BAB II KAJIAN PUSTAKA - Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sinetron Indonesia (Studi Deskriptif Kualitatif Kekerasan Perempuan dalam Sinetron Indonesia)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian

  Secara sederhana, paradigma dapat diartikan sebagai sudut pandang/perspektif. Atau dengan kata lain, paradigma adalah sudut pandang atau pola pikir peneliti dalam melakukan sebuah penelitian. Paradigma menurut Guba (1990:17) mempunyai definisi sebagai serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Menurut Robert Fredrich seperti dikutip oleh Anwar Arifin (1995:35) paradigma adalah pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi subject matter yang semestinya dipelajari (dalam Wiryanto, 2004:10).

  Paradigma pada dasarnya merupakan sudut pandang peneliti dalam melihat penelitiannya. Dengan kata lain, paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti yang berisi bagaimana peneliti melihat realita (world

  ), bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan dalam

  views penelitian dan cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.

  Adapun perspektif atau paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang memiliki tahapan berfikir kritis alamiah, dimana peneliti berfikir secara induktif yaitu menangkap fakta ataupun fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan peneliti di lapangan. Selanjutnya peneliti menganalisisnya dan kemudian melakukan teorisasi yang berkaitan dengan apa yang diamati (dalam Bungin, 2010:6).

  Peneliti menggunakan paradigma penelitian kualitatif yang rasionalistik, yaitu memandang realitas sosial sebagaimana yang dipahami oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman objek yang diteliti atau data empirik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.

       

  10

 

2.2 Kajian Pustaka

  Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun beberapa kajian pustaka yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan yang memuat pokok-pokok pikiran yang yang menggambarkan dari sudut pandang mana masalah penelitian tersebut akan diteliti. Adapun kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.2.1 Komunikasi Massa

  Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesan yang ada bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, selintas, khususnya media elektronik (Mulyana, 2002:75).

  Komunikasi massa merupakan komunikasi yang lebih luas karena memiliki jumlah komunikator yang paling banyak, namun derajat kedekatan fisiknya rendah (tidak dekat). Karena komunikasi massa mencakup komunikator yang banyak dan luas, maka umpan balik berjalan tidak langsung ataupun tertunda. Penulis dapat menyimpulkan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang bersifat umum/publik, pesannya disampaikan dengan cepat dan serentak dimana pesan yang sampai kepada khalayak hampir tanpa selisih waktu atau dalam waktu yang bersamaan. Komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk televisi, radio, surat kabar (media cetak) dan internet.

  Saat ini komunikasi massa berkembang dengan sangat pesat. Setiap masyarakat selalu bersinggungan dengan komunikasi massa dalam kehidupannya. Misalnya saja, kita membaca koran untuk mengetahui informasi terkini, mendengarkan berita atau musik di radio, menonton berita terkini atau film di televisi bersama keluarga, maupun menggunakan fasilitas internet untuk memenuhi kebutuhan akan informasi maupun hiburan.

  Unsur-unsur komunikasi massa terdiri dari pesan (message), saluran

  

(channel) , penerima (receiver), dan efek (effect). Unsur- unsur tersebut menurut Harold D.Lasswell diformulasikan dalam bentuk pertanyaan, yakni (dalam Wiryanto, 2000:70-80):

  1. Unsur who (sumber atau komunikator)

  Adalah sumber yang berupa lembaga, organisasi maupun orang yang bekerja dengan fasilitas lembaga atau organisasi tersebut (institutionalized

  

person) . Lembaga atau organisasi tersebut dapat berupa perusahaan surat

kabar, stasiun radio dan televisi, studio film, penerbit buku maupun majalah.

  Sedangkan, institutionalized person adalah orangnya. Misalnya, redaktur surat kabar yang menyatakan pendapat atau opininya dengan fasilitas lembaga.

  2. Unsur says what (pesan)

  Pesan yang ada di dalam komunikasi massa dapat berjumlah ribuan atau jutaan dalam waktu yang bersamaan. Pesan dalam komunikasi massa berbeda dengan komunikasi lainnya dan memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik pesan yang diberikan Charles Wright (1977) adalah sebagai berikut.

  a.

  Publicly: pesan dalam komunikasi massa bersifat terbuka untuk umum atau publik karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Pesannya tidak dutujukan kepada orang perorangan tertentu, namun orang lain juga dapat menerima pesan yang sama.

  b.

