BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung diDesa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Secara geografis Indonesia merupakan kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia dan lempeng Samudra Pasifik atau terletak pada jalur subduksi yang merupakan zona kegempaan yang sangat aktif, dan akibat dari jalur tersebut muncul jalur gunung api aktif (ring of fire). Kondisi tersebut berpotensi sekaligus rawan bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, puting beliung, banjir dan tanah longsor. Data menunjukan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali kegempaan di Amerika Serikat.

  Selain itu wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam mampu menghasilkan kondisi tanah yang subur. Namun di sisi lain, berpotensi menimbulkan akibat buruk, seperti bencana. Seiring dengan perekembangan zaman, kerusakan lingkungan hidup cenderung parah dan memicu meningkatnya intesitas ancaman.

  Ancaman-ancaman itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan sistem penanggulangan yang sebelumnya bersifat sektoral menjadi sistem yang berlaku umum, mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non-pemerintah. Sistem ini ditetapkan dalam pedoman atau peraturan perundangan yaitu Undang- Undang No.24/ 2007. Pendapat tersebut sejalan dengan Syamsul dalam buku Sudibyakto (2012:1) bahwa pilar utama dalam penanggungan bencana alam adalah pengembangan kapasitas aparat pemerintah, masyarakat, dunia usaha, sektor swasta dan masyarakat akademisi dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana.

  Perubahan pandangan terhadap bencana ini diikuti dengan perubahan sistem penanggulangan bencana yang dianut oleh pemerintah selama ini.

  Penanggulangan bencana juga dibagi ke dalam tindakan, tanggung jawab dan wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah melalui kegiatan pembangunan, keamanan masyarakat, dan keamanan bantuan bagi penanggulangan bencana. Dengan kata lain jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di Indonesia bersifat tanggap darurat, maka melalui perundangan ini, mencakup semua fase dari kesiapsiagaan, tenggap darurat hingga pemulihan pasca bencana.

  Undang-undang tersebut juga memberikan kepastian hukum akan sistem penanggulangan bencana di Indonesia sehingga semua pihak memahami peran dan fungsi serta memiliki kepastian untuk mengambil tindakan terkait dengan PB untuk semua tahapan bencana. Perubahan lainnya adalah makin terintegrasinya penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan. Pendekatan lama tidak menjadikan bencana sebagai bagian dari perencanaan pembangunan. Sementara pendekatan baru telah mengintegrasikan bencana sebagai bagian dari pembangunan melalui pembentukan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang kemudian dijabarkan lagi di tingkat daerah dalam bentuk Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB). Sistem baru juga mengatur mekanisme kelembagaan dan pendanaan yang lebih terintegrasi. Sejak tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (yang kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2001).

  Rangkaian bencana yang dialami Indonesia sejak tahun 2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB). Melalui UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diamanatkan untuk pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kedua badan ini menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) dan Satuan Pelaksana (Satlak) di daerah.

  Perubahan juga terjadi dalam mekanisme anggaran. Sebelumnya ketika menggunakan mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing- masing departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan dana, pemerintah melalui ketua Bakornas Penanggulangan Bencana dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Mekanisme tersebut ternyata tidak dapat mengintegrasikan peranan masyarakat dan lembaga donor. Dengan adanya perubahan sistem, khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana, sejak itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD.

  Perubahan lainnya adalah pada peran masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat selalu diletakkan sebagai korban dengan partisipasi yang yang terbatas, dalam penanggulangan bencana, terutama pada tahap mitigasi, maka melalui undang-undang ini peran serta partisipasi masyarakat lebih diberi ruang.

  Keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana merupakan hak dan sekaligus kewajiban seperti diatur dalam Pasal 26 dan 27 ayat (1) UU No.

  24/2007 yang merumuskan hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana.

  Untuk lebih jelasnya perbandingan sistem lama dan sistem baru dapat di lihat secara lebih detail pada tabel1.1 berikut:

Tabel 1.1 Perbandingan Sistem Lama Dan Sistem Baru Dalam Penanggulangan Bencana No ASPEK SISTEM LAMA SISTEM BARU

  1. Dasar Hukum Bersifat sektoral Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah UU Nomor 24 tahun 2007.

  2. Paradigma Tanggap darurat Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi

  3. Lembaga Bakornas BNPB, BPBD Propinsi, BPBD Penanggulangan Kab/ Kota Bencana, Satkorlak dan Satlak

  4. Peran Terbatas Melibatkan masyarakat secara Masyarakat aktif

  5. Pembagian Sebagian besar Tanggung jawab pemerintah Tanggung Jawab Tanggung jawab pusat, propinsi dan kabupaten pemerintah pusat

  6. Belum menjadi Rencana Aksi Nasional Perencanaan

  Pembangunan bagian aspek Pengurangan Resiko Bencana perencanaan (RAN PRB)

