BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Model Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Sekolah Di SMP Mardi Rahayu Ungaran

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam kajian pustaka ini akan diuraikan kajian
teoritis yang digunakan untuk penelitian. Kajian teori
ini terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan.
Sub bab tersebut antara lain: konsep model pendidikan
karakter,
konsep
pendidikan
karakter,
prinsip
pendidikan karakter, pengelolaan pendidikan karakter,
evaluasi pendidikan karakter, konsep budaya sekolah,
prinsip pendidikan karakter berbasis budaya sekolah,
pengelolaan pendidikan karakter berbasis budaya
sekolah, evaluasi dan tindak lanjut.

1.1.

Konsep Model Pendidikan Karakter


Menurut Triyanto (2010:73) ―model dimaknai
sebagai suatu obyek atau konsep yang digunakan untuk
merepresentasikan suatu hal‖. Sedangkan Sofyan Amri
(2013:13) menyatakan bahwa ―model merupakan
strategi atau cara melakukan suatu kegiatan” .
Berangkat dari kedua pendapat tersebut dapat
disimpulkan
bahwa
model
merupakan
sebuah
kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman
untuk melakukan kegiatan. Dalam melakukan kegiatan
diperlukan cara atau strategi yang sistematis. Dalam
konteks pendidikan karakter pada penelitian ini bentuk
model berupa strategi atau cara mengelola pendidikan
karakter dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
dan evalusi. Agar strategi dalam mengelola pendidikan
karakter tersebut berjalan dengan baik, terprogram,
konsisten dan terukur tingkat keberhasilannya

diperlukan sebuah panduan pelaksanaan.
Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter
Riyanto (2010) menawarkan 4 (empat) model, yaitu :
1) model
otonomi
pendidikankarakter
tersendiri,

dengan
menempatkan
sebagai
mata
pelajaran

7

2) model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan
karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap
mata pelajaran,
3) model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan

tambahan yang berorintasi pembinaan karakter
siswa, dan
4) model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga
model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Ke empat model tersebut apabila dikaji memiliki
kelebihan dan kekurangan. Setiap satuan pendidikan
bisa memilih mana model yang paling tepat dan efektif
sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah masingmasing.
Model otonomi yang memposisikan pendidikan
karakter sebagai mata sebuah pelajaran tersendiri
menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar
standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana
pembelajaran, bahan ajar, metodologi dan evaluasi
pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu
merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai
sebuah mata pelajaran tersendiri pendidikan karakter
akan lebih terstruktur dan terukur. Guru mempunyai
otoritas yang luas dalam perencanaan dan membuat
variasi program karena ada alokasi waktu yang

dikhususkan untuk itu. Namun demikian model ini
dengan pendekatan formal dan struktural kurikulum
dikhawatirkan lebih banyak menyentuh aspek kognitif
siswa,tidak sampai pada aspek afektif dan perilaku.
Model seperti ini biasanya mengasumsikan tanggung
jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru
bidang studi sehingga keterlibatan guru lain sangat
kecil. Pada akhirnya pendidikan karakter akal gagal
karena hanya mengisi intelektual siswa tentang
konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan
spiritualnya tidak terisi.
Model ke dua mengintegrasikan pendidikan
karakter dengan seluruh mata pelajaran ditempuh
dengan paradigma bahwa semua guru adalah pengajar
karakter (character educator). Semua mata pelajaran
diasumsikan memiliki misi moral dalam membentuk
8

karakter positif siswa. Dengan model ini maka
pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kolektif

seluruh komponen sekolah. Model ini dipandang lebih
efektif dibandingkan dengan model pertama, namun
memerlukan
kesiapan,
wawasan
moral
dan
keteladanan dari seluruh guru. Satu hal yang lebih
sulit dari pada pembelajaran karakter itu sendiri. Pada
sisi lain model ini juga menuntut kratifitas dan
keberanian
para
guru
dalam menyusun
dan
mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).
Model ketiga yang menawarkan pelaksanaan
pendidikan karakter melalui sebuah kegiatan di luar
jam

sekolah
dapat
ditempuh
melalui
dua
cara. Pertama melalui suatu kegiatan ekstrakurikuler
yang dikelola oleh pihak sekolah dengan seorang
penanggung jawab. Kedua, melalui kemitraan dengan
lembaga lain yang memiliki kapabilitas dalam
pembinaan karakter. Model ini memiliki kelebihan
berupa pengalaman kongkret yang dialami para siswa
dalam pembentukan karakter. Ranah afektif dan
perilaku siswa akan banyak tersentuh melalui berbagai
kegiatan yang dirancang. Keterlibatan siswa dalam
menggali nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan
tersebut
akan
membuat
pendidikan
karakter

memuaskan dan menyenangkan.
Model ke empat menawarkan pelaksanaan
pendidikan
karakter
secara
kolaborasi
dengan
menerapkan ke tiga model diatas. Bagi sekolah yang
sudah mapan dengan komitmen para pendidik dan
tenaga pendidik yang kuat terhadap pelaksanaan
pendidikan karakter, model ke empat tersebut baik
untuk dilaksanakan.
Ke empat model karakter tersebut dapat menjadi
pilihan kepala sekolah dalam mengelola pendidikana
karakter sekolah. Pemilihan model pendidikan karakter
tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya sekolah,
situasi dan kondisi sekolah. Sebagian besar sekolah
menerapkan pendidikan karakter dengan model
terintegrasi pada mata pelajaran, dan model ekstra
9


kurikuler. Model otonomi jarang digunakan oleh
sekolah karena harus menambah kurikulum baru.
Sedangkan model kolaborasi juga jarang dilakukan oleh
sekolah karena terlalu luas dan sekolah tidak bisa
menjangakau semua dalam waktu yang bersamaan.

1.2.

