Kekerasan dan unjuk rasa mahasiswa

KEKERASAN DALAM UNJUK RASA MAHASISWA
Ir. Jaya Arjuna, M.Sc.

Medan Perjuangan Sebelum Jadi Mahasiswa
. Kita tidak mengingkari bahwa pada zaman penjajahan, para pemuda berjuang sangat
keras, gigih bersemangat tidak takut mengorbankan harta bahkan nyawa demi negara dan
bangsanya. Tatkala mereka berhasil memerdekakan bangsa, maka sangat wajar kalau diberi
gelar pahlawan. Baik yang gugur maupun yang sempat menikmati zaman kemerdekaan. Atas
jasa mereka menghancurkan dan mengusir penjajah, kita bisa hidup dalam negara yang kita
impikan. Bebas dari belenggu penjajahan baik fisik maupun mental. Tanah air yang
memendam harta berlimpah diharapkan bisa dibangun bagi kesejahteraan masyarakat yang
berkeadilan, dan adil yang mensejahterakan.
Tiap zaman menciptakan pahlawan. Mungkin hanya musuh dan medan perangnya yang
berbeda. Namun nilai perjuangannya tetap sama. Anak-anak sekarang juga berjuang sangat
keras menghadapi musuh yang bentuk serta wilayah yang sangat luas. Pertarungan satu lawan
satu atau keroyokan pada setiap waktu dan kesempatan. Tidak ada detik dan menit yang
terlewat. Sehingga wajar bila seorang anak yang berhasil tamat SMU dan masih tetap jadi
anak baik sesuai dengan harapan orang tuanya, juga diberi gelar pahlawan.
Anak sekarang mulai dari bayi sudah menghadapi perjuangan keras. Musuhnya sangat
banyak dan bisa berada dimana dan bentuk apa saja. Sebagian besar bahkan sangat berbahaya
dan mematikan. Sang bayi harus berhadapan dengan keinginan ibunya untuk menambah

pendapatan keluarga atau ingin tetap cantik dalam memperebutkan Asi. Makanan susu kaleng
dihidangkan tanpa anak mampu membantah, padahal memiliki kandungan racun yang
mematikan. Makanan harian serta jajanan sekolah juga merupakan musuh yang mampu
melemahkan syarafnya karena kandungan bahan yang merugikan kesehatan.
Kala Sang Anak mula bermain. Berlapis musuh sudah menghadangnya. Permainan
elektronik yang mempengaruhi syaraf dan fikiran datang bertubi menyerang, baik melalui
orang tua maupun lingkungan. Sebagian orang tua bahkan berada pada posisi sang musuh.
Makin besar Sang Anak, musuhpun semakin banyak. Posisi orang tua dan guru sebagai
pendidik dan pengajar sebagian direbut oleh media tontonan yang tak pantas jadi tuntunan.
Acara televisi dan program video menghajar moral dan mental anak-anak ke arah negatif.
Interaksi sesama anak yang mencari jati diri dapat saja disusupi perilaku, makanan atau ajaran
yang merusak fisik dan moral. Beberapa perilaku seperti pelecehan atau perlakuan tidak adil
bahkan menimbulkan trauma yang membebani pertumbuhan jiwanya hingga menjadi dewasa.
Bertambah dewasa, Sang Remaja menghadapi musuh hampir di seantero sudut
hidupnya. Interaksi dengan dunia luar yang melibatkan fisik maupun visual bukan serangan
yang enteng. Sekali berarti atau mati. Terjajah atau merdeka. Bagi yang dilengkapi fasilitas
cukup, tetap di rumah atau menyendiri dalam ruangan juga sama bahayanya dengan bergaul
tak jelas di luar rumah. Kekerasan di dunia nyata tidak lebih berat dari kekerasan dunia maya.
Surga dan neraka di dunia nyata lebih dahulu menyerang fisik baru merasuk dalam fikiran.
Dunia maya juga menyediakan surga dan neraka dengan kualitas serta pilihan tak terbatas.