  Rapid: pesan dalam komunikasi massa dirancang/dibuat agar mencapai audiens yang luas dan banyak dalam waktu yang singkat, serentak atau simultan. Misalnya, pidato presiden yang disebarkan lewat radio atau lewat televisi yang didengar atau ditonton oleh masyarakat dalam jumlah jutaan secara serempak bersamaan pada saat presiden berbicara.

  c.

  Transient: pesan yang ada hanya untuk memenuhi kebutuhan segera, yakni tidak bersifat permanen namun dikonsumsi “sekali pakai”.

  Namun ada juga pesan yang disimpan untuk tujuan dokumentatif seperti buku-buku, film, transkripsi-transkripsi radio maupun rekaman audiovisual. Tetapi pada umumnya pesannya cenderung dirancang timely, supervisial dan kadang-kadang bersifat sensasional.

  3. Unsur in which channel (saluran atau media)

  Yakni berupa peralatan mekanik dan digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Tanpa didukung oleh saluran ini pesan-pesan tidak dapat menyebar dengan cepat, luas dan simultan. Media yang mempunyai kemampuan tersebut adalah surat kabar, majalah, radio, film, televisi, dan internet.

  4. Unsur to whom (penerima atau mass audience)

  Penerima atau mass audience merupakan orang-perorangan yang menjadi sasaran komunikasi massa. Misalnya, orang yang membaca surat kabar atau membaca majalah, orang yang sedang mendengarkan berita di radio, orang yang sedang menikmati film di televisi maupun bioskop, maupun orang yang sedang menggunakan internet. Charles Wright (1977) juga memaparkan beberapa karakteristik penerima atau mass audience sebagai berikut: 1.

  Large: artinya adalah mass audience tersebar dalam berbagai lokasi atau tempat yang relatif luas dan mereka tidak terikat oleh tempat yang sama sehingga komunikator pada dasarnya tidak dapat melakukan interaksi secara tatap muka dengan khalayak. Hal tersebut dikarenakan khalayak dari komunikasi massa tersebar dalam ratusan, bahkan ribuan orang.

  2. Heterogen: khalayak dalam komunikasi massa bersifat heterogen.

  Maksudnya adalah khalayaknya terdiri dari orang yang berbeda dan beragam dari segi tingkat sosial, jenis kelamin, pendidikan, tempat tinggal, dan sebagainya.

  3. Anonim: maksudnya adalah, khalayak dari komunikasi massa tidak saling mengenal secara pribadi dengan komunikator.

  5. Unsur with what effect (efek atau akibat)

  Efek adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri audiens sebagai akibat terpaan pesan-pesan media. Berlo mengklasifikasikan efek atau perubahan ke dalam tiga kategori yaitu perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku nyata.

  Komunikasi massa sangat efektif dalam menyebarkan informasi kepada khalayak luas yang tersebar di berbagai daerah ataupun lokasi. Dengan adanya komunikasi massa, masyarakat atau khalayak dapat menerima suatu informasi secara serentak dan cepat meskipun tersebar di berbagai tempat.

  Adapun fungsi komunikasi massa menurut Alexis S. Tan adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Fungsi Komunikasi Massa Menurut Alexis S. Tan

  Tujuan Tujuan Komunikan NO Komunikator (pemuasan kebutuhan)

  Memberi Mempelajari ancaman dan peluang, memahami

  1. Informasi lingkungan, menguji kenyataan, meraih keputusan Memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang

  Mendidik berguna memfungsikan dirinya secara efektif 2. dalam masyarakatnya, mempelajari nilai, tingkah laku yang cocok agar diterima dalam masyarakat Memberi keputusan, mengadopsi nilai, tingkah

  Mempersuasi 3. laku, dan aturan yang cocok agar diterima dalam masyarakat

  Menyenangkan, Menggembirakan, mengendorkan urat syaraf, memuaskan

  4. menghibur, dan mengalihkan perhatian dari kebutuhan masalah yang dihadapi komunikasi

  Sumber: Nurudin, 2004:63

2.2.2 Televisi sebagai Media Massa

  Televisi berasal dari kata“tele” yakni bahasa Yunani yang berarti jauh dan “visio”dari bahasa Latin yang berarti penglihatan/tampak. Jadi televisi berarti alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media visual/penglihatan (id.wikipedia.org). Definisi televisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: “Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar”, atau secara sederhana penulis dapat mendefinisikan bahwa televisi adalah salah satu media massa yang menampilkan siaran berupa gambar yang bergerak dan suara dari jarak jauh.