Pendidikan Karakter

1.2.1. Konsep Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa
Depdiknas (Zubaedi 2010:8) adalah ‖Bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak‖. Berkarakter berarti
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak. Sejalan dengan itu Sjarkawi (Doni Koesoemo
2011:80) menyatakan bahwa istilah karakter sama
dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ―ciri

atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan
juga bawaan sejak lahir‖.
Sebagian orang
berpandangan seperti kedua pendapat tersebut yang
mengisyaratkan bahwa karakter seseorang seolah-olah
sudah terbentuk dari ―sono”nya, sehingga seolah-olah
karakter seseorang tidak bisa dirubah.
Pandangan yang berbeda tentang pengertian
karakter disampaikan oleh Wilhelm (Almusanna
2010:247), menyatakan ―character can be measured
corresponding to the individual’s compleance to a
behavioral standard or the individual’s compliance to
aset moral code‖. Secara sederhana karakter
mempresentasikan
identitas
seseorang
yang
menunjukkan ketundukannya pada aturan atau

standar moral dan termanisfestasi dalam tindakan.
Sejalan dengan pendapat tersebut Fasli Jalal (Zubaedi
2010:12) merumuskan devinisi karakter sebagai nilainilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat
baik, dan berdampak baik pada lingkungan) yang

10

terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam
perilaku.
Berdasarkan kedua pandangan yang berbeda
tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
manusia memiliki karakter dasar yang dibawa sejak
lahir (biologis), namun dalam perkembangan kehidupan
manusia dihadapkan pada pengaruh interaksi dengan
lingkungan. Oleh karena itu karakter seseorang
merupakan perpaduan antara karakter bawaan dan
karakter hasil interaksi dengan lingkungan yang
diaktualisasikan dalam perilaku sehari-hari. Dengan
demikian karakter seseorang bisa dirubah dan
dibentuk. Pendidikan dapat membentuk karakter

seseorang, karena pendidikan merupakan alat yang
paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai karakter
kepada peserta didik.
Pengertian pendidikan karakter menurut David
Elkind & Freddy Sweet (Zubaedi 2010:15) ― Character
education is the deliberate effort to help peple
understand, care about, and act upon ethical value”.
Pendidikan karakter adalah usaha secara sengaja
(sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli
tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti. Sejalan
dengan
pendapat
tersebut,
Zubaedi
(2010:17)
menyatakan bahwa
―Pendidikan karakter dipahami sebagai upaya
penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan
dalam bentuk sikap, dan pengamalan dalam bentuk
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang
menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi
dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan
lingkungannya. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain:
kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan
sosial, kecerdasan berpikir termasuk kepenasaran
akan intelektual, dan berpikir logis‖

Berdasarkan
pendapat
di
atas,
dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud nilai nilai etika inti
adalah nilai nilai luhur atau nilai-nilai karakter yang
hendak ditumbuhkankembangkan oleh sekolah dalam
11

merubah dan membentuk karakter siswa melalui
pendidikan karakter. Sedangkan pendidikan karakter
adalah proses penanaman nilai-nilai karakter yang
diharapkan oleh sekolah kepada peserta didik agar
memiliki perilaku yang menunjukkan kecerdasan
moral, tahu mana yang benar dan yang tidak benar,
tahu mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh.
Penanaman nilai-nilai karakter tersebut dilakukan
melalui proses pengajaran dan pembiasaan atau
pembudayaan.
Proses pendidikan karakter didasarkan pada
totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan
fungsi totalitas sosiokultural dalam keluarga, satuan
pendidikan, dan masyarakat. Menurut Desain Induk
Pendidikan Karakter (Kemendiknas, 2010: 8-9) Totalitas
psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan
sebagaimana dalam bagan berikut
Gambar Bagan 2.1
Ruang Lingkup Pendidikan karakter
cerdas, kritis,
kreatif, inovatif,
ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif,
berorientasi iptek,
dan reflektif

OLAH
HATI
Bersih dan sehat,
disiplin, sportif,
tangguh, andal,
berdaya tahan,
bersahabat,
kooperatif,
determinatif,
kompetitif, ceria,
dan gigih

OLAH
RAGA

OLAH
PIKIR

OLAH
RASA/
KARSA

Beriman dan bertakwa,
jujur, amanah, adil,
bertanggung jawab,
berempati, berani
mengambil
Resiko, pantang
menyerah, rela
berkorban, dan berjiwa
patriotik
Ramah, saling
menghargai, toleran,
suka menolong, gotong
royong, nasionalis,
kosmopolit,
mengtamakan
kepentingan umum,
bangga menggunakan
bahasa dan produk
Indonesia, dinamis, kerja
keras, dan beretos kerja

Keempat kelompok konfigurasi karakter tersebut
memiliki unsur-unsur karakter inti sebagai berikut :
12

Tabel 2.1
No
1

2

3
4

Konfigurasi Karakter Inti
Kelompok
Karakter Inti
Konfigurasi
Olah Hati
 Religius
 Jujur
 Tanggung jawab
 Peduli sosial
 Peduli lingkungan
Olah Pikir
 Cerdas
 Kreatif
 Gemar membaca
 Rasa ingin tahu
Olah Raga
 Sehat
 Bersih
Olah Rasa dan
 Peduli
Karsa
 Kerja
sama
(gotong
royong)

Dalam gambar ruang lingkup pendidikan
karakter dan tabel konfigurasi karakter inti di atas
nampak bahwa proses pendidikan karakter harus
mencakup totalitas psikologis manusia yang meliputi
kompetensi kognitif (olah pikir), afektif (olah rasa), dan
psikomotorik (olah raga, olah rasa dan karsa). Ketiga
kompetensi tersebut harus dikembangkan bersama,
saling terkait antara satu dengan yang saling, saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Sehingga
bentuk kegiatan dalam pendidikan karakter bisa
membangun kepribadian peserta didik seutuhnya.

