BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sinetron Indonesia (Studi Deskriptif Kualitatif Kekerasan Perempuan dalam Sinetron Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

  Media massa kini semakin berkembang dan sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hal ini disebabkan karena melalui media massa, orang lain bisa mendapatkan informasi, hiburan dan pengetahuan lain dengan mudah dan cepat. Salah satu media massa yang paling populer dan diminati masyarakat adalah televisi. Televisi dapat mengirimkan informasi berupa suara dan gambar sekaligus (audiovisual). Kelebihan yang dimiliki televisi ini memungkinkan siapa pun dapat menikmati acaranya tanpa menuntut persyaratan kemampuan membaca selayaknya di media cetak.

  Televisi adalah salah satu sarana hiburan yang dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, pendidikan, maupun status sosial. Di Indonesia sendiri, televisi adalah salah satu media massa yang paling banyak dikonsumsi. Sebagai media audio- visual, televisi tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang lebih kuat dengan budaya lisan (Wirodono, 2006:viii).

  Televisi juga merupakan media massa yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia bila dibandingkan dengan media massa lainnya. Sebagai salah satu primadona media, televisi memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Kehadirannya secara langsung maupun secara tidak langsung memberikan pengaruh bagi perilaku dan pola pikir masyarakat. Televisi memiliki kemampuan yang dapat membius, membohongi, dan melarikan masyarakat pemirsanya dari kenyataan-kenyataan kehidupan sekelilingnya (Wirodono, 2006:26).

  Berdasarkan survei perusahaan riset media yakni Nielsen Indonesia pada kuartal ketiga 2011, hampir semua atau 95 persen rumah tangga kelas menengah memiliki televisi. Televisi menjadi media pilihan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang rata-rata menghabiskan waktu 4,5

  

1

  jam setiap harinya untuk menonton televisi (Nielsen Newsletter 2011). AC Nielsen Company juga memonitor penggunaan televisi untuk pembeli siaran iklan. Disebutkan bahwa televisi menyala dalam rumah tangga AS hampir delapan jam setiap harinya (dalam Biagi, 2010:201).

  Stasiun televisi memanjakan penonton dengan cara menyajikan tayangan-tayangan yang sesuai dengan selera penonton. Tayangan-tayangan tersebut semakin beraneka ragam, antara lain: program berita, talk show, reality show, dokumenter, film, sinetron, acara musik, olahraga, politik dan sebagainya. Salah satu tayangan televisi yang diminati oleh masyarakat Indonesia adalah sinetron. Hal ini dibuktikan dari peringkat rating sinetron yang relatif tidak terkalahkan jika dibandingkan dengan program televisi lainnya.

  Selain itu jika diamati lebih lanjut, jumlah episode yang ada pada sinetron-sinetron di Indonesia rata-rata mencapai ratusan bahkan ribuan episode. Salah satu contohnya adalah sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang telah menembus hingga lebih dari 1000 episode. Banyaknya penonton membuat sinetron tersebut memperoleh rating tinggi, sehingga pihak-pihak pembuat sinetron atau home production terus menambah jumlah episode dari sinetron tersebut.

  Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari- hari yang diwarnai konflik berkepanjangan. Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut soap opera (opera sabun), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela. Di Indonesia sendiri, istilah sinetron pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono, salah satu pendiri dan mantan pengajar Institut . Kesenian Jakarta Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang semakin lama semakin besar sehingga sampai pada titik klimaks. Suatu sinetron dapat berakhir dengan bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario (wikipedia.org).

  Kuswandi (1996:130) mengungkapkan alasan sinetron diminati oleh khayalak adalah karena menyangkut hal-hal sebagai berikut: Pertama, isi pesannya sesuai dengan realita sosial pemirsa. Hal ini dikarenakan sinetron pada umumnya menceritakan tentang kehidupan manusia sehari-hari yang dibumbui dengan konflik. Kedua, isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya yang ada dalam masyarakat. Ketiga, isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang sering terjadi dalam kehidupan.

