DIVISI RISET LISENSI UIN JAKARTA

Abdul latief fathi

Ketua LiSEnSi

@solatip

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahi robbil 'alamin. Segala puji hanya milik Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga cetakan perdana Kumpulan Esai Laskar LiSEnSi UIN Jakarta berhasil rilis untuk pertama kalinya.

Kumpulan esai ini merupakan salah satu program kerja dari Divisi Riset LiSEnSi UIN Jakarta yang bertujuan untuk mengembangkan budaya menulis dan berfikir ilmiah kritis terutama untuk para pengurus LiSEnSi itu sendiri. Metode penulisan kumpulan essai ini ialah dengan mewajibkan 5 orang pengurus LiSEnSi yang dipilih secara random setiap edisinya untuk menulis esai. Kumpulan Essai ini ditujukan untuk seluruh akademisi yang bergelut dalam bidang ekonomi syariah. Semoga dengan adanya kumpulan esai ini bisa mendorong kemauan kita semua untuk menulis.

Dalam edisi perdana kali ini, temanya adalah tentang Zakat, dikupas tuntas dengan dibagi kedalam 5 sub tema yang insyaAllah akan memperkaya khasanah keilmuan kita terhadap Zakat, yang dimana zakat ialah salah satu dari rukun islam. Zakat adalah ukuran atau kadar harta tertentu yang harus dikeluarkan oleh pemiliknya untuk diserahkan kepada golongan atau orang-orang yang berhak menerimanya dengan syarat- syarat tertentu. Allah memerintahkan umat Islam untuk membayar zakat adalah agar harta yang dimilikinya menjadi bersih dan suci. Karena kalau tidak dibayarkan zakatnya, harta yang dimiliki menjadi kotor dan haram karena tercampur hak orang lain yang dititipkan kepada orang yang berhak mengeluarkan zakat.

Ucapan terimakasih kepada seluruh pengurus Divisi Riset LiSEnSi yang mampu menyukseskan edisi perdana dari Kumpulan Essai Laskar LiSEnSi. Harapan kami dengan adanya Kumpulan Essai Laskar LiSEnSi ini dapat memberikan inspirasi, menambah khasanah keilmuan, dan juga mampu mendorong kita semua untuk lebih bersemangat untuk menulis karya tulis ilmiah, terutama dibidang ekonomi syariah.

Tiada gading yang tak retak andaipun retak jadikanlah sebagai ukiran, begitupun dengan Kumpulan Esai ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu melalui kata pengantar ini kami sangat terbuka menerima kritik serta saran yang membangun sehingga secara bertahap penulis dapat memperbaikinya.

Namun demikian kami sangat berharap kiranya Kumpulan Essai ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang besar terhadap perkembangan zakat khususnya pengaruhnya di Indonesia. Semoga eksistensi zakat di Indonesia selalu mengalami perkembangan dan memberikan dampak positif untuk seluruh umat islam di Indonesia, khusunya untuk pemberdayaan dan pengembangan Ekonomi untuk mensejahterakan Umat. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

IMPLEMENTASI KETEGASAN KHALIFAH ABU BAKAR DALAM MEMUNGUT ZAKAT TERHADAP BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Oleh : Nidaul Hasanah (Wk. Koordinator Div. Keilmuan) 1

I. Pendahuluan

Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah S.W.T. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran . Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad SAW melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang

miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut. 2

Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat. Untuk memberikan perbaikan pengelolaan zakat yang baik, pemerintah Indonesia mengamandemen Undang-Undang No. 38 Tahun 1999

Tentang Pengelolaan Zakat menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. 3 Adanya perubahan Undang-

undang ini tidak menimbulkan efek yang besar bagi perekonomian Indonesia. Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), jumlah mustahik atau penerima zakat saat ini mencapai 1,8 juta orang. Jumlah itu masih terlalu sedikit dibanding jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Sedangkan, dari data IMZ, persentase kemanfaatan zakat untuk mengentaskan kemiskinan hanya 2,7 persen di Indonesia. Jumlah ini sangat kecil

sekali dibanding unsur pengentasan kemiskinan lain. 4 Bahkan dalam KOMPAS.com di Muarabungo, Jambi. Sebagian dari 30 anggota DPRD Kabupaten Bungo, Jambi, masih malas membayar zakat melalui badan amil

zakat daerah, kata Sekretaris Bazda Muarabungo Ismail. Ketika ditanya tentang partisipasi anggota DPRD

1 Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat

3 Miftahul Ulum, Skripsi “ pengelolaan zakat dalam pasal 18 ayat (2) uu no. 23 tahun 2011 (studi respon lembaga pengelola zakat di kota yogyakarta)”, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4 Baznas 4 Baznas

Data diatas menunjukkan bahwa kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam berzakat. Selain itu Kurangnya keseriusan Pemerintah dalam hal zakat hal ini dibuktikan dengan Kementerian Agama yang lebih mengedepankan pengelolaan Urusan Haji ketimbang zakat yang lebih berpotensi untuk kemaslahatan umat secara luas. 5 Jika kita

melihat potensi zakat di Indonesia yang hasilnya bisa mencapai 217 triliun, tentunya sangatlah mencengangkan. Potensi zakat ini merupakan angka tertinggi diantara negara-negara Islam, bahkan dunia. Padahal diketahui bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas pendudukannya muslim dengan jumlah 220 juta muslim (87% Penduduk) 6 . Harusnya ini menjadi potensi yang besar bagi Perekonomian Indonesia.

