Agamaa sholat dan rekayasa agamaa

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminologi/istilah, para ahli fiqih
mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita
beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala menurut syarat–syarat yang telah ditentukan.
Adapun secara hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah Jalla wa’ala yang
mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesaran dan
kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan
harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan. Tidak hanya itu, Shalat juga
merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang)
salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan
agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama
(Islam).Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17
rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim
mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Sholat ?
2. Bagaimana kedudukan shalat dalam islam ?

3. Apa hukum meninggalkan Shalat ?
4. Apa ancaman bagi yang meninggalkan shalat ?
5. Apa syarat-syarat wajib shalat ?
6. Kapan waktu-waktu mengerjakan shalat ?
7. Apa syarat-syarat sah shalat ?
8. Bagaimana cara mengerjakan shalat ?
9. Apa wajib-wajib dalam shalat ?
10. Apa sunah-sunah dalam Shalat ?
11. Apa hikmah dilaksanakannya shalat ?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah mengetahui tentang pengertian sholat, dalil
tentang wajib sholat, syarat-syarat wajib sholat, kapan mengerjakan sholat,syarat sah
sholat, cara mengerjakan sholat dan hikmah dilaksanakannya sholat.

1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Sholat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminologi/istilah, para ahli fiqih

mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita
beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala menurut syarat–syarat yang telah ditentukan.
Adapun secara hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah Jalla wa’ala yang
mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesaran dan
kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Menurut A. Hasan (1991) Baqha (1984), Muhammad bin Qasim As-Syafi’i (1982) dan
Rasyid (1976) shalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a. ditambahakan oleh AshShiddiqy (1983) bahwa perkataan shalat dalam bahasa Arab berarti do’a memohon kebajikan
dan pujian. Sedangkan secara hakekat mengandung pengertian “berhadap (jiwa) kepada Allah
dan mendatangkan takut kepadanya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan,
kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaannya.
Allah berfitman dalam surat at taubah ayat 103:
‫ك َس َك ٌن لَهُ ْم َو ا‬
(103) ‫اُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
َ َ‫ص َلت‬
َ ‫ص ّل َعلَ ْي ِه ْم إِ ان‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَهّ ُرهُ ْم َوتُ َز ّكي ِه ْم بِهَا َو‬
َ ‫ُخ ْذ ِم ْن أَ ْم َوالِ ِه ْم‬
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan

mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (9:
103)
Secara dimensi Fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan
(gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita
beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah di tentukan oleh Agama.
Dalam shalat dikenal yang namanya Wajib, Rukun, Syarat, dan Sunah adapun
Perbedaannya ialah :
1. Rukun: sesuatu yang harus ada, dalam shalat, apabila seorang lupa atau sengaja
meninggalkan rukun maka shalatnya batal
2. Syarat: hal-hal diluar shalat yang harus ada,apabila tidak ada salah satu syarat maka
shalatnya tidak sah.
3. Wajib: Jika menginggalkannya secara sengaja maka batal shalatnya. Jika tidak
sengaja maka tidak batal, namun harus menggantinya dengan sujud sahwi.
4. Sunnah: Tidak batal shalat jika ditinggalkan baik secara sengaja maupun tidak.
Namun, mengurangi kesempurnaan shalat.
Rasulullah bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat” [2]. Yaitu shalat
secara sempurna baik rukun, wajib maupun sunnah-sunnahnya.
2


