Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung diDesa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang

(1)

Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei

Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Departemen Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

OLEH

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Riris Karlina Septiana

090903049


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Riris Karlina Septiana

NIM : 090903049

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang

Medan, Juli 2013

Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Dra. Februati Trimurni, M.Si Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si NIP. 196602121990092001 NIP. 196401081991021001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

KATA PENGANTAR

Segala pujian bagi Allah di tempatNya yang Maha Tinggi. Penulis sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang hanya karena kekuatan yang dari padaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei Mencirim, Kabupaten Kutalimbaru, Kecamatan Deli Serdang”. Adapun penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi perbaikan skripsi ini.

Selama penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak hal yang sering kali membuat penulis untuk hampir menyerah. Namun, penulis merasakan bahwa ada banyak pihak yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, penghiburan, dan doa. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini saya dedikasikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu, yaitu:

1. Untuk kedua orang tua saya Bapak Edison Hasibuan dan Ibu Marubahan Butar-butar. Terima kasih sebesar-besarnya untuk semua doa, dukungan


(4)

dan pengertiannya dalam penyelesaian skripsi ini. Juga untuk saudari-saudariku, Ka Netty, Ka Mariani, Ka Lisna, Dek Febri, Dek Relita dan Relina yang selalu memberiku semangat yang baru. Semoga skripsi ini dapat membuat kalian bahagia dan semakin menyakini penyertaan kasih Allah.

2. Kepada Ibu Dra. Februati Trimurni, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu dan memberikan masukan yang sangat membangun dan pastinya doa dalam penulisan skripsi ini.

3. Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si.

4. Kepada Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU.

5. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.

6. Kepada Ibu Dra. Asima Yanti, M.A, P.hD selaku dosen penguji ketika seminar proposal dan sidang meja hijau, terima kasih atas saran dan masukannya.

7. Kepada seluruh dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU yang telah memberikan banyak ilmu selama perkuliahan.

8. Seluruh staf administrasi di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU khususnya untuk Kak Dian dan Kak Mega yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.


(5)

9. Kepada Bapak Pondar Nababan selaku Staff Bakesbang, Bapak Saring Irwanto dan Bapak Hajat selaku Staff Tagana, Bapak Lilik dan Bapak Tion selaku perangkat desa.

10.Seluruh korban bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan atas izin dan kesediaan untuk memberikan informasi yang penulis butuhkan.

11.Terima kasih yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata untuk seseorang yang terkasih di dalam hatiku, yang selalu menemani, membantu penyelesaian skripsi ini, mendoakanku dengan setia, pemberi inspirasi, menghibur dan menguatkan di kala tertatih, serta ikut merasakan kebahagian ketika berhasil menyelesaikan skripsi ini yaitu Abang MyFH (Bang Manahan Napitupulu). Terima kasih untuk semuanya ya bang.. 12.Untuk PKK-ku, Bang Donal Siregar, sekalipun tidak pernah terlihat dalam

penulisan skripsi namun tetap bisa ku rasakan doa-doanya yang selalu menyertaiku.

13.Buat teman sekelompok kecil satu-satunya, Bang Sabam Simbolon, yang selalu membantuku dan menghibur ketika mengerjakan skripsi ini.

14.Untuk adik-adik kelompok kecilku The Rainbow, Deni, Harsan, Lidya dan Lisah, terima kasih untuk semangat dan senyum yang selalu muncul ketika melihat wajah kalian.

15.Buat teman-teman seperguruan ALC, Ka Feny, Agustina, Dinadio, Selfi, Beatrich, dan Wati yang selalu menyegarkanku dengan canda tawa yang sangat menyenangkan.


(6)

16.Para Kepompongku Asri Maulina, Agustina Samosir, Seruan Kasih dan Eva Ferasiska. Terima kasih buat kebersamaan dan hari-hari yang telah kita lalui bersama selama kuliah. Harapannya kita bisa berjumpa di suatu hari nanti dengan keberhasilan kita masing-masing.