  • Rencana Penanggulangan pembangunan Bencana (RPB)
  • Rencana Aksi Daerah Pengu rangan Resiko Bencana (RAD PRB)

  7. Pendekatan Kerentanan Analisa resiko (menggabungkan Mitigasi antara kerentanan dan kapasitas)

  8. Forum kerja Belum ada National Platform (akan) dan sama antar Provincial platform (akan) lembaga

  9. Alokasi Tanggung jawab Tergantung pada tingkatan Anggaran Pemerintah Pusat bencana

  10. Pedoman Terpecah dan Mengacu pada pedoman yang Penanggulangan bersifat sektoral dibuat BNPB dan BPBD bencana

  11. Keterkaitan Belum menjadi Aspek bencana sudah dengan Tata aspek yang diperhitungkan dalam Ruang diperhitungkan penyusunan tata ruang

  Sumber: Kharisma, dkk. 2012

  Penjelasan di atas sudah cukup menjelaskan bahwa Undang-Undang No.24/ 2007 merupakan suatu kebijakan yang memiliki konsep penanggulangan bencana yang amat baik namun sebaik apapun suatu kebijakan disusun akan menjadi percuma ketika implementasinya tidak dilakukan sesuai dengan dengan kebijakan yang dibuat. Implementasi kebijakan Undang-undang ini dapat dikatakan kurang baik, hal ini didukung oleh sebuah laporan hasil Roundtable

  Discussion dengan tema “Manajemen Penanganan Bencana di Jawa Tengah” yang

  telah dilaksanakan pada tanggal 15 September 2011 oleh Dewan Riset Jawa Tengah yang didapat bahwa: a. Pencegahan (prevention) Permasalahannya, kesadaran masyarakat secara umum masih rendah, kesadarannya masyarakat di daerah terdampak belum kuat, dan hidup damai di daerah bencana baru terjadi di daerah yang pernah didampingi (pilot project) yang belum melembaga di tengah masyarakat b. Mitigasi (mitigation)

  Mitigasi struktural pada daerah rawan bencana masih diperlukan peningkatan, mitigasi non-struktural pada daerah terdampak masih sedikit yang tercover dan masih belum memerhatikan kepentingan perempuan.

  c. Kesiapan (preparedness) Permasalahan yang diperoleh adalah belum mainstreaming gender.

  d. Peringatan Dini (early warning) Menjangkau masyarakat (accesible) , namun masyarakat belum tanggap, tegas tidak membingungkan (coherent) namun beberapa info simpang siur, bersifat resmi (official), tidak respipun tidak bisa dicegah karena faktor budaya, dan lambat direspon oleh kelompok rentan (perempuan, anak dan lansia).

  e. Tanggap Darurat (response) Respon masyarakat yang tidak terkena dampak bagus, koordinasi antar stakeholder masih lemah dan Mainstreaming gender masih lemah.

  f. Bantuan Darurat (relief) Penyediaan pangan, sandang, tempat tinggal sementara kesehatan cukup baik, untuk sanitasi dan air bersih masih kurang, partisipasi warga baik, namun beberapa temuan menunjukan tingkat empati masih kurang, koordinasi stakeholder kurang kuat, partisipasi warga yang bukan korban sangat baik dan belum responsif gender.

  g. Pemulihan (recovery) Proses recovery butuh waktu lama, recovery sosial dan kelembagaan lebih lambat, recovery penguatan kapasitas masyarakat lambat dan belum responsif gender dan koordinasi lemah.

  h. Rehabilitasi (rehabilitation) Prosesnya lama, rehabilitasi ekonomi lambat untuk wilayah tertentu, namun pada wilayah dengan etos kerja masyarakat yang baik bisa cepat, rehabilitasi sosial cepat dilakukan, partisipasi masyarakat bagus namun belum responsif gender. i. Rekonstruksi (reconstruction)

  Partisipasi masyarakat baik, lambat dilakukan, perencanaan belum banyak melibatkan masyarakat, pengembangan masyarakat butuh waktu lama, dan belum responsif gender.

  BNPB yang merupakan badan yang memiliki fungsi koordinasi dalam penanggulangan bencana di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan pekerjaan tersebut, maka BNPB telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang menginstruksikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menginstruksikan adanya pembuatan BPBD di setiap kabupaten/kota yang ada di Daerah. Namun, belum semua kabupaten/kota di Sumatera Utara yang telah memiliki BPBD, salah satunya Deli Serdang. Oleh karena itu Deli Serdang tetap menggunakan PP Nomor 83 Tahun 2005 yaitu memilih Bakesbang sebagai badan yang mengkoordinir penanggulangan bencana.

  Bakesbang mengkoordinir dinas-dinas yang ada di Deli Serdang untuk menanggulangi bencana.

  Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mengatur penanggulangan bencana apapun yang ada di Indonesia dan salah satu bencana yang diatur dalam kebijakan tersebut ialah bencana puting beliung. Bencana puting beliung merupakan fenomena atmosferik yang dalam istilah ilmiah disebut thunderstorm yang menerjang beberapa wilayah di Indonesia. Bencana ini telah menimbulkan korban dan kerugian yang cukup besar, untuk itu bencana ini perlu diketahui dan disosialisasikan kepada masyarakat, apa dan bagaimana proses kejadiaannya, kapan terjadi dan upaya mengurangi dampak akibat badai itu.

  Berdasarkan informasi dari BNPB menunjukan fenomena bencana puting beliung semakin menjadi-jadi di Indonesia. Dari 13 jenis bencana di Indonesia, bencana puting beliung adalah jenis bencana yang paling ekstrem peningkatan kejadiannya. Berdasarkan GEMA BNPB Februari 2013 terjadi bencana puting beliung sebanyak 35 kejadian dan tidak hanya jumlah kejadian yang meningkat namun korban materil dan korban jiwa juga meningkat. Hal itu dapat dilihat melalui tabel 1.2 yang ada di bawah ini:

  Tabel 1.2

Jumlah bencana di Indonesia dan dampaknya bulan Februari 2013

  Sumber: Gema BNPB Februari 2013

  Dampak yang ditimbulkan bencana puting beliung di Indonesia lebih besar dari pada dampak yang seharusnya ditimbulkan menurut Skala Fujita. Kecepatan pusaran puting beliung di Indonesia umumnya di bawah 115 kilometer per jam dari sisi skala, berada pada skala F0 atau terendah dari total enam skala. Namun berdasarkan dampak yang ditimbulkan bisa pada skala F1 (di antara 115-179 kilometer per jam). Intensitas puting beliung yang tinggi berikut dampaknya yang kian ganas diperkirakan terkait dengan pemanasan global. Efek gas rumah kaca membuat atmosfer menyimpan banyak energi karena tak leluasa terpantul ke luar angkasa. Energi itu diubah dalam beberapa wujud, seperti panas yang diikuti intensitas angin kencang dan hujan kian lebat. Kondisi pemanasan global yang semakin parah ditambah dengan penebangan hutan ilegal yang sedang maraknya di Indonesia membuat semakin seringnya terjadi bencana puting beliung dan membuat puting beliung semakin sulit dideteksi.

  Untuk mengantisipasi puting beliung, BNPB dan BMKG menjajaki kerjasama untuk mengkaji fenomena puting beliung. Diharapkan sistem peringatan dini dapat dihasilkan. Meskipun cukup sulit memprediksinya karena sifat puting beliung sangat lokal dan sesaat. Berbeda dengan iklon tropis yang relatif mudah dideteksi dari satelit. Umur siklon tropis yang berkisar 10 hari dan luasnya regional mudah dikenali. Sedangkan puting beliuang hanya 5-10 menit dan sangat lokal sehingga sulit dideteksi kapan dan dimana bencana ini akan terjadi dan menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diminimalisir. Jaringan radar cuaca milik BMKG yang terdapat di sebagian besar bandara akan digunakan untuk mengidentifikan potensi puting beliung. Namun sayangnya belum ada teknologi peringatan dini sehingga masyarakat dihimbau untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dan kewaspadaannya.

  Menurut catatan di UGM sejak awal tahun 2004 di pulau Jawa telah berulang kali muncul badai tropis yaitu di Prambanan, Cilacap, Semaang, Kendal, Garut bahkan di kampus UGM. Indikasi awal terjadinya badai dapat diketahui melalui satelit cuaca (GOES) yang dapat di-download melalui internet setiap saat.

  Namun sayang sekali media internet untuk kajian mitigasi bencana lingkungan belum optimal (dalam Sudibyakto 2012: 40).

  Bencana puting beliung juga terjadi pada daerah-daerah di Sumatera Utara seperti Medan, Serdang Bedagai, Deli Serdang dan kondisi terparah ditemukan pada Deli Serdang. Berdasarkan laporan korban bencana dan fisik bangunan TAGANA tahun 2012 telah terjadi 19 kejadian yang telah menimpa 776 KK dan mengakibatkan 4 orang meninggal dunia.