  Sinetron yang ditampilkan di televisi seharusnya dapat mendidik masyarakat dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan tatanan norma dan nilai budaya masyarakat setempat. Berdasarkan pengamatan peneliti sendiri, saat ini sinetron yang mendidik sangat jarang ditemui. Sinetron secara tidak langsung telah memberikan pengaruh negatif bagi para peminatnya yang didominasi oleh remaja putri dan ibu rumah tangga. Brown (1990) memaparkan bahwa sinetron tidak lain adalah soap opera yang dalam sejarahnya memang merupakan female-oriented-narrative (dalam Hamid dan Budianto, 2011: 448).

  Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Yayasan SET (2009), sinetron yang termasuk dalam kategori hiburan, memiliki kuantitas (jumlah) yang sangat banyak di berbagai stasiun televisi, yakni sebesar 90,9%. Namun sangat disayangkan, kuantitas besar yang dimiliki sinetron tidak sebanding dengan kualitas yang dimiliki tayangan ini. Para responden menilai sinetron sebagai tayangan kedua yang memiliki kualitas sangat buruk (44,1%) setelah program kriminalitas (47,3%) (dalam Luphita, 2011).

  Banyak sinetron Indonesia yang menampilkan cerita yang tidak logis dan menyajikan unsur kekerasan di dalamnya, terutama kekerasan terhadap perempuan. Adegan-adegan kekerasan seperti pemukulan dalam konflik keluarga, penyiksaan, ataupun juga kekerasan verbal seperti cacian, pelecehan, bentakan dan menggunjingkan seringkali ditemui. Perempuan yang menjadi tokoh protagonis digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tidak pernah melawan. Tokoh-tokoh utama dalam sinetron Indonesia yang rata-rata perempuan selalu mengalami penyiksaan, pelecehan, dan ketidakadilan. Adegan tersebut dengan bebasnya dapat disaksikan oleh seluruh anggota keluarga di layar kaca setiap harinya.

  Perempuan seringkali ditempatkan sebagai objek dalam media massa, terutama televisi. Perempuan oleh media massa senantiasa digambarkan sangat tipikal yaitu tempatnya ada dirumah, berperan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, tergantung pada pria, tidak mampu membuat keputusan penting, menjalani profesi yang terbatas, selalu melihat pada dirinya sendiri, sebagai obyek seksual/simbol seks (pornographizing sexploitation), obyek

  

fetish , obyek peneguhan pola kerja patriaki, obyek pelecehan dan kekerasan,

  selalu disalahkan (blaming the victim) dan bersikap pasif, serta menjalankan fungsi sebagai pengkonsumsi barang atau jasa dan sebagai alat pembujuk. Melalui penggambaran tersebut, Fry (1993) menuturkan bahwa, kaum wanita telah mengalami kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh suatu jaringan kekuasaan dalam berbagai bentuk, misalnya berupa diskriminasi kerja, diskriminasi upah, pelecehan seksual, pembatasan peran sosial sebagai wanita, istri dan ibu rumah tangga, dan sebagainya (dalam Sunarto, 2009:4).

  Masyarakat akan mempelajari dan meniru apa yang mereka lihat di televisi. Hal inilah yang membuat televisi berkembang menjadi salah satu media pembelajaran sosial. Ardianto dan Erdinaya (2007:58) menyatakan bahwa secara pasti media massa, terutama televisi mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Sunarto (2009:7), mengungkapkan bahwa media televisi mempunyai pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan media massa yang lain karena sifat audio visualnya yang mampu mengatasi hambatan literasi khalayaknya.

  Sinetron dapat membuat sebuah tren atau kebudayaan dapat tercipta dan bergeser dengan mudah. Gerbner dalam Growing Up With Television (1994), juga Porter dalam On Media Violence (1999) menuturkan, tayangan kekerasan di televisi memiliki efek segera atau jangka pendek dan jangka panjang. Munculnya rasa takut adalah contoh efek segera (emotional effect) akibat menonton televisi. Efek segera memberikan potensi adanya imitasi atau peniruan yang sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi. Sedangkan efek jangka panjang yakni berupa habituation, yaitu orang menjadi terbiasa dengan iklim kekerasan dan kriminal. Akibatnya orang menjadi tidak peka, permisif, dan toleran terhadap kekerasan itu sendiri. Bahkan Poter (1999) menunjuk adanya dampak learning social norms karena tayangan kekerasan yang terus-menerus ditonton bisa dianggap sebagai cara yang dibenarkan untuk menyelesaikan suatu masalah (dalam Mulkan, 2011:42).