II. Pembahasan

i. Zakat Pada Masa Abu Bakar

Belajar dari kisah khulafaurasyidin salah satunya yaitu Khalifah Abu Bakar Ar-Shidiq yang dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Khalifah Abu Bakar Shiddiq melaksanakan kebijakan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah SAW. Beliau sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Dalam hal ini, Abu Bakar pernah berkata kepada Anas : “Jika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar zakat berupa seekor unta betina berumur 1 tahun tetapi dia tidak mempunyainya lalu menawarkan seekor unta betina berumur 2 tahun, maka hal demikian dapat diterima dan petugas zakat akan mengembalikan kepada orang tersebut sebanyak 20 dirham atau 2 ekor domba sebagai

kelebihan dari pembayaran 7 zakatnya”. Kemudian hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam

Baitul Mal yang langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin sampai habis. Dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan dengan memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah SAW dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang belakangan, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dan wanita. Menurutnya, dalam hal keutamaan beriman, Allah SWT yang akan memberikan ganjarannya,

sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan. 8 Dalam Memerintah Abu Bakar mengambil langkah-langkah tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah

5 http://m.kompasiana.com/post/read/581650/3/saatnya-kita-membutuhkan-rumah-sakit-zakat.html 6 http://infojambi.com/internasional/6911-ini-dia-jumlah-muslim-di-sejumlah-negara.html

7 Adiwarman A Karim (2004), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Pt Raja Grapindo Persada, Jakarta, h . 56 8 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (1995), PT Dhana Bakti Wakaf, Yogyakarta, jilid 2, h. 163

SAW. Menurut Imam Shuyuti, ketika berita wafatnya Rasulullah SAW tersebar ke seluruh penjuru Madinah, banyak suku-suku Arab yang meninggalkan Islam dan menolak membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan pasukannya untuk menyerang suku-suku pembangkang tersebut. Umar bin Khattab memintanya untuk mencabut perintahnya, namun Abu Bakar berkata : “Aku akan memerangi mereka sekalipun mereka hanya menolak membayar satu kali zakat atau menolak memberikan kambing muda yang biasa mereka serahkan kepada

Rasulullah 9 SAW”.

ii. Pemungutan Zakat melalui Lemaga Keuangan

Untuk meningkatkan penerimaan zakat dan kesadaran masayarakat akan wajib zakat, Maka Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) selaku lembaga yang memiliki wewenang dalam hal pemungutan dan pendistribusian zakat harus memiliki terobosan dalam hal tersebut. Diantaranya dengan adanya pemungutan zakat melalui rekening nasabah, yang mana bank syariah berperan penting dalam memungut zakat nasabah tersebut. Menurut data tahun 2012 bahwa jumlah nasabah pengguna perbankan syariah dari tahun ke tahun meningkat signifikan, dari tahun 2011-2012 tumbuh sebesar 36,4 %. Apabila pada tahun 2011 jumlah pemilik rekening sebanyak 9,8 juta, maka di tahun 2012 menjadi 13,4 juta rekening, berarti dalam setahun bertambah sebesar 3,6 juta nasabah. Menurut data Bank Indonesia, kini sudah ada 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 bank syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), dan 156 BPRS, dengan jaringan kantor meningkat dari 1.692 kantor di tahun sebelumnya menjadi 2.574 di tahun 2012, Dengan demikian jumlah jaringan kantor layanan perbankan syariah meningkat sebesar 25,31%. (Data

diperoleh pada 17 Desember 2012). 10 Hal ini menunjukkan bahwa dengan jumlah 13,4 juta rekening ini sangat berpotensi dalam penerimaan zakat. Adanaya pemungutan zakat melalui bantuan lembaga keuangan khususnya

bank syariah ini dapat membantu Baznas dalam menghinpun dan mendistribusikan zakat tersebut, selain itu zakat ini juga dapat membantu perekonomian Indonesia. Dengan adanaya rencana Baznas ini sangat membantu Bank Syariah dalam menuju Maqasid Syariah.

Untuk mewujudkan hal tersebut sebelumnya Baznas melakukan kerjasama antar Lembaga keuangan syariah salah satunya perbankan syariah. Yang mana dalam kerjasama ini Bank Syariah mempunyai tugas untuk menghimpun zakat nasabahnya dan mendata nasabahnya atau masyarakat sekitar yang tergolong dalam 8 asnaf. Setelah itu bank syariah mengirimkan dana himpunan zakatnya serta data nasabahnya kepada Baznas. Baznas bertugas mendistribusikan dana zakat kepada yang berhak, baik melalui LAZ atau lembaga keuangan syariah.Untuk menghindari moral hazard yang dilakukan para lembaga keuangan maka bank syariah selaku yang menghimpun dana dan membantu dalam mendistribusikan dana zakat, bank syariah atau badan amil zakat daerah

9 Heri Sudarsono, (2004), Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Ekonisia, Yogyakarta, h. 129 10 http://newsletter.marsindonesia.com/2013/03/28/kepemilikan-rekening-di-bank-syariah-meningkat/ 9 Heri Sudarsono, (2004), Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Ekonisia, Yogyakarta, h. 129 10 http://newsletter.marsindonesia.com/2013/03/28/kepemilikan-rekening-di-bank-syariah-meningkat/

Dengan adanya kerjasama antar Baznas, OJK, Lembaga keuangan lainnya hal ini dapat meningkatkan potensi penerimaan zakat serta meningkatkan kesejahteraan masayarakat Indonesia. Yang mana berpengaruh terhadap pereknomian Indonesia itu sendiri. Hal ini hanya bisa terwujud apabila adanya ketegasan, komitmen dan kerjasama yang kuat antar pihak. Karena pada dasarnya zakat ini merupakan pembersih dari harta yang diperoleh. Dalam QS. At-Taubah ayat 103 menjelaskan bahwa:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui 11 ”.

Serta QS.Al-Baqarah menerangkan bahwa “Perumpamaan (nafkah yang di keluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah.

Adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siap yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha

Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar zakat hal ini dibuktikan Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), jumlah mustahik atau penerima zakat saat ini mencapai 1,8 juta orang. Jumlah itu masih terlalu sedikit dibanding jumlah masyarakat miskin di Indonesia.

Ketegasan Khalifah Abu Bakar dalam memperhatikan keakuratan penghitungan zakat dan pengimpunana serta pendistribusian zakat hal ini dibuktikan dengan memerangi masyarakat yang tidak membayar zakat serta hasil pengumpulan zakat langsung beliau distribusikan seluruhnya kepada kaum Muslimin sampai habis dengan prinsip pemerataan.