  Bahkan pada hari Sabtu, 06 Oktober 2012 ini terjadi bencana puting beliung di Dusun 6 dan 7 di desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang yang menyebabkan 34 rumah rusak di antaranya 19 rusak ringan dan 15 rumah rusak berat (diakses secara online melalui Sayangnya pemerintah tidak tanggap terhadap bencana yang sedang terjadi pada daerah tersebut sehingga muncul pemberitaan bahwa tiga hari pasca peristiwa bencana angin puting beliung melanda 2 kecamatan, Kutalimbaru dan Sunggal, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, puluhan korban masih terabaikan, alias belum menerima bantuan dalam materil dari pemerintah setempat. Perbaikan 54 rumah warga yang rusak akibat diterpa angin puting beliung memang sudah mulai dilakukan secara gotong royong dengan menggunakan swadaya masyarakat (dikutip melalui

  Melalui penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terjadi beberapa masalah dalam proses penanggulan bencana baik dari pra-bencana, saat tanggap bencana bahkan pada pasca-bencana. Maka penulis mengambil judul tentang “Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung pada Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang”.

1.2 Fokus Penelitian

  Untuk memudahkan penulis di dalam melakukan penelitian maka penulis menetapkan fokus penelitian. Pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat kepentingan masalah yang akan dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu. Suatu masalah dikatakan penting apabila masalah tersebut harus dipecahkan melalui penelitian sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah hal-hal yang dilakukan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana baik dalam tahap prabencana, tanggap darurat dan pascabencana pada daerah bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang.

  1.3 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah

  

Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei

Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?”

  1.4 Tujuan Penelitian:

  Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan penanggulangan bencana putting beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

  1.5 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Secara subyektif, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis dan metodologi suatu karya ilmiah guna memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai penanggulangan bencana.

  2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga pada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam proses penanggulangan bencana alam.

  3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara.

1.6 Kerangka Teori

  Menurut Kerlinger dalam Singarimbun (1995: 37) teori adalah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep dan kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir untuk menunjukan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi obyek penelitian. Kerangka teori dalam Arikunto (2002: 92) adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau pokok, sub-variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian.

  Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.6.1 Implementasi Kebijakan

1.6.1.1 Pengertian Kebijakan

  Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”, dan “praktek”. Sehingga dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Solly Lubis, 2007: 6 dan 9).

  James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Dalam pandangan David Easton, ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai (Subarsono, 2005: 2-3).

  Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa penanggulangan bencana adalah suatu kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi dampak negatif bencana baik secara material dan non material yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk program-program seperti program Desa Tanggap Bencana.

1.6.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

  Secara Etimologis, implementasi dalam kamus besar webster, to

  implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out

  (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab, 2008:64). Sedangkan, Patton dan Sawicky (dalam Tangkilisan, 2003:9) menunjukan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

  Mazmanian & Paul Sabatier mengatakan: “Implementation is the carrying

  

out of basic policy decision usually incorporated in a statute but which can also

take the form of important executive orders or court decisions ” (implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang- undang, namun bisa pula berbentuk perintah atau petunjuk eksekutif atau keputusan badan peradilan). “Ideally that decision identifies the problem(s) to be

  

addressed, stipulatesthe objective(s) to be pursued and in a variety of ways,

structures the implementation process” (yang berarti: idealnya TUS tersebut

  mengidentifikasikan masalah yg dihadapi, menyebut secara tegas tujuan yg hendak dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan/ mengatur proses implementasinya). Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan bahwa fokus perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yg senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku.

  Implementasi merupakan salah satu tahapan dalam siklus kebijakan publik. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan di antara pembentukan sebuah kebijakan – seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan - dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya (Tangkilisan, 2003:3). Implementasi kebijakan yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

  Implementasi kebijakan merupakan tahap terpenting dari siklus kebijakan. Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya. Namun, implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit.

  Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun organisasional. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun sasaran sering terjadi dimana selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun strateginya. Dalam proses ini sering terdapat mekanisme insentif dan sanksi agat implementasi suatu kebijakan dapat berjalan dengan baik (Subarsono, 2005:12).

  Sementara itu Hogwood dan Gunn yang dikutif oleh Wahab (1990:61-62) dalam bukunya yang berjudul “Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara” telah membagi pengertian kegagalan kebijakan dalam dua kategori, yaitu:

  1. Non implementation (tidak terimplementasikan), mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka sudah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kemampuannya, sehingga betapa gigihnya usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup ditangulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi.

  2. Unsuccesful implementation dimana implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

  Secara langsung maupun tidak langsung, kegagalan/ keberhasilan impelementasi mempengaruhi proses implementasi lainnya karena kebijakan merupakan siklus yang tak dapat dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari gambar 1.1 di bawah ini:

Gambar 1.1 Siklus kebijakan publik

  Penyusunan Agenda

  Agenda Pemerintah

  Formulasi dan Legitimasi

  Kebijakan Impelementasi

  Kebijakan Tindakan

  Kebijakan

  Evaluasi Implementasi, Kinerja dan Dampak

  Kinerja dan Dampak Kebijakan

  Kebijakan Baru

  Sumber: Said. 2002

1.6.1.3 Pendekatan Implementasi Kebijakan

  Dalam memperlancar proses implementasi kebijakan, harus dilakukan pendekatan. Pendekatan ini dilakukan para implementor kepada beberapa hal yang terkait dalam implementasi kebijakan. Terdapat empat pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendekatan struktural, pendekatan prosedural, pendekatan kejiwaan dan pendekatan politik.