  Televisi sebagai pesawat transmisi dimulai pada tahun 1925 dengan menggunakan metode mekanikal dari Jenkins. Pada tahun 1928 General mulai menyelenggarakan acara siaran televisi secara

  Electronic Company regular. Pada tahun 1939 Presiden Franklin D. Roosevelt tampil di layar kaca.

  Sedangkan siaran televisi komersial di Amerika dimulai pada 1 September 1940 (Ardianto & Erdinaya, 2007:126-127).

  Saat ini kehadiran televisi sangat dekat, berarti dan penting bagi masyarakat. Televisi sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat. Televisi dapat ditemukan dengan mudah di setiap rumah-rumah baik yang berada di kota maupun di desa. Dari pengamatan sementara peneliti, terlihat bahwa setiap lapisan masyarakat baik anak-anak, remaja, para ibu, ayah maupun orangtua lebih banyak menggunakan media televisi sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan hiburan dibandingkan dengan media-media lainnya.

  Menurut Skormis dalam bukunya “Television and Society: An Incuest

  and Agenda”, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya) televisi mempunyai sifat yang istimewa.

  Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar yang bersifat informatif, hiburan dan pendidikan atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Informasi yang disampaikan oleh televisi akan lebih mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual (dalam Kuswandi, 1996:8). Hal tersebutlah yang membuat televisi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

  Televisi merupakan salah satu media massa yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat melalui tayangan-tayangan yang ia sajikan. Menurut Prof. Dr. R. Mar’ at, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan bagi penontonnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh psikologis televisi itu sendiri, dimana televisi seakan-akan menghipnotis pemirsa, sehingga mereka telah hanyut dalam keterlibatan akan kisah atau peristiwa yang disajikan oleh televisi (dalam Effendy, 2004:122).

  Televisi memiliki sejumlah karakteristik khusus yaitu (Ardianto dan Erdinaya, 2004:128-130) : 1.

  Audiovisual Selain menghasilkan suara, televisi juga menghasilkan gerakan.

  Televisi dapat didengar dan dilihat sekaligus (audiovisual). Jadi, jika khalayak radio siaran hanya mendengar kata-kata, musik dan efek suara saja, maka khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak sekaligus.

  2. Berpikir dalam gambar Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berpikir dalam gambar.

  Pertama adalah visualisasi (visualization) yaitu menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara individual. Dalam visualisasi, pengarah acara harus berusaha menunjukkan objek-objek tertentu menjadi gambar yang jelas dan menjadikannya sedemikian rupa, sehingga mengandung suatu makna. Kedua, adalah penggambaran (picturization), adalah kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa, sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu.

  3. Pengoperasian lebih kompleks Pengoperasian televisi siaran lebih kompleks dan lebih banyak melibatkan orang. Untuk menayangkan acara siaran berita saja dapat melibatkan 10 orang yang terdiri dari produser, pengarah acara, pengarah teknik, pengarah studio, pemandu gambar, dua atau tiga juru kamera, juru video, juru audio, juru rias, juru suara, dan lain-lain. Apalagi jika menyangkut acara drama musik yang lokasinya di luar studio, tentu lebih banyak lagi melibatkan orang atau sering juga disebut kerabat kerja televisi (crew). Peralatan yang digunakannya pun lebih banyak dan untuk mengoperasikannya lebih rumit dan harus dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan terlatih.

  Hal tersebutlah yang membuat media televisi lebih mahal daripada surat kabar, majalah dan radio siaran.

  Televisi juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari televisi adalah televisi dapat menguasai jarak dan ruang. Sasaran yang dicapai untuk menjangkau massa juga cukup besar. Selain itu dengan penyajian suara dan gambar bergerak yang dimiliki televisi, maka nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau berita sangat cepat sehingga membuat daya rangsang seseorang atau masyarakat cukup tinggi. Namun, kelemahan yang dimiliki oleh televisi adalah sifatnya yang “transitory” yakni isi pesannya tidak dapat di’memori’ oleh khalayak. Berbeda dengan media cetak yang dapat dibaca kapan dan dimana saja, media televisi terikat oleh waktu tontonan. Selain itu, televisi tidak dapat melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial secara langsung dan vulgar seperti halnya di media cetak. Hal ini dikarenakan faktor penyebaran siaran televisi yang begitu luas kepada massa/khalayak yang heterogen, dan juga karena kepentingan politik dan stabilitas keamanan negara (Kuswandi, 1996).

