2016).
Penyelesaian masalah pengangguran di Indonesia menjadi semakin
krusial dengan adanya prakarsa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di
tingkat regional yang mempermudah arus tenaga kerja di antara negaranegara anggota ASEAN. Fenomena ini tentunya meningkatkan persaingan
antar-masyarakat Asia Tenggara dalam mencari pekerjaan. Indonesia selaku
regional power dituntut untuk mampu mempertahankan prestisenya sebagai
pionir, termasuk dengan memenangkan MEA. Sebagai negara berpopulasi
terbesar keempat dunia dan terbesar pertama di Asia Tenggara, Indonesia
tentu memiliki potensi besar untuk mempertahankan kepemimpinannya di
antara negara anggota ASEAN lain dalam kompetisi ini. Namun demikian,
potensi tersebut akan sia-sia jika pengangguran masih ada. Oleh karena itu,
pengangguran adalah masalah penting yang perlu segera diselesaikan oleh
pemerintah guna dapat bersaing di tingkat internasional.

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini melakukan tinjauan pustaka atas literatur-literatur yang
membahas mengenai revolusi digital dan perkembangan teknologi informasi
komunikasi (TIK) untuk menganalisis dampaknya terhadap ketenagakerjaan
secara umum. Literatur lain yang juga termasuk ke dalam tinjauan pustaka
ini membahas mengenai literasi digital serta kaitannya dengan penyediaan
akses terhadap tenaga kerja. Melalui tinjauan pustaka, basis konseptual dari
penelitian dapat dibangun dan dikembangkan.
Dari awal penelitian mengenai keterkaitan perkembangan teknologi
dan ketenagakerjaan, Edwards (1987) menyoroti bahwa risiko berkurangnya
lapangan pekerjaan karena teknologi yang semakin terkomputerisasi terlalu
dilebih-lebihkan. Meskipun jenis pekerjaan tertentu dapat dilakukan tanpa
kontribusi manusia, namun lini pekerjaan lainnya juga terbuka, khususnya
di industri teknologi komputer.
Di samping itu, perkembangan teknologi juga menekan biaya dalam
proses produksi sehingga dapat dialokasikan untuk membuka lapangan kerja
baru. Dengan demikian, pengangguran dapat dikurangi dengan pemanfaatan
teknologi secara tepat dan optimal untuk membuka lapangan pekerjaan baru.
Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran yang tinggi dituntut
untuk menerapkan kebijakan untuk menyesuaikan perkembangan teknologi
agar dapat menyediakan akses yang lebih terbuka ke lapangan kerja baru––

serta kemampuan untuk menggunakan informasi yang tersedia secara efektif
(Beauvallet et al., 2006).
Namun demikian, keterbukaan akses dinilai masih tidak cukup untuk
mengentaskan masalah pengangguran. Bach et al (2013) yang menggunakan
kerangka Digital Human Capital menjelaskan keterhubungan antara digital
divide dengan bentuk eksklusi sosial dan ekonomi lainnya. Oleh karena itu,
pengangguran yang termasuk ke dalam bentuk eksklusi ekonomi memiliki
kaitan dengan kesenjangan digital yang ada di masyarakat.
Bach et al menyarankan pelatihan operasi komputer dan konsumsi
konten digital, tidak sekedar menyediakan akses dan konektivitas saja. Agar
TIK dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat, pemerintah diharapkan

3

dapat menerapkan kebijakan inklusi digital beserta diversifikasi kepemilikan
media. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, diharapkan tingkat literasi
digital dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan konten digital dapat
ditingkatkan. Dalam hal ini, internet berperan sebagai kanal yang potensial.
Intinya, kerangka Digital Human Capital menekankan pentingnya pelatihan
TIK diarahkan pada praktik sosial dan kultural yang mendorong partisipasi

