PERBEDAAN NILAI APE PEKERJA TERPAPAR DEBU PEMBAKARAN BATU BATA DIBANDINGKAN PENDUDUK SEKITAR DI MOJOLABAN SUKOHARJO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BATU BATA DIBANDINGKAN PENDUDUK SEKITAR DI MOJOLABAN SUKOHARJO SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran RIZKA FAJRI ANGGRAENI

G 0009187

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2013

Skripsi dengan judul: Perbedaan Nilai APE Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata Dibandingkan Penduduk Sekitar di Mojolaban Sukoharjo

Rizka Fajri Anggraeni, NIM: G.0009187, Tahun: 2013

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari Rabu, Tanggal 30 Januari 2013

Pembimbing Utama

Nama : Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P(K) NIP : 19570315 198312 1 002

Pembimbing Pendamping

Nama : Sumardiyono, SKM., M.Kes NIP : 19650706 198803 1 002

Penguji Utama

Nama : Dr. Reviono, dr., Sp.P(K) NIP : 19651030 200312 1 001

Anggota Penguji

Nama : Novi Primadewi, dr., Sp.THT-KL, M.Kes NIP : 19751129 200812 2 002

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Januari 2013

Rizka Fajri Anggraeni NIM. G0009187

Rizka Fajri Anggraeni, G0009187, 2013. Perbedaan Nilai APE Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata Dibandingkan Penduduk Sekitar di Mojolaban Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Perkembangan industri perumahan di Indonesia ditunjang dengan adanya pasokan bahan bangunan, salah satunya batu bata. Dalam proses pembuatan batu bata dihasilkan debu hasil pembakaran yang dapat menyebabkan obstruksi saluran pernafasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilaksanakan di Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo. Subjek penelitian ini adalah pekerja pembuat batu bata yang terpapar debu pembakaran batu bata dan penduduk sekitar di Mojolaban, Sukoharjo. Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposive random sampling dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Data diperoleh melalui pengisian kuesioner dan pengukuran nilai APE menggunakan Mini Wright Peak Flow Meter . Data dianalisis menggunakan uji normalitas data Shapiro-Wilk dan uji independent t-test melalui program SPSS 17.00 for Windows. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah p < 0,05.

Hasil Penelitian: Rata-rata presentase nilai APE kelompok pekerja terpapar debu pembakaran batu bata sebesar 35,79%. Sedangkan rata-rata presentase nilai APE kelompok penduduk sekitar adalah 52,88%. Hasil uji statistik independent t-test didapatkan p = 0,001 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata presentase nilai APE pekerja pembuat batu bata yang terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan nilai APE yang bermakna antara pekerja terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo. ______________________________________________________________

Kata kunci : APE, pekerja, debu pembakaran batu bata

Rizka Fajri Anggraeni, G0009187, 2013. The Difference of PEF Value between Workers Exposed Dust of Brick Kiln and Inhabitant Around in Mojolaban Sukoharjo. Mini Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University,

Surakarta.

Background: The development of housing industry in Indonesia is supported by the supply of building materials, one of them is brick. The manufacture of brick generated dust from burning which can cause airway obstruction. The purpose of this study is to determine whether there is the difference of Peak Expiratory Flow (PEF) value between workers exposed dust of brick kilns and inhabitant around in Mojolaban Sukoharjo.

Methods: This research used analytic observational method with cross sectional approach that had been done in the District Mojolaban, Sukoharjo. The subjects were brick-making workers exposed dust of brick kiln and inhabitant around in Mojolaban, Sukoharjo. Sampling was conducted by purposive random sampling with inclusion and exclusion criterias. Data were obtained through questionnaires and measurements of PEF values using the Mini Wright Peak Flow Meter. Data were analyzed using Shapiro-Wilk test and independent t-test with SPSS 17.00 for Windows. The degree of significance used was p < 0,05.

Results: The average percentage of PEF for workers exposed dust of brick kiln group was 35,79%. While the average percentage of PEF for the inhabitant around group was 52,88%. The statistical result of independent t-test was p = 0,001 (p < 0,05). These results showed there was a significant difference of the PEF average percentages between brick-making workers exposed dust of brick kiln and inhabitant around in Mojolaban Sukoharjo.

Conclusions: There is a significant difference of PEF values between workers exposed dust of brick kilns and the inhabitant around in Mojolaban Sukoharjo.

Keywords: PEF, workers, dust of brick kiln

Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kemudahan, kesabaran dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Perbedaan Nilai APE Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata Dibandingkan Penduduk Sekitar di Mojolaban Sukoharjo”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM , selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi beserta Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P(K), selaku pembimbing utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

4. Sumardiyono, SKM, M.Kes., selaku pembimbing pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

5. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K), selaku penguji utama yang telah memberikan bimbingan dan nasihat.

6. Novi Primadewi, dr., Sp.THT-KL, M.Kes., selaku anggota penguji yang telah memberikan bimbingan dan nasihat.

7. Perangkat Desa Joho dan Desa Plumbon yang telah membantu pengumpulan data skripsi.

8. Seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

9. Adhi, Mustiqa, Farida, Nita, Aldila, Qonita, dan teman-teman 2009 yang telah membantu, menemani dan memberi semangat.

10. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis yakin bahwa tulisan ini belum sempurna dan masih perlu banyak

perbaikan, oleh karena itu saran, pendapat, koreksi dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi dapat bermanfaat.