11 QS. At-Taubah 103 12 QS. AL-Baqarah 261

Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat tinggi dikarenakan negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas pendudukannya muslim dengan jumlah 220 juta muslim (87% Penduduk). Hal ini dapat meningkatkan perekonomian negara.

Salah satu cara Baznas untuk meningkatkan penerimaan zakat yaitu Adanya pemungutan zakat melalui rekening nasabah, yang mana merupakan kerjasama antar pihak. Harus adanya ketegasan, komitmen dan kerjasama yang kuat antar pihak baik BAZNAS, OJK ataupun lembaga keuangan lainnya dalam mewujudkan penerimaan zakat Negara, kesadaran masyarakat akan berzakat serta menuju Maqasid Syariah.

EKSISTENSI ZAKAT DI ZAMAN MODERN PENGELOLAAN PROFESIONAL DEMI PEMANFAATAN MAKSIMAL

Oleh : Ramadan (Staf Divisi Keilmuan)

I. Pendahuluan

“Beri orang lain ikan dan engkau memberinya makan untuk sehari. Ajari orang lain memancing ikan dan engkau memberinya makan untuk selamanya.” Itulah kata-kata bijaksana yang terkenal dari Cina kuno. Bila kita pahami lebih mendalam, pepatah ini sesungguhnya mengajarkan kita untuk terus memberi, tentang bagaimana kita merespon orang lain yang membutuhkan bantuan, bukan tentang respon si penerima bantuan. Kita dibolehkan untuk memberi bant uan langsung berupa “ikan” atau mengajarkan orang lain untuk berusaha sendiri melalui “pancingan”. Kita tidak perlu takut bahwa orang yang kita berikan “ikan” akan menjadi pemalas atau tidak mau berusaha. Tetapi harus kita ketahui dengan “mengajari memancing” maka kita memberi sesuatu yang lebih berguna.

Pepatah di atas dianggap cocok sebagai pengantar mengenai eksistensi zakat. Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk menjalin hubungan baik dan senantiasa tolong menolong dengan orang lain. Lebih lanjut, Islam mengenal zakat, infaq dan shadaqah sebagai instrumen penyaluran bantuan dari si Kaya kepada si Miskin. Terlepas dari kontroversi kevalidan data tentang kemiskinan, angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kalaupun terjadi penurunan angka kemiskinan maka laju peningkatan penerimaan dana ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Pada umumnya pengelolaan zakat di Indonesia sudah cukup baik, tetapi belum maksimal. Seperti yang kita tahu, bahwa banyak dari masyarakat yang memilih memberikan langsung zakatnya kepada fakir miskin. Ini sangat disayangkan, mengingat potensi dana yang bisa terhimpun cukup besar, maka sebaiknya pengelolaan dilakukan secara profesional, dimana nantinya dana diputar melalui program-program tertentu dengan berfokus pada pembinaan dan pemberdayaan sosial. Meski demikian, kesesuaian syariah dan ketepatan sasaran tetap menjadi hal utama yang harus diperhatikan.

Keberadaan zakat bisa dijadikan sebagai solusi dalam mengurangi kemiskinan, kesenjangan, bahkan menekan jumlah pengangguran. Dengan catatan, adanya kepercayaan masyarakat untuk meneruskan dananya kepada mustahiq melalui suatu lembaga atau badan zakat, serta dukungan maksimal dari pemerintah melalui peraturan yang jelas dan pengawasan ketat. Penyaluran zakat melalui lembaga atau badan amil zakat hingga saat ini lebih berfokus kepada masyarakat perkotaan. Sementara masyarakat di pedesaan memiliki pola Keberadaan zakat bisa dijadikan sebagai solusi dalam mengurangi kemiskinan, kesenjangan, bahkan menekan jumlah pengangguran. Dengan catatan, adanya kepercayaan masyarakat untuk meneruskan dananya kepada mustahiq melalui suatu lembaga atau badan zakat, serta dukungan maksimal dari pemerintah melalui peraturan yang jelas dan pengawasan ketat. Penyaluran zakat melalui lembaga atau badan amil zakat hingga saat ini lebih berfokus kepada masyarakat perkotaan. Sementara masyarakat di pedesaan memiliki pola

Tujuan dari adanya esai ini adalah memberikan gambaran dan berbagi informasi mengenai konsep pengelolaan zakat yang profesional melalui sebuah lembaga zakat. Harapannya yaitu kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan dana kepada lembaga zakat akan tumbuh. Tentu diimbangi dengan perbaikan di semua elemen dari lembaga zakat itu sendiri.

II. Pembahasan

 Pengelolaan Zakat di Indonesia Sentralisasi pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah dan para khalifah merupakan bentuk

pengelolaan zakat oleh negara, karena Rasulullah dan para khalifah yang mengumpulkan lalu mengelola zakat dalam kapasitasnya sebagai penguasa. Di Indonesia sendiri, zakat kini sudah diberdayakan melalui profesionalisme pengelolaan, sebagaimana ditegaskan dalam UU 23/2011 bahwa Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) pusat bertugas untuk mengoordinasi seluruh lembaga zakat yang sudah terdaftar. Fokus Baznas adalah sebagai regulator dan bukan operator yang bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem yang terkoordinasi, rapi, serta bersinergi. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah harus turut mendorong posisi Baznas sebagai unit lembaga publik yang operasionalnya hanya sebatas pada pengawasan, pembuatan peraturan, dan perlindungan.

Agar pemanfaatan dana zakat bisa maksimal, maka diperlukan adanya pengelolaan ZIS secara profesional dengan menggunakan manajemen modern serta melibatkan para pakar di bidangnya, ditambah dengan dukungan intensif pemerintah baik yang bersifat moril berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan, maupun yang bersifat materil dalam bentuk penyediaan dana operasional dan administratif. Hal inilah sesungguhnya yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Hanya saja memang harus diakui bahwa keinginan tersebut belum sepenuhnya terpenuhi, namun sudah mengarah sesuai dengan keinginan dan maksud ajaran agama Islam. Adapun undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat menetapkan bahwa tujuan pengelolaan Zakat adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah Zakat.