masyarakat untuk menyelesaikan isu kesenjangan digital, termasuk masalah
pengangguran yang disebabkan oleh ketidaksetaraan tersebut.
Revolusi Digital sebagai Solusi Masalah Pengangguran
Penerapan kebijakan pelatihan kemampuan TIK untuk mengurangi
tingkat pengangguran di Indonesia sesuai dengan kerangka Digital Human
Capital tersebut selaras dengan temuan OECD Employment Outlook 2016
yang menyoroti lima isu utama terkait ketenagakerjaan global, antara lain:
1. Rendahnya kualitas pekerjaan dan kesempatan di pasar tenaga kerja
yang tidak setara.
2. Tenaga kerja berketerampilan rendah (low-skilled labor) yang tidak
memiliki akses secara langsung ke lapangan kerja semakin tertinggal
di pasar tenaga kerja.
3. Penyedia pekerjaan (employer) perlu mendorong adanya penggunaan
keterampilan dan kemampuan di lokasi kerja.
4. Reformasi struktural dapat berdampak pada pengangguran, namun
pemerintah dituntut untuk dapat memitigasi risiko tersebut.
5. Kesenjangan gender di negara berkembang masih menjadi tantangan
terbesar dalam isu ketenagakerjaan.
Dari kelima aspek tersebut, poin kedua dapat ditemukan di Indonesia––yaitu
kondisi di mana tingkat literasi digital masih tidak merata, sehingga masih

terdapat sejumlah kelompok yang tidak memiliki akses kepada informasi
lapangan kerja dan akhirnya menjadi pengangguran. Untuk menyelesaikan
masalah tersebut, kerangka Digital Human Capital dapat digunakan, yakni
tak hanya mendorong penyediaan akses TIK yang menyeluruh, namun juga
menuntut pemerintah menerapkan kebijakan berupa pelatihan kemampuan
TIK dan mendorong partisipasi aktif masyarakat di dalamnya.

4

Kemampuan TIK yang dimaksud adalah keterampilan yang terkait
dengan teknologi informasi dan komunikasi yang dibutuhkan dalam profesi
tertentu serta memiliki nilai dalam pasar tenaga kerja. Dalam laporan oleh
International Telecommunication Union (ITU), keterampilan TIK tersebut
dibagi tiga. Pertama adalah literasi komputer, yang terdiri dari tiga tingkat:
dasar, menengah, dan lanjutan. Seiring dengan perkembangan zaman serta
ketergantungan pada teknologi, literasi komputer tingkat lanjutan semakin
umum menjadi prasyarat utama suatu profesi, bahkan yang tidak berkaitan
dengan TIK. Kedua, literasi digital yaitu kemampuan melakukan navigasi,
evaluasi, dan pembuatan informasi menggunakan berbagai teknologi digital.
Jenis keterampilan TIK ini dibagi lagi ke dalam lima kompetensi: informasi,
komunikasi, pembuatan konten, keamanan, dan pemecahan masalah. Ketiga,
adalah literasi jejaring (web), yakni kemampuan membaca dan menulis aset
digital berupa jejaring, baik berupa tulisan, dokumen, maupun multimedia.
Dengan memiliki ketiga jenis keterampilan TIK di atas, diharapkan
masyarakat dapat memenuhi syarat untuk bekerja di sektor terkait teknologi
informasi dan komunikasi. Mengutip laporan bertajuk Digital opportunities:
innovative ICT solutions for youth employment oleh ITU, TIK telah terdifusi
ke dalam berbagai sektor ekonomi dan kategori pekerjaan. Dampaknya, di
pasar tenaga kerja sekarang ini, keterampilan TIK dasar menjadi prasyarat
wajib dalam rekrutmen pekerjaan. Bahkan di Eropa, diprediksi dalam lima
tahun ke depan, 90% dari seluruh pekerjaan akan menjadikan keterampilan
TIK dasar sebagai prasyarat (European Commission, 2012)

Grafik 2.1 Persentase Penggunaan Program TIK (1991-2011)
Sumber: ITU, 2014

5

Sesuai pernyataan Edwards (1987) bahwa risiko lapangan pekerjaan
berkurang karena perkembangan TIK terlalu dilebih-lebihkan, munculnya
sejumlah sektor lapangan kerja baru dan kesempatan wiraswasta di industri
ini justru semakin memperluas dan mendiversifikasi lapangan kerja. Seperti
yang dilaporkan oleh ITU, jenis pekerjaan yang dimaksud antara lain situs
jasa dalam jejaring (daring/online) untuk mempermudah pencari pekerjaan
mencari lowongan kerja yang cocok dengan kapasitas dan kemampuannya.
Kemudian muncul juga jenis pekerjaan crowdsourcing yang berupa proses
pengerjaan proyek tertentu yang didistribusikan kepada sekelompok orang.
Proses ini dapat berlangsung secara daring maupun langsung. Perbedaannya
dengan model ousourcing tradisional, crowdsourcing membagi tugas pada
publik secara acak alih-alih sekelompok karyawan tertentu. Serupa dengan
crowdsourcing adalah microwork, yang berupa pekerjaan-pekerjaan ringan
yang merupakan bagian dari proses atau proyek berskala lebih besar, namun
dapat dikerjakan melalui internet.