17.Untuk teman-teman satu pelayanan di KMKS, baik sahabat doaku (Bang Budi dan Grace), adik-adik Pipa-ku, teman-teman Koordinasi 23 dan 24, Bundo Tuti, Ka Pesta dan semua orang yang tidak henti-hentinya mau mendengar curahan hatiku dan selalu mendoakanku.

18.Buat teman-temanku sekelompok magang Desa Karang Anyar Kec. Pegajahan, Darwin, Revelino, Sony, Seru, Tina, Eva, Sifra, Mona, Bora, Fatma, dan Dian. Terima kasih buat kebersamaan dan kerja sama kita selama magang. Sukses buat kita semua!

19.Dan buat semua teman-teman Administrasi Negara 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk kebersamaan kita selama kurang lebih empat tahun ini. AN Satu- AN Jaya!

Riris Karlina Septiana Medan, 14 Juli 2013


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Fokus Penelitian ... 12

1.3 Rumusan Masalah ... 12

1.4 Tujuan Penelitian ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Kerangka Teori ... 13

1.6.1 Implementasi Kebijakan ... 14

1.6.1.1 Pengertian Kebijakan ... 14

1.6.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 15

1.6.1.3 Pendekatan Implementasi Kebijakan ... 18

1.6.1.4 Model-model Implementasi Kebijakan ... 18

1.6.2 Bencana ... 27

1.6.2.1 Pengertian Bencana ... 27

1.6.2.2 Puting Beliung ... 28


(8)

1.6.4 Sistem Perundangan (Legislasi) Manajemen Bencana ... 36

1.6.4.1 Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ... 37

1.6.4.2 Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas) ... 38

1.7 Definisi Konsep ... 40

1.8 Sistematika Penulisan ... 42

BAB II METODE PENELITIAN ... 43

2.1 Bentuk Penelitian ... 43

2.2 Lokasi Penelitian ... 43

2.3 Informan Penelitian ... 44

2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 45

2.5 Teknik Analisa Data ... 46

BAB III DESKRIPSI LOKASI ... 48

3.1 Gambaran Umum Desa Sei Mencirim ... 48

3.1.1 Sejarah Desa ... 48

3.1.2 Demografi Desa Sei Mencirim ... 48

3.1.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 49

3.2 Kondisi Pemerintahan Desa ... 51

3.2.1 Pembagian Wilayah Desa ... 51

3.2.2 Visi dan Misi ... 51

3.2.2.1 Visi ... 51

3.2.2.2 Misi ... 52


(9)

3.3 Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat

(Bakesbangpol-Linmas)... 54

3.4 Dinas Kesejahteraan dan Sosial Kabupaten Deli Serdang ... 55

3.5 Taruna Siaga Bencana (TAGANA) ... 57

3.5.1 Sejarah Umum Taruna Siaga Bencana (TAGANA) ... 57

3.5.2 Sejarah Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Kabupaten Deli Serdang ... 59

3.5.3 Latar Belakang Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Kabupaten Deli Serdang ... 59

3.5.4 Peranan Taruna Siaga Bencana (TAGANA) ... 60

3.5.5 Hak dan Kewajiban Anggota Taruna Siaga Bencana (TAGANA) ... 60

3.5.6 Struktur Organisasi Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Kabupaten Deli Serdang Periode 2011-2014... 61

BAB IV PENYAJIAN DATA ... 63

4.1 Penyajian Data Hasil Wawancara ... 63

4.1.1 Komunikasi ... 64

4.1.2 Sumber Daya ... 68

4.1.3 Disposisi ... 73

4.1.4 Struktur Organisasi ... 75

BAB V ANALISA DATA ... 78

5.1 Analisis Indikator dalam Implementasi Kebijakan ... 78

5.1.1 Komunikasi ... 79


(10)

5.1.3 Disposisi ... 85

5.1.4 Struktur Organisasi ... 86

5.2 Analisis Hubungan antar Indikator Menurut George Edward III dalam Implementasi Penanggulangan Bencana ... 90

BAB VI PENUTUP ... 94

6.1 Kesimpulan ... 94

6.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perbandingan Sistem Lama dan Sistem Baru dalam Penanggulangan