2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagaman dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna Zakat.

Selain Zakat, dikenal juga istilah infaq dan shadaqah, hanya saja sifatnya bukan merupakan pemberian wajib, tetapi pemberian yang bersifat sangat dianjurkan (sunnah) bagi mereka yang berkecukupan. Infaq adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan di luar zakat, untuk kemaslahatan umat. Sedangkan Shadaqah ialah harta yang dikeluarkan seorang muslim di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

 Potensi Zakat di Indonesia Total potensi zakat seluruh negara-negara Islam (minus Brunei Darussalam) adalah sebesar 50 miliar

dollar AS. Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil penelitian IPB yang bekerjasama dengan Baznas, potensi zakat di Indonesia tahun 2013 yaitu sekitar 217 triliun atau sebesar 3,4 persen dari PDB Indonesia. Berikut ini perbandingan antara potensi zakat di Indonesia dengan beberapa negara : [1]

Negara

Potensi zakat (miliar dollar AS) *asumsi kurs Rp.10.000

Turki

Uni Emirat Arab

Dari data riset ini menunjukkan betapa Indonesia masih unggul dari hasil pengumpulan bila dibandingkan dengan negara-negara besar Islam di dunia. Meskipun Indonesia memiliki potensi zakat hingga 217 triliun pertahun, namun faktanya masih ada banyak kesenjangan antara potensi dan realisasi penerimaan zakat, terutama oleh lembaga zakat. Hasil penghimpunan zakat dari lembaga-lembaga zakat tahun 2012 hanya mencapai Rp 2,2 triliun dan diprediksi mencapai 3 triliun pada tahun 2013. Masih dari penelitian yang sama, bila ditarik jauh ke belakang, diketahui data penerimaan zakat tahun 2008 – 2012 melalui lembaga-lembaga zakat adalah sebagai berikut : [2]

Angka-angka tersebut akan semakin bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh, karena saat ini membayar zakat, sedekah dan berinfaq telah menjadi life style bagi umat Islam di Indonesia sejak maraknya buku-buku atau kajian-kajian tentang keajaiban dan keutamaan berzakat, sedekah dan berinfaq.

Masalah utama penyebab belum maksimalnya peranan zakat adalah kurangnya pengetahuan masyarakat perihal zakat itu sendiri. Umumnya masyarakat hanya sebatas membayar zakat fitrah di bulan Ramadhan. Padahal penerimaan zakat bisa meningkat tajam bila saja masyarakat juga membayar zakat dari kepemilikan harta mereka, seperti meliputi emas, perak, hasil pertanian, peternakan, perdagangan, deposito, investasi, bonus perusahaan dan hibah. Belum lagi potensi zakat dari penghasilan profesi yang tak kurang dari Rp 6,7 triliun per bulan atau Rp 80,3 triliun per tahun. Sungguh jumlah yang sangat fantastis dan pemanfaatannya akan luar bisa bila dikelola secara terpadu dan berkesinambungan. Disinilah perlunya edukasi dan komitmen dari semua pihak, terutama pemerintah (melalui Baznas) sebagai regulator, ulama, intelektual muslim, dan masyarakat umum sebagai operator serta yang menjalankan fungsi pengawasan.

 Keberadaan Lembaga Zakat Sejak dikeluarkannya UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat tahun 1999 sampai saat ini sudah ada 180 Lembaga

Amil Zakat (LAZ) yang tercatat sebagai anggota FOZ (Forum Zakat), disamping ada ratusan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah, serta belum ditambah lagi dengan lembaga amil zakat lainnya yang belum terdaftar dalam anggota FOZ maupun BAZ. [3]

LAZ yang telah ada dan yang akan dibentuk oleh masyarakat itu dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah. Pengukuhan LAZ sesuai dengan keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat dilakukan atas permohonan Lembaga Amil Zakat setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut: [4]

1. Berbadan hukum;

2. Memiliki data muzakki dan mustahik;

3. Telah beroperasi minimal selama 2 tahun;

4. Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir;

5. Memiliki wilayah operasi (untuk tingkat nasional 10 Provinsi, untuk tingkat provinsi 40 % Kabupaten/Kota);

6. Mendapat rekomendasi dari Forum Zakat;

7. Telah mampu mengumpulkan dana Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milliyar Rupiah) dalam satu tahun untuk tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat propinsi sebanyak Rp.500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah);.

8. Melampirkan surat pernyataan bersedia disurvei oleh Tim yang dibentuk oleh Departemen Agama dan diaudit oleh akuntan publik;

9. Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat (BAZ) dan Departemen Agama setempat.

Dalam pelaksanaan pengumpulan zakat tidak dapat dilakukan paksaan terhadap muzakki, melainkan muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum Islam. Dalam hal ini muzakki dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya, namun demikian muzakki dapat meminta bantuan kepada sebuah lembaga zakat untuk menghitungnya.

Sementara itu, masyarakat sebagai wajib pajak diharapkan tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar pajak dan kewajiban membayar zakat. Oleh karenanya, pasal 14 ayat (3) UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah mengatur bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada lembaga zakat dapat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi juga perlu diketahui bahwa pembayaran infaq, shodaqah, hibah, wasiat dan kafarat, tidak dapat dipergunakan untuk pengurangan pajak, karena pada dasarnya bukan merupakan kewajiban.