  Pendekatan struktural adalah pendekatan yang melihat peran institusi atau organisasi sebagai sesuatu yang menentukan sehingga perlu dilakukan bersama dengan proses penataan institusi. Pendekatan prosedural atau manajerial yang melihat bahwa langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan ialah hal yang terpenting dan biasa dikenal dalam konsep PPBS (Planning, Progrraming,

  Budgeting and Supervision) atau PERT (Progrraming, Evaluation and Review

Technique). Pendekatan kejiwaan berhubungan penerimaan atau penolakan

  masyarakat atas suatu kebijakan. Penerimaan masyarakat tidak sekedar ditentukan oleh isi atau substansi kebijakan tetapi juga oleh pendekatan dalam menyampaikan dan cara melaksanakannya. Pendekatan politik melihat pelaksanaan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari politik baik pengertian umum sebagai pencerminan dari persaingan antar kekuatan politik sebagai kekuatan dan pengaruh dalam organisasi atau antar instansi, yang dapat disebut politik dalam birokrasi (Said, 2002: 202-206).

1.6.1.4 Model-model Implementasi Kebijakan

  Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Dalam implementasi ada beberapa faktor atau variabel yang memengaruhinya. Banyak kesulitan yang akan ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep yang abstrak. Oleh karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan kompleks, dengan tujuan menyamakan persepsi terhadap suatu fenomena (Indiahono, 2009: 19). Berikut model-model implementasi kebijakan yang biasa digunakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan: a.

  Model Gogin Untuk mengimplementasi kebijakan model Gogin dapat mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi yakni bentuk dan isi kebijakan, kemampuan organisasi, dan pengaruh lingkungan (Tangkilisan, 2003).

  Bentuk dan isi kebijakan berbicara mengenai kemampuan suatu kebijakan membuat struktur dalam proses implementasi. Hal itu berarti kebijakan tersebut dengan jelas menjelaskan setiap struktur bagan impelementor yang menjalankan sehingga tidak terdapat kebingungan dalam menentukan orang yang paling tepat dalam memutuskan suatu keputusan bila diperlukan dalam mengimplementasi kebijakan tersebut.

  Kebijakan dapat diimpelentasi dengan baik jika implementor mampu mengorganisasi segala sumber daya berupa dana maupun intensif lainnya yang dapat mendukung implementasi secara efektif. Selain itu pengaruh lingkungan dari masyarakat berupa karakteristik, motivasi, kecendrungan hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya juga mempengaruhi dalam proses implementasi.

  b.

  Model Grindle Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kegiatan dan hasil-hasilnya. Keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar yakni isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Variabel isi kebijakan mencakup bobot kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan, letak pengambilan keputusan, impelementor dan sumber daya. Sedangkan, variabel dalam lingkungan kebijakan adalah kekuasaan, kepentingan dan strategi karakteristik lembaga, kepatuhan dan daya tanggap kelompok sasaran (Subarsono, 2005: 93).

  Variabel isi kebijakan berisi tentang sejauh mana kepentingan- kepentingan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran atau target groups termuat dalam kebijakan tersebut. Apakah seluruh kepentingan masyarakat sudah termuat di dalamnya atau kebijakan tersebut hanya berisi kepentingan menurut persepsi pemerintah sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat.

  Tipe-tipe manfaat yang diterima target groups melalui kebijakan tersebut memang sesuai kebutuhan kelompok itu. Derajat perubahan mengenai sejauhmana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan kebijakan itu diimplementasikan atau justru tidak menunjukan perubahan apapun terhadap masyarakat. Bahkan perubahan yang timbul ke arah yang negatif/ berlawan dengan yang diharapkan pemerintah.

  Letak pengambilan keputusan juga mempengaruhi dalam implementasi kebijakan. Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik jika pengambilan keputusan dilakukan oleh bagian yang tepat. Suatu kebijakan juga menyebutkan implementornya secara rinci sehingga dalam pertanggungjawabannya pun dapat dilakukan dengan benar. Hal yang terakhir, kebijakan tersebut didukung oleh sumber daya yang mendukung.

  Selanjutnya adalah pengaruh lingkungan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan terdiri dari seberapa kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Jika implementor yang menjalankan memiliki kekuasaan yang cukup besar, secara langsung memberi kemudahan yang lebih dalam menjalankan kebijakan tersebut.