Bencana ... 4

Tabel 1.2 Jumlah Bencana Di Indonesia Dan Dampaknya Bulan Februari 2013 ... 9

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk ... 50

Tabel 3.2 Tingkat Pendidikan Warga Desa Sei Mencirim ... 50


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Siklus Kebijakan Publik ... 17

Gambar 1.2 Wilayah Rawan Bencana Puting Beliung ... 33

Gambar 1.3 Paradigma Siklus Bencana ... 34

Gambar 1.4 Model Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ... 35

Gambar 1.5 Struktur Organisasi Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat ... 40

Gambar 3.1 Perangkat Desa Sei Mencirim ... 54

Gambar 3.2 Bagan Struktur Organiasasi Tagana 2011-2014 ... 62

Gambar 4.1 Rumah Korban Bencana ... 71

Gambar 4.2 Aula Desa Sei Mencirim ... 71

Gambar 4.3 Gudang Penyimpanan Bantuan ... 72

Gambar 4.4 Truk penyaluran bantuan ... 74


(13)

ABSTRAK

Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang Skripsi ini disusun oleh :

Nama : Riris Karlina Septiana

NIM : 090903049

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dra. Februati Trimurni, M.Si

Secara geografis, Indonesia merupakan jalur pegunungan aktif dan pertemuan lempeng tektonik. Ancaman-ancaman itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan sistem penanggulangan yang sebelumnya bersifat sektoral menjadi sistem yang berlaku umum, mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non-pemerintah. Sistem ini ditetapkan dalam pedoman atau peraturan perundangan yaitu Undang-Undang No.24 Tahun 2007. Dalam melakukan penanggulangan bencana, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BPBD provinsi membentuk BPBD di setiap kabupaten dan kota.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pelaksanaan penanggulangan bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Model implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Implementasi dari George C. Edwards III yang menilai keberhasilan suatu implementasi dilihat dari indikator komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur organisasi. Teknik penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan wawancara. Teknik pengambilan subjek penelitian secara purposive sampling. Dari teknik ini diperoleh informan yang terdiri dari Staff BPBD, Staff Bakesbang, Personil Tagana, Staff Bidang Pelayanan Sosial, satuan perangkat desa dan korban bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa implementasi penanggulangan bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim berjalan dengan tidak baik. Dari indikator komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur organisasi, hanya indikator disposisi yang berjalan dengan baik.

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Penanggulangan Bencana, Desa Sei Mencirim


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara geografis Indonesia merupakan kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia dan lempeng Samudra Pasifik atau terletak pada jalur subduksi yang merupakan zona kegempaan yang sangat aktif, dan akibat dari jalur tersebut muncul jalur gunung api aktif (ring of fire). Kondisi tersebut berpotensi sekaligus rawan bencana letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, puting beliung, banjir dan tanah longsor. Data menunjukan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali kegempaan di Amerika Serikat.

Selain itu wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam mampu menghasilkan kondisi tanah yang subur. Namun di sisi lain, berpotensi menimbulkan akibat buruk, seperti bencana. Seiring dengan perekembangan zaman, kerusakan lingkungan hidup cenderung parah dan memicu meningkatnya intesitas ancaman.

Ancaman-ancaman itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan sistem penanggulangan yang sebelumnya bersifat sektoral menjadi sistem yang berlaku umum, mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non-pemerintah. Sistem ini ditetapkan dalam pedoman atau peraturan perundangan yaitu


(15)

Undang-Undang No.24/ 2007. Pendapat tersebut sejalan dengan Syamsul dalam buku Sudibyakto (2012:1) bahwa pilar utama dalam penanggungan bencana alam adalah pengembangan kapasitas aparat pemerintah, masyarakat, dunia usaha, sektor swasta dan masyarakat akademisi dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana.

Perubahan pandangan terhadap bencana ini diikuti dengan perubahan sistem penanggulangan bencana yang dianut oleh pemerintah selama ini. Penanggulangan bencana juga dibagi ke dalam tindakan, tanggung jawab dan wewenang bagi pemerintah pusat dan daerah melalui kegiatan pembangunan, keamanan masyarakat, dan keamanan bantuan bagi penanggulangan bencana. Dengan kata lain jika sebelumnya upaya penanggulangan bencana di Indonesia bersifat tanggap darurat, maka melalui perundangan ini, mencakup semua fase dari kesiapsiagaan, tenggap darurat hingga pemulihan pasca bencana.