2.2. Kedudukan Shalat Dalam Islam
1. Shalat adalah Tiang Agama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kepala segala urusan adalah Islam, dan
tiangnya adalah shalat, sementara puncaknya adalah jihad.” (HR At Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ahmad, shahih)
2. Shalat adalah Amal yang Pertama Kali Dihitung di Akhirat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Yang pertama kali ditanyakan kepada
seorang hamba pada hari kiamat adalah perhatian kepada shalatnyaa. Jika shalatnya baik, dia
akan beruntung (dalam sebuah riwayat disebutkan: dia akan berhasil). Dan jika shalatnya
rusak, dia akan gagal dan merugi.” (HR Ath Thabrani, shahih)
3. Shalat adalah Ibadah yang Terakhir Hilang dari Agama
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tali-tali Islam akan lepas sehelai demi
sehelai. Setiap kali sehelai tapi itu lepas, umat manusia akan berpegangan pada tali
berikutnya. Yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan yang paling terakhir adalah shalat.”
(HR Ahmad, shahih)
4. Shalat adalah Wasiat Terakhir Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Ummul Mu’minin Ummu Salamah, berkata, “Wasiat yang terakhir kali disampaikan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah shalat, shalat, dan budak-budak yang kalian
miliki.” Sehingga Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembunyikannya di dalam
dada dan tidak beliau sebarluaskan melaluinya. (HR Ahmad, shahih)

5. Allah Memuji Orang yang Mengerjakan dan Mengajak Keluarganya Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Quran Surat Maryam ayat 54-55:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam
Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul
dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia
adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya.”
6. Allah Mencela Orang yang Malas Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Quran Surat Maryam ayat 59:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
7. Shalat adalah Rukun Islam Kedua
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima pondasi,
bersaksi bahwa tiada Rabb selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji, serta berpuasa pada bulan Ramadhan.”
(HR Al Bukhari dan Muslim)
8. Allah Mewajibkan Shalat Tanpa Perantaraan Jibril
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan ibadah shalat tidak seperti ibadah yang lain.
Terkhusus untuk ibadah shalat, Allah sendiri yang memerintahkan ibadah ini dengan
mengangkat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke langit ke tujuh dalam
peristiwa Isra’ Mi’raj, di Sidratul Muntaha

9. Awalnya, Allah Memerintahkan Shalat 50 Shalat Sehari
Dalam lanjutan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu tersebut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Aku lalu kembali dengan membawa
kewajiban itu hingga kulewati Nabi Musa ‘Alaihis Salam, kemudian ia (Musa ‘Alaihis Salam)
berkata kepadaku, ‘Apa yang diwajibkan Allah atas umatmu?’
Aku menjawab, ‘Dia mewajibkan lima puluh kali shalat (dalam sehari semalam).’
Musa ‘Alaihis Salam berkata, ‘Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan kepadaNya, karena umatmu tidak akan mampu melaksanakan hal yang demikian itu.’
3

Maka aku pun kembali menghadap Allah, lalu Dia memberi keringanan kepadaku dengan
menghapuskan lima kali shalat…’
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘dan aku terus kembali menghadap Allah dan
turun kepada Nabi Musa ‘Alaihis Salam hingga Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, itulah
shalat lima waktu sehari semalam. Setiap satu shalat bernilai sepuluh kali shalat. Dengan
demikian, pahalanya sama dengan lima puluh kali shalat.’” (HR Al Bukhari dan Muslim)
10. Allah Membuka dan Menutup Amal Orang Beriman yang Beruntung dengan
Menyebutkan Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Quran Surat Al Mu’minun ayat 1-9:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk
dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang

tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.Dan orang-orang yang memelihara amanatamanat (yang dipikulnya) dan janjinya,dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.”
11. Allah Menyuruh Muhammad, dan Pengikutnya Agar Menyruh Keluarganya Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Quran Surat Thaha 132:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki
kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Suruh anak-anak kalian mengerjakan
shalat ketika berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya pada
saat mereka berusia 10 tahun. Serta pisahkanlah mereka di tempat tidur.” (HR Abu Dawud
dan Ahmad, shahih)
12. Orang yang Tidur dan Lupa Diperintahkan Mengganti Shalatnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa mengerjakan
shalat, hendaknya dia mengerjakannya pada saat teringat. Tidak ada kafarat baginya, kecuali
hanya itu saja.” (HR Al Bukhari)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa lupa
mengerjakan shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya, maka kafaratnya adalah
mengerjakannya ketika ia mengingatnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).