Surakarta, Januari 2013

Rizka Fajri Anggraeni

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur pada Pekerja

Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar .......... 29

Tabel 4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Tinggi Badan pada Pekerja Terpapar

Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar ......................... 29

Tabel 4.3. Hasil Uji Statistik Perbedaan Umur dan Tinggi Badan pada Pekerja

Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar .......... 30

Tabel 4.4. Rata-Rata Nilai APE dan Presentase APE Terhadap Nilai Prediksi dan

Standar Deviasi pada Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar......................................................................... 31

Gambar 1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 18 Gambar 2. Rancangan Penelitian ........................................................................ 21

Lampiran 1. Lembar Penjelasan untuk Responden Lampiran 2. Informed Consent

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Lampiran 4. Data Pengukuran APE Pekerja yang Terpapar Debu Pembakaran

Batu Bata

Lampiran 5. Data Pengukuran APE Penduduk Sekitar Lampiran 6. Hasil Analisis Data Penelitian Lampiran 7. Foto Kegiatan Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tuntutan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia semakin meningkat. Begitu juga di Indonesia di mana berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia mencapai 230 juta jiwa (BPS, 2011). Menurut Todaro dalam Zoebar (2004), kebutuhan dasar manusia meliputi perumahan, makanan, kesehatan dan perlindungan. Perumahan menjadi kebutuhan dasar bagi kesejahteraan fisik, psikologi, sosial dan ekonomi suatu negara. Industri perumahan di Indonesia pun semakin berkembang sejalan dengan kebutuhan perumahan yang meningkat. Berkembangnya industri perumahan salah satunya ditunjang dengan adanya pasokan bahan bangunan, termasuk di dalamnya adalah batu bata (Zoebar, 2004). Industri pembuatan batu bata merupakan salah satu industri rumah tangga yang masih sering ditemukan di Indonesia. Dalam suatu daerah yang menjalankan industri rumah tangga membuat batu bata, hampir setiap rumah pada daerah tersebut merupakan pembuat batu bata (Masrah, 2009).

Proses pengerjaan batu bata pada industri rumah tangga dimulai dari pencampuran bahan-bahan yang diperlukan, seperti tanah liat, sekam dan air. Adonan kemudian dicetak dalam ukuran tertentu dan dijemur supaya kering. Setelah itu tanah liat dibakar hingga berwarna merah. Batu bata dibakar pada

pembuatan batu bata dihasilkan debu hasil pembakaran. Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran napas dapat menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat mengakibatkan penyumbatan jalan napas, sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang terus-menerus dapat menurunkan faal paru berupa obstruksi (Yulaekah, 2007). Paparan aerosol yang mengandung partikel tanah liat jangka panjang berhubungan dengan kerusakan fungsi dan struktur paru (Muhle dan Mangelsdorf, 2003; WHO, 2005).

Arus Puncak Ekspirasi (APE) merupakan aliran udara maksimal yang dicapai saat ekspirasi maksimal pada kapasitas paru total dan menjadi parameter penting untuk memonitor jalan nafas (Omar et al., 2005). APE menggambarkan seberapa kuat kekuatan seseorang mengeluarkan udara melalui ekspirasi maksimal (Santosa et al., 2004). APE dapat diukur menggunakan alat Mini Wright Peak Flow Meter. Mini Wright Peak Flow Meter adalah modifikasi dari Wright Peak Flow Meter, salah satu alat baku yang dipakai untuk mengukur APE. Alat ini menjadi cara alternatif pengukuran APE yang ringkas, mudah dibawa, dan mudah digunakan (Siregar, 2007). Pengukuran menggunakan Mini Wright Peak Flow Meter merupakan pemeriksaan yang sederhana dan menjadi cara deteksi dini penurunan fungsi paru (Yunus, 1993).

Mojolaban merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukoharjo. Pada kecamatan ini terdapat desa yang mayoritas penduduknya menjalankan Mojolaban merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukoharjo. Pada kecamatan ini terdapat desa yang mayoritas penduduknya menjalankan

kerja kurang mendapat perhatian (Yulaekah, 2007). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan nilai APE pekerja terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan nilai APE pekerja terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

Mengetahui nilai Arus Puncak Ekspirasi pada pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata dan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat menjadi bukti empiris mengenai perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata dengan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam usaha promotif dan preventif terhadap timbulnya gangguan pernafasan pada pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

a. Anatomi Sistem Pernapasan

Udara mencapai paru dengan melewati saluran penghantar udara yang meliputi hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Ketika udara pertama kali masuk hidung, udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Permukaan hidung dilapisi oleh epitel torak berlapis, bersilia, dan bersel goblet. Sel goblet dan kelenjar mukosa menghasilkan lapisan mukus yang menyaring partikel debu halus yang terhirup, sedangkan partikel kasar akan disaring oleh rambut-rambut dalam rongga hidung (Price dan Wilson, 2006).