 Permasalahan Lembaga Zakat di Indonesia [5]

1. Penggunaan dana zakat dinilai terlalu boros Tujuan utama zakat adalah mengentaskan kemiskinan. Bila kita ingin mengetahui keberhasilan lembaga zakat di Indonesia, bisa dilihat dari jumlah fakir miskin tiap tahun, apakah berkurang atau justru meningkat. Meskipun tidak sepenuhnya bisa dijadikan patokan, namun jika kemiskinan masih merajala di Indonesia, maka hal itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga zakat belum berhasil mengoptimalkan dana zakat dengan sebaik-baiknya. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan dana zakat secara boros untuk hal-hal yang kurang penting, seperti biaya iklan 1. Penggunaan dana zakat dinilai terlalu boros Tujuan utama zakat adalah mengentaskan kemiskinan. Bila kita ingin mengetahui keberhasilan lembaga zakat di Indonesia, bisa dilihat dari jumlah fakir miskin tiap tahun, apakah berkurang atau justru meningkat. Meskipun tidak sepenuhnya bisa dijadikan patokan, namun jika kemiskinan masih merajala di Indonesia, maka hal itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga zakat belum berhasil mengoptimalkan dana zakat dengan sebaik-baiknya. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan dana zakat secara boros untuk hal-hal yang kurang penting, seperti biaya iklan

2. Pembagian jatah mustahiq Di Indonesia, para mustahiq yang paling banyak adalah fakir dan miskin, sedangkan untuk mustahiq yang lain, seperti budak, mujahid di jalan Allah, dan muallaf tentunya jauh lebih sedikit, maka tidaklah tepat jika kemudian kita bagikan dana zakat yang terkumpul kepada delapan mustahiq, dimana setiap mustahiq mendapatkan 1/8- nya; untuk fakir miskin 1/8, untuk budak 1/8, untuk para mujahid 1/8, untuk muallaf 1/8 dan seterusnya. Begitu juga bagian amil zakat, jika diberi 1/8 dari total dana yang dikumpulkan sebuah lembaga zakat jelas tidak tepat. Apalagi amil zakat yang mendapatkan jatah tersebut, hanyalah amil zakat yang bekerja di lembaga zakat tersebut, yang jumlah mereka tentunya tidak sebanding dengan dana zakat yang melimpah. Adapun yang harusnya terjadi dalam pengaplikasian zakat adalah menjangkau orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak terlantar, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pasantren, anak terlantar, dan korban bencana alam. Apabila ada kelebihan dana, barulah alihkan sebagian dana tersebut untuk biaya perbaikan fasilitas, biaya iklan dan lainnya.

3. Ke-syar’i-an lembaga zakat bila diurus swasta Dalam berbagai kajian fiqh disebutkan bahwa sebenarnya penarikan zakat dan pendistribusiannya adalah tanggung jawab pemerintah. Tetapi manakala pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, seperti di Indonesia ini, maka dibolehkan swasta menangani zakat. Alangkah baiknya kepengurusan lembaga zakat terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.

4. Kurangnya komunikasi antar lembaga zakat Lemahnya sistem data informasi dan minimnya komunikasi antara lembaga zakat memungkinkan seorang mustahiq zakat mendapatkan distribusi dana zakat dari beberapa lembaga zakat. Solusinya adalah Baznas memaksimalkan perannya dalam mengumpulkan data mustahiq dan muzakki dari semua lembaga zakat dan memastikan bahwa semua lembaga zakat telah terkoordinir dengan baik. Hal ini untuk menghindari adanya kesan persaingan dalam upaya pengumpulan dana zakat. Disinilah tugas berat Baznas untuk bisa meredam sifat egois dari setiap lembaga zakat. Berikut ini adalah pembagian peran terkait pengawasan lembaga zakat :

- Pusat : Menteri Agama RI

- Provinsi : Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama - Kabupaten/kota : Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. - Kecamatan : Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan

5. Perlu banyak belajar dari lembaga zakat di negara muslim lain Lembaga-lembaga zakat di Indonesia rasanya perlu mencontoh beberapa lembaga zakat di luar negeri, salah satunya Lembaga Zakat Swasta di Mesir yang mempunyai aset ribuan masjid, ratusan rumah sakit gratis yang mampu menanggung jutaan rakyat Mesir, memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar, bahkan masih membantu secara besar-besaran kepada rakyat Palestina dan rakyat Indonesia yang terkena bencana. Namun kalau kita lihat kantor pusatnya yang ada di pinggiran kota Kairo, sungguhlah sangat sederhana dan para pengurusnya pun hidup dalam kesederhanaan.

 Studi Kasus : Rumah Zakat Indonesia Rumah Zakat Indonesia adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan pada pengelolaan

zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf secara lebih profesional dengan menitikberatkan pembinaan dan pemberdayaan sosial. Berkiprah sejak 1998, Rumah Zakat Indonesia telah hadir di 44 jaringan kantor di 38 kota besar. Atas dasar kiprah, banyaknya portofolio kerjasama dan kematangan organisasi (mayoritas pengelolanya sarjana & D3), kiranya Rumah Zakat Indonesia dirasa cocok untuk dijadikan contoh sebuah pengelolaan zakat yang profesional oleh sebuah lembaga zakat. Berikut adalah cara RZI mengelola dana zakatnya: [6]

Kebijakan pengelolaan yang diterapkan RZI yaitu :  Zakat yang dihimpun dari suatu daerah, dana siap salurnya untuk daerah itu sendiri.  Pencatatan keuangan terpusat, dengan pendistribusian di setiap daerah. Sentralisasi ini untuk memudahkan audit

keuangan secara konsolidasi.  Dana Pengelola (AMIL) yang dihasilkan dari penghimpunan, dapat disubsidisilangkan ke kota-kota yang

membutuhkan.  Prosentase distribusi ke program tergantung evaluasi dan kebutuhan masyarakat.

III. Penutup

 Kesimpulan

Di Indonesia, profesionalisme pengelolaan zakat ditegaskan dalam UU 23/2011 bahwa Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) pusat bertugas untuk mengoordinasi seluruh lembaga zakat yang sudah terdaftar. Fokus Baznas adalah sebagai regulator dan bukan operator yang bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem yang terkoordinasi, rapi, serta bersinergi.