Serangan pertama adalah fikiran yang dapat menyebabkan perubahan perilaku. Remaja yang
kurang beruntung, berhadapan dengan musuh berbentuk finansial dan godaan hidup mewah
yang instan. Musuh tidak punya demarkasi teritorial atau waktu. Pertarungan berlangsung
sampai mati. Mati moral, adab, etika, budi pekerti, fikiran, semangat, dan bahkan ajaran
agama juga bisa takluk tak berdaya. Layaklah setelah berhasil melewati peperangan di era
pertumbuhannya, mereka disematkan bintang emas mahaputra pahlawan bangsa kelas satu.
Hasil perjuangan anak manusia mencari bentuk dan wujud jati diri hingga remaja masih akan
diuji lagi pada era perjuangan sewaktu jadi mahasiswa. Proses perjuangan akan membekas dan
berdampak terhadap perilaku mereka di tengah masyarakat setelah dewasa.

1

Demonstrasi dan Unjuk Rasa
Di seantero dunia, unjuk rasa itu merupakan ciri melekat pada mahasiswa. Sukarno

menyatakan dapat mengubah dunia bila diberikan sepuluh pemuda. Peran unjuk rasa
mahasiswa untuk merubah suatu keadaan di negara manapun memang sangat
signifikan. Unjuk rasa merupakan protes yang dilakukan secara massal yang istilah
kerennya adalah demonstrasi. Protes, demonstrasi dan unjuk rasa sebenarnya
merupakan salah satu cara untuk menyampaikan pendapat, dan jelas bukan merupakan

cara untuk melepaskan kemarahan, kegeraman, kegusaran atau unjuk kekuatan fisik.
Demonstrasi dilakukan bila jalur komunikasi sudah tidak lagi terjalin dengan baik.
Demonstrasi juga bisa hanya sedekar mencari perhatian, meningkatkan nilai tawar atau
memang untuk menekan pihak yang didemonstrasi.
Demonstrasi yang baik biasanya memiliki isu yang akan dikomunikasikan
sebagai tema perjuangan. Tujuannya dipahami para demonstran dan perilaku peserta
mampu dikordinir dengan baik. Setiap demonstran harus bisa menjawab tujuan
melakukan demonstrasi, pesan apa yang akan disampaikan, siapa yang jadi target
penerima pesan, apa yang ingin dicapai, mengapa ikut sebagai demonstran dan apa
dukungan atau simpati yang akan digalang dari masyaralat.
Karena untuk
menyampaikan pesan, maka demonstran tentunya tidak perlu menampilkan kesan
sangar, penuh amarah dan siap melibas siapa saja yang tidak akomodatif atau
partisipatif.
Fakta juga menunjukkan bahwa kredibilitas dan nilai perjuangan yang
disampaikan pada suatu demonstrasi dapat melorot bila para demonstran tidak tahu
tujuan demonstrasi secara jelas. Istilah demonstran bayaran, demonstran pesanan,
demonstran zombie mulai melunturkan citra suatu “episode” demonstrasi pada
sebagian besar bangsa kita saat ini. Mulai pulalah demonstrasi dikaitkan dengan katapesan politik, kata ongkos, jumlah kumpulan massa terkordinasi, tingkat dan wujud
kemarahan, pola provokasi, lingkar pengamanan, jumlah korban luka-luka dan bahkan

korban jiwa, tingkat dan luas kemacetan lalu lintas, efek ketakutan terhadap
masyarakat, jumlah dan nilai kerusakan dan sebagainya. Demonstrasi bahkan seakan
sudah menjadi arena perang campuh. Demonstrasi dapat jadi alat melawan pejabat
korup dan fir’aunis dengan kejahatannya. Di satu sisi pejabat juga punya alat ampuh
membungkam demonstran dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Kekerasan dalam Demonstrasi dan Unjuk Rasa