Udara mengalir dari faring menuju laring. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Di antara pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga yang bermuara di dalam trakea dinamakan glotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai pelindung jauh lebih penting. Epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam esofagus. Namun jika benda asing masih mampu Udara mengalir dari faring menuju laring. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Di antara pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga yang bermuara di dalam trakea dinamakan glotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai pelindung jauh lebih penting. Epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam esofagus. Namun jika benda asing masih mampu

Trakea merupakan lapisan dari laring yang dibentuk dari susunan tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda. Trakea dilapisi epitel bertingkat dengan silia dan sel goblet. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan disebut karina. Jika karina dirangsang, dapat menimbulkan bronkospasme maupun batuk. Bronkus utama kanan berbeda dengan yang kiri, di mana bronkus kanan lebih lebar dan pendek. Bronkus kanan merupakan kelanjutan trakea yang arahnya lebih vertikal dibandingkan dengan bronkus kiri yang cenderung memiliki sudut yang lebih tajam (Price dan Wilson, 2006).

Bronkus utama masing-masing bercabang menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan berjalan terus hingga menjadi bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis

dikelilingi oleh otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan sakus alveolaris terminalis. Asinus merupakan unit fungsional paru di mana terjadi pertukaran gas pada bagian tersebut. Alveolus sering ditemukan pada dinding ductus alveolaris. Terdapat kurang lebih 300 juta alveolus. Alveolus merupakan gelembung gas yang dikelilingi oleh kapiler. Batas dari cairan dan gas membentuk tegangan dikelilingi oleh otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, ductus alveolaris, dan sakus alveolaris terminalis. Asinus merupakan unit fungsional paru di mana terjadi pertukaran gas pada bagian tersebut. Alveolus sering ditemukan pada dinding ductus alveolaris. Terdapat kurang lebih 300 juta alveolus. Alveolus merupakan gelembung gas yang dikelilingi oleh kapiler. Batas dari cairan dan gas membentuk tegangan

b. Fisiologi Paru

Paru berfungsi sebagai organ pernapasan. Pernapasan adalah proses oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi. Proses ini dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi paru, yaitu keluar dan masuknya gas di paru (Santosa et al., 2004). Udara keluar dan masuk paru karena terdapat selisih tekanan atmosfer dengan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Selanjutnya adalah proses difusi di mana terjadi pertukaran gas melintasi membran alveolus-kapiler tipis. Sedangkan stadium ketiga adalah perfusi. Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi dalam kapiler (Price dan Wilson, 2006).

2. Arus Puncak Ekspirasi

Pemeriksaan faal paru dilakukan untuk mengetahui kemampuan paru dalam menjalankan fungsinya sebagai organ respirasi. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.

masuk paru. Ada dua volume yang bisa diukur:

a. Volume statis misalnya:

1) Volume Tidal (VT) yaitu jumlah udara yang masuk dan keluar paru saat pernafasan biasa. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang dewasa.

2) Volume Cadangan Respirasi Ekspirasi (VCE) yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimal setelah ekspirasi biasa.

3) Volume Cadangan Respirasi Inspirasi (VCI) yaitu jumlah udara maksimal yang masih dapat dihirup setelah inspirasi biasa.

4) Volume Residu yaitu udara yang masih tersisa dalam paru setelah ekspirasi maksimal.

5) Kapasitas Inspirasi merupakan volume udara yang masuk paru setelah inspirasi maksimal. Sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal.

6) Kapasitas Vital (KV) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal.

7) Kapasitas Paru Total yaitu kapasitas vital ditambah volume sisa.

8) Kapasitas vital Paksa (KVP) sama dengan KV tapi dilakukan dengan cepat dan paksa.

b. Volume dinamis, misalnya:

1) Volume Ekspirasi Paksa detik Pertama (VEP1) yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam satu detik 1) Volume Ekspirasi Paksa detik Pertama (VEP1) yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam satu detik

2) Arus Puncak Ekspirasi (APE) yaitu jumlah aliran udara maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang diukur dengan peak flow meter atau spirometer (Rasmin et al., 2001). Spirometer merupakan pemeriksaan gold standard pada pemeriksaan penunjang paru. Bila spirometer tidak tersedia maka dapat digunakan peak flow meter (Maranatha, 2004). Nilai APE dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, umur, tinggi badan,

dan kebiasaan merokok. Pemeriksaan APE bertujuan untuk mengukur secara objektif arus udara pada saluran napas besar (Rasmin et al., 2001). Pemeriksaan APE dapat menjadi parameter untuk memonitor obstruksi jalan nafas (Omar, 2005). APE dapat diukur menggunakan spirometer, pneumotachometer, maupun peak flow meter (Siregar, 2007). Peak flow meter hanya dapat mengukur APE namun cukup memadai untuk pemantauan penyakit paru obstruktif. Pengukuran APE dapat dilakukan sendiri. Mini Wright Peak Flow Meter adalah modifikasi Wright Peak Flow Meter , salah satu alat baku yang dipakai untuk mengukur APE. Alat ini menjadi cara alternatif pengukuran APE yang ringkas, mudah dibawa, dan mudah digunakan (Siregar, 2007).

a. Obstruksi, jika hasil APE ukur < 80% dari nilai prediksi atau pada orang dewasa jika didapatkan nilai APE < 200 liter/menit

b. Obstruksi akut, jika hasil APE ukur < 80% dari nilai terbaik

c. APE variasi harian, dihitung dengan cara (nilai tertinggi-nilai terendah)/nilai tertinggi x 100%. Jika didapatkan nilai > 15% maka dianggap obstruksi saluran napas yang ada belum terkontrol.