2.3. Hukum Meninggalkan Shalat
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits.
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ْ‫ك َو ْال ُك ْف ِر تَر‬
‫ك ال ا‬
‫صلَ ِة‬
ِ ْ‫بَ ْينَ ال ارج ُِل َوبَ ْينَ ال ّشر‬
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ك‬
َ ‫ال ْي َما ِن الص َالةُ فَإ ِ َذا تَ َر َكهَا فَقَ ْد أَ ْش َر‬
ِ ‫بَ ْينَ ال َع ْب ِد َوبَ ْينَ ال ُك ْف ِر َو‬
4

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila
dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad
shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib

no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫صلَة‬
‫ال ْسلَ ُم َو َع ُمو ُدهُ ال ا‬
ِ ‫َر ْأسُ الَ ْم ِر‬
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan
At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti
penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan
patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
Umar mengatakan,
َ‫صلَة‬
‫لَ إِ ْسلَ َم لِ َم ْن تَ َركَ ال ا‬
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
َ‫صلَة‬
‫ولَ َحظا فِي ا ِل ْسلَ ِم لِ َم ْن تَ َركَ ال ا‬
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh
Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al

Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir.
Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no.
209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu
orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat
adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul
Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau
mengatakan,
‫ لَ يَ َروْ نَ َش ْيئًا ِمنَ الَ ْع َما ِل تَرْ ُكهُ ُك ْف ٌر َغي َْر ال ا‬-‫صل ا عليه وسلم‬- ‫َكانَ أَصْ َحابُ ُم َح ام ٍد‬
‫صلَ ِة‬
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap
suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini
diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim
mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan
sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah
wal Kitab, hal. 52).
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat
bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan
5


shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari
pendapat para ulama yang ada.
2.4. Ancaman bagi yang meninggalkan Shalat
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah
dua ayat saja. Allah Ta’ala berfirman,
ٌ ‫فَ َخلَفَ ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم َخ ْل‬
‫صالِحًا‬
َ ‫َاب َوآَ َمنَ َو َع ِم َل‬
َ ‫ت فَ َسوْ فَ يَ ْلقَوْ نَ َغيًا إِ ال َم ْن ت‬
َ َ‫ف أ‬
ِ ‫ضاعُوا الص َالةَ َواتابَعُوا ال اشهَ َوا‬
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
(Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi
orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di
neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya)
yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat
orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
‫صالِحًا‬
َ ‫َاب َوآَ َمنَ َو َع ِم َل‬
َ ‫إِ ال َم ْن ت‬
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
‫ّين‬
ِ ‫فَإ ِ ْن تَابُوا َوأَقَا ُموا الص َالةَ َوآَتَ ُوا ال از َكاةَ فَإ ِ ْخ َوانُ ُك ْم فِي الد‬
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala
mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak
dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat
bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ٌ‫إِنا َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ إِ ْخ َوة‬
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami rinci sebagai berikut :
 Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana
mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat
boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka
6

mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada
perselisihan di antara para ulama.
 Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan.
Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits
mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya
maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, shahih)
 Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang
tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya)
dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah
lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal
‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya]. (Majmu’
Al Fatawa, 7/617)
 Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan
shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya
kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan
hukuman.
 Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam
melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam
ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana
Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al
Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim,
hal. 189-190)
2.5. Syarat-syarat Wajib Solat
Para ulama membagi syarat shalat menjadi dua macam, pertama syarat wajib, dan yang ke
dua syarat sah. Syarat wajib adalah sayarat yang menyebabkan seseorang wajib
melaksanakan shalat. Sedangkan syarat sah adalah syarat yang menjadikan shalat seseorang
diterima secara syara’ di samping adanya kriteria lain seperti rukun.
Syarat wajib salat adalah sebagai berikut:
1. Islam, shalat diwajibkan terhadap orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan,
dan tidak diwajibkan bagi orang kafir atau nin muslim. Orang kafir tidak dituntut
untuk melaksanakan shalat, namun mereka tetap menerima hukuman di akhirat.
Walaupun demikian orang kafir apabila masuk Islam tidak diwajibkan membayar
shalat yang ditinggalkannya selama kafir, demikian menurut kesepakatannya para
ulama. Seperti dalam hadits berikut ini : Dari Amr bin Ash bahwa Nabi SAW
bersabda: islam memutuskan apa yang sebelumnya (sebelum masuk islam). HR
Ahmad, Al-Thabrani dan Al-baihaqi).
7