Karena ada dua pihak yang berseberangan, maka hampir disetiap unjuk rasa
akan ada perbenturan. Perbenturan sebenarnya bisa dihindari kalau kedua belah pihak
tetap mengemukakan akal sehat. Bila tidak, perbuatan anarkis dan premanisme akan
terjadi. Tidak ada lagi beda rasional dan emosional, konstruktif dan destruktif, orang
tua dan anak-anak, budi pekerti dan kezaliman. Yang ada hanyalah dendam, dan lawan
yang harus dikalahkan. Dari sisi psikologi massa, pribadi dan jati diri demonstran
biasanya akan lebur dan hanyut dalam gerakan sekelompok massa. Hal semustahil dan
setidak logik apapun bisa membuat kerumunan masa jadi histeris dan brutal, sehingga
secara tidak sadar Sepenuhnya akan melakukan aksi anarkis. Bila pihak berseberangan
membuat aksi perlawanan, diam saja atau pihak aparat melakukan tindakan yang
dianggap responsif, maka kualitas dan pelampiasan amarah bisa makin meningkat.
Ada pernyataan yang menanggapi negatif masalah demonstrasi akhir-akhir ini.
Zaman dulu juga ada demonstrasi, tapi tidak sebrutal sekarang. Demonstrasi dulu

terorganisir dengan rapi, berwibawa karena tujuan dan pesan jelas dan mendapat
2

dukungan dari masyarakat luas. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini
terkesan kurang terkelola dengan baik, struktur organisasi tidak jelas, ikatan sesama
demonstran kurang kuat, tujuan tidak dipahami atau belum disepakati bersama, tidak
ada yang di”tua”kan sehingga kontrol terhadap demonstran lemah. Apabila ada yang
memicu perilaku anarkis, maka para demonstran akan bingung. Dalam situasi “rusuh”
mereka tidak tahu berbuat apa. Dapat saja terjadi benturan sesama demonstran, atau
antara demonstran dengan masyarakat umum. Dalam situasi tidak terkendali, sifat
agresif akan muncul. Tindakan anarkis dan destruktif akan terjadi berskala naik
seperti memaki, melempar, membakar, menghancurkan. Korbannya tentu saja fasilitas
di lokasi target baik milik pribadi maupun umum.
Bila dikaji dari segi pelakunya, perilaku anarkis dalam berdemonstrasi bisa saja
hanya sebagai perwujudan frustasi atau munculnya sikap alam bawah sadar pelaku
demonstrasi yang selama ini terpendam dalam. Perjuangan berat sedari bayi hingga
melewati masa remaja yang selama ini merupakan diorama dan terpatri dalam hati,
akan terbangkitkan dalam gejolak massa. Jadilah demonstrasi sebagai pelapisan
kegeraman atau perlawanan. Apalagi media massa cetak dan elektronik juga selalu
menampilkan perilaku kekerasan atau contoh langsung kerumunan masa yang berbuat

anarkis. Bahkan ada yang menyorot demonstran seakan menjadikannya sebagai
pejuang. Potensi perlawanan atau ingin jadi pahlawan yang ada dalam dirinya akan
terbangkitkan. Atau mungkin juga sebagai upaya menirukan apa yang pernah
dilihatnya. Bangkitlah amarah demonstran beringas, bahkan terkadang tidak
memahami apa yang jadi alasan mengapa dia ikut demonstrasi dan melakukan
perbuatannya.
Bergabunglah kelompok kaum frustasi dan yang telah atau merasa terzalimi.
Bergabunglah kelompok yang ingin menyampaikan pesan untuk mencapai tujuan
dengan kelompok yang tersulut emosi. Mungkin juga ada yang coba memunculkan jati
diri palsu yang jadi obsesinya karena dipupuk kondisi lingkungannya. Menyatulah
rasa perlawanan atas kekalahan yang selalu mewarnai kehidupannya dalam persaingan
demi persaingan pada setiap episode hidupnya selama ini. Kalah jadi juara kelas, kalah
memperebutkan sekolah favorit, kalah dalam persaingan cinta, kalah dalam merebut
perhatian orang tua atau saudara, kalah dalam memiliki asesoris pergaulan.
Berhamburanlah rasa kecewa karena selalu dilarang atau selalu tidak bisa memenuhi
keinginan. Bercampurlah benci dan dendam terhadap kondisi kehidupan. Bila katup
kontrol diri terlepas karena teriakan atau semangat yang dikobarkan, tidak sesiapa lagi
yang dihargai. Bahkan nyawa sendiri juga dianggap sebagai belenggu kebebasan
fikiran. Hilang kesadaran dan akal sehat. Berlakulah kekerasan.
Penutup