Undang-undang tersebut juga memberikan kepastian hukum akan sistem penanggulangan bencana di Indonesia sehingga semua pihak memahami peran dan fungsi serta memiliki kepastian untuk mengambil tindakan terkait dengan PB untuk semua tahapan bencana. Perubahan lainnya adalah makin terintegrasinya penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan. Pendekatan lama tidak menjadikan bencana sebagai bagian dari perencanaan pembangunan. Sementara pendekatan baru telah mengintegrasikan bencana sebagai bagian dari pembangunan melalui pembentukan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang kemudian dijabarkan lagi di tingkat daerah dalam bentuk Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana (RAD PRB). Sistem baru juga mengatur


(16)

mekanisme kelembagaan dan pendanaan yang lebih terintegrasi. Sejak tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (yang kemudian diubah menjadi Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2001).

Rangkaian bencana yang dialami Indonesia sejak tahun 2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB). Melalui UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diamanatkan untuk pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kedua badan ini menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) dan Satuan Pelaksana (Satlak) di daerah.

Perubahan juga terjadi dalam mekanisme anggaran. Sebelumnya ketika menggunakan mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing-masing departemen/satuan kerja pemerintah. Apabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan dana, pemerintah melalui ketua Bakornas Penanggulangan Bencana dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Mekanisme tersebut ternyata tidak dapat mengintegrasikan peranan masyarakat dan lembaga donor. Dengan adanya perubahan sistem, khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana, sejak itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD.


(17)

Perubahan lainnya adalah pada peran masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat selalu diletakkan sebagai korban dengan partisipasi yang yang terbatas, dalam penanggulangan bencana, terutama pada tahap mitigasi, maka melalui undang-undang ini peran serta partisipasi masyarakat lebih diberi ruang. Keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana merupakan hak dan sekaligus kewajiban seperti diatur dalam Pasal 26 dan 27 ayat (1) UU No. 24/2007 yang merumuskan hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana.

Untuk lebih jelasnya perbandingan sistem lama dan sistem baru dapat di lihat secara lebih detail pada tabel1.1 berikut:

Tabel 1.1

Perbandingan Sistem Lama Dan Sistem Baru Dalam Penanggulangan Bencana

No ASPEK SISTEM LAMA SISTEM BARU

1. 2. 3. 4. 5. 6. Dasar Hukum Paradigma Lembaga Peran Masyarakat Pembagian Tanggung Jawab Perencanaan Bersifat sektoral Tanggap darurat Bakornas Penanggulangan Bencana, Satkorlak dan Satlak Terbatas Sebagian besar Tanggung jawab pemerintah pusat Belum menjadi

Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non pemerintah UU Nomor 24 tahun 2007. Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi BNPB, BPBD Propinsi, BPBD Kab/ Kota

Melibatkan masyarakat secara aktif

Tanggung jawab pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten


(18)

7. 8. 9. 10. 11. Pembangunan Pendekatan Mitigasi

Forum kerja sama antar lembaga Alokasi Anggaran Pedoman Penanggulangan bencana Keterkaitan dengan Tata Ruang bagian aspek perencanaan Kerentanan Belum ada Tanggung jawab Pemerintah Pusat Terpecah dan bersifat sektoral Belum menjadi aspek yang diperhitungkan

Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB)

•Rencana Penanggulangan pembangunan Bencana (RPB) • Rencana Aksi Daerah Pengu rangan Resiko Bencana (RAD PRB)

Analisa resiko (menggabungkan antara

kerentanan dan kapasitas) National Platform (akan) dan Provincial platform (akan)