2. Baligh, anak-anak kecil tidak dikenakan kewajiban shalat berdasarkan sabda Nabi
SAW, yang artinya: Dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW berkata: Diangkatkan pena
( tidak ditulis dosa) dalam tiga perkara: Orang gila yang akalnya tidak berperan
sampai ia sembuh, orang tidur sampai ia bangun dan dari anak-anak sampai dia
baligh. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim).
3. Berakal. Orang gila, orang kurang akal (ma’tuh) dan sejenisnya seperti penyakit sawan
(ayan) yang sedang kambuh tidak diwajibkan shalat, karena akal merupakan prinsip
dalam menetapkan kewajiban (taklif), demikian menurut pendapat jumhur ulama
alasannya adalah hadits yang diterima dari Ali r.a. yang artinya:“dan dari orang gila
yang tidak berperan akalnya sampai dia sembuh”. Namun demikian menurut
Syafi’iyah disunatkan meng-qadha-nya apabila sudh senbuh. Akan tetapi golongan
Hanabilah berpendapat, bagi orang yang tertutup akalnya karena sakit atau sawan
(ayan) wajib mneg-qadha shalat. Hal ini diqiyaskan kepada puasa, Karena puasa tidak
gugur disebabkan penyakit tersebut.
2.6. Waktu-waktu Pelaksanaan Sholat
Shalat tidak boleh dilaksanakan di sembarang waktu. Allah SWT. Dan Rasulullah SAW. telah
menentukan waktu-waktu pelaksanaan sholat yang benar menurut syariat islam. Allah SWT.
berfirman dalam Al-Qur’an surat An- Nisa ayat 103 sebagai berikut:
“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka
Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Ayat tersebut menetapkan bahwa shalat dilaksanakan sesuai dengan waktu-waktu yang telah
ditetapkan. Shalat yang lima waktu, memiliki lima waktu yang tertentu. Dalam Al-Qur’an
surat Hud ayat 114 menegaskan sebagai berikut yang artinya:
“Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat”.
Dalam ayat tersebut terdapat ketentuan waktu shalat, yaitu:
1.
Tharfin-nahar, yaitu pagi dan petang;
2.
Zulfal-lail, permulaan malam.
Dalam qur’an surat al-isra’ ayat 78 yang artinya:
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
Ayat Ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat
Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
Ayat tersebut menetapkan waktu shalat wajib dengan bebereapa waktu, yaitu:
1.
Dulukus-syams, yaitu ketika tergelincir matahari;
2.
Ghasakul-lail, gelap malam (terbenam matahari);dan
3.
Fajar, waktu subuh.
Ketentuan waktu shalat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an menjelaskan bahwa semua
pelaksanaan shalat harus sesuai dengan waktu-waktu yang ditetapkan oleh syara’. Waktu
ketika matahari tergelincir hanya dimaksudkan untuk shalat zuhur, sedangka ketika matahari
8