Arus Puncak Ekspirasi (APE) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor Host

1) Umur

Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah atau meningkat volumenya dan mencapai maksimal pada umur 19-21 tahun, setelah itu nilai faal paru terus menurun sesuai bertambahnya umur (Yunus, 2003). Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja (Yunus, 1997).

2) Jenis Kelamin

Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin amat penting karena secara biologis berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sesudah pubertas anak laki-laki menunjukkan kapasitas faal paru yang lebih besar daripada perempuan. Kapasitas vital rata-rata pria Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin amat penting karena secara biologis berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sesudah pubertas anak laki-laki menunjukkan kapasitas faal paru yang lebih besar daripada perempuan. Kapasitas vital rata-rata pria

3) Ras

Di Indonesia belum ada data yang dapat menerangkan adanya perbedaan anatomis rongga dada pada masing-masing suku di Indonesia yang mempengaruhi faal parunya.

4) Tinggi Badan

Semakin tinggi badan seseorang kapasitas parunya semakin baik karena paru semakin luas (Mengkidi, 2006)

5) Kebiasaan Merokok

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease pada tahun 2001 menyebutkan bahwa rokok mengandung setidaknya 200 elemen yang berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan proses inflamasi, fibrosis, metaplasia sel goblet, hipertropi otot polos dan obstruksi jalan napas yang akhirnya mengakibatkan terganggunya faal paru (Santosa et al., 2004). Asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan gangguan refleks saluran napas, gangguan fungsi silier (siliotoksik) dan meningkatkan produksi mukus (Dastyawan, 2000).

1) Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

Alat pelindung diri adalah alat pelindung yang dipakai oleh pekerja agar aman dari bahaya maupun kecelakaan saat bekerja. APD yang baik dipakai pada lingkungan kerja yang memiliki paparan debu yang tinggi adalah masker dan respirator. Pemakaian alat pelindung diri secara tidak sempurna dapat melindungi tubuh namun dapat mengurangi tingkat keparahan (Mengkidi, 2006).

2) Polusi Udara

Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk ganguan faal paru. Bronkhitis kronis, emfesima dan asma sering ditemukan pada pekerja yang terpapar polusi udara. Kondisi ini ditandai dengan penurunan fungsi paru yaitu penurunan rata-rata VEP1 yang bermakna (Antaruddin, 2003).

3) Status Gizi

Status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Salah satu akibat kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan terhadap tekanan, sistem imunitas dan antibodi. Gizi yang kurang juga menurunkan kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing yang masuk dalam tubuh (Almatsier, 2004).

Proses pembuatan batu bata secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu menyiapkan bahan dasar, mencetak bentuk, kemudian membakarnya. Tanah yang digunakan adalah tanah liat yang terdapat pada lapis kedua, yaitu lapisan tanah yang tidak mengandung humus. Hal ini disebabkan jika mengandung humus, pada proses pembakaran batu bata mudah pecah. Tanah liat diberi air dan sekam kemudian dicampur sampai rata, sehingga cukup kental untuk dicetak.

Batu bata dicetak satu persatu dengan tangan pada cetakan kayu dengan ukuran tertentu di atas papan kayu maupun tanah yang kering. Bahan itu secara berkala dibasahi sampai lepas dari cetakannya, kurang lebih 15 menit. Setelah dicetak, batu bata yang masih basah dijemur di bawah sinar matahari selama kurang lebih tiga hari.

Proses pembakaran batu bata tidak dilakukan di dalam tungku, tetapi dengan susunan batu bata itu sendiri. Tanah yang akan digunakan sebagai tempat pembakaran batu bata dilapisi dengan jerami terlebih dulu

sebelum batu bata disusun supaya batu bata tidak melekat pada tanah. Batu bata yang sebelumnya telah kering dijemur di bawah sinar matahari, disusun kemudian pada susunan tersebut dimasukkan kayu serta sekam untuk bahan bakar. Susunan batu bata tersebut dibakar selama dua hingga tiga hari (Suwandi, 2008).

Tanah liat adalah bahan alam yang mengandung senyawa Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3), dan Tanah liat adalah bahan alam yang mengandung senyawa Silika Oksida (SiO2), Alumunium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3), dan

4. Debu Pembakaran Batu Bata

Asal pencemaran udara dapat diterangkan dengan 3 (tiga) proses, yaitu atrisi (attrition), penguapan (vaporization) dan pembakaran (combustion). Dari ketiga proses tersebut di atas, pembakaran merupakan proses yang sangat dominan dalam kemampuannya menimbulkan bahan polutan. Proses pembuatan batu bata menghasilkan debu pembakaran yang dapat menjadi polutan. Debu adalah zat partikel yang melayang di udara, disebabkan oleh kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pengepakan yang cepat, peledakan dan sebagainya dari bahan organik maupun anorganik (Suma’mur, 1986). Debu sering disebut suspended particulate matter yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Butiran debu yang dapat terhirup berukuran <10 mikron. Dengan ukuran tersebut, debu menjadi partikel suspensi dan lebih sulit mengendap (Mengkidi, 2006).

Debu dibedakan menjadi:

a. Dust, merupakan partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan.

merupkan hasil pembakaran tidak sempurna.

c. Fumes, merupakan partikel bentuk gas yang merupakan hasil dari proses sublimasi, distilasi atau reaksi kimia (Sucipto, 2007).