  Namun implementasinya juga dipengaruhi karakteristik lembaga penguasa dan rezim yang sedang berkuasa. Bagaimana penguasa atau rezim yang sedang berkuasa tersebut mendukung atau justru menghambat kebijakan tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan mereka.

  Sekalipun kebijakan telah didukung oleh implementor yang berkuasa dan rezim yang mendukung apabila masyarakat yang menjadikan kelompok sasaran memiliki tingkat kepatuhan dan daya tanggap yang rendah terhadap kebijakan. Hal itu juga dapat menghambat proses implementasi kebijakan.

  c.

  Model Donal S. Van Meter dan Carl E. Van Horn Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi/hubungan antar organisasi karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial dan ekonomi serta disposisi implementor (Subarsono, 2005: 99-100).

  Suatu kebijakan harus memiliki standar dan kebijakan yang jelas dan terukur sehingga dapat direalisasi. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

  Implementasi kebijakan perlu dukungan baik sumber daya manusia

  (human resources) yaitu staf yang memiliki pengetahuan yang sesuai dan

  mapan maupun non-manusia (non-human resources) seperti uang atau alat- alat yang mendukung. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu kebijakan.

  Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma- norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu juga akan memengaruhi implementasi. Kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan. Hal ini mencakup sejauhmana kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

  Variabel yang terakhir ialah disposisi implementor. Disposisi implementor mencakup tiga hal penting yakni respon implementor terhadap kebijakan yang akan memengaruhi kemamuannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yakni pemahaman terhadap kebijakan, dan intensitas disposisi implementor yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

  d.

  Model George Edward III Adapun empat variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan adalah (Tangkilisan, 2003: 12-14): 1.

  Komunikasi Wilbur schramm (dalam Nugroho, 2004:14) yang memulai gagasan bahwa communication berasal dari kata communis yang berasal dari kata dasar common. Artinya, tatkala berkomunikasi, maka yang hendak dicapai adalah mencari “persamaan” dengan yang lain. Komunikasi memerlukan komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan). Cooley (dalam Nugroho, 2004:13) menggambarkan komunikasi sebagai mekanisme eksistensial manusia untuk berhubungan dengan manusia lain dalam ruang dan waktu yang mereka miliki.

  Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah persyaratan pertama untuk berjalannya suatu kebijakan dengan baik. Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti disampaikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa diikuti.

  Komunikasi mengenai ukuran implementasi harus diterima dengan jelas. Jika tidak, para implementor akan kacau dengan apa yang harus dilakukan dan mereka akan memiliki diskresi (kewenangan) untuk mendorong tinjauannya dalam implementasi kebijakan yang mungkin akan jauh dari pandangan si pembuat kebijakan. Selain komunikasi antara pembuat kebijakan dan implementor, komunikasi yang baik juga diperlukan antara implementor dan masyarakat karena komunikasi yang kurang baik menyebabkan penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang akan dijalankan.

  Setiap implementor harus memahami apa yang dilakukan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan konsisten pada juklak tersebut, sering ditemukan hambatan dalam penyampaian informasi pada hierarkhi organisasi yang berlapis-lapis, semakin baik komunikasi akan semakin baik implementasi, implementor juga diharapkan mengurangi distorsi informasi dan menjaga transparansi peraturan.

2. Sumber daya

  Sumber daya adalah segala sesuatu yang dipakai untuk mewujudkan suatu kegiatan. Sumber daya dapat berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam hal implementasi kebijakan, sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, dana dan fasilitas yang mendukung lainnya. Sumber daya bisa menjadi faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik.

  Sumber daya manusia bisa meliputi jumlah staff yang cukup dan latar belakang pendidikan dengan ketrampilan yang tepat untuk melakukan tugas serta informasinya dan otoritasnya. Dana yang dimaksud adalah besaran anggaran yang dapat digunakan dalam implementasi kebijakan menurut kemampuan pemerintah yang menjalankannya. Sedangkan fasilitas adalah alat-alat yang mendukung dan memudahkan implementor untuk menjalankan kebijakan.

  3. Disposisi Disposisi merupakan keadaan dimana implementor tidak mau melakukan sesuai arahan yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Disposisi menghalangi implementasi suatu kebijakan jika implementor benar-benar melakukan sesuatu yang jauh dari harapan semula. Dan menjadi hal yang sulit bagi pejabat puncak untuk mengganti implementor yang ada dan untuk mengantisipasi hal itu dilakukan pemberian insentif atau sanksi kepada implementor. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

  4. Struktur birokrasi Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki keinginan dan sumber daya yang cukup untuk melakukannya namun implementor mungkin masih dicegah di dalam implementasi oleh struktur organisasi dimana mereka melayani. Dua karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian standar (SOP) dan fragmentasi.

  Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

  Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal, karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, juga dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dengan demikian SOP merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang bersangkutan. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk sebuah bidang kebijakan di antara unit-unit organisasional.