Grafik 2.2 Peta Rute Perdagangan Aplikasi Dunia (2012)
Sumber: ITU, 2014

Tidak hanya itu, akibat perkembangan TIK, muncul pula berbagai
lapangan pekerjaan serta kesempatan wiraswasta lainnya yang lebih praktis,
seperti pengembangan aplikasi digital; penyediaan layanan bagi penyandang
disabilitas; video game dan permainan daring lainnya; jasa perbaikan peranti
TIK, seperti reparasi telepon genggam dan perbaikan komputer; serta jenis
pekerjaan hijau, di maan penggunaan keterampilan TIK dapat berkontribusi
pada green and smart economy dengan membentuk lapangan pekerjaan baru
dan mempercepat transisi pertumbuhan yang ramah lingkungan.

6

III. PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan melalui
kajian literatur yang terkait dengan subjek penelitian. Konsep-konsep dasar
yang dikaji meliputi revolusi digital dan perkembangan TIK untuk dianalisis
dampaknya terhadap ketenagakerjaan secara umum. Literatur lain yang juga
termasuk ke dalam tinjauan pustaka ini membahas mengenai literasi digital
dan kaitannya dengan penyediaan akses terhadap tenaga kerja. Berdasarkan
landasan konseptual yang dibangun dari tinjauan pustaka, penelitian ini akan
memaparkan pengaplikasiannya kepada aspek-aspek yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan di Indonesia.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini melihat bahwa TIK telah digunakan dalam mengatasi
masalah-masalah di sektor ketenagakerjaan, seperti 1) medium bagi pencari
kerja untuk mencari pekerjaan yang tepat; dan 2) perkembangan teknologi
digital sebagai penyedia lapangan kerja baru.
Teknologi Digital sebagai Media Pencarian Lowongan Pekerjaan
Berdasarkan kajian literatur, terdapat peningkatan paparan TIK pada
penduduk Indonesia. Survei yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Jaringan
Internet Indonesia (APJII) menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia
memiliki akses ke internet. Angka tersebut cukup signifikan mengingat total
penduduk Indonesia sebanyak 256.2 juta orang (Kompas, 2016). Artinya
lebih dari setengah penduduk Indonesia terhubung ke internet. Sementara
itu, pengguna internet Indonesia juga didominasi oleh usia produktif. Hal
tersebut dapat digambarkan dalam tabel 1.1 yang merinci pengguna internet
berdasarkan usia.
Usia

Presentase

18-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
46-55 tahun
56-65 tahun

49.00%
33.80%
14.60%
2.40%
0.20%

Tabel 4.1 Pengguna Internet di Indonesia Berdasarkan Usia
Sumber: Kominfo, 2014

7

Selain usia produktif, pengguna internet Indonesia juga didominasi
kelompok yang berlatarbelakang pendidikan siap bekerja/siap melanjutkan
pendidikan. Sebanyak 64,70% pengguna internet tergolong lulusan Sekolah
Menengah Atas/sederajat, sedangkan 16.90% dari sarjana/S1 (Kementerian
Kominfo, 2014). Data pengguna internet berdasarkan tingkat pendidikannya
secara lebih jelas diilustrasikan oleh tabel 1.2.
Tingkat Pendidikan

Presentase

SMU/SMA sederajat
Sarjana/S1
SMP/Mts sederajat
Akademi/D1/D2/D3/D4/Vokasi
SD/MI sederajat
Pasca Sarjana/S2/S3
Tidak ada

64.70%
16.90%
9.70%
6.80%
1.20%
0.40%
0.40%

Tabel 4.2 Pengguna Internet di Indonesia Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumber: Statistik Kominfo, 2014