mulai gelap hingga tak tampak lagi adalah waktu unutk shalat ashar, magrib, dan isya.
Adapun datangnya waktu fajar sebagai pertanda telah diwajibkan melaksanakn shalat subuh.
Agar lebih terperinci, berikut dijelaskan mengenai waktu-waktu shalat tersebut:
1. Zuhur, sholat zuhur waktunya mulai matahari condong ke arah barat dan berakhir sampai
baying-bayang suatu benda sama panjang atau lebih sedikit dari benda tersebut. Hal in
idapat dilihat kepada seseorang atau sebuah tiang yang berdiri, bilamana bayangbayangnya masih persis di tengah atau belum sampai, menandakan waktu zuhur belum
masuk.
2. Asar, shalat asar waktunya mulai dari baying-bayang suatu benda lebih panjang dari
bendanya hingga terbenam matahari.Kebanyakan ulama berpendapat bahwa shalat ashar
di waktu menguningnya cahaya matahari sebelum terbenam hukumnya makruh.
3. Magrib, shalat magrib waktunya mulai terbenam matahari dan berakhir sampai hilangnya
cahaya awan merah.
4. Isya, shalat isya waktunya mulai hilangnya cahaya awan merah dan berakhir hingga terbit
fajar shadiq.
5. Subuh, shalat subuh, waktunya dari mulai terbit fajar shadiq hingga terbit matahari.
2.7. Syarat-syarat sah sholat
Adapun syarat sah sholat adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui masuk waktu. Shalat tidak sah apabila seseorang yang melaksanakannya
tidak mengetahui secara pasti atau dengan persangkaan yang berat bahwa waktu telah
masuk, sekalipun ternyata dia shalat dalam waktunya. Demikian juga dengan orang
yang ragu, shalatnya tidak sah.
2. Suci dari hadas kecil dan hadas besar. Penyucian hadas kecil dengan wudu’ dan
penyucian hadas besar dengan mandi. Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya:
“ Dari Umar r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seseorang
yang tidak suci. (HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari). “ Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seorang kamu apabila
berhadas hingga dia bersuci. (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Suci badan, pakaian dan tempat dari na’jis hakiki. Untuk keabsahan shalat
disyariatkan suci badan, pakaian dan tempat dari na’is yang tidak dimaafkan, demikian
menurut pendapat jumhur ulama tetapi menurut pendapat yang masyhur dari golongan
Malikiyah adalah sunnah muakkad.
4. Menutup aurat. Seseorang yang shalat disyaratkan menutup aurat, baik sendiri
dalamkeadaan terang maupun sendiri dalam gelap. Allah SWt berfirman: “pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid”(QS. 4:31).
5. Menghadap kiblat. Ulama sepakat bahwa syarat sah shalat. Allah SWT berfirman:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya. (QS. 2:150)
6. Niat. Golongan hanafiyah dan Hanabilah memandang niat sebagai syarat sah shalat,
demikian juga pendapat yang lebih kuat dari kalangan Malikiyah.
2.8. Cara Mengerjakan Shalat
Menurut golongan syafi’iyah rukun shalat tiga belas yaitu:
1. Niat,
2. Takbirtul Ihram,
3. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup,
9

4. Membaca al-fatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada uzur seperti terlambat
mengkuti imam (masbuq)
5. Ruku’,
6. Sujud dua kali setiap rakaat,
7. Duduk antara dua sujud,
8. Membaca tasyahud akhir,
9. Duduk pada tasyahud akhir,
10. Solawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud akhir,
11. Duduk di waktu membaca salawat,
12. Mengucapkan salam,
13. Tertib.
2.9. Wajib-wajib Shalat
1. Semua takbir, kecuali Takbiiratul Ihraam
Sesuai ucapan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, "Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bertakbir di setiap naik dan turunnya, berdiri dan duduknya."(HR. Ahmad,
An-Nasa`iy dan At-Tirmidziy menshahihkannya)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika imam bertakbir
maka bertakbirlah."Ini adalah perintah, sedangkan perintah menunjukkan wajib.
2. Mengucapkan Subhaana rabbiyal 'azhiim saat ruku'
Sesuai dengan hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang menggambarkan shalat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau dalam ruku'nya mengucapkan, "Subhaana
rabbiyal 'azhiim"(Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung) dan pada sujudnya
mengucapkan, "Subhaana rabbiyal a'laa"(Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi)
3. Mengucapkan Sami'allaahu liman hamidah bagi imam dan yang shalat sendiri
Berdasarkan ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang mensifati shalat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasannya beliau mengucapkan Sami'allaahu liman
hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) tatkala mengangkat
punggungnya dari ruku'. (Muttafaqun 'alaih)
4. Mengucapkan Rabbanaa walakal hamdu bagi semua (imam, makmum dan yang shalat
sendiri) Sesuai kelanjutan ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pada hadits yang
lalu, "Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri mengucapkan
Rabbanaa walakal hamdu."
5. Mengucapkan Subhaana rabbiyal a'laa saat sujud
Sesuai hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang lalu.
6. Mengucapkan Rabbighfirlii antara dua sujud
Sebagaimana dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam mengucapkan antara dua sujud Rabbighfirlii. (HR. An-Nasa`iy dan
Ibnu Majah)
7. Membaca Tasyahhud awal, dan
8. Duduk untuk tasyahhud awal
Sebagaimana hadits, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca pada tiap dua
rakaat At-Tahiyyaat.", dan pada hadits yang lain, "Jika kalian telah duduk pada tiap
dua rakaat maka ucapkanlah At-Tahiyyaat." (HR. Al-Imam Ahmad dan An-Nasa`iy)