Tergantung pada tingkatan bencana

Mengacu pada pedoman yang dibuat BNPB dan BPBD

Aspek bencana sudah diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang

Sumber: Kharisma, dkk. 2012

Penjelasan di atas sudah cukup menjelaskan bahwa Undang-Undang No.24/ 2007 merupakan suatu kebijakan yang memiliki konsep penanggulangan bencana yang amat baik namun sebaik apapun suatu kebijakan disusun akan menjadi percuma ketika implementasinya tidak dilakukan sesuai dengan dengan kebijakan yang dibuat. Implementasi kebijakan Undang-undang ini dapat dikatakan kurang baik, hal ini didukung oleh sebuah laporan hasil Roundtable Discussion dengan tema “Manajemen Penanganan Bencana di Jawa Tengah” yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 September 2011 oleh Dewan Riset Jawa Tengah yang didapat bahwa:


(19)

a. Pencegahan (prevention)

Permasalahannya, kesadaran masyarakat secara umum masih rendah, kesadarannya masyarakat di daerah terdampak belum kuat, dan hidup damai di daerah bencana baru terjadi di daerah yang pernah didampingi (pilot project) yang belum melembaga di tengah masyarakat

b. Mitigasi (mitigation)

Mitigasi struktural pada daerah rawan bencana masih diperlukan peningkatan, mitigasi non-struktural pada daerah terdampak masih sedikit yang tercover dan masih belum memerhatikan kepentingan perempuan.

c. Kesiapan (preparedness)

Permasalahan yang diperoleh adalah belum mainstreaming gender. d. Peringatan Dini (early warning)

Menjangkau masyarakat (accesible) , namun masyarakat belum tanggap, tegas tidak membingungkan (coherent) namun beberapa info simpang siur, bersifat resmi (official), tidak respipun tidak bisa dicegah karena faktor budaya, dan lambat direspon oleh kelompok rentan (perempuan, anak dan lansia).

e. Tanggap Darurat (response)

Respon masyarakat yang tidak terkena dampak bagus, koordinasi antar stakeholder masih lemah dan Mainstreaming gender masih lemah.

f. Bantuan Darurat (relief)

Penyediaan pangan, sandang, tempat tinggal sementara kesehatan cukup baik, untuk sanitasi dan air bersih masih kurang, partisipasi warga baik, namun beberapa temuan menunjukan tingkat empati masih kurang, koordinasi stakeholder kurang kuat, partisipasi warga yang bukan korban sangat baik dan belum responsif gender.

g. Pemulihan (recovery)

Proses recovery butuh waktu lama, recovery sosial dan kelembagaan lebih lambat, recovery penguatan kapasitas masyarakat lambat dan belum responsif gender dan koordinasi lemah.

h. Rehabilitasi (rehabilitation)

Prosesnya lama, rehabilitasi ekonomi lambat untuk wilayah tertentu, namun pada wilayah dengan etos kerja masyarakat yang baik bisa cepat, rehabilitasi sosial cepat dilakukan, partisipasi masyarakat bagus namun belum responsif gender.

i. Rekonstruksi (reconstruction)

Partisipasi masyarakat baik, lambat dilakukan, perencanaan belum banyak melibatkan masyarakat, pengembangan masyarakat butuh waktu lama, dan belum responsif gender.

BNPB yang merupakan badan yang memiliki fungsi koordinasi dalam penanggulangan bencana di seluruh Indonesia. Untuk memudahkan pekerjaan tersebut, maka BNPB telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan


(20)

Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang menginstruksikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menginstruksikan adanya pembuatan BPBD di setiap kabupaten/kota yang ada di Daerah. Namun, belum semua kabupaten/kota di Sumatera Utara yang telah memiliki BPBD, salah satunya Deli Serdang. Oleh karena itu Deli Serdang tetap menggunakan PP Nomor 83 Tahun 2005 yaitu memilih Bakesbang sebagai badan yang mengkoordinir penanggulangan bencana. Bakesbang mengkoordinir dinas-dinas yang ada di Deli Serdang untuk menanggulangi bencana.

Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mengatur penanggulangan bencana apapun yang ada di Indonesia dan salah satu bencana yang diatur dalam kebijakan tersebut ialah bencana puting beliung. Bencana puting beliung merupakan fenomena atmosferik yang dalam istilah ilmiah disebut thunderstorm yang menerjang beberapa wilayah di Indonesia. Bencana ini telah menimbulkan korban dan kerugian yang cukup besar, untuk itu bencana ini perlu diketahui dan disosialisasikan kepada masyarakat, apa dan bagaimana proses kejadiaannya, kapan terjadi dan upaya mengurangi dampak akibat badai itu.

Berdasarkan informasi dari BNPB menunjukan fenomena bencana puting beliung semakin menjadi-jadi di Indonesia. Dari 13 jenis bencana di Indonesia, bencana puting beliung adalah jenis bencana yang paling ekstrem peningkatan kejadiannya. Berdasarkan GEMA BNPB Februari 2013 terjadi bencana puting beliung sebanyak 35 kejadian dan tidak hanya jumlah kejadian yang meningkat namun korban materil dan korban jiwa juga meningkat. Hal itu dapat dilihat melalui tabel 1.2 yang ada di bawah ini:


(21)

Tabel 1.2

Jumlah bencana di Indonesia dan dampaknya bulan Februari 2013

Sumber: Gema BNPB Februari 2013

Dampak yang ditimbulkan bencana puting beliung di Indonesia lebih besar dari pada dampak yang seharusnya ditimbulkan menurut Skala Fujita. Kecepatan pusaran puting beliung di Indonesia umumnya di bawah 115 kilometer per jam dari sisi skala, berada pada skala F0 atau terendah dari total enam skala. Namun berdasarkan dampak yang ditimbulkan bisa pada skala F1 (di antara 115-179 kilometer per jam). Intensitas puting beliung yang tinggi berikut dampaknya yang kian ganas diperkirakan terkait dengan pemanasan global. Efek gas rumah kaca membuat atmosfer menyimpan banyak energi karena tak leluasa terpantul ke luar angkasa. Energi itu diubah dalam beberapa wujud, seperti panas yang diikuti intensitas angin kencang dan hujan kian lebat. Kondisi pemanasan global yang semakin parah ditambah dengan penebangan hutan ilegal yang sedang maraknya di Indonesia membuat semakin seringnya terjadi bencana puting beliung dan membuat puting beliung semakin sulit dideteksi.

Untuk mengantisipasi puting beliung, BNPB dan BMKG menjajaki kerjasama untuk mengkaji fenomena puting beliung. Diharapkan sistem


(22)

peringatan dini dapat dihasilkan. Meskipun cukup sulit memprediksinya karena sifat puting beliung sangat lokal dan sesaat. Berbeda dengan iklon tropis yang relatif mudah dideteksi dari satelit. Umur siklon tropis yang berkisar 10 hari dan luasnya regional mudah dikenali. Sedangkan puting beliuang hanya 5-10 menit dan sangat lokal sehingga sulit dideteksi kapan dan dimana bencana ini akan terjadi dan menimbulkan kerusakan yang tidak dapat diminimalisir. Jaringan radar cuaca milik BMKG yang terdapat di sebagian besar bandara akan digunakan untuk mengidentifikan potensi puting beliung. Namun sayangnya belum ada teknologi peringatan dini sehingga masyarakat dihimbau untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dan kewaspadaannya.

Menurut catatan di UGM sejak awal tahun 2004 di pulau Jawa telah berulang kali muncul badai tropis yaitu di Prambanan, Cilacap, Semaang, Kendal, Garut bahkan di kampus UGM. Indikasi awal terjadinya badai dapat diketahui melalui satelit cuaca (GOES) yang dapat di-download melalui internet setiap saat. Namun sayang sekali media internet untuk kajian mitigasi bencana lingkungan belum optimal (dalam Sudibyakto 2012: 40).

Bencana puting beliung juga terjadi pada daerah-daerah di Sumatera Utara seperti Medan, Serdang Bedagai, Deli Serdang dan kondisi terparah ditemukan pada Deli Serdang. Berdasarkan laporan korban bencana dan fisik bangunan TAGANA tahun 2012 telah terjadi 19 kejadian yang telah menimpa 776 KK dan mengakibatkan 4 orang meninggal dunia.