1.2.2. Prinsip Pendidikan Karakter
Kementerian
Pendidikan
Nasional
dalam
panduan pelaksanaan pendidikan karakter (Aqib dkk,
2011: 11) memberikan acuan bahwa pendidikan
karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai
berikut :
(1)Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai
basis karakter;(2)Mengidentifikasi karakter secara
komprehensif
supaya
mencakup
pemikiran,

13

perasaan,
dan
perilaku;(3)Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk
membangun karakter;(4)Menciptakan komunitas
sekolah yang memiliki kepedulian;(5)Memberi
kesempatan
kepada
peserta
didik
untuk
menunjukkan
perilaku
yang
baik;(6)Memiliki
cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan
menantang yang menghargai semua peserta didik,
membangun karakter mereka, dan membantu
mereka untuk sukses;(7)Mengusahakan tumbuhnya
motivasi
diri
pada
para
peserta
didik;
(8)Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai
komunitas moral yang berbagi tanggung jawab
untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai
dasar
yang
sama;
(9)Adanya
pembagian
kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun
inisiatif
pendidikan
karakter;
(10)Memfungsikan
keluarga
dan
anggota
masyarakat
sebagai
mitra
dalam
usaha
membangun
karakter;
dan
(11)Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guruguru karakter, dan manifestasi karakter positif
dalam kehidupan peserta didik

Melihat prisip-prinsip pelaksanaan pendidikan
karakter
tersebut,
nampak
bahwa
dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter nilai-nilai
etika merupakan basis karakter, oleh karena itu
pendidikan karakter dilaksanakan dengan basis nilainilai etika tersebut. Nilai-nilai karakter itulah yang akan
dikembangkan dalam pendidikan karakter
sebagai
budaya untuk membangun karakter (school building)
peserta didik. Pendidikan karakter bukan semata-mata
tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu seperti
guru
mata
pelajaran
Agama,
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), Guru Bimbingan Konseling
(BK), melainkan meliputi seluruh pendidik dan tenaga
kependidikan baik sebagai teladan maupun pelaku
pendidikan karakter. Selain itu bentuk kegiatan
karakter bisa melibatkan pihak lain diluar sekolah,
misalnya masyarakat, lembaga kesehatan, lembaga
hukum, dan sebagainya. Sebagai contoh dalam
kegiatan ekstra kurikuler Palang Merah Remaja sekolah
14

bisa melibatkan tenaga medis dari Puskesmas sebagai
nara
sumber
dan
pelatih,
dalam
kegiatan
pembentukkan
karakter
keimanan
sekolah
mengundang rohaniwan dari lembaga keagamaan.
Bentuk kegiatan pendidikan karakter harus dikemas
sedemikian rupa agar menarik dan menantang bagi
siswa sehingga memotivasi siswa untuk membangun
karakter diri dengan tumbuhnya perubahan tingkah
laku ke arah yang positif sehingga pelaksanaan
pendidikan karakter efektif. Pendidikan karakter harus
dirancang secara terprogram dalam pengembangan
kurikulum .
Prinsip dalam proses pelaksanaan pendidikan
karakter harus bisa membangun seluruh kompetensi
kepribadian peserta didik dalam pemikiran, perasaan,
dan perilaku. Oleh karena itu proses pendidikan
karakter harus ada dampak perubahan perilaku peserta
didik ke arah yang positif. Ketiaka prilaku siswa
menjadi positif akan berdampak pada kesuksesan
prestasi baik akademik dan non akademik. Maka
pengawasan dan penilaian proses pendidikan karakter
perlu dilaksanakan dengan membuat instumen
penilaian. Hal tersebut penting agar kepala sekolah
dapat mengawal pelaksanaan pendidikan karakter
seccara tuntas.

1.2.3. Pengelolaan Pendidikan Karakter
Model pendidikan karakter di sekolah dikelola
melalui tahap-tahap berikut
1) Perencanaan Pendidikan Karakter
Pada perencanaan menurut Aqib, dkk (2011 :32)
menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki dua
makna yaitu merencanakan program dan kegiatan
penanaman karakter oleh sekolah serta penanaman
nilai-nilai karakter kepada para pembuat rencana itu
sendiri yang memiliki keterkaitan antara unsur-unsur
yang direncanakan.
15

Unsur-unsur yang direncanakan meliputi (a)
pengembangan nilai-nilai karakter pada kurikulum dan
pembelajaran, (b) penanaman nilai-nilai karakter pada
pendidik dan tenaga kependidikan, (c) penanaman
nilai-nilai karakter melalui pembinaan peserta didik, (d)
penanaman nilai-nilai karakter melalui manajemen
sarana dan pra sarana pendidikan, (e) penanaman
nilai-nilai karakter melalui manajemen pembiayaan
pendidikan.
Pusat Kurikulum, Kemendiknas (2009: 9-10)
mengidentifikasi terdapat 18 nilai pendidikan karakter
yang dapat dikembangkan oleh sekolah yaitu (1)
religius; (2)jujur; (3)toleransi; (4)disiplin; (5)kerja keras;
(6)kreatif; (7)mandiri; (8)demokrasi; (9)rasa ingin tahu;
(10)semangat
kebangsaan;(11)cinta
tanah
air;
(12)menghargai
prestasi;(13)bersahabatan
dan
komunikasi;(14)cinta
damai;(15)gemar
membaca;
(16)peduli
lingkungan;(17)peduli
sosial;
dan
(18)tanggung jawab. Secara rinci nilai-nilai karakter
dan deskripsinya dapat dilihat pada tabel 1(lampiran4)
Meskipun telah terdapat 18 nilai karakter, namun
satuan pendidikan dapat menentukan prioritas
pengembangannya. Dalam
implementasinya jumlah
dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat
berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu
dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan
dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di
antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam
pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial,
sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan
kondisi masing-masing sekolah.
2) Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Pelaksanaan program dinyatakan efektif apabila
hasil-hasil yang di capai sesuai dengan tujuan.
Menurut Aqib, dkk (2011 :38), ada tiga prinsip yang
harus diperhatikan dalam pelaksanaan program
pendidikan karakter. Ketiga prinsip tersebut yaitu
prinsip efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Efektif
16