Temuan lain yang menarik adalah konsentrasi persebaran pengguna
internet di Indonesia yang tidak hanya terfokus di perkotaan. Dari tahun ke
tahun, pertumbuhan angka fasilitas internet Indonesia justru lebih signifikan
di pedesaan. Menurut data BPS, jumlah warung internet di pedesaan pada
tahun 2005, 2008, 2011, dan 2014 secara berturut-turut adalah 359; 466;
5,609; dan 6,756 (Kementerian Kominfo, 2014). Titik balik jumlah fasilitas
internet di Indonesia terjadi pada transisi tahun 2008 ke tahun 2011, di mana
jumlah warung internet (warnet) bertambah 1,103%. Dari sini, dapat dilihat
bahwa seluruh penduduk memiliki kesempatan yang setara untuk mencari
informasi di internet. Namun, sangat disayangkan dalam mencari pekerjaan,
pemanfaatan internet masih didominasi kelompok berpendidikan tinggi.
Dari seluruh pengguna internet, sekitar 4 juta orang memanfaatkan
keterhubungan tersebut untuk mencari kesempatan pekerjaan. Sebagaimana
dilansir oleh CNN Indonesia, LinkedIn yang awalnya baru memiliki sekitar
2.8 juta pelanggan di Indonesia, mengalami peningkatan pengguna sebanyak
40% hingga mencapai 4 juta (CNN Indonesia, 2015). Berdasarkan data dari
Managing Director LinkedIn untuk Asia Tenggara, Australia, dan Selandia
Baru Cliff Rosenberg, 90% anggota LinkedIn di Indonesia ingin mencapai
puncak kariernya dan 71% memandang LinkedIn sebagai alat penting yang

8

membantu percepatan karier mereka (CNN Indonesia, 2015). Hal lain yang
menjadi indikator peningkatan pemakaian internet untuk mencari pekerjaan
juga dapat ditemukan dalam riset yang dilansir oleh JobsDB. Sejak Januari
2011 hingga Januari 2013, jumlah pengakses situs lowongan kerja JobsDB
meningkat 266%.1 Rata-rata yang mengakses JobsDB berusia antara 18-40
tahun (Suara Pembaruan, 2013).
Meskipun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
pengguna internet untuk peningkatan karier didominasi oleh kelompok yang
berketerampilan tinggi. Rosenberg mencatat bahwa 71% pengguna LinkedIn
Indonesia menyandang jabatan manajer atau lebih senior, sedangkan 22%
bertanggung jawab membuat keputusan di dalam organisasi mereka (CNN
Indonesia, 2015). Di sisi lain, hasil survei JobsDB menemukan 25% pencari
pekerjaan di Indonesia belum pernah bekerja atau fresh graduate, dan 41%
telah bekerja namun menginginkan pekerjaan baru yang lebih baik. Sisanya,
34% adalah orang-orang yang sudah betah dengan pekerjaan lama dan tidak
mau mencari pekerjaan baru (Suara Pembaruan, 2013). Bidang pekerjaan
yang diminati pencari kerja daring ini terdapat di sektor yang memerlukan
pendidikan yang tinggi. Survei JobsDB menyatakan lima bidang pekerjaan
yang paling diminati pencari kerja di Indonesia adalah pekerjaan di bidang
administrasi, TIK, penjualan, dan keuangan (Suara Pembaruan, 2013).
Kesenjangan penggunaan internet sebagai media pencarian kerja ini
tentu menjadi suatu masalah. Memang terjadi peningkatan jumlah pengguna
internet untuk mencari kerja, namun kelompok berpendidikan tinggi masih
mendominasi. Hal ini menunjukkan kesenjangan perkembangan teknologi.
Bagaimana mereka yang berpendidikan rendah dapat menemukan lowongan
pekerjaan melalui internet menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengurangan jumlah pengangguran di Indonesia.
Teknologi Digital sebagai Pencipta Lapangan Pekerjaan
Berdasarkan studi literatur, penelitian ini menemukan adanya usaha
pemerintah memanfaatkan teknologi untuk memperluas lapangan pekerjaan.
Sebagai contoh adalah peluncuran Gerakan Nasional 1000 Startup Digital.