Bahkan pada hari Sabtu, 06 Oktober 2012 ini terjadi bencana puting beliung di Dusun 6 dan 7 di desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang yang menyebabkan 34 rumah rusak di antaranya 19 rusak ringan dan 15


(23)

rumah rusak berat (diakses secara online melalui bencana yang sedang terjadi pada daerah tersebut sehingga muncul pemberitaan bahwa tiga hari pasca peristiwa bencana angin puting beliung melanda 2 kecamatan, Kutalimbaru dan Sunggal, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, puluhan korban masih terabaikan, alias belum menerima bantuan dalam materil dari pemerintah setempat. Perbaikan 54 rumah warga yang rusak akibat diterpa angin puting beliung memang sudah mulai dilakukan secara gotong royong dengan menggunakan swadaya masyarakat (dikutip melalui

Melalui penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terjadi beberapa masalah dalam proses penanggulan bencana baik dari pra-bencana, saat tanggap bencana bahkan pada pasca-bencana. Maka penulis mengambil judul tentang “Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung pada Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang”.

1.2 Fokus Penelitian

Untuk memudahkan penulis di dalam melakukan penelitian maka penulis menetapkan fokus penelitian. Pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat kepentingan masalah yang akan dipecahkan, selain juga faktor keterbatasan tenaga, dana dan waktu. Suatu masalah dikatakan penting apabila masalah tersebut harus dipecahkan melalui penelitian sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah hal-hal


(24)

yang dilakukan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana baik dalam tahap prabencana, tanggap darurat dan pascabencana pada daerah bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implementasi Penanggulangan Bencana Puting Beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?”

1.4Tujuan Penelitian:

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan penanggulangan bencana putting beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara subyektif, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis dan metodologi suatu karya ilmiah guna memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai penanggulangan bencana. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang

sangat berharga pada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam proses penanggulangan bencana alam.


(25)

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara.

1.6 Kerangka Teori

Menurut Kerlinger dalam Singarimbun (1995: 37) teori adalah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep dan kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir untuk menunjukan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi obyek penelitian. Kerangka teori dalam Arikunto (2002: 92) adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau pokok, sub-variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitian.

Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori ini diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.6.1 Implementasi Kebijakan 1.6.1.1Pengertian Kebijakan

Menurut Thomas R. Dye, kebijakan adalah suatu pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat”. Lasswel dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk mencapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang diarahkan kepada pencapaian “tujuan”, “nilai”, dan “praktek”. Sehingga dapat dirumuskan bahwa kebijakan publik adalah


(26)

serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat (Solly Lubis, 2007: 6 dan 9).

James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Dalam pandangan David Easton, ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai (Subarsono, 2005: 2-3).

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa penanggulangan bencana adalah suatu kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi dampak negatif bencana baik secara material dan non material yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk program-program seperti program Desa Tanggap Bencana.

1.6.1.2Pengertian Implementasi Kebijakan

Secara Etimologis, implementasi dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab, 2008:64). Sedangkan, Patton dan Sawicky (dalam Tangkilisan, 2003:9) menunjukan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

Mazmanian & Paul Sabatier mengatakan: “Implementation is the carrying out of basic policy decision usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executive orders or court decisions” (implementasi


(27)

adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun bisa pula berbentuk perintah atau petunjuk eksekutif atau keputusan badan peradilan). “Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulatesthe objective(s) to be pursued and in a variety of ways, structures the implementation process” (yang berarti: idealnya TUS tersebut mengidentifikasikan masalah yg dihadapi, menyebut secara tegas tujuan yg hendak dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan/ mengatur proses implementasinya). Secara lebih konkrit Mazmanian & Sabatier menyatakan bahwa fokus perhatian dalam implementasi yaitu memahami apa yg senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku.

Implementasi merupakan salah satu tahapan dalam siklus kebijakan publik. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan di antara pembentukan sebuah kebijakan – seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan - dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya (Tangkilisan, 2003:3). Implementasi kebijakan yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

Implementasi kebijakan merupakan tahap terpenting