bila hasil pelaksanaan sesuai dengan tujuan. Dalam
penelitian ini tujuan pendidikan karkter adalah
terdapatnya perubahan perilaku peserta didik ke arah
yang positif. Sedangkan efisiensi lebih mengacu pada
pelaksanaan yang sesuai dengan tujuan dan diiringi
dengan biaya yang minimal atau biaya tetap namun
hasil yang maksimal. Pada prinsip produktivitas
menghendaki pelaksanaan
program serta hasilnya
dapat di ukur secara kuantitatif dan kualitatif minimal
sesuai dengan tujuan. Setiap pelaksanaan program
dan kegiatan penanaman nilai-nilai karakter ini
hendaknya dapat ditunjukkan tentang hasil-hasil yang
di capai.
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter di
satuan pendidikan merupakan satu-kesatuan dari
program manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan,
pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum oleh setiap
satuan pendidikan.
Menurut pedoman pendidikan karakter (Kemendiknas,
2011:10-11) strategi pelaksanaan pendidikan karakter
tersebut meliputi :
1. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran
dalam
kerangka
pengembangan karakter peserta didik dapat
menggunakan
pendekatan konstektual sebagai
konsep belajar dan mengajar yang membantu guru
dan peserta didik mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga
peserta didik mampu untuk membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka.
2. Pengembangan budaya sekolah
Pengembangan budaya sekolah dilakukan
melalui kegiatan pengembangan diri yang meliputi:
a. Kegiatan rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan
peserta didik secara terus menerus dan
konsisten setiap saat. Kegiatan spontan, yaitu
kegiatan yang dilakukan peserta didik secara
spontan pada saat itu juga, misalnya
mengumpulkan sumbangan ketika ada teman

17

yang terkena musibah atau sumbangan untuk
masyarakat yang terkena musibah.
b. Keteladanan, merupakan perilaku dan sikap
guru dan tenaga kepandidikan dan peserta
didik dalam memberikan contoh melalui
tindakan-tindakan
yang
baik
sehingga
diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik
lain.
c. Pengkondisian, yaitu penciptaan kondisi yang
mendukung
keterlaksanaan
pendidikan
karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih,
tempat sampah, halaman yang hijau dengan
pepohonan, poster kata-kata bijak disepanjang
3. Kegiatan ekstra kurikuler.
Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu
pengembangan
peserta
didik
sesuai
dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh
pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan
dan
berkewenangan
di
sekolah/madrasah.

Mengacu pada hasil penelitian Teerakiat dan teori
Berkowitzt, dalam tesis ini peneliti membatasi hanya
meneliti dan mengembangkan penelitian pada strategi
pelaksanaan
pendidikan
karakter
melalui
pengembangan budaya sekolah yang dilakukan melalui
kegiatan pengembangan diri. Hal tersebut dilakukan
agar pelaksanaan pendidikan karakter dapat secara
efektif berdampak pada perubahan perilaku peserta ke
arah prilaku positif dalam kegiatan keseharian di
sekolah.

3) Evaluasi Pendidikan Karakter
Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya
adalah evaluasi atau proses pembelajaran secara terus
menerus dari individu untuk menghayati peran dan
kebebasannya bersama dengan orang lain dalam
sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan
integritas moralnya sebagai manusia.
18

Doni Koesoemo (2010:281 menyatakan bahwa
penilaian pendidikan karakter berkaitan erat dengan
adanya unsur pemahaman, motivasi, kehendak, dan
praksis dari individu. Pendidikan karakter menjadi
semakin bertumbuh ketika motivasi dalam diri individu
menjadi pendorong semangat bagi perilaku moralnya
dalam kebersamaan dengan orang lain.
Menurut
Noeng
Muhadjir
dan
Burhan
Nurgiantoro, 2011:191-192) karakter yang baik
melibatkan pemahaman perhatian, dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai etika. Pendekatan yang
holistik terhadap pengembangan karakter untuk
mengembangkan kognitif, emosi, dan aspek perilaku.
Peserta didik berkembang untuk memahami nilai inti
dengan
mempelajarinya,
mendiskusikannya,
mengamati model perilaku, dan memecahkan masalah
yang mencakup nilai-nilai. Jadi, peserta didik harus
paham nilai inti dan komitmen mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan,
Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional
(2010: 10), untuk mengukur tingkat keberhasilan
pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan
dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan
membandingkan kondisi awal dengan pencapaian
dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut
dilakukan melalui langkah langkah berikut
1)
2)
3)
4)
5)

menetapkan indikator dari nilai-nilai yang
ditetapkan atau disepakati,
menyusun berbagai instrumen penilaian,
melakukan pencatatan terhadap pencapaian
indikator,
melakukan analisis dan evaluasi ,
melakukan tindak lanjut.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penilaian pendidikan karakter antara lain

19

1) Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian
indikator
sekolah
dan
kelas
dalam
pengembangan pendidikan karakter ;
2) Penilaian
menggunakan
kriteria
yakni
berdasarkan pencapaian keberhasilan indikator
dalam pengembangan pendidikan karakter ;
3) Penilaian dilakukan secara individual, kelompok
(kelas) dan berkelanjutan;
4) Hasil penilaian ditindaklanjuti ;
5) Penilaian di sesuaikan dengan indikator sekolah
dan kelas dalam pengembangan pendidikan
karakter.