5. Patofisiologi Debu Pembakaran Batu Bata dalam Paru

Interaksi udara dengan paru berlangsung setiap saat melalui proses respirasi. Kualitas udara yang terhirup berpengaruh terhadap faal paru. Kualitas udara tergantung pada konsentrasi partikel-partikel asing yang terkandung di dalamnya. Pada udara tercemar, partikel debu polutan ikut terinhalasi dan sebagian akan masuk ke dalam paru dan akan mengendap di alveoli. Partikel debu yang mencapai alveoli biasanya berukuran kurang dari 0,5 mikron. Dengan adanya p engendapan partikel dalam alveoli, ada kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru (Mengkidi, 2006). Partikel debu yang berukuran lebih besar dapat menumpuk di saluran nafas.

Penumpukan dan pergerakkan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga akhirnya dapat menimbulkan obstruksi dan menurunkan fungsi paru (Depkes RI, 1993).

Ukuran, kelarutan , dan bentuk partikel akan berpengaruh dalam proses penimbunan debu dalam paru. Komponen kimia yang terkandung memiliki kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan sekitarnya. Demikian juga dengan keasaman dan tingkat alkalisitasnya yang tinggi yang dapat merusak silia. Bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan

(Wahyu, 2004).

6. Penyakit Akibat Kerja

Penyakit akibat kerja adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan kerja maupun pekerjaan (Sucipto, 2007). Untuk mengetahui dan mengevaluasi kemungkinan bahaya pada lingkungan kerja, perlu dilakukan pengenalan lingkungan kerja, evaluasi lingkungan kerja, dan pengendalian lingkungan kerja. Pengenalan lingkungan kerja dapat dilakukan dengan melihat dan mengenal lingkungan kerja. Setelah

itu dilanjutkan dengan penilaian karakteristik dan besarnya potensi bahaya yang mungkin timbul sebagai bentuk evaluasi lingkungan kerja. Pengendalian lingkungan kerja dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan terhadap agen yang berbahaya di lingkungan kerja (Anies, 2005).

Pekerja yang hidup di lingkungan tertentu dan menghirup udara yang tercemar memiliki risiko untuk menderita penyakit paru lingkungan. Penyakit paru lingkungan yang disebabkan oleh inhalasi kronis debu anorganik ataupun bahan-bahan partikel yang berasal dari udara lingkungan atau tempat kerja disebut pneumokoniosis. Pneumokoniosis banyak disebabkan oleh debu asbes, silika, batu - bara, berilium, bauksit, besi/baja dan lain-lain. Pekerja pembuat batu bata menghirup debu pembakaran batu bata dalam jangka waktu yang lama. Setelah terinhalasi, partikel debu akan melekat pada permukaan mukosa saluran nafas karena Pekerja yang hidup di lingkungan tertentu dan menghirup udara yang tercemar memiliki risiko untuk menderita penyakit paru lingkungan. Penyakit paru lingkungan yang disebabkan oleh inhalasi kronis debu anorganik ataupun bahan-bahan partikel yang berasal dari udara lingkungan atau tempat kerja disebut pneumokoniosis. Pneumokoniosis banyak disebabkan oleh debu asbes, silika, batu - bara, berilium, bauksit, besi/baja dan lain-lain. Pekerja pembuat batu bata menghirup debu pembakaran batu bata dalam jangka waktu yang lama. Setelah terinhalasi, partikel debu akan melekat pada permukaan mukosa saluran nafas karena

Hyatt et al. dalam Khumaidah (2009) menyebutkan bahwa pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun.

Penelitian Setyarini (1999) kepada pekerja batu di industri penggilingan batu Desa Ganggeng, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo memperoleh hasil adanya hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan nilai FVC dan FEV1 dengan koefisien korelasi negatif. Hal ini menunjukkan semakin lama bekerja maka nilai FVC dan FEV1.0 semakin turun. Nilai FVC dan FEV1 pada kelompok pekerja yang bekerja lebih dari empat tahun lebih rendah dibandingkan kelompok pekerja yang bekerja kurang dari dua tahun dan kelompok pekerja yang bekerja selama dua sampai empat tahun. Nilai FVC dan FEV1 dapat menunjukkan adanya obstruksi pada saluran pernafasan.

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pekerja terpapar debu pembakaran batu bata dengan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

penurunan nilai APE

Debu pada proses pembakaran batu bata

Penumpukan partikel debu pada saluran nafas

Timbul proses inflamasi kronis saluran nafas

Obstruksi saluran nafas

Debu terinhalasi dalam saluran nafas

Berlangsung >5tahun

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara observasional analitik dengan metode cross sectional .

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, pada tanggal 24 Desember 2012 hingga 7 Januari 2013.