Sampai saat ini sudah ada 180 Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang tercatat sebagai anggota FOZ (Forum Zakat), disamping ada ratusan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah, serta belum ditambah lagi dengan lembaga amil zakat lainnya yang belum terdaftar dalam anggota FOZ maupun BAZ.

Zakat bisa ikut berperan dalam pembangunan ekonomi apabila dikelola secara serius. Pengelolaan zakat yang terorganisir dan profesional sudah pasti membutuhkan tenaga kerja, yang otomatis bisa mengurangi pengangguran di daerah tersebut. Manfaat lainnya adalah kesenjangan tidak begitu terasa. Sehingga pada akhirnya tercapailah tujuan kita bersama, yaitu peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

 Saran

 Pola penyaluran dana zakat hendaknya bersifat produktif sehingga dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Jangan sampai bersifat konsumtif, sebab hal ini cenderung

mempertahankan kemiskinan karena manfaatnya yang bersifat sementara (langsung habis).

 Edukasi dan sosialisasi juga harus ditingkatkan, karena dengan memberikan edukasi (melalui majelis, iklan, kampanye nasional, dsb) terkait pentingnya peran zakat, maka akan meningkatkan kesadaran para muzakki untuk meringankan beban mustahiq dan secara langsung akan berdampak pada peningkatan penerimaan dana dari masyarakat.

[1] Sumber : http://birokrasi.kompasiana.com/2013/08/01/ternyata-indonesia-memiliki-potensi-zakat-terbesar-di- dunia-581023.html [2] Sumber : http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi/2764-optimalisasi-pengelolaan-dan-regulasi-zakat.html [3] Sumber : http://noven-suprayogi-feb.web.unair.ac.id/artikel_detail-71720-Keuangan%20Publik%20Islam- SINERGISITAS%20PENGELOLAAN%20ZAKAT.html [4] Sumber : http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=398 [5] Sumber : http://www.ahmadzain.com [6] Sumber : http:// www.rumahzakat.org

SINERGISITAS ZAKAT DAN PAJAK UNTUK MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT

Oleh : Dina Fadhillah (Sekretaris Umum)

I. Pendahuluan

Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, pajak sangat berperan besar terhadap usaha pembangunan nasional khususnya dalam hal pemerataan distribusi pendapatan yang menjadi tujuan terbesar sebuah negara yang berdaulat. Menurut Fasli Jalal, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKN), mengungkapkan pada tahun 2013 penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 250 juta dengan pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun. Wajarlah jika mengharapkan dari faktor pendukung yang sangat potensial ini dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun pada realitanya instrumen fiskal ini belum terlalu berpengaruh secara efektif dalam upaya menekan angka kemiskinan yang mana menjadi salah satu indakator kesejahteraan masyakat Indonesia. Padahal berdasarkan data statistik penerimaan pajak menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun. Dengan kondisi demkian, wajar apabila kedaran para wajib pajak di Indonesia sangatlah rendah. Indikator pengukurnya adalah tax ratio yang hanya 13,6% dari PDB, dibawah rata-rata tax ratio negara-negara di Eropa yakni 33%. Salah satu kedala dalam pengumpulan pajak antara lain adalah berkembanganya asumsi bahwa terlalu berat untuk membayarkan pajak dikarenakan adanya kewajiban pula bahwa harus lah membayar zakat atau sering disebut dengan kewajiban ganda. Di sisi lain menjadi seorang wajib pajak, di sisi lainnya menjadi muzaki (wajib zakat) pula.

Zakat adalah instrumen fiskal yang sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. yang mana tetap diterapkan pada masa khalafur rasyidin. Dalam bidang ilmu Ekonomi Islam, zakat dipandang mampu untuk mendorong pemerataan kesejahteraan masyaarkat. Jjika dikelola dengan baik, maka dengan intrumen ini dapat secara efektif dan memberikan hasil yang signifikan dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antara kaum the have dan the poor. Bagaikan tak ada gading yang tak retak, begitu pulalah yang terjadi pada pengelolaan zakat. Terjadi kelemahan didalamnya antara lain masih minimnya masyarakat Indonesia yang belum sadar akan kewajiban membayar zakat dan pembayaran zakat tidak pada amil zakat atau badan-badan yang mengurusi tentang pengelolaan zakat baik yang didirikan oleh pemerintah yakni BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), maupun yang didirikan oleh swasta yakni LAZNAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) antara lain Dompet Duafa, Rumah Zakat dan lain sebagainya.

Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, mengakui kedua instrumen ini yakni pajak dan zakat. Dapat dibuktikan oleh Abu Yusuf (798M), dalam kitabnya, Al Kharaj, mengusulkan pajak atas tanah pertanian diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungan tidak berdasarkan harga tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya. Penggunaan zakat mencapai keemasannya pada masa Umar bin Abdul Aziz yng ditandai dengan tidak adanya masyarakat pada saat itu yang mau menerima zakat dikarenakan telah sempurnanya distribusi pendapatan.

Tujuan penulisan esai ini adalah untuk membuktikan bahwa dengan pengelolaan zakat dan pajak yang masing-masing merupakan alat pengumpul dana dari masyarakat yang harus dialokasikan dalam upaya pembangunan masyakat yang jika saling bersinergi satu sama lain dapat meningkatkan kesejahterakan masyarakat Indonesia.