  Sebagai salah satu media massa yang paling banyak diminati, ada dua dampak yang ditimbulkan dari acara televisi (Kuswandi, 2008:39):

  1. Dampak informatif, yakni memberikan informasi dan wawasan. Atau dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi dan melahirkan pengetahuan bagi pemirsa

  2. Dampak peniruan, adalah pemirsa dihadapkan pada trend aktual yang ditayangkan di televisi. Misalnya model pakaian, model rambut para selebritis di televisi, dan sebagainya.

2.2.3 Kekerasan dalam Televisi

  Menurut Sunarto (2007), secara sempit kekerasan dapat didefinisikan sebagai ancaman atau paksaan secara fisik dan nonfisik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang/kelompok orang lain dengan akibat tidak menyenangkan atau penderitaan secara fisik dan nonfisik. Namun secara luas, kekerasan didefinisikan sebagai kondisi-kondisi negatif yang sebenarnya bisa dihilangkan tetapi dengan alasan ideologis tertentu tetap dibiarkan (dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, 2008:613).

  Kekerasan menurut Nurhayati (2000:28) adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun nonverbal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lainnya yang menyebabkan efek negatif secara fisik, emosionil, psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.

  Sunarto (2007) mengklasifikasikan kekerasan dalam berbagai dimensi, yaitu (dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, 2008:614) :  Dimensi bentuk kekerasan: kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan finansial, kekerasan spiritual, kekerasan fungsional, dan kekerasan relasional.  Dimensi partisipan kekerasan: pelaku dan korban.  Dimensi motif kekerasan: sengaja dan tidak sengaja.  Dimensi ekspresi kekerasan: verbal, non-verbal, gabungan kekerasan verbal dan nonverbal. Kekerasan dapat muncul di hampir semua genre televisi. Adegan kekerasan menyebar dalam berbagai jenis program acara. Baik itu berita, animasi anak, drama dewasa, drama sinetron, olahraga, reality show dan sebagainya. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena masyarakat bisa saja terpengaruh oleh tayangan-tayangan tersebut. Adegan-adegan kekerasan di televisi yang dengan bebasnya kita temui dan saksikan bersama seluruh anggota keluarga dari pagi, siang, hingga larut malam dapat memberikan efek psikologis yang sangat negatif bagi seluruh keluarga.

  Penggambaran kekerasan di TV Amerika dilakukan oleh studi selama tiga tahun oleh NTVS atau National Television Violence Study (Schement, ed.2002). NTVS menjabarkan bahwa ada empat bentuk kekerasan yang berpotensi menimbulkan resiko berbahaya bagi khalayak penonton. Yaitu sebagai berikut (dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, 2008:613) :

  1. Banyak kekerasan di televisi yang mengalami “glamorifikasi”, yaitu disajikan dengan cara yang positif. Dimana pelaku kekerasan ditampilkan atraktif dan berkarakter “baik”, sehingga berpotensi untuk menarik bagi kaum muda (terutama anak-anak) untuk ditiru. Dengan kata lain, kekerasan yang mengalami glamorifikasi adalah kekerasan yang ditampilkan secara positif dan adanya ketiadaan ganjaran untuk pelaku kekerasan.

  2. Banyak kekerasan di televisi yang mengalami “sanitisasi”, yaitu disajikan dengan konsekuensi negatif minimal. Para korban kekerasan ditampilkan tidak mengalami penderitaan serius. Korban kekerasan tidak tampak menderita baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan gambaran tentang kesakitan dan penderitaan akibat perbuatannya tidak banyak ditampilkan.

  3. Banyak kekerasan di televisi mengalami “triviliasasi”, yaitu kekerasan di TV tidaklah terlalu serius dan bahkan ditampilkan secara humor.

  Adegan tersebut sering kita temui pada reality show misalnya adegan kekerasan yang disertai humor dalam tayangan Yuk Keep Smile, Pesbukers, maupun Opera Van Java. Kekerasan diterima sebagai sesuatu yang biasa, alamiah, dan tidak berdampak serius bagi korban. Adegan ini berpotensi menimbulkan imitasi diantara khalayak. Kekerasan yang mengalami sanitasi dan trivilisasi semakin tampak mencolok jika motif kekerasan umumnya disengaja. Yang artinya kekerasan itu memang diniatkan untuk dilakukan dan bukan terjadi secara tidak sengaja (misalnya karena membela diri).

  4. Hanya sedikit sekali program yang menekankan temi anti kekerasan.

  Hanya sedikit program televisi yang menampilkan kekerasan dalam konteks edukasi dan sebaliknya justru lebih banyak yang mempromosikan kekerasan itu sendiri. Banyak uraian yang membuktikan bahwa tayangan kekerasan di televisi tidak memberikan manfaat bagi khalayak yang menontonnya. Tayangan kekerasan yang disajikan di televisi hanyalah memberikan dampak buruk bagi masyarakat.