9

Gerakan ini diluncurkan pada 17 Juni 2016, dengan bertujuan pembentukan
1000 startup pada tahun 2020. Diperkirakan, nilai dari keseluruhan startup
ini adalah 10 milyar dolar AS. Inisiator dari program ini adalah Kementerian
Komunikasi dan Informasi serta Kibar, sebuah organisasi yang menamakan
diri sebagai wadah ekosistem pembangun startup. Program ini terdiri dari
serangkaian lokakarya, pelatihan pemrograman, dan program inkubasi yang
diadakan di sepuluh kota besar di Indonesia: Jakarta, Jogjakarta, Surabaya,
Bandung, Semarang, Malang, Medan, Pontianak, Denpasar, dan Makassar.
Usaha pemerintah ini perlu diapresiasi. Akan tetapi, masih terdapat
sejumlah tantangan yang menghambat tujuan mulia program ini. Pertama,
terdapat keterbatasan pendanaan program. Pemerintah Indonesia sama sekali
tidak memberikan dana dan hanya berperan sebagai pemberi rekomendasi.
Kibar yang memimpin dalam pencarian sponsor dari komunitas-komunitas
berdasarkan goodwill. Usaha ini lebih kurang bergantung pada respons dari
pihak ketiga, yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan baik oleh pemerintah
maupun Kibar. Hambatan kedua adalah overestimasi pelaku startup dalam
pembuatan usaha. Hal yang paling penting adalah membangun usaha yang
berkelanjutan, jika ingin tujuan gerakan 1000 startup tercapai. Hanya saja,
pebisnis kerap kali menunjukkan pesimisme terhadap startup yang muncul
sebagai entitas yang menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang. Ratarata tingkat kegagalan startup adalah 90% (Forbes, 2015). Apaila 10% dari
seluruh startup yang ditargetkan terus bertahan, paling tidak mereka harus
menjadi “centaur”, perusahaan yang berharga paling tidak 100 juta dolar AS
untuk mencapai target valuasi. Alternatifnya, valuasi yang ditargetkan akan
tercapai jika satu startup program ini mampu menjadi “unicorn”, perusahaan
yang berharga 1 milyar dolar AS. Akan tetapi, digital startup di Indonesia
yang dapat mencapai tingkat perusahaan “unicorn” sampai sekarang hanya
Traveloka dan Tokopedia (Techinasia, 2016; Bloomberg, 2016).
Bagaimanapun, kita telah menyaksikan startup-startup di Indonesia
membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat. Seiring dengan melemahnya
ekonomi global, gelombang pemutusan hubungan kerja mulai menghampiri
Indonesia. Pada tahun 2015, 43,085 karyawan mengalami PHK (Sindonews,

10

2015). Pada Februari 2016, sudah 12,680 pekerja mengalami PHK (Rafki
Hidayat, BBC, 2016). BPS diwakili oleh Deputi Bidang Statistik Distribusi
dan Jasa, Sasmito Hadi Wibowo, menilai bahwa kehadiran startup seperti
Gojek (penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi daring) dapat menekan
angka pengangguran di saat krisis (Merah Putih, 2015). Para pekerja yang
bekerja di sektor formal bergeser ke sektor informal dengan menjadi mitra
Gojek. Berdasarkan wawancara dengan Cut Dina, Kepala Pemasaran Gotix
di bawah Gojek, hingga tahun 2016 ini jumlah mitra Gojek (tidak hanya
pengendara Gojek, namun juga penyedia layanan lain seperti perawatan
kecantikan dan pemindahan barang) mencapai 500.000 orang.
Selain startup, penyerapan tenaga kerja juga dilakukan e-commerce.
Berdasarkan hasil riset Google dan Temasek yang diterbitkan dalam laporan
bertajuk “eConomy SEA: Unlocking the US$ 200 Billion Opportunity in
Southeast Asia”, Indonesia menyumbangkan 92 juta pengguna internet dari
total 600 juta pasar internet di Asia Tenggara (Sigit Kurniawan, Markeeters,
2016). Pada tahun 2015 saja, persentase e-commerce Indonesia terhadap ecommerce ASEAN mencapai 31%, dan diprediksi akan bertumbuh menjadi
52% pada tahun 2025. Asumsi ini diperkuat dengan fakta bahwa masyarakat
Indonesia menggunakan internet untuk pelbagai kegiatan ekonomi, seperti
menjual dan membeli barang serta jasa. Survei BPS sendiri mencatat bahwa
seperlima aktivitas pengguna internet di Indonesia tahun 2014 mencakup
kegiatan-kegiatan ekonomi (Kementerian Kominfo, 2014).
Terakhir, perkembangan TIK dewasa ini juga mendorong terbukanya
lapangan kerja baru dalam bidang yang tidak akan pernah ada tanpa
internet: keamanan siber. Hingga kini, kebutuhan ahli di bidang keamanan
teknologi informasi di Indonesia belum mencukupi. Paling tidak, Indonesia
baru memiliki 50 orang ahli TI yang benar-benar mumpuni dalam keamanan
siber. Padahal dengan pesatnya perkembangan teknologi membuat serangan
siber di Indonesia semakin banyak (Pikiran Rakyat, 2013). Kepala Sub
Direktorat Keamanan Teknologi dan Informasi Kementerian Komunikasi
dan Informatika, Riki Gunawan, menyebutkan bahwa setidaknya Indonesia
masih membutuhkan 7,000 ahli TI yang bersertifikasi (Antara News, 2015).