Langkah-langkah
penilaian
pendidikan
karakter
dilakukan secara bertahap dimulai dengan menetapkan
indikator nilai-nilai yang disepakati sekolah. Nilai-nilai
tersebut mengacu pada visi, misi dan tujuan sekolah.
Nilai-nilai tersebut merupakan budaya yang menjadi
basis pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
Maka agar nilai-nilai tersebut dapat terukur perlu
dibuat instrument indikator operasionalnya dan kriteria
tingkat keberhasilannya. Dalam proses penilaian perlu
adanya pengawasan sasaran yang dinilai dan
pencatatan tiap indikator penilaian. Setelah penilaian
dilakukan tidak aberhenti pada nilai, melainkan perlu
ditinjaklanjuti dalam rangka pendampingan dan
pembimbingan
kepada
peserta
didik.
Dalam
melaksanakan penilaian pendidikan karakter perlu
memperhatikan
prinsip-prinsip
penilaian
pada
umumnya yaitu (1) sahih (valid), (2) objektif, (3) adil, (4)
terpadu,
(5)
terbuka,
(6)
menyeluruh,
(7)
berkesinambungan, (8) sistematis, (9) menggunakan
acuan kriteria, (10) akuntabel, dan (11) nilai tidak
diajarkan tetapi dikembangkan.
.
1.3.
Pendidikan
Karakter
Berbasis
Budaya
Sekolah
Pendidikan tidak dapat dan tidak boleh
dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah
proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah
proses pendidikan. Demikian pula dalam proses
20

membangun karakter anak, salah satu strateginya
dapat dilakukan melalui proses pembudayaan di
lingkungan sekolah atau melalui budaya sekolah.
Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter
berbasis budaya sekolah mencakup semua kegiatankegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru,
konselor,
dan
tenaga
administrasi
ketika
berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan
fasilitas sekolah.

1.3.1. Konsep Budaya Sekolah
Sekolah adalah institusi social. Institusi adalah
organisasi
yang
dibangun
masyarakat
untuk
mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya.
Untuk maksud tersebut sekolah harus memiliki budaya
sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan
kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk
mengoptimalkan
potensi
dirinya
masing-masing.
Koentjaraningrat (2003:72) mendevinisikan kebudayaan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan cara belajar . Pandangan lain
tentang budaya sekolah
dikemukakan oleh Zamroni
(2011: 297) ) bahwa
Budaya sekolah adalah merupakan suatu pola
asumsi-asumsi
dasar,
nilai-nilai,
keyakinankeyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang
bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini
dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk
menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi
dengan lingkungan yang baru dan melakukan
integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi
tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan
generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang
tepat bagaimana seharusnya mereka memahami,
berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi
berbagai situasi dan lingkungan yang ada .

Selain itu Zamroni (2011:111)
batasan bahwa budaya

memberikan

21

Budaya sekolah adalah pola nilai-nilai, prinsipprinsip, tradisi-tradisi
dan kebiasaan kebiasaan
yang terbentuk dalam perjalanan panjang sekolah,
dikembangkan sekolah dalam jangka waktu yang
lama dan menjadi pegangan serta diyakini oleh
seluruh warga sekolah sehingga mendorong
munculnya sikap dan perilaku warga sekolah

Memperhatikan konsep diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa budaya sekolah merupakan sistem
nilai-nilai,
prinsip—prinsip,
pola
kehidupan,
kepercayaan nilai, dan tradisi yang terbentuk dari
rangkaian kebiasaan dan sejarah sekolah, serta cara
pandang dalam memecahkan persoalan-persoalan yang
ada di sekolah yang mencakup kehidupan semua warga
sekolah. Yang dimaksud warga sekolah terdiri dari
peserta didik, pendidik, kepala sekolah, dan tenaga
kependidikan. Oleh karena itu budaya sekolah dapat
dibentuk oleh warga sekolah dan menjadi ciri khas
sekolah yang berbeda dengan sekolah lain.
Dalam konteks pendidikan karakter berbasis
budaya sekolah, dapat disimpulkan bahwa setiap
sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan karakter
sesuai dengan nafas, nilai-nilai, visi, misi dan tujuan
satuan pendidikan. Budaya sekolah sebagai basis
untuk melaksanakan pendidikan karakter meliputi
nilai-nilai yang diyakini dan menjadi komitmen sekolah
tersebut untuk membangun karakter peserta didik dan
seluruh warga sekolah.

1.3.2. Prinsip Pendidikan Karakter

Berbasis

Budaya Sekolah
Pada
dasarnya
prinsip-prinsip
pendidikan
karakter berbasis budaya sekolah sama dengan
prinsip-prinsip pendidikan karakter yang telah penulis
sampaikan di atas, namun pelaksanaan prinsip-prinsip
tersebut dilakukan berdasarkan pengembangan budaya
sekolah
dengan
menginternalisasikan
nilai-nilai
karakter inti yang menjadi prioritas sekolah. Dalam
22

implementasinya, prinsip-prinsip pendidikan karakter
berbasis budaya sekolah merupakan satu-kesatuan
program kurikulum satuan pendidikan. Oleh karena itu
program
pendidikan
karakter
secara
dokumen
diintegrasikan ke dalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Pelaksanaan pendidikan karakter
berbasis budaya sekolah di satuan pendidikan perlu
melibatkan seluruh warga satuan pendidikan, orang
tua siswa, dan masyarakat sekitar.
Mengacu pada Pedoman Pelaksanaan Pendidikan
Karakter,
Kemendiknas
(2011:
11),
prosedur
pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan
pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan
melalui tahapan berikut
1) Melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan
melakukan komitment bersama antara seluruh
komponen warga sekolah ( tenaga pendidik dan
kependidikan serta komite sekolah)
2) Membuat komitmen dengan semua stakeholder
(seluruh warga sekolah, orang tua siswa, komite,
dan tokoh masyarakat setempat) untuk mendukung
pelaksanaan pendidikan karakter
3) Melakukan analisis konteks terhadap kondisi
sekolah (internal dan eksternal) yang dikaitkan
dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan
pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Analisis
ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai dan
indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber
daya, sarana yang diperlukan, serta prosedur
penilaian keberhasilan
4) Menyusun rencana aksi sekolah berkaitan dengan
nilai-nilai pendidikan karakter
5) Membuat perencanaan dan program pendidikan
karakter
6) Melakukan pengkondisian
7) Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi
8) Melakukan penyusunan KTSP yang memuat
pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter.