  Kajian teori Psikologi Sosial menyebutkan bahwa kekerasan di televisi dapat meningkatkan agresi penontonnya. Selain itu, teori imitasi yang dikemukakan Bandura (Berkowitz, 1995) membuktikan bahwa kekerasan di televisi akan menyebabkan penonton melakukan agresi imitatif atau kekerasan juga dapat menjadi isyarat yang memicu timbulnya kebiasaan respon agresif bagi penontonnya (dalam Mulkan, 2011:83).

  Dalam disertasi Redatin yang berjudul Pengaruh Media Televisi terhadap Penyimpangan Nilai dan Perilaku di Kota Yogyakarta (UGM, 2002) ditemukan bahwa menonton yang memperhatikan adegan kekerasan tidak sekedar kegemaran. Ada responden yang mengaku mempelajari trik adegan kekerasan di televisi justru untuk melakukan kejahatan (dalam Mulkan, 2011:90).

  Penelitian tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa menonton adegan televisi yang mengeksploitasi kekerasan dan penyimpangan nilai hanya akan memberikan dampak yang buruk kepada masyarakat. Dimana masyarakat akan semakin tidak peduli terhadap kejahatan dan lama-kelamaan menganggap kejahatan sebagai hal yang sudah biasa.

2.2.4 Perempuan dalam Media Massa

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perempuan adalah orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui, wanita. Masyarakat Indonesia yang masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriaki menganggap posisi laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan posisi perempuan. Dimana peran laki-laki lebih menonjol dan perempuan dianggap sebagai kaum marjinal yang terpinggirkan. Berbeda dengan laki-laki, perempuan seringkali ditempatkan sebagai orang kedua dan selalu berada pada posisi yang lemah.

  Tidak hanya dalam kesehariannya saja, ideologi patriaki juga tercermin dalam media massa, khususnya televisi. Perempuan dalam media massa seringkali digambarkan sebagai sosok yang lemah, tergantung pada laki.-laki, terdiskriminasi, pasif, tidak berdaya, hanya dirumah dan peran utamanya hanya untuk menyenangkan laki-laki/suami.

  Tamrin Amal Tomogola Ph.D., M.A. yang merupakan sosiolog Universitas Indonesia, memaparkan bahwa citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa adalah sebagai berikut (dalam Kuswandi, 2008:69-70): 1.

  Citra Pigura Dalam citra ini perempuan ditunjukkan sebagai makhluk yang memikat. Yakni perempuan yang berhubungan dengan kesehatan dan kecantikan. Perempuan ditunjukkan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh yang ideal. Dengan kata lain, dalam citra pigura perempuan menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, seperti pinggul, payudara, atau ciri kewanitaan yang dibentuk budaya.

  Misalnya rambut yang panjang, betis yang ramping, kulit yang putih atau mulus, dan sebagainya.

  2. Citra Pilar Citra Pilar menggambarkan perempuan sebagai pengurus atau pengelola rumah tangga dan keluarga. Perempuan digambarkan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga. Dengan kata lain, pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Dalam citra pilar perempuan kodratnya adalah mengurus rumah tangga, berkewajiban atas keindahan fisik rumah, suami, pengelolaan sumber daya rumah tangga (finansial maupun SDM termasuk di dalamnya ialah anak- anak).

  3. Citra Peraduan Citra ini menghubungkan perempuan dengan hal-hal seksual dalam perkawinan. Perempuan dijadikan sebagai objek seksual. Seluruh kecantikan (alamiah maupun buatan) perempuan disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan menyentuh, memandang dan mencium.

  4. Citra Pinggan Citra Pinggan menghubungkan perempuan dengan dapur. Perempuan ditunjukkan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur. Citra ini menggambarkan bahwa setinggi apapun pendidikan maupun penghasilan perempuan, kewajibannya adalah di dapur.

  5. Citra pergaulan Citra ini menggambarkan perempuan sebagai orang yang ingin diterima oleh kalangan sosial tertentu. Untuk dapat diterima perempuan harus memiliki penampilan fisik yang menarik seperti bentuk lekuk tubuh, aksentuasi tertentu dengan menggunakan kosmetik dan aksesori yang selaras, sehingga bisa tampil anggun.