C. Subjek Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah penduduk Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo yang memenuhi semua kriteria yang telah ditentukan. Kelompok yang diteliti adalah pekerja pembuat batu bata, sedangkan untuk kelompok kontrol adalah penduduk sekitar yang tidak bekerja sebagai pembuat batu bata. Kriteria penelitian meliputi:

1. Kriteria Inklusi

a. Laki-laki usia 22-60 tahun

b. Suku Bangsa Indonesia

c. Masa kerja 5 tahun atau lebih

d. Menandatangani surat persetujuan (informed consent) penelitian

2. Kriteria Eksklusi

a. Kebiasaan merokok a. Kebiasaan merokok

D. Sampel Penelitian

1. Teknik Sampling Pengambilan sampling pada penelitian ini diambil secara purposive random sampling .

2. Besar Sampel

Besar sampel (n) = 2 (Z 1- +Z 1- ) 2 (µ1-µ2) 2

Keterangan : n

: besar sampel

2 : variasi

Z 1-

: statistik Z (Z 1- 0,05)

Z 1- : statistik Z (Z 1- = 0,84 untuk power (p) sebesar 80%) µ1

: rata-rata APE kelompok pekerja yang terpapar debu pembakaran

batu bata

: rata-rata APE kelompok penduduk sekitar Penghitungan sampel dapat dilakukan dengan rumus di atas.

Namun belum ada data mengenai rata-rata APE kelompok yang terpapar debu pembakaran batu bata dan kelompok tidak terpapar debu pembakaran batu bata pada penelitian sebelumnya, maka penentuan jumlah sampel menggunakan patokan rule of thumb.

sebuah variabel dependen dan sebuah variabel independen, diambil berdasarkan teori rule of thumb menggunakan ukuran sampel sebesar minimal 30 subjek penelitian (Murti, 2006). Jadi sampel yang digunakan adalah 60 orang.

E. Rancangan Penelitian

Populasi

Sampel penelitian

Pekerja terpapar debu pembakaran batu bata

Penduduk sekitar

Nilai APE

Nilai APE

Presentase nilai APE Presentase nilai APE

Analisis data dengan uji independent t-test

1. Variabel Bebas : paparan debu pembakaran batu bata

2. Variabel Terikat : Arus Puncak Ekspirasi (APE)

3. Variabel Luar

a. Variabel luar terkendali : jenis kelamin, tinggi badan, ras, kebiasaan merokok, lama kerja, riwayat penyakit paru atau penyakit paru sekarang (misal: asma, kanker paru, dan PPOK)

b. Variabel luar tak terkendali : umur, faktor genetik, nutrisi, pemakaian alat pelindung diri, paparan polusi

G. Definisi Operasional Variabel

1. Debu Pembakaran Batu Bata

a. Definisi : Debu pembakaran batu bata adalah zat partikel hasil pembakaran batu bata.

b. Alat Pengukuran : Kuesioner

c. Hasil

1) Pekerja terpapar debu pembakaran: Orang yang bekerja sebagai pembuat batu bata dan secara langsung menghirup debu pembakaran batu bata

2) Penduduk sekitar : Orang yang tidak bekerja sebagai pembuat batu bata, bertempat tinggal minimal radius 5 km dari tempat pembuatan batu bata, tidak secara langsung menghirup debu pembakaran batu bata

d. Skala Pengukuran : Nominal d. Skala Pengukuran : Nominal

b. Alat Pengukuran : Mini Wright Peak Flow Meter

c. Skala Pengukuran : Rasio

3. Jenis Kelamin

a. Definisi : Jenis kelamin meliputi laki laki dan perempuan

b. Alat Pengukuran : Kuesioner

c. Hasil : Laki-laki dan perempuan

d. Skala Pengukuran : Nominal

4. Tinggi Badan

a. Definisi : Tinggi badan diukur dari ujung atas kepala sampai telapak kaki tanpa menggunakan alas kaki

b. Alat Pengukuran : Alat pengukur tinggi badan/microtoise

c. Hasil : Dalam sentimeter

d. Skala Pengukuran : Rasio

5. Lama kerja

a. Definisi : Lama kerja sampel adalah lama waktu sampel bekerja sampai penelitian dilakukan

b. Alat Pengukuran : Kuesioner

c. Hasil : Dalam tahun

d. Skala Pengukuran : Rasio d. Skala Pengukuran : Rasio

b. Alat Pengukuran : Kuesioner

c. Skala Pengukuran : Nominal

7. Kebiasaan Merokok

a. Definisi : Merokok lebih dari 20 bungkus per tahun atau satu batang rokok per hari selama satu tahun dan masih merokok sampai satu tahun terakhir.

b. Alat Pengukuran : Kuesioner

c. Hasil : Merokok dan tidak merokok

d. Skala Pengukuran : Nominal

8. Riwayat penyakit paru dan atau sedang menderita penyakit paru yang menyebabkan obstruksi saluran nafas, misalnya asma, kanker paru, dan PPOK.

a. Definisi

1) Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari.

2) Kanker paru adalah semua penyakit keganasan di paru.

3) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran pernafasan.

b. Alat Pengukuran : Kuesioner

1) Memiliki riwayat dan/atau sedang menderita penyakit paru yang menyebabkan obstruksi saluran nafas

2) Tidak memiliki riwayat dan/atau sedang menderita penyakit paru yang menyebabkan obstruksi saluran nafas

d. Skala Pengukuran : Nominal

H. Instrumen Penelitian

1. Mini Wright Peak Flow Meter

2. Tabel normal APE berdasarkan tim IPP 1992

3. Kapas dan alkohol

4. Kuesioner

5. Alat pengukur tinggi badan (Microtoise)

I. Cara Kerja

1. Sampel penelitian diminta mengisi kuesioner.

2. Mengukur tinggi badan sampel penelitian dengan berdiri tegak tanpa alas kaki.

3. Pemeriksaan APE:

a. Sampel penelitian diperiksa dengan posisi tegak.

b. Skala pengukuran pada alat harus dibuat nol.

c. Sampel penelitian diajarkan manuver meniup yang benar.

d. Sampel melakukan manuver, dengan menghirup udara sebanyak mungkin dengan cepat kemudian meletakkan alat pada mulut dan bibir dikatupkan di sekeliling mouthpiece, udara dikeluarkan dengan

Pastikan tidak ada kebocoran.

e. Pemeriksaan dilakukan tiga kali dan diambil yang tertinggi.

f. Manuver tidak bisa diterima bila batuk, dan mengakhiri sebelum saatnya selesai.

g. Membaca hasil pengukuran APE pada peak flow meter (dalam liter/menit).

h. Berdasarkan umur dan tinggi badan sampel penelitian, dibaca nilai APE prediksi pada tabel normal APE berdasarkan penelitian tim IPP 1992.

i. Presentase APE diukur terhadap APE prediksi: Presentase APE = Nilai APE ukur (liter/menit) x 100%

Nilai APE prediksi (liter/menit)

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan uji independent t-test, Karena independent t-test merupakan uji parametrik, maka sebelumnya dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk. Data akan diolah dengan menggunakan program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 17.00 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan dengan penduduk sekitarnya di Mojolaban Sukoharjo merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 Desember 2012 hingga 7 Januari 2013. Dalam penelitian ini diperoleh sampel sebanyak 60 orang laki laki, yang terdiri dari 30 pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata yang bekerja lebih dari atau sama dengan lima tahun dan 30 penduduk yang tidak bekerja sebagai pembuat batu bata. Sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan. Penelitian ini telah mendapat izin dari perangkat desa setempat dan dilakukan dengan sukarela oleh semua sampel.

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Dari 15 desa di Kecamatan Mojolaban, yang mayoritas penduduknya menjalankan industri rumah tangga membuat batu bata adalah Desa Joho. Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Desa Joho mencapai 7.141 jiwa. Hampir sepertiga dari jumlah penduduk usia produktif

di Desa Joho bekerja sebagai pembuat batu bata. Pengerjaan batu bata dilakukan di halaman depan rumah penduduk masing-masing. Meski proses pembuatan batu bata menghasilkan debu pembakaran, masih ada penduduk

bekerja. Lokasi penelitian selanjutnya adalah Desa Plumbon, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Desa Plumbon tidak berbatasan langsung dengan Desa Joho, melainkan terdapat Desa Dukuh yang memisahkan kedua desa tersebut. Baik di Desa Dukuh maupun Desa Plumbon tidak ada penduduk yang bekerja sebagai pembuat batu bata. Sampel untuk kelompok kontrol diambil dari Desa Plumbon yang terletak lebih dari 5 km dari Desa Joho dengan tujuan menurunkan kemungkinan penduduk yang menjadi sampel menghirup debu pembakaran batu bata secara langsung.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No: 35/M-IND/PER/3/2010, jarak lokasi kegiatan industri yang ideal terhadap pemukiman minimal 2 km dari lokasi kegiatan industri (Tarigan, 2012). Ahmadi dalam Sucipto (2007) menyebutkan bahwa semakin jauh dari sumber pencemar partikel debu semakin menurun bahkan pada radius tertentu tidak mengganggu yaitu tingkat partikel debu pada jarak 50 m sebesar 2,150

mg/m 3 , jarak 100 m sebesar 1,103 mg/m 3 dan jarak 150 m sebesar 0,754

mg/m 3 .

Dari pengisian kuesioner dan pemeriksaan diperoleh hasil yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur pada Pekerja

Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar

Umur

Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata

Penduduk Sekitar

Frekuensi

Presentase(%)

Frekuensi Presentase(%) 22-26

Tabel 4.1. menunjukkan umur sampel dari 22 tahun hingga 60 tahun. Dari tabel tersebut diketahui umur sampel pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata paling banyak terdapat pada rentang 37-41 tahun dan 52-56 tahun yaitu sebanyak 20%. Sedangkan umur sampel penduduk sekitar paling banyak terdapat pada rentang 27-31 tahun sebesar 20%. Tabel 4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Tinggi Badan pada Pekerja

Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar

Tinggi Badan(cm)

Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata

Penduduk Sekitar

Frekuensi

Presentase(%) Frekuensi

Presentase(%) 151-155

0 0 4 13,33 156-160

7 23,33 161-165

5 16,67 166-170

6 20 6 20 171-175

8 26,67 Jumlah

C. Hasil Uji Statistik

Tabel 4.3. Hasil Uji Statistik Perbedaan Umur dan Tinggi Badan pada Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar

Variabel

Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata

Penduduk Sekitar Nilai p

Tinggi badan

Rata-rata umur dan Standar Deviasi sampel tiap kelompok adalah 45,07 + 10,069 dan 39,30 + 11,727. Dengan menggunakan uji statistik independent t-test , didapatkan nilai p = 0,046 (p < 0,05). Sedangkan rata-rata tinggi badan dan Standar Deviasi sampel pada masing-masing kelompok adalah 164,60 + 5,243 dan 164,30 + 6,481. Melalui uji statistik independent t- test , didapatkan nilai p = 0,844 (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada pekerja yang terpapar debu pembakaran batu Rata-rata umur dan Standar Deviasi sampel tiap kelompok adalah 45,07 + 10,069 dan 39,30 + 11,727. Dengan menggunakan uji statistik independent t-test , didapatkan nilai p = 0,046 (p < 0,05). Sedangkan rata-rata tinggi badan dan Standar Deviasi sampel pada masing-masing kelompok adalah 164,60 + 5,243 dan 164,30 + 6,481. Melalui uji statistik independent t- test , didapatkan nilai p = 0,844 (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada pekerja yang terpapar debu pembakaran batu

dan Standar Deviasi pada Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata dan Penduduk Sekitar

Hasil Pengukuran

Pekerja Terpapar Debu Pembakaran Batu Bata

Penduduk Sekitar

Nilai APE ukur (liter/menit)

321,83 + 119,427 Presentase APE ukur

terhadap APE prediksi(%)

Tabel 4.4. menunjukkan rata-rata hasil pengukuran APE dan Standar Deviasi pada kedua kelompok sampel. Pada tabel di atas diketahui bahwa rata-rata nilai APE dan presentase nilai APE ukur terhadap APE prediksi pekerja yang terpapar debu pembakaran batu bata lebih rendah dibandingkan penduduk sekitar.

D. Analisis Data

Uji statistik independent t-test digunakan untuk membandingkan rata- rata dua kelompok. Uji ini dapat digunakan dengan syarat distribusi data harus normal, kedua kelompok berbeda, dan variabel yang dihubungkan adalah numerik (Riyanto, 2009). Uji normalitas dengan Shapiro-Wilk digunakan untuk mengetahui normalitas sebaran data pada penelitian dengan jumlah sampel kurang dari 50. Melalui uji Shapiro-Wilk terhadap presentase nilai APE masing-masing kelompok didapatkan nilai p = 0,103 pada Uji statistik independent t-test digunakan untuk membandingkan rata- rata dua kelompok. Uji ini dapat digunakan dengan syarat distribusi data harus normal, kedua kelompok berbeda, dan variabel yang dihubungkan adalah numerik (Riyanto, 2009). Uji normalitas dengan Shapiro-Wilk digunakan untuk mengetahui normalitas sebaran data pada penelitian dengan jumlah sampel kurang dari 50. Melalui uji Shapiro-Wilk terhadap presentase nilai APE masing-masing kelompok didapatkan nilai p = 0,103 pada

Hasil uji statistik independent t-test didapatkan nilai t = 3,988 dan p = 0,001 (p < 0,05) maka Ho ditolak yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata presentase nilai APE pekerja pembuat batu bata yang terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan penduduk sekitar. Rata- rata presentase nilai APE pekerja pembuat batu bata yang terpapar debu pembakaran batu bata lebih rendah dibandingkan rata-rata presentase nilai APE penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo.

PEMBAHASAN

Penelitian mengenai perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada pekerja terpapar debu pembakaran batu bata dibandingkan dengan penduduk sekitar di Mojolaban Sukoharjo dilaksanakan pada tanggal 24 Desember 2012 hingga 7 Januari 2013. Sampel yang dikumpulkan terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok pekerja terpapar debu pembakaran batu bata yang diambil dari penduduk pada salah satu desa di Mojolaban Sukoharjo yaitu Desa Joho. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk di Desa Joho bermatapencaharian sebagai pembuat batu bata. Penduduk yang menjadi sampel dalam kelompok pertama adalah penduduk yang sudah bekerja sebagai pembuat bata selama lima tahun atau lebih. Kelompok kedua adalah penduduk yang tidak bekerja sebagai pembuat batu bata dan tinggal minimal 5 km dari tempat pembuatan batu bata. Kriteria ini digunakan untuk menurunkan kemungkinan penduduk sekitar yang menjadi sampel penelitian menghirup debu pembakaran batu bata secara langsung.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki dan perempuan berbeda secara biologis. Kapasitas vital paru laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan (Antaruddin, 2003). Selain itu pemilihan laki-laki sebagai sampel juga bertujuan untuk menghomogenkan sampel sehingga memudahkan dalam pengambilan simpulan.

penelitian ini sampel yang dipilih adalah penduduk suku Bangsa Indonesia meskipun di Indonesia terdapat berbagai macam suku. Hal ini disebabkan belum ada data mengenai perbedaan anatomis rongga dada masing-masing suku di Indonesia.

Pekerja yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pekerja pembuat batu bata yang sudah bekerja selama lima tahun atau lebih. Penelitian oleh Setyarini (1999) kepada pekerja batu di industri penggilingan batu Desa Ganggeng, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo memperoleh hasil adanya hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan nilai FVC dan FEV1 dengan koefisien korelasi negatif yang berarti semakin lama bekerja maka nilai FVC dan FEV1.0 semakin turun. Nilai FVC dan FEV1 dapat menunjukkan adanya obstruksi dalam saluran pernafasan. Nilai FVC dan FEV1 pada kelompok pekerja yang bekerja lebih dari 4 tahun lebih rendah dibandingkan kelompok pekerja yang bekerja kurang dari 2 tahun dan kelompok pekerja yang bekerja selama 2-4 tahun.