  Dari antara model-model di atas, penulis menggunakan model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III karena dibandingkan dengan model implementasi yang lainnya, model George Edward III tidak hanya membahas dari sudut pandang antar implementor tapi juga antara implementor dan masyarakat sehingga dinilai paling tepat untuk menganalisis pelaksanaan penanggulangan bencana yang memerlukan kerja sama yang baik antara sesama pelaksana kebijakan juga kerja sama kepada masyarakat dalam melaksanakan kebijakan ini.

1.6.2 Bencana

1.6.2.1 Pengertian Bencana

  Bencana (dalam UU No.24 tahun 2007) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Jenis-jenis bencana di Indonesia dapat disimpulkan secara implisit melalui UU No. 24/2007, yaitu:

  1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

  2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

  3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

  Bencana puting beliung dikategorikan termasuk bencana alam. Namun istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 ialah bencana angin topan bukan angin puting beliung karena angin topan adalah bencana yang memiliki kecepatan dan dampak lebih besar dari pada angin puting beliung.

1.6.2.2 Puting Beliung

  Angin adalah udara yang bergerak atau gerakan massa indara yang arahnya horizontal. Angin bergerak dari daerah bertekanan masksimum ke daerah bertekanan minimum (Rima, Ratna dan Eko Sujatmiko, 2012: 12). Angin memiliki berbagai macam nama seperti angin tornado, angin siklon, angin topan, puting beliung, dan lain sebagainya. Jenis-jenis angin tersebut sesungguhnya sama namun letak perbedaannya hanya pada kecepatannya dan tempat dimana ia terjadi juga mempengaruhi nama panggilan angin tersebut. Angin siklon adalah angin yang gerakannya berputar menuju pusat. Terjadinya angin siklon disebabkan adanya depresi (daerah barometris minimum) dikelilingi oleh daerah barometris maksimum. Angin siklon pada belahan bumi utara (di sebelah utara khatulistiwa) berlawanan dengan jarum jam, sebaliknya di belahan bumi selatan (di sebelah selatan khatulistiwa) berpusar searah jarum jam.

  Angin topan adalah siklon tropis yang berkecepatan sangat tinggi. Topan disebut juga angin ribut atau badai (Ratna dan Eko, 2012: 12 dan 55). Pengertian angin topan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu pusarankencang dengan kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin tornado adalah putaran yang kencang dari suatu kolom udara yang terbentuk dari awan cumuliform yang telah menyentuh tanah, biasanya tampak sebagai corong awan

  (funnel cloud) dan kerap disertai dengan badai angin dan hujan, petir atau batu es yang memiliki kecepatan lebih dari 480 km/jam, rata-rata 175 km/jam atau lebih (di sekitar pusat dapat mencapai 100-200 meter/jam), dengan ketinggian ± 75 m, diameter umumnya berkisar antara puluhan hingga ratusan meter, pada belahan bumi utara sebagian besar tornado berpusar berlawanan dengan jarum jam, sebaliknya di belahan bumi selatan berpusar searah jarum jam dan hanya terjadi dalam beberapa menit saja. Di Indonesia, angin tornado lebih dikenal sebagai angin puting beliung ada juga yang menyebutkannya sebagai angin Leysus di daerah Jawa, di daeradisebut Angin Bohorok dan masih ada sebutan

   .

  Angin puting beliung termasuk dalam satu cuaca ekstrim yang merupakan akibat dari pemanasan global. Angin puting beliung pada umumnya terjadi selama masa pergantian musim kemarau dan musim hujan. Puting beliung dengan kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada atap rumah, kegemparan, medan listrik dan pohon tumbang (National Disaster Management Plan 2010-2014).

  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian tentang berbagai jenis angin. Pada kata “angin”, disebutkan bahwa angin topan sama dengan angin puting beliung. Namun pada entri topan disebutkan bahwa topan sama dengan angin ribut/ badai. Sedangkan, angin ribut didefinisikan sebagai gerakan udara yang kecepatannya antara 32 dan 37 knot (mil per jam). Namun pada kata badai, dipaparkan bahwa badai adalah angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan antara 64 dan 72 knot (diakses dalam

  Puting adalah bagian pangkal pisau yang runcing dan dibenamkan ke dalam tangkai hulu, sedangkan beliung adalah perkakas tukang kayu, yang rupanya seperti kapak dengan mata melintang (tidak searah dengan tangkainya). Puting beliung adalah bagian pangkal beliung yang runcing yang dibenamkan ke

  

  dalam tangkainya (diakses dalam . Oleh karena itu, angin topan sering dipanggil dengan sebutan angin puting beliung karena bentuk angin tersebut yang seperti puting beliung.