11

V. KESIMPULAN
Pada akhirnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa telah terjadi
revolusi digital dalam masyarakat Indonesia. Terjadi pergeseran kebiasaan
dalam melakukan berbagai aktivitas dengan semakin mudah dan murahnya
akses internet. Revolusi ini memengaruhi beberapa aspek ketenagakerjaan.
Penelitian ini menyoroti bagaimana perkembangan teknologi digital mampu
membantu masyarakat Indonesia mencari pekerjaan dan membuka lapangan
pekerjaan itu sendiri. Di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri bahwa terdapat
kesenjangan yang ada dalam kemampuan memanfaatkan teknologi digital:
teknologi ini sangat menguntungkan mereka yang memiliki akses sumber
daya yang lebih luas. Perusahaan-perusahaan yang melakukan perekrutan
secara daring, misalnya, jarang melakukan perekrutan itu untuk mengambil
pekerja keterampilan rendah. Startup-startup yang tumbuh juga memerlukan
pendidikan yang tinggi dan keahlian spesifik, yang harus diperoleh dengan
bertahun-tahun pendidikan dan keahlian. Selain itu, dalam menumbuhkan
startup, masyarakat masih memerlukan sumbangan dana dari masyarakat
lainnya––baik itu swasta maupun komunitas.
Maka dari itu, diperlukan kolaborasi antar aktor-aktor yang berperan
dalam ketenagakerjaan Indonesia, yakni pemerintah, perusahaan (employer),
media, dan pencari pekerjaan itu sendiri. Para aktor ini diharapkan dapat
merumuskan solusi yang akan memudahkan dan meningkatkan penyerapan
tenaga kerja yang berkeadilan. Berkeadilan di sini dalam artian memberikan
kesempatan bagi semua kalangan, dengan cara pemberian informasi seluasluasnya, penyediaan layanan khusus bagi yang masih tertinggal dalam akses
(masyarakat yang masih belum memiliki teknologi, perempuan-perempuan
miskin di daerah tertinggal, dan masyarakat yang putus sekolah), maupun
peningkatan lapangan kerja dari pemerintah sendiri. Harapannya, revolusi
digital dapat mengentaskan pengangguran dan meningkatkan produktivitas
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

12

DAFTAR PUSTAKA
––. “Angka PHK Melonjak.” Koran SINDO. Terakhir diperbarui 1 Oktober
2015, http://nasional.sindonews.com/read/1049539/16/angka-phkmelonjak-1443684117.
––. “BPS: GoJek Bantu Tekan Angka Pengangguran.” Merah Putih.
Terakhir
diperbarui
14
September
2015,
http://news.merahputih.com/keuangan/2015/09/14/bps-gojek-bantutekan-angka-pengangguran/26410/.
––. “Jumlah Pencari Kerja Indonesia Terbesar di Asia.” Suara Pembaruan.
Terakhir
diperbarui
27
Maret
2013,
http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/jumlah-pencari-kerjaindonesia-terbesar-di-asia/32916.
Allen, Emma R. 2016. “Analysis of Trends and Challenges in the
Indonesian Labor Market.” ADB Papers on Indonesia 16. Asian
Development Bank.
Bach, Amy, Gwen Shaffer, dan Todd Wolfson. “Digital Human Capital:
Developing a Framework for Understanding the Economic Impact of
Digital Exclusion in Low-Income Communities.” Journal of
Information Policy 3, (2013): 247-266.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dan
United Nations Population Fund. Proyeksi Penduduk Indonesia
2010-2035. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2013.
Beauvallet, Godefroy, Marie-Christine Le Garff, Anne-Laure Negri, dan
Francesco Cara. “L’usage d’Internet par les demandeurs d’emploi.”
La Revue de l’IRES 3, No. 52, (2006): 41-69.
Edwards, Ron. “Computer Technology and Unemployment.” The
Australian Quarterly 59, No. 1 (1987): 84-90.
European Commission, "e-Skills week 2012: There is a job waiting for
you,"
http://europa.eu/rapid/press-release_IP-12259_en.htm?locale=en. 