Demonstrasi dengan kekerasan biasanya dipicu semangat kebersamaan semu.
Merasa memiliki identitas yang sama karena bergerak bersama. Merasa akan tersisih
dari kelompok bila tidak berbuat bersama, atau merasa pahlawan bila bisa berbuat
lebih hebat dari yang lain. Berat memang perjuangan untuk tidak terlibat dalam arus
demonstran kalau ada potensi perlawanan dalam jiwa yang belum tuntas. Dalam
proses menuju dewasa, ikut terlibat dalam demonstrasi mungkin perlu diukir dalam
sejarah hidup. Bagaimana berperan jadi pimpinan atau jadi anak buah yang baik.
Bagaimana mengatur dan mengkondisikan keadaan. Bagaimana bereaksi dengan
perubahan dan suasana yang tidak terduga. Ada berbagai ilmu yang dapat direguk bila
pernah jadi demonstran. Keren lagi.

3

Namun ada hal yang tidak perlu perlu dimasukkan dalam catatan kehidupan,
yaitu pernah jadi pelaku tindak anarkis. Pembentengan ini hanya dapat dilakukan bila
mahasiswa memiliki jati diri yang kuat karena dibentuk kondisi kehidupan harmonis,
tidak dalam lingkaran kecemasan atau ketakutan. Percaya diri karena mengetahui
potensi diri dan membangun kemandirian yang didasari etika dan moral. Mahasiswa
yang tidak terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan tidak akan pernah dapat menguji
apakah dia memiliki potensi perilaku anarkis, atau memang hanya ditakdirkan sebagai

pelengkap pelaku dan keterangan tempat dalam sejarah kehidupannya. Mahasiswa
yang tidak pernah terlibat gerakan juga tidak pernah memiliki kesempatan menguji
potensi kepemimpinan yang dimilikinya.
Jadi pemimpin dimasa mendatang tidak mudah. Pada era komunikasi dan
masyarakat makin melek informasi serta menjunjung nilai demokrasi, unjuk rasa dapat
saja jadi budaya bangsa. Perilaku ini sudah berlaku sejak dulu di ranah tercinta ini
dengan adanya kata bijak yang mengatakan raja baik raja disembah, raja lalim raja
disanggah. Sudah saatnya membina diri untuk tidak jadi fir’aun. Merasa paling
berkuasa sehingga tidak bisa disanggah atau dibantah, padahal citra manusia modern
justru ditampilkan dengan keluesan berbeda pendapat. Merasa paling dibutuhkan
sehingga semua kedaulatan harus berada dipundaknya, dan tidak mau berbagi
kekuasaan dengan orang lain. Pimpinan yang baik saat ini justru dicirikan dari
kemampuan berbagi kewenangan dan tanggung jawab. Jangan menganggap paling
berjasa karena merasa semua orang telah disejahterakan, padahal rezeki datangnya dari
Tuhan. Perilaku korupsi dan menjerahap yang bukan menjadi hak, sebenarnya adalah
perilaku hewan dan termasuk bukan budaya manusia beradab. Bila kita semua berlaku
sebagai manusia yang memanusiakan manusia, tidak akan ada demonstrasi dan tidak
ada kekerasan. Apalagi demonstrasi yang diwarnai kekerasan.
Medan, 11 Juni 2009


Ir. Jaya Arjuna, M.Sc.
Kordinator Bidang Advokasi Sastra Himpunan Sarjana Kesusateraan Indonesia (HISKI) Sumut,
Ketua Dewan Direktur Pusat Pengkajian Pembangunan Regional Sumatera Utara
Dosen Fakultas Teknik USU
Catatan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
a. kekerasan = perihal yang bersifat keras; perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik, atau barang orang lain; paksaan
b. unjuk rasa = pernyataan protes yang dilakukan secara massal; demonstrasi
c. implikasi = keterlibatan atau keadaan terlibat
d. berimplikasi = mempunyai hubungan keterlibatan
e. aspek = tanda
f. fenomena = hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah.

4