  Puting beliung (diakses dalam adalah angin yang berputar dengan kecepatan lebih dari 60-90 km/jam yang berlangsung 5-10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus (Cb). Gejala Awal Puting Beliung adalah: 1. Udara terasa panas dan gerah (sumuk).

  2. Di langit tampak ada pertumbuhan awan Cumulus (awan putih bergerombol yang berlapis-lapis).

  

3. Di antara awan tersebut ada satu jenis awan mempunyai batas tepinya

  sangat jelas bewarna abu-abu menjulang tinggi yang secara visual seperti bunga kol.

  4. Awan tiba-tiba berubah warna dari berwarna putih menjadi berwarna hitam pekat (awan Cumulonimbus).

  

5. Ranting pohon dan daun bergoyang cepat karena tertiup angin disertai

angin kencang sudah menjelang.

  

6. Durasi fase pembentukan awan, hingga fase awan punah berlangsung

  paling lama sekitar 1 jam. Karena itulah, masyarakat agar tetap waspada selama periode ini. Dampak dan besarnya badai tornado dapat dikategorikan berdasarkan

  Skala Fujita (F-Skala) atau Skala Fujita-Pearson. Skala ini adalah skala untuk menggambarkan intensitas tingkatan tornado, terutama didasarkan pada kerusakan yang ditimbulkan tornado pada manusia, bangunan dan vegetasi. Skala ini diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Tetsuya Fujita dari Universitas Chicago. Berikut adalah skala angin puting beliung berdasarkan Skala Fujita: 1.

  F5, Kecepatan angin 419–512 km/jam Kerusakan yang luar biasa dapat ditimbulkan oleh tornado jenis ini.

  Bangunan-bangunan yang memiliki struktur beton baja bertulang (seperti rumah, gedung dll) tercerabut hingga pondasinya. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan jalur tornado tersebut bisa mencapai 1100 m bahkan lebih dari itu, dengan laju mencapai 100 km lebih. Namun demikian persentasi kemunculan tornado ini termasuk jarang.

  2. F4, Kecepatan angin 333–418 km/jam Dampak yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan dampak tornado F5.

  Beberapa tornado yang mencapai kecepatan angin lebih dari 300- 480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat bertahan di permukaan dengan lebih dari 100 km. Frekuensi kemunculannya 1,1%.

  3. F3, Kecepatan angin 254–332 km/jam Kerusakan parah yang diciptakan tornado jenis ini, adalah atap dan beberapa dinding rumah sobek, pohon yang tercabut, dan gedung pencakar langit bengkok. Frekuensi kemunculannya terbilang sering, mencapai 4,9%.

4. F2, Kecepatan angin 181–253 km/jam

  Kerusakan yang signifikan dengan bingkai atap rumah robek dengan jendela pecah dan hancur, mobil terlempar, dan pohon besar tumbang.

  Persentasi 19,4% kemunculannya, menjadi ancaman tersendiri di daerah- daerah yang rawan tornado.

  5. F1, Kecepatan angin 117–180 km/jam Dampak kerusakannya terbilang sedang dengan intensitas kemunculannya 35,6%. Diawali dengan kecepatan angin yang bergemuruh, atap-atap rumah berterbangan dan mobil-mobil bergeser terdorong.

  6. F0, Kecepatan angin 64–116 km/jam Beberapa hal yang sering terjadi adalah kerusakan pada cerobong- cerobong asap rumah dengan cabang-cabang pohon patah. Papan-papan reklame yang rusak. Tipikal tornado jenis ini sering kali masyarakat Indonesia menyebutnya dengan angin puting beliung. Frekuensinya sangat sering (38,9%) dewasa ini, dengan menimpa hampir sebagian wilayah di Indonesia sebagai anomali cuaca.

Gambar 1.2 Wilayah Rawan Bencana Angin Puting Beliung

  Sumber: National Disaster Plan 2010-2014

Gambar 1.2 menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensial terjadinya angin puting beliung baik pada wilayah sumatera bagian utara dan wilayah di

  Indonesia Timur. Puting beliung yang terjadi di Sumatera bagian utara berasal dari India

1.6.3 Penanggulangan Bencana

  Penyelenggaraan manajemen penanggulangan bencana (dalam UU No.24 tahun 2007) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: pra-bencana, saat tanggap darurat dan pasca-bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca-bencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi.

  Gambar 1.3

Paradigma Siklus bencana

PARADIGMA SIKLUS BENCANA

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Lidah Tanah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

11 110 157

Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung diDesa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang

6 109 120

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Penanganan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

0 2 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Kesenian Reog Ponorogo di Desa Kolam (Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten. Deli Serdang )

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)Kabupaten Karo dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung

0 0 11

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Efektivitas Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Lidah Tanah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 46

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Harian Lepas di Kelurahan Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

0 0 13

Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung diDesa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang

0 0 12