Green, Anne, Maria de Hoyos, dan Yuxin Li. “Employment and the
Internet.” Nominet Trust.
Heriyanto, Trisno. “LinkedIn Punya 4 Juta Pengguna di Indonesia.” CNN
Indonesia.
Terakhir
diperbarui
1
Maret
2015,
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150228162017-18535673/linkedin-punya-4-juta-pengguna-di-indonesia/.
Hidayat, Rafki. “Dua bulan pertama 2016, belasan ribu orang di-PHK.”
BBC Indonesia. Terakhir diperbarui 16 Februari 2016,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160216_in
donesia_buruh_phk.
International Labour Organization. Indonesia Labour Market Outlook. 2016
International Labour Organization. Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di
Indonesia 2014-2015. Jakarta: ILO, 2015.
International Telecommunication Union. Digital Opportunities: Innovative
ICT Solutions for Youth Employment. 2014.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “Aktivitas utama dalam
mengakses internet pada tahun 2014.” Diakses pada 4 November

13

2016,
http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=424&iddoc=1466&dat
a-data_page=2.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “Jumlah desa/kelurahan yang
ada fasilitas warung internet menurut klasifikasi daerah tahun 2005,
2008, 2011, dan 2014.” Diakses pada 4 November 2016,
http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=424&iddoc=1473
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “Persentase pengguna
internet berdasarkan usia tahun 2014.” Diakses pada 4 November
2016,
http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=424&iddoc=1321&dat
a-data_page=3
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “Persentase pengguna
internet berdasarkan pendidikan tahun 2014.” Diakses pada 4
November
2016,
http://statistik.kominfo.go.id/site/data?idtree=424&iddoc=1330&dat
a-data_page=7
Kurniawan, Sigit. “Peluang Digital Indonesia di Mata Google.” Marketeers.
Terakhir
diperbarui
25
Agustus
2016,
http://marketeers.com/peluang-digital-indonesia-di-mata-google/.
Lee, Yoolim. “How Indonesia’s Tech Boom Poster Child Proved His
Doubsters Wrong.” Bloomberg. Terakhir diperbarui 21 Februari
2016,
https://www.bloomberg.com/news/articles/2016-0221/indonesia-s-alibaba-wannabe-moving-from-underdog-towardunicorn.
Macunovich, Diane J. “The role of demographics in precipitating economic
downturns.” Journal of Population Economics 25, No. 3 (2012):
783-807. http://www.jstor.org/stable/41488367.
Organization for Economic Cooperation and Development. OECD
Employment Outlook 2016. Paris: OECD Publishing, 2016.
Patel, Neil. “90% of Startups Fail: Here’s What You Need to Know About
the 10%.” Forbes. Terakhir diperbarui 16 Januari 2015,
http://www.forbes.com/sites/neilpatel/2015/01/16/90-of-startupswill-fail-heres-what-you-need-to-know-about-the-10/#3f33412d55e1
Suryadarma, Daniel, Asep Suryahadi, dan Sudarno Sumarto. “Measuring
Unemployment in Developing Countries: The Case of Indonesia.”
LABOUR 21, No. 3, (2007): 541-562.
Widiartanto, Yoga Hastyadi. “2016, Pengguna Internet di Indonesia Capai
132 Juta.” Kompas. Terakhir diperbarui 24 Oktober 2016,
http://tekno.kompas.com/read/2016/10/24/15064727/2016.pengguna.
internet.di.indonesia.capai.132.juta.

14