Tahapan pengintergrasian pendidikan karakter
dalam kurikulum pendidikan sekolah tersebut akan
dilaksanakan dalam mengelola pendidikan karakter
berbasis budaya sekolah baik dari tahap sosialisasi,
23

komitmen semua stakeholder sekolah, analisis konteks
internal dan internal untuk menentukan nilai-nilai
karakter sekolah yang akan dikebangkan, membuat
program rencana aksi, pengawasan, bahkan sampai
dengan penilaian dan tindak lanjut. Semua tahap
tersebut dilakukan secara terprogram ke dalam tahap
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut.

1.3.3. Pengelolaan
Pendidikan
Berbasis Budaya Sekolah

Karakter

Pengelolaan pendidikan karakter berbasis budaya
sekolah dilakukan melalui tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
1) Perencanaan Pendidikan
Budaya sekolah

Karakter

Berbasis

Mengacu pada tahapan pegintegrasian yang
disampaikan
Kemendiknas
(2011:11),
kegiatan
perencanaan pendidikan karakter berbasis budaya
sekolah meliputi :
1. Menentukan nilai-nilai karakter yang diprioritaskan
untuk dikembangkan berdasarkan hasil analisis
konteks dengan mempertimbangkan ketersediaan
sarana dan kondisi yang ada dan dideskripsikan
2. Menentukan
bentuk
kegiatan
untuk
mengembangkan nilai-nilai karakter
Nilai-nilai
karakter
yang
diproritaskan
dikembangkan sekolah dirumuskan berdasarkan
analisis konteks faktor internal dan eksternal sekolah
yaitu bagaimana komitmen pendidik dan tenaga
kependidikan, bagaimana visi, misi, tujuan sekolah,
bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana yang
mendukung kegiatan pendidikan karakter. Setelah
nilai-nilai karakter ditentukan perlu dideskripsikan
agar nantinya dapat dirumuskan bentuk kegiatannya.
Nilai-nilai karakter dan deskripnya dapat dibuat
dengan menggunakan format pada tabel berikut
24

No

Tabel 2.2
Format Nilai karakter dan Deskripsi
Nilai Karakter
Deskripsi
Yang Dikembangkan

1
2
3
Dst
Mengacu pada Desain Induk Pendidikan Karakter
dari Kemendiknas ( 2010: 8-9) , menyatakan bahwa
pendidikan karakter melalui pengembangan budaya
sekolah dirancang dalam bentuk 4 (empat) kegiatan
pengembangan diri berdasarkan nilai-nilai karakter
yang hendak dikembangkan sekolah. Kegiatan tersebut
diharapkan dapat menjadi pembiasaan sehingga akan
membangun karakter siswa. Bentuk kegiatan tersebut
meliputi kegiatan rutin, spontanitas, keteladanan, dan
pengkondisian.
1) Kegiatan Rutin , yaitu kegiatan yang dilaksanakan
oleh peserta didik secara terus-menerus dan
konsisten setiap saat.
2) Kegiatan Spontan : Bersifat spontan, saat itu juga,
pada waktu terjadi keadaan tertentu.
3) Kegiatan Keteladanan : Perilaku dan sikap guru
dan tenaga kependidikan di sekolah yang bisa ditiru
oleh peserta didik.
4) Kegiatan Pengkondisian : Penciptaan kondisi yang
mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter.

25

Nilai-nilai karakter yang dikembangkan sekolah
dan bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan pada 4
(empat) kegiatan di atas dapat menggunakan format
pada tabel berikut
Tabel 2.3
Format Nilai-nilai Karakter dan
Bentuk Kegiatan
(Rutin, Spontan, Keteladanan, Pengkondisian)
No

Nilai Karakter yang
dikembangkan

Bentuk Kegiatan

1
2
3
Dst
2) Pelaksanaan
Pendidikan
Karakter
Berbasis
Budaya Sekolah
Mengacu pada tahapan pelaksanaan pendidikan
karakter
Kemendiknas
(2011:11),
pelaksanaan
pendidikan
karakter
berbasis
budaya
sekolah
dilaksanakan dengan kegiatan yang diprogramkan
berupa Program Aksi Pendidikan Karakter Berbasis
Budaya Sekolah dapat menggunakan format pada tabel
berikut

26

Tabel 2.4
Format Program Aksi Pendidikan Karakter
Berbasis Budaya Sekolah
Kegiatan