  Namun, tetap saja wanita digambarkan sebagai makhluk yang tidak pernah bisa menjadi orang pertama. Tempat yang cocok baginya tidak lain adalah sebagai pendamping setia suami. Hal inilah yang kita temui di televisi dan dunia nyata.

  Dalam Daulay (2007:55) diuraikan beberapa fakta positif dan negatif mengenai perempuan di media televisi. Fakta-fakta tersebut adalah sebagai berikut: Fakta Positif Perempuan di Televisi

  • berbagai sisi kehidupan perempuan. Acara tersebut ditujukan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan. Contohnya acara untuk pendidikan, kesehatan anak, hingga acara yang mengangkat tentang permasalahan problem rumah tangga dan solusinya. Selain itu ada juga acara-acara yang menyangkut agama yang juga memberikan pencerahan bagi wawasan keagamaan perempuan atau kaum ibu. Dan kebanyakan dari acara-acara tersebut didominasi oleh kaum perempuan.

  Banyak acara-acara di televisi yang mencoba untuk membahas

  • sisi intelektual perempuan dan juga sisi prestasinya. Dalam berbagai

  Televisi juga sering menampilkan berbagai acara yang menampilkan acara seperti berita, talk show, reality show dan acara lainnya kita bisa melihat tayangan penghargaan untuk perempuan yang berprestasi dibidangnya masing-masing seperti bidang sosial, kesehatan, olahraga dan yang lainnya. Kita juga bisa menyaksikan tayangan yang mewawancarai perempuan

  • yang mempunyai pengalaman dan prestasi dibidangnya. Misalnya, tayangan yang menampilkan kesuksesan atlet perempuan dalam memenangkan pertandingan olahraga, prestasi sekelompok perempuan dalam memberantas buta huruf di berbagai daerah, dan yang lainnya.

  Fakta Negatif Siaran bagi Perempuan Adanya tema-tema sinetron yang bias gender perempuan seperti film-

  • film atau sinetron yang relatif memojokkan kaum perempuan. Misalnya, acara Inem Pelayan Seksi yang terkesan menonjolkan tubuh perempuan. Selain itu didalam sinetron, peran perempuan seringkali ditampilkan sebagai ibu-ibu jahat, penggoda, berpakaian minim, dan sebagainya.
  • perempuan dengan citra yang menonjolkan sosok biologis mereka. Misalnya, tubuh yang seksi, keindahan kulit, rambut dan kemerduan suaranya. Namun, sosok nonfisik seperti intelektual, keterampilan dan keahliannya tidak disorot sehingga membuat hal ini tidak seimbang. Dari hal tersebut, orientasi tubuh dimana perempuan sebagai objek sangat kelihatan.

  Iklan- iklan yang muncul dalam televisi juga seringkali menampilkan

  • acara-acara musik dimana penyanyi yang kebanyakan perempuan menampilkan kostum atau busana minim serta gerak tubuh dan goyangan yang erotis yang membuat terganggunya pandangan kaum laki-laki maupun perempuan.

  Adanya permasalahan pornografi dan porno aksi seperti yang ada di

  • pagi hingga pukul 17.00 yang sangat banyak membahas sisi kehidupan selebritis. Bila dicermati lebih lanjut, hampir 80 persen berita yang disampaikan adalah kasus-kasus perempuan. Mulai dari cerita konflik perceraian, pertengkaran sesama artis perempuan hingga para selebritis

  Maraknya acara-acara infotainment yang ditayangkan dari pukul 06.30 yang memamerkan barang-barang mewah mereka. Sebenarnya, berita- berita tersebut tidaklah penting untuk dikonsumsi oleh publik.

  Masyarakat telah menganggap bahwa media massa merupakan cerminan realitas atau fakta. Jadi penggambaran perempuan yang ditunjukkan dalam media massa dianggap suatu cerminan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

2.2.5 Kekerasan terhadap Perempuan di Media Massa

  Berdasarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

  Pasal 1, yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau pederitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (dalam Sihite, 2007:227).

  Hingga saat ini, wajah perempuan yang tercermin dalam media massa masih terjebak dalam bingkai-bingkai patriakis. Misalnya saja yang bisa kita lihat dalam sinetron, dengan mengeksploitasi kekerasan terhadap perempuan maupun oleh perempuan, sinetron menjadi tempat dimana perempuan malah diinjak-injak dan diviktimisasi martabatnya (Hamid & Budianto, 2011:458).