10

2.10. Sunah-sunah Dalam Shalat
1. Do'a Istiftaah
2. Meletakkan (telapak) tangan kanan di atas (punggung) tangan kiri pada dada tatkala
berdiri sebelum ruku‘
3. Mengangkat kedua tangan dengan jari-jari rapat yang tebuka (tidak terkepal) setinggi
bahu atau telinga tatkala takbir pertama, ruku', bangkit dari ruku', dan ketika berdiri
dari tasyahhud awal menuju raka'at ketiga
4. Tambahan dari sekali tasbih dalam tasbih ruku' dan sujud
5. Tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku‘
6. Tambahan dari satu permohonan akan maghfirah (yaitu bacaan Rabbighfirlii) di antara
dua sujud
7. Meratakan kepala dengan punggung dalam ruku‘
8. Berjauhan antara kedua lengan atas dengan kedua sisi, antara perut dengan kedua paha
dan antara kedua paha dengan kedua betis pada waktu sujud
9. Mengangkat kedua siku dari lantai ketika sujud
10. Duduk iftiraasy (duduk di atas kaki kiri sebagai alas dan menegakkan kaki kanan)
pada tasyahhud awal dan di antara dua sujud.
11. Duduk tawarruk (duduk pada lantai dan meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanan
yang tegak) pada tasyahhud akhir dalam shalat tiga atau empat raka'at
12. Mengisyaratkan dengan telunjuk pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir sejak
mulai duduk sampai selesai tasyahhud
13. Mendo'akan shalawat dan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam dan keluarga beliau serta untuk Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan keluarga
beliau pada tasyahhud awal
14. Berdo'a pada tasyahhud akhir
15. Mengeraskan (jahr) bacaan pada shalat Fajar (Shubuh), Jum'at, Dua Hari Raya,
Istisqaa` (minta hujan), dan pada dua raka'at pertama shalat Maghrib dan 'Isya`
16. Merendahkan (sirr) bacaan pada shalat Zhuhur, 'Ashar, pada raka'at ketiga shalat
Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat 'Isya`
17. Membaca lebih dari surat Al-Fatihah.
Demikian juga kita harus memperhatikan apa-apa yang tersebut dalam riwayat tentang
sunnah-sunnah selain yang telah kami sebutkan. Misalnya, tambahan dari ucapan Rabbanaa
walakal hamdu setelah bangkit dari ruku' untuk imam, makmum, dan yang shalat sendiri,
karena hal itu termasuk sunnah. Meletakkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka (tidak
rapat) pada dua lulut ketika ruku' juga termasuk sunnah.
11