II. Pembahasan

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal bahwa zakat dan pajak dapat menjadi solusi atas masalah kemiskinan di Indonesia yang berujung pada rendahnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk dapat mengelolanya dengan baik, maka akan dijelaskan terlebih dahulu perbedaan dan persamaan diantara keduanya

pada tabel 1.1 sebagai berikut [1] :

Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan Zakat dan Pajak

Persamaan Zakat dan Pajak

Perbedaan Zakat dan Pajak

1. Zakat dan Pajak sama-sama berasal dari aturan

1. Zakat dan Pajak memiliki masing-

tertentu yang menaungi sebuah kelompok masing badan pengelolanya. Zakat masyarakat. Zakat dibayar berdsarkan syariat dibayarkan melalui amal zakat (lembaga Islam, sedangkan pajak dibayarkan menurut penyalur dan pengelolaan zakat) maupun undang-undang perpanajakn yang berlaku dalam dibayarkan langsung kepada delapan sebuah negara.

orang yang berhak menerimanya yang telah diatur oleh Al Quran. Sedangkan pajak negara merupakan kewajiban yang dibayarkan kepada kantor pelayanan pajak dan lembaga –lembaga lain yang dtunjuk oleh pemerintah

2. Besarnya pembayaran ditentukan menurut

2. Manfaat zakat dapat langsung dirasakan

prosentase tertentu dan berlaku untuk orang- oleh masyarakat jika dibayarkan secara orang yang telah memenuhi syarat

langsung kepada para muzaki (orang yang langsung kepada para muzaki (orang yang

3. Keduanya memiliki tujuan yang sama yakni

3. Zakat dibayarkan boleh dalam bentuk

mensejahterakan masyarakat

tidak tunai. Misalnya zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (Yons Achmed/Zakat.or.id) sedangkan pajak pada umumnya dibayarkan dalam bentuk uang tunai.

Sumber : www.zakat.or.id

Konsep Pajak di Indonesia

Sebagai salah satu penopang APBN yang sangat diandalkan oleh negara, pajak diharapkan dapat diserap dan diberdayakan secara maksimal. Sudah menjadi suatu kewajiban sebagai warga negara yang taat hukum untuk membayarkan pajak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku walaupun tidak dapat secara langsung dirasakan manfaatnya dan dibalas jasanya atas pemenuhan kewajiban tersebut. Pemerintah memiliki kekuatan hukum apabila ada masyarkatnya yang menolak untuk membayar pajak. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,seorang ahli perpajakan menyebutkan bahwa pajak adalah pengalihan kekayaan rakyat kepada negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk public saving

yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment [2] . Dikutip dari buku karangan Mardiasmo (2003:2), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses

pemungutan pajak tercakup lima hal yakni: Adil, Berdasarkan undang-undang, tidak menggangu perekonomian, efesien, dan sederhana [3] . Hal yang sangat terkait dengan zakat adalah pajak penghasilamn

yang merupakan pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak, dimana yang menjadi subjek ajak adalah orang pribadi, warisan yang belum dibagikan dan badan serta badan usaha tetap.

Adapun jenis-jenis pajak antara lainnya:

A. Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung dari pemerintah dari pemerintahan pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia.

B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean. Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean. Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang

C. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM.

D. Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen dengan menggunakan denda materai atau benda lainnya.

E. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).

F. Bea Perolehan Hak Tas Tanah dan Bangunan ( BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas pereolehan hak atas tanah atau bangunan.

Konsep Pajak dalam Prespektif Islam

[4] Dalam bahasa Arab pajak dikenal dengan istilah kharaj yang artinya adalah mengeluarkan . Secara etimologi, kharaj mempunyai makna sebagai iuran yang wajib dibayarkan oleh rakyat sebagai

sumbangan kepada negara/ pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang dan sebagainya [5] . Didalam Islam , konsep pajak seperti zakat yang ditujukan demi kepentingan rakyat kecil

dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. Jika pajak diartikan seperti halnya upeti, maka yang menikmati dana hasil pengumpulan pajak adalah penguasanya sebagai bentuk ketaatan mereka. Sedangkan jika diartikan sebagai jizyah maka yang menikmatinya adalah pengusaha dan penguasanya. Oleh karena itu pajak diandalkan sebagai pintu masuk yang paling material dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena tidak ada negara yang bisa hidup dengan mengabaikan pajak sebagai basis finansial suatu negara.

Konsep Zakat

Di samping zakat merupakan pajak keagamaan di mana pengeluarannya merupakan sarana umat Muslim yang memliki kekayaan melebihi tingkat tertentu/nisabnya untuk membersihkan hartanya guna diberikan kepada yang berhak. Dalam bukunya, Didin Hafidhuddin mengungkapkan bahwa zakat dan pajak adalah ketetapan tentang pemberlakuan pajak dalam suatu negara yang sangat bergantung kepada pemerintah yang berkuasa atas kebijakan penguasa, sehingga seseorang dikenakan pajak, maka ia wajib mentaatinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, dengan catatan selama negara masih memerlukan dana tersebut untuk kepentingan pembangunan. Tetapi lain halnya zakat yang bersifat absolut dan mutlak, di mana setiap orang diwajibkan membayar zakat bukan berdasarkan kebutuhan semata melainkan juga berdasarkan kewajiban.

Adapun syarat-sayarat harta kekayaan yang wajib dizakati antara lain :

 Milik penuh; pemilik harta tersebut memungkinkan untuk menggunakan dan mengambil manfaatnya secara penuh  Berkembang; harta tersebut dapat bertambah atau dikembangkan bila diusahakan atau mempunyai potensi

untuk berkembang  Cukup Nishabnya; hartanya telah mencapai jumlah tertentu sesuai ketetapan syara’  Sisa hutang; orang yang mempunyai hutang sebesar uang atau harta dimilikinya, maka harta tersbut terbebas

dari zakat  Belalu satu tahun; kepemilikan harta tersebut sudah berlalu masanya selama dua belas bulan qomariyah.

Harta-harta yang wajib dizakati meliputi ; binatang ternak, harta perniagaan, hasil pertanian, hasil tambang, rikaz, emas dan perak. Terkait dengan pajak adalah harta perniagaan/trading yang memang dirancang dan disiapkan untuk diperjualbelikan dalam rangka mendapatkan keuntungan dalam hal ini bisa dikerjakan baik secara individu maupun oleh syirkah/ perusahaan seperti PT, CV, PD, UD, FIRMA dan lain sebagainya. Asas pendekatan zakat perniagaan: Komoditas yang diperdagangkan halal dan thoyib, usaha yang modalnya berasal dari gabungan dana non Muslim, labanya dipisahkan secara proposional berdasarkan prosi modal masing-masing, obejknya adalah aktiva lancar ditambah proffit/laba, termasuk hibah, donasi, royalti, hasil sewaan asset, selisih kurs/revaluasi aktiva. Bagi perusahaan yang tidak memilki income statement maka diperhitungkan secara taksiran, acuannya adalah annual report basis, deviden yang telah dikeluarkan zakatnya dapat diperhitungkan sebagai komponen zakat yang diperhitungkan. Kompensasi kerugian tahun lalu tidak dapat dikurangkan pada penghasilan tahun berjalan, nisabnya setara dengan delapan puluh lima gram emas dan besarnya sebesar 2,5% dan diperkenankan membayar zakat dengan zakat cicilan.