Nilai
Karakter

Waktu
Pelaksanaan

Penanggu
ng Jawab

1. Kegiatan Rutin
1)
2) dst
2. Kegiatan Spontan
1)
2)dst
3. Keteladanan
1)
2)dst
4. Pengkondisian
1)dst
3. Evaluasi Pendidikan Karakter Berbasis Budaya
Sekolah
Penilaian pendidikan karakter berbasis budaya
sekolah tidak sekedar menilai keterlaksanaan program
aksi kegiatan pendidikan karakter yang dilaksanakan
di sekolah, melainkan menilai sejauh mana perilaku
siswa dapat menunjukkan nilai-nilai karakter yang
ditumbuhkembangkan sekolah melalui pendidikan
karakter. Mengingat dalam kegiatan keteladanan
dilakukan oleh pendidik dan tenaga pendidikan, maka
obyek penilaian kegiatan keteladanan adalah kepala
sekolah, guru dan karyawan. Sedangkan pengkondisian
27

obyek yang dinilai adalah ketersediaan / keadaan
sarana dan pra sarana pendukung terlaksananya
pendidikan karakter.
Mengacu pada prinsip-prinsip dan langkah-langah
pendidikan karakter yang telah disampaikan di atas,
penilaian pendidikan karakter berbasis budaya sekolah
dilakukan berdasarkan indikator perilaku dari nilainilai karakter dalam berbagai kegiatan yang telah
ditetapkan oleh sekolah melalui penilaian individual.
Penilaian dilakukan oleh tim penilai pelaksanaan
pendidikan
karakter
yang
melibatkan
bidang
kesiswaan, guru BK, guru agama, guru dan wali kelas
secara terus-menerus, setiap saat baik di kelas atau
sekolah. Tehnik penilaian yang digunakan adalah
Observasi, yaitu penilaian yang dilakukan melalui
pengamatan secara langsung terhadap individu. Untuk
mengukur
tingkat
keberhasilan
pelaksanaan
pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan
dengan pemberian skor pencapaian dalam waktu
tertentu
berdasarkan
indikator
perilaku
yang
diharapkan.
Hasil perolehan nilai tersebut dijadikan sebagai
data kuantitatif yang akan diolah sebagai indikator
pencapaian keberhasilan pengembangan nilai-nilai
karakter. Dari hasil penilaian kuantitatif melalui
pengamatan tersebut dapat dibuat kesimpulan yang
dinyatakan dalam
pernyataan kualitatif sebagai
berikut ini.
1. BT: Belum Terlihat (apabila peserta didik belum
memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang
dinyatakan dalam indikator).
2. MT: Mulai Terlihat (apabila peserta didik sudah
mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal
perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi
belum konsisten).
3. MB: Mulai Berkembang (apabila peserta didik
sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku
yang dinyatakan dalam indikator dan mulai
konsisten).
28

4. MK: Membudaya (apabila peserta didik terus
menerus
memperlihatkan
perilaku
yang
dinyatakan dalam indikator secara konsisten).
Instrumen observasi berupa lembar penilaian yang
didalamnya merupakan pedoman penskoran dengan
berbagai kriteria yang dinilai, skor penilaian dilakukan
dengan menggunakan skala Likert berikut ini
1. Tidak pernah
: Skor 1
2. Kadang-kadang
: Skor 2
3. Sering
: Skor 3
4. Selalu
: Skor 4
Perhitungan penilaian setiap nilai-nilai
menggunakan rumus sebagai berikut

karakter

Skor Perolehan/Skor Maksimal x 100 %

Berdasarkan perolehan nilai-nilai karakter tersebut
akan diperoleh kualifikasi sebagai berikut :
1. BT (Belum Terlihat)
: Skor 0 % - 25%
(Kurang)
2. MT (Mulai Terlihat)
: Skor 26% – 50%
(Cukup)
3. MB (Mulai Berkembang)
: Skor 51 % – 75%
(Baik)
4. MK (Membudaya)
: Skor 76 % – 100%
(Sangat Baik)
Format penilaian pendidikan karakter berbasis
budaya sekolah melalui observasi dapat dilakukan
dengan menggunakan format pada tabel berikut

29

Tabel 2.5
Format Instrumen Penilaian
Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Sekolah
Nilai Karakter yang
Skor
Indikator Perilaku
Dikembangkan
1 2 3 4
1. Kegiatan Rutin
1)
2)
3)dst
2. Kegiatan Spontan
1)
2)
3)dst
3. Keteladanan
1)
2)
3)dst
4. Pengkondisian
1)
2)
3)dst
Petunjuk pengisian :
1) Berilah tanda v (contreng) pada lajur skor sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya
dengan
ketentuan
1. : jika tidak pernah dilakukan
2. : jika jarang dilakukan
3. : jika sering dilakukan
4. : jika selalu dilakukan
2) Jumlahkan skor nilai setiap indikator perilaku
3) Hitunglah setiap nilai karakter dengan rumus
Nilai karakter = skor perolehan/skor maksimal X
100%

1.4.

Tinjauan Peneliti Terdahulu

Penelitian tentang model pendidikan karakter
pernah dilakukan oleh Drs Sucipto dengan judul ―
Model Pendidikan Karakter di SMA Negeri 1 Sidoharjo.
30

Topik yang diteliti adalah tentang model pendidikan
karakter yang efektif dan efisien karena saat ini banyak
fenomena
sosial
di
kalangan
pelajar
yang
mengindikasikan karakter kurang baik. SMA Negeri 1
Sidoarjo merupakan salah satu sekolah yang telah
melaksanakan pendidikan karakter dan hasilnya telah
diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Pengakuan tersebut tertuang
dalam hasil monitoring dan evaluasi untuk indikator
standar kompetensi lulusan yang berkaitan dengan
karakter siswa yang tangguh memperoleh nilai
maksimal, yaitu 10.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan model
pendidikan karakter di SMA Negeri 1 Sidoarjo dan
mengetahui hasil dari pendidikan tersebut. Penelitian
ini bersifat ex post facto, dengan menggunakan
rancangan deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah dokumentasi, angket, dan
wawancara. Dari hasil analisis data dapat disimpulkan
bahwa model pendidikan karakter di SMA Negeri 1
Sidoarjo menggunakan pendekatan komprehensif, yaitu
pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam
semua kegiatan di sekolah baik kegiatan kurikuler
maupun ekstrakurikuler. Model pendidikan tersebut
mampu membangun karakter religius, jujur, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, menghargai prestasi,
cinta damai, peduli sosial, dan tanggung jawab peserta
didik dengan baik. Karakter yang ditanamkan di
sekolah masih melekat kuat pada diri peserta didik
sampai mereka menempuh pendidikan di Perguruan
Tinggi dan berada di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan
karakter
ternyata
juga
mampu
meningkatan prestasi belajar di bidang akademik. Dari
hasil penelitian juga diketahui bahwa ketaatan
menjalankan ibadah berpengaruh terhadap kesabaran,
sopan santun, kejujuran, kerajinan dan ketekunan,
sikap pantang menyerah, kemandirian, serta tanggung
jawab. Sikap dan perilaku jujur berpengaruh terhadap
kuatnya komitmen seseorang. Sikap menghargai
prestasi, mau mengakui dan menghargai keberhasilan
31