  E. Kristi Poerwandari mengklasifikasikan bentuk-bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan adalah sebagai berikut:

Tabel 1.2 Bentuk-bentuk atau Dimensi Kekerasan Terhadap Perempuan

  Dimensi Mencakup

  Kekerasan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar

  

Fisik barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan

  kosong atau alat/senjata, membunuh, serta perbuatan lain yang relevan. Kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-

  Psikologis

  matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dll).

  Melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan- gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-

  Seksual

  ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. Mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan

  

Finansial mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya,

  semuanya dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban. Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa

  

Spiritual korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu. Sumber : Sudiarti, 2000:11

  Adegan-adegan kekerasan terhadap perempuan dapat melibatkan perempuan sebagai pelaku maupun korban kekerasan itu sendiri. Pelaku adalah tokoh yang melakukan kekerasan terhadap tokoh lain. Sedangkan

  

korban adalah tokoh yang mengalami penderitaan karena tindak kekerasan

tertentu (Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, 2008:617).

  Berdasarkan hasil penelitian terdahulu mengenai kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Sadakita, Dosen Ilmu Komunikasi IISIP Jakarta (2010), menyimpulkan bahwa tayangan sinetron cenderung berisi kekerasan psikologis. Laki-laki dan perempuan cenderung berbeda melakukan bentuk kekerasan. Pelaku dan korban kekerasan cenderung perempuan yang berusia remaja dengan motif tidak sengaja. Penelitian ini didasarkan atas lima judul sinetron (Gua gak Takut Patah Hati, Sissy Ajah, Harum Namanya, dan Cinta Super Ketat (ditayangkan di SCTV) dan Sinetron Aisyah (ditayangkan di RCTI)). Dapat disimpulkan bahwa tayangan sinetron 46,50 % mengandung kekerasan dan 53,50 % tidak mengandung kekerasan. Bentuk kekerasan yang diperlihatkan sebagian besar (61,50%) adalah kekerasan psikologis dan selebihnya adalah bentuk kekerasan bukan fisik sebanyak 19,72 % serta kekerasan fisik sebanyak 18,78 %.

  Penelitian lain menganalisis mengenai kekerasan dalam rumah tangga pada sinetron religi. Dikatakan bahwa kekerasan rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Melalui penelitian tersebut disimpulkan bahwa pelaku kekerasan yang paling sering ditampilkan adalah suami sebanyak 47%. Jenis kekerasan yang paling sering ditampilkan adalah kekerasan secara psikologis dengan persentase sebesar 74%, dan yang paling sering ditampilkan sebagai korban adalah anak dengan persentase 30% (Budiana, 2008).

  Pada tahun 2009 juga terdapat penelitian mengenai Potret Sinetron Remaja di Televisi (Penelitian Bersama Fikom Universitas Mercu Buana, YPMA dan Program Ilmu Komunikasi di Indonesia). Dalam penelitian tersebut diteliti 11 sinetron yang memiliki rating tinggi, dan hasil penelitiannya yakni 46,15% berisi kekerasan verbal (dengan kata-kata), sedangkan kekerasan nonverbal (fisik) sebanyak 45,19%. Selain itu kekerasan yang dilakukan secara fisik dan disertai kata-kata kasar yang membuat tidak nyaman secara psikologis sebanyak 25,96%. Ekspresi kekerasan tersebut, lebih banyak dilakukan secara sengaja, baik oleh pemeran utama atau pemeran pembantu. Sedangkan kekerasan tidak sengaja (terpukul, terjatuh, terhalang dsb) hanya sebanyak 12,5%.

  Selain itu, juga terdapat penelitian mengenai ketidakadilan dan konstruksi perempuan di film dan televisi yang dilakukan oleh Ashadi Siregar (2004). Penelitian tersebut mengutarakan bahwa cerita film televisi (sinetron) Indonesia lebih banyak mengeksploitasi perempuan di ruang privat, menyebabkan interaksi yang berlangsung hanya dalam konteks hubungan kekerabatan, pasangan suami istri, orangtua-anak, mertua-menantu, antara besan, antar ipar, atau rival pasutri. Pada umumnya tema berkembang di sekitar masalah psikologis, sehingga cerita menjadi bersifat personal.

  Penelitian ini juga membahas mengenai penelitian dengan tema yang sama yang dilakukan oleh Veven SP Wardhana (2000) yang dengan kritis mengungkapkan pengamatannya tentang perempuan dalam sinetron Indonesia. Perempuan dalam sinetron digambarkan dalam rentangan petaka (nasib malang) dan perkasa. Kedua wacana ini ditampilkan dengan cara yang ekstrim sehingga tidak memenuhi kaidah nalar akal sehat, nasib malang yang berlebihan, atau keperkasaan perempuan yang diwujudkan melalui hantunya

2.2.6 Kultivasi

  Teori kultivasi mengatakan bahwa televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya (Elvinaro & Lukiati, 2004). Dengan kata lain, persepsi apa

   

  yang terbangun dibenak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai (nilai sosial) serta adat dan tradisinya. Teori ini berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.

  Saat ini, banyak tayangan-tayangan televisi di Indonesia yang tidak layak untuk ditonton, khususnya pada tayangan yang memuat unsur kekerasan. Menonton tayangan kekerasan akan dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat. Tontonan seperti acara reality show atau sinetron yang menunjukkan kekerasan, perselingkuhan, kriminal, dan lain sebagainya akan dianggap sebagai gambaran bahwa itulah yang sering terjadi di kehidupan realita. Padahal belum tentu semua yang terdapat pada tayangan itu adalah kejadian-kejadian yang sering terjadi dikehidupan kita. Karena jika ditelaah, semua yang terdapat pada reality show atau sinetron adalah hasil dari skenario belaka.

  Teori kultivasi menjelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang (Nuruddin, 2007), yaitu sebagai berikut: 1.

  Penonton fanatik (heavy viewers), adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4 jam setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai khalayak ‘the television type”.

2. Penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.

  Teori kultivasi ini berlaku terhadap para pecandu/penonton fanatik, karena mereka semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia kenyataan.

  Penonton/khalayak yang menyaksikan tayangan-tayangan di televisi bisa saja akan meniru apa yang mereka saksikan di layar kaca. Menurut kriminolog Erlangga Masdiana, peniruan atau imitasi (copycat) kejahatan merujuk pada teori imitasi oleh Sosiolog Prancis, Gabriel Tarde (1843-1904), dimana dikatakan bahwa masyarakat selalu berada pada proses meniru. Misalnya, ketika seseorang setiap hari dicekoki nilai-nilai kekerasan dan kekasaran, orang tersebut pada akhirnya akan meniru kekerasan itu. Menurut Erlangga sendiri, media massa yang memiliki efek paling kuat terhadap masyarakat dalam hal peniruan adalah media televisi. Sejalan dengan hal tersebut, George Gerbner (1960) juga memaparkan bahwa media massa dapat menanamkan nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Berita kriminal misalnya, jika ditayangkan dengan intensitas tinggi maka kemungkinan akan tertanamnya cara pandang dan rasa takut masyarakat akan kejahatan yang ada disekitarnya akan semakin tinggi (dalam Mulkan, 2011:91).

  Salah satu aspek yang menarik dari kultivasi adalah “mean world

  

syndrome”. Nancy Signorielli menuturkan kajian sindrom dunia makna,

  dimana tayangan kekerasan dalam program televisi untuk anak-anak dianalisis. Lebih dari 2000 program acara dalam tayangan prime time dan

  

week ends dari tahun 1967 sampai 1985 dianalisis dengan hasil yang menarik.

  Hasilnya, terdapat kurang lebih 71 persen program prime time dan 94 persen program week ends terdapat aksi kekerasan. Bagi pemirsa pecandu berat televisi (heavy viewers) dalam jangka waktu lama ternyata hal ini memberi keyakinan bahwa tak seorang pun bisa dipercaya atas apa yang muncul dalam dunia kekerasan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pecandu berat televisi cenderung melihat dunia ini sebagai kegelapan/mengerikan serta tidak mempercayai orang lain. Menurut mereka, apa yang terjadi di televisi itulah dunia nyata. Sehingga televisi menjadi potret dunia nyata sesungguhnya (Littlejohn, 2005: 289).

  Jika teori lain menekankan bahwa pemirsa itu aktif dalam menginterpretasi, memaknai, mencari sumber informasi dari media lain dalam usaha menekan kekuatan pengaruh televisi seperti yang diasumsikan oleh teori kultivasi, maka teori kultivasi sendiri menganggap bahwa pemirsa televisi itu pasif, dimana hanya memusatkan diri pada kuantitas dalam menonton televisi (terpaan) dan tidak mengantisipasi perbedaan yang mungkin muncul saat pemirsa menginterpretasi tayangan televisi. Faktor-faktor seperti pengalaman, pengetahuan, usia, sikap dan kondisi sosial keluarga juga mempunyai andil dalam mempengaruhi efek kultivasi (dalam Jurnal Prijana H, 2007).