Beberapa penelitian terdahulu terkait hubungan pajak dan zakat antara lain sebagai berikut: Fadlullah (2001); menyimpulkan bahwa zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang berbeda tetapi memilki tujuan yang sama yaitu untuk mensejahterakan umat dan bangsa.

Hidayat; (2002); menyimpulkan bahwa kebijakan zakat hanya sebagai pengurang pajak bagi umat Islam harus dilihat sebagai kontribusi umat bagi pembangunan bangsa sedangkan umat lain harus melihat sebagai satu upaya mencari alternatif bagi pembangunan bangsa Indonesia, di sampaing itu sebaliknya adanya sinkronisasi antara pajak dan zakat dalam pengaturannya.

Alasan Zakat Belum Ditetapkan Sebagai Pengurang Pajak

Dikutip dari Republika.com, Menteri Keuangan, Agus Martowardojo mengatakan bahwa memasukan zakat sebagai faktor pengurang pajak dalam RUU Pengelolaan Zakat adalah langkah yang kurang tepat dan kurang perlu untuk dilakukan sekarang. Hal yang senada pun disampaikan oleh Direktur Jendral Pajak, M. Tjiptardjo, menurutnya alasan zakat tidak perlu masuk sebagai pengurang pajak karena sudah diakomodasi dalam undang-undang perpajakan yang sudah ada sebelumnya. Beliau menjelaskan dalam UU Perpajakan sudah mengakomodasi kewajiban membayar zakat di kalangan umat Islam. Di dalam UU tersebut zakat digunakan sebagai faktor pengurang penghasilan bruto wajib pajak. Lanjutnya beliau mengatakan zakat merupakan kewajiban religius, bukan kewajiban bernegara. Implikasinya zakat dan pajak merupakan dua entitas yang berbeda sehingga harus ditarik secara terpisah.

Dari sumber lain mengatakan agar zakat dapa dibiayakan (diperhitungkan sebagai pengurang) menurut pasal sembilan undang-undang nomor tiga puluh enam tahun dua ribu delapan adalah yang dibayarkan kepada Badan Amil Zakat ataupun Lembaga Amil Zakat telah disahkan oleh pemerintah. Maka menurut kondisi ini zakat fitrah tidak dapat dimasukkan jika diinginkan zakat sebagai pengurang pajak karena kebanyakan zakat fitrah dilakukan atau dibayarkan kepada lemebaga amil zakat yang besifat individu ataupun lokal ataupun diberikan langsung kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Oleh karena itu dapat disimpulkan kendala lain yang menyebabkan zakat belum bisa dijadikan sebagai faktor pengurang pajak akibat kompleksitas sistem pengumpulan zakat yang masih terbagi-bagi. Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasi zakat dan pajak dalam meningkat kesejahteraan masyarakat Indonesia antara lain:

 Pertama, merumuskan kembali undang-undang yang mengatur tentang zakat sebagai pengurang pajak. Karena dengan undang-undang perpajakkan yang ada belum terbukti secara efektif meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak maupun membayar zakat. Dengan undang-undang yang ada penulis menilai seorang warga negara merasa diberatkan pada dua kewajiban yakni wajib pajak dan wajib zakat. Jika pajak yang dikenakan kepada penghasilan kena pajak lalu dikurangi oleh besarnya zakat yang telah dibayarkan maka penulis menilai akan meringankan beban kewajibannya sebagai warga negara sekaligus sebagai seorang muslim yang mencoba menerapkan nilai-nilai religusnya di kehidupannya sehari-hari. Seperti yang sudah dilakukan oleh Malaysia yang mana dalam undang-undang Pajak Penghasilan 1967 pasal 6 A ayat

3 yang mengatur bahwa seorang individu yang menerima pendapatan selain perniagaan membuat bukti pembayaran kepada badan atau lembaga zakat yang telah disetujui nagara akan mendapat potongan atas zakat yang telah dibayarkan individu tersebut dengan syarat zakat tersebut tidak 3 yang mengatur bahwa seorang individu yang menerima pendapatan selain perniagaan membuat bukti pembayaran kepada badan atau lembaga zakat yang telah disetujui nagara akan mendapat potongan atas zakat yang telah dibayarkan individu tersebut dengan syarat zakat tersebut tidak

 Kedua, masih berkaitan dengan regulasi, penulis menilai perlu dibuat peraturan yang mengatur pemusatan pengumpulan zakat kepada BAZ dan LAZ yang sudah ada. Hal ini perlu dilakukan karena mayoritas masyarakat Indonesia membayarkan zakatnya kepada amil lokal atau langsung kepada orang yang berhak menerimanya. Ini mengakibatkan fungsi dari zakat yang makin menyempit dari tahun ke tahun. Padahal fungsi atau tujuan zakat bukan hanya terpusat pada delapan asnaf yang telah dirumuskan oleh Al Quran tapi juga mempunyai fungsi sosial seperti pembangunan sarana dan prasarana negara contohnya sekolah dan lain sebagainya. Hal ini dilatarbelakangi dari fakta yang ada yang mana jikapara amil diwajibakan melaporkan laporan pengunpulan dana zakat, tidak dapat memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ekstrimnya dikhawatirkan membentuk masyarakat Indonesia yang konsumtif seperti yang terjadi pada kebijakan pemerintah mengenai BLT (Bantuan Langsung Tunai).