2.11. Hikmah mengerjakan shalat
Dari sudut religious shalat merupakan hubungan langsung antara hamba
dengan khaliq-nya yang di dalamnya terkandung kenikmatan munajat, pernyataan ubudiyah,
penyerahan segala urusan kepada Allah, keamanan dan ketentraman serta perolehan
keuntungan. Di samping itu dia merupakan suatu cara untuk memperoleh kemenangan serta
menahan seseorang dari berbuat kejahatan dan kesalahan.
Secara individual shalat merupakan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah SWT ,
menguatkan iwa dan keinginan, semata-mata mengagungkan Allah SWT, bukan berlombalomba untuk memperturutkan hawa nafsu dalam mencapai kemegahan dan mengumpulkan
harta. Di samping itu shalat merupakan peristirahatan diri dan ketenangan jiwa sesudah
melakukan kesibukan dalam menghadapi aktivitas dunia.
Allah SWT berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu”.
Sholat mengajar seseorang untuk berdisiplin dan menta’ati berbagai peraturandan
etika dalam kehidupan dunia. Hal ini terlihat dari penetapan waktu sholat yang mesti di
pelihara oleh setiap muslim dan tata tertib yang terkandung di dalamnya. Dengan demikan
orang yang melakukan shalat akan memahami peraturan, nilai dan sopan santun, ketentraman
dan mengkonsentrasikan pikiran kepada hal-hal yang bermamfaat, karena shalat penuh
dengan pengertian ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai tersebut.
Dari segi social kemasyarakatan shalat merupakan pengakuan aqidah setiap anggota
masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi terhadap persatuan dan kesatuan
umat. Persatuan dan kesatuan ini menumbuhkan hubungan social yang harmonis dan
kesamaan pemikiran dalam menghadapi segalam problema kehidupan sosial kemasyarakatan.

BAB III
PENUTUP
12

- Kesimpulan
1. Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan,
denganperkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara.
2. Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa kecuali
3. Shalat Merupakan Syarat Menjadi Takwa
Taqwa merupakan hal yang penting dalam Islam karena dapat menentukan amal /
tingkah laku manusia, orang – orang yang betul – betul taqwa tidak mungkin melaksanakan
perbuatan keji dan munkar, dan sebaliknya
Salah satu persyaratan orang – orang yang betul betul taqwa ialah diantaranya mendirikan
shalat sebagimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah
4. Shalat Merupakan Benteng Kemaksiatan
Shalat merupakan benteng kemaksiatan artinya bahwa shalat dapat mencegah
perbuatan keji dan munkar. Semakin baik mutu shalat seseorang maka semakin efektiflah
benteng kemampuan untuk memelihara dirinya dari perbuatan makasiat
Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar apabila dilaksanakan dengan khusu tidak
akan ditemukan mereka yang melakukan shalat dengan khusu berbuat zina. Maksiat,
merampok dan sebagainya. Merampok dan sebagainya tetapi sebaliknya kalau ada yang
melakukan shalat tetapi tetap berbuat maksiat, tentu kekhusuan shalatnya perlu dipertanyakan.
Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut: 45
5. Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur
Dengan mendirikan shalat, maka banyak hal yang didapat, shalat akan mendidik
perbuatan baik apabila dilaksanakan dengan khusus.
6. Shalat Akan membangun etos kerja
Sebagaimana keterangan – keterangan di atas bahwa pada intinya shalat merupakan
penentu apakah orang – orang itu baik atau buruk, baik dalam perbuatan sehari – hari maupun
ditempat mereka bekerja
Apabila mendirikan shalat dengan khusu maka hal ini akan mempengaruhi terhadap etos kerja
mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur dalam melaksanakan tugas

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, S.A. Zainal, Kunci Ibadah, (Semarang: PT.Karya Toha Putra Semarang, 2001)
13

Hamid ,Abdul. Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
Haryono, Sentot, Psikologi Salat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003).
Ritoga, A. Rahman, M.A. Dr. Zainuddin, M.A, Fiqh Ibadah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002),
http://salampathokan.blogspot.com/2012/12/hadits-tentang-shalat-kewajiban-shalat.html.
diunduh tgl 26 april 2013, di mataram pukul 22.13 WITA.

14