  Apabila adegan yang memuat unsur kekerasan terhadap perempuan terus-menerus ditayangkan di dalam sinetron, maka lambat laun masyarakat akan menganggap hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Mulkan (2011:15), mengatakan bahwa survei menunjukkan menonton tayangan kekerasan akan meningkatkan perilaku agresif dan pro kekerasan. Bukan hanya satu atau dua survei saja, namun ratusan riset menyimpulkan bahwa menonton tayangan kekerasan di televisi akan meningkatkan perilaku agresif bagi penontonnya.

  Jika tayangan tersebut digemari oleh masyarakat, media televisi maupun rumah-rumah produksi akan terus berkarya dan menyajikan acara serupa yaitu tayangan sinetron dan mengambil tema maupun konsep yang sama. Rumah-rumah produksi dan media televisi akan terus menambah jumlah episode dari sinetron tersebut jika sinetron itu memperoleh rating yang tinggi ditengah-tengah masyarakat. Hingga saat ini, pihak-pihak tersebut hanya berpikir dari segi komersil tanpa memperhitungkan dampak bagi pemirsanya.

  Data Komisi Nasional Perempuan mencatat pada 2011 terdapat 119.107 kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Kasusnya terjadi dalam beragam bentuk dan ranah. Berdasarkan data kekerasan seksual saja sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012, tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Empat jenis kekerasan yang paling banyak ditangani adalah perkosaan dan pencabulan (1620), percobaan perkosaan (8), pelecehan seksual (118), dan traficking untuk tujuan seksual (403) (http://www.komnasperempuan.or.id).

  Kekerasan atau Violent Crime menurut Nettler adalah peristiwa dimana orang secara ilegal dan secara sengaja melukai secara fisik, atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, dimana bentuk- bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan dan pembunuhan merupakan contoh klasik dari kejahatan kekerasan yang serius (dalam Martha, 2003:21). Menurut Surbakti (2008:80), kekerasan dapat dipahami sebagai tindakan yang menyakiti, merendahkan, menghina, atau tindakan kekejaman yang bertujuan untuk membuat obyek kekerasan tersebut menderita baik secara psikologis maupun fisiologis. Seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan jika ia menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, mengalami trauma emosional dan sebagainya.

  Sementara itu, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan berdasarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Pasal 1 adalah setiap tindakan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau pederitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk di dalamnya ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Sihite, 2007:227).

  Berdasarkan Penelitian Sinetron Remaja tahun 2007-2008 oleh Pengembangan Media Anak, adegan sinetron Indonesia 58% berisi kekerasan termasuk didalamnya kekerasan terhadap perempuan (Hendriyani, 2008).

  Penelitian yang dilakukan oleh Pratomo (2003) mengenai kekerasan pada adegan sinetron menyatakan, adegan anti-sosial di dalam sinetron seperti penganiayaan, kekerasan, dan ucapan kasar lebih sering muncul dibandingkan adegan pro-sosial, seperti tolong-menolong, kasih sayang, toleransi dan lain- lain. Dengan kata lain, adegan-adegan kekerasan di dalam sinetron lebih mendominasi dibandingkan adegan yang mendidik.

  Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga independen yang mengatur penyiaran telah menetapkan peraturan tentang Standar Program Siaran (SPS). Peraturan yang ditetapkan antara lain adalah pada BAB XIII

  pasal 23 mengenai Pelarangan Adegan Kekerasan; pasal 24 mengenai Ungkapan Kasar dan Makian; dan pasal 25 mengenai Pembatasan Program Bermuatan Kekerasan (P3SPS 2012). Meskipun KPI telah menetapkan peraturan tersebut, masih banyak saja terdapat tayangan sinetron yang bermuatan kekerasan, terutama terhadap perempuan.

  Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terkait adegan kekerasan dalam sinetron Indonesia. Peneliti ingin mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan ditunjukkan dalam sinetron Indonesia dan bagaimana posisi perempuan ditempatkan dalam adegan kekerasan yang ada dalam sinetron Indonesia.

  Peneliti akan memilih lima sinetron yang saat ini memiliki rating tertinggi di Indonesia sebagai objek penelitian. Berdasarkan Daily Rating All di 10 kota pada hari Kamis 20 Maret 2014 menurut Forum Lautan Indonesia yang dikutip dari AGB Nielsen Media Research, lima sinetron yang menduduki peringkat tertinggi adalah: Tukang Bubur Naik Haji The Series (RCTI); Pashmina Aisya (RCTI); Ayah Mengapa Aku Berbeda? (RCTI); ABG Jadi Manten (SCTV); dan Diam Diam Suka (SCTV).

  1.2 Fokus Masalah

  Berdasarkan uraian konteks masalah diatas, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan dalam tayangan sinetron?

  2. Bagaimanakah adegan kekerasan di tayangan sinetron menempatkan posisi perempuan?

  1.3 Pembatasan Masalah

  Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka diperlukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1.

  Penelitian ini hanya dilakukan pada adegan-adegan yang memuat unsur kekerasan terhadap perempuan dalam sinetron Indonesia.

  2. Penelitian ini hanya dilakukan pada 5 judul sinetron Indonesia yang memiliki peringkat rating tinggi di 10 kota (berdasarkan AGB Nielsen

  Media Research ) pada tanggal 20 Maret 2014.

  3. Penelitian hanya akan dilakukan pada 1 episode untuk masing-masing judul sinetron yang dipilih sesuai kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian.

  4. Episode yang dipilih adalah 1 episode pada masing-masing judul sinetron yang tayang mulai tanggal 20 Maret 2014 hingga 27 Maret 2014 yang mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan.

1.4 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam adegan sinetron Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana adegan kekerasan di sinetron menempatkan posisi perempuan.

1.5 Manfaat Penelitian 1.

  Secara Akademis Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan menambah khasanah penelitian komunikasi serta dapat dijadikan sumber bacaan mahasiswa FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

  2. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai bentuk kekerasan terhadap perempuan pada tayangan sinetron Indonesia.

  3. Secara Praktis Selain sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk mengetahui isi dan kualitas sinetron saat ini dengan tujuan agar mereka dapat menentukan sikap, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat atau penggarap sinetron dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang merupakan lembaga yang mengatur penyiaran di Indonesia.

             

Dokumen yang terkait

Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sinetron Indonesia (Studi Deskriptif Kualitatif Kekerasan Perempuan dalam Sinetron Indonesia)

4 71 104

Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga

1 44 101

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (PPT) Kabupaten Situbondo)

0 29 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Strategi Komunikasi Pemasaran Dalam Rangka Meraih Konsumen (Studi Deskriptif Kualitatif Strategi Komunikasi Pemasaran Marketing PT Railink “Kereta Api Bandara Internasional Kualanamu” dalam Upaya Meraih Konsumen)

0 0 6

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Strategi Dan Pola Komunikasi “IUWASH” (Studi Deskriptif Kualitatif Strategi dan Pola Komunikasi Indonesia Urban Water Sanitation, and Hygiene dalam Menyalurkan Bantuan Masyarakat di Kecamatan Medan Belawan)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Komunikasi Persuasif Agen Asuransi Dalam Merekrut Calon Agen Asuransi (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Persuasif Agen Asuransi dalam Merekrut Calon Agen Asuransi di PT Asuransi Life Allianz Indonesia Cabang K

0 0 7

Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sinetron Indonesia (Studi Deskriptif Kualitatif Kekerasan Perempuan dalam Sinetron Indonesia)

0 0 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sinetron Indonesia (Studi Deskriptif Kualitatif Kekerasan Perempuan dalam Sinetron Indonesia)

0 0 21