orang lain berpengaruh pada kreativitas seseorang.
Sikap dan perilaku sabar, sopan santun, dan
menghargai
orang
lain
yang
berbeda
agama
berpengaruh terhadap karakter cinta damai dan
kepedulian sosial.
Penelitian
di
atas
menunjukkan
bahwa
pendidikan karakter dilakukan dengan berbasis budaya
sekolah, yaitu penanaman nilai-nilai karakter sekolah
yang diyakini dapat mebangun karakter positif siswa.
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di SMA negeri
1
Sidoharjo
dilaksanakan
dengan
pendekatan
komprehensif secara implisit ke dalam semua kegiatan
sekolah dinyatakan mampu membangun karakter
siswa, bahkan mampu meningkatkan prestasi kademik
siswa. Ukuran penilaian keberhasilan pendidikan
karakter dalam penelitian tersebut berupa prestasi
akademik siswa. Dalam penelitian tersebut penulis
dapat mengambil pembelajaran untuk penelitian ini
bahwa nilai-nilai karakter merupakan budaya sekolah
yang sangat efektif untuk membangun karakter peserta
didik karena terbukti mampu meningkatkan prestasi
akademik siswa. Maka nilai-nilai karakter tersebut
perlu menjadi komitmen seluruh warga sekolah untuk
dikembangkan dalam pelaksnaan pendidikan karakter.
Namun penelitian tersebut belum memaparkan
bagaimana proses penilaian tiap-tiap karakter sehingga
berdampak terhadap prestasi siswa.
Chi-Ming (Angela), 2012 mengadakan penelitian
tentang : Moral and character education in Taiwan.
Pendidikan moral dan karakter di Taiwan
Kebijakan pendidikan moral dan karakter di taiawan
adalah "Moral and Character Education Improvement
Program” (MCEIP), Moral dan Program Peningkatan
Pendidikan Karakter", yang menekankan pendidikan
karakter
berbasis
budaya
sekolah
untuk
menyeimbangkan budaya Timur dan Barat, budaya
tradisional dan modern. Sejarah dan pengembangan
moral dan karakter pendidikan di Taiwan mencakup
bidang pendidikan , budaya dan politik . Sejumlah isu ,
kontroversi dan perdebatan tentang moral dan
32

pendidikan karakter perlu ditangani dan diambil
pelajaran di seluruh dunia dan pendidik sebagai
berikut:(1)Bagaimana
menyeimbangkan
identitas
budaya dan perbedaan dalam diversifikasi masyarakat;
(2)Cara mengolah orang saleh dan warga negara yang
baik
dalam
masyarakat
global;(3)Carauntuk
membangun kembali legitimasi dan pendekatan
interdisipliner dalam masyarakat belajar;(4)Bagaimana
menghubungkan
teori
dan
praktek
untuk
meningkatkan kualitas dalam masyarakat postmodern.
Dari refleksi atas pengalaman Taiwan, beberapa
implikasi dan saran untuk pendidikan moral dan
karakter adalah bagaimana menyeimbangkan nilai-nilai
universal dan karakteristik lokal, dari pendidikan moral
dan karakter membutuhkan perhatian dan usahausaha yang mendukung dan memfasilitasi gagasan
tentang pendidikan moral dan karakter.
Menurut penelitian di atas, penulis dapat
mengambil pembelajaran untuk penelitian ini bahwa
membangun karakter berarti membangun moral, maka
tujuan pendidikan karakter pada hakekatnya adalah
untuk membangun moral peserta didik. Dengan moral
yang terbangun, maka peserta didik akan memiliki
kecerdasarn moral sehingga tahu mana yang benar,
mana yang salah, mana yang baik, mana yang tidak
baik dan bisa menentukan mana yang boleh dilakukan
dan mana yang tidak boleh dilakukan. Penulis juga
mengambil
pembelajaran
tentang
pentingnya
menyeimbangkan budaya lokal dan budaya global. Hal
ini penting mengingat kemerosotan moral anak dan
remaja sebagai dampak negatif dari pengaruh
globalisasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
tehnologi informasi. Maka perlu dikembangkan nilainilai karakter yang mengakomodasi penyeimbangan
budaya tersebut agar dampak positif globalisasi dapat
tertanam dalam karakter peserta didik. Nilai-nilai
karakter
tersebut
misalnya
tanggung
jawab,
kedisiplinan, dan kepedulian.

33

1.5. Kerangka Pikir Penelitian
Alur pikir dalam penelitian ini menggunakan
kerangka pikir berikut
LATAR BELAKANG
MASALAH

FENOMENA
DILAPANGAN

Reasear
ch and
Informati
on

collection

Planning

Develope
Preliminari
Form of
product

Validasi
Draft
Panduan

PANDUAN PENGELOLAAN
MODEL PENDIDIKAN
KARAKTER BERBASIS BUDAYA
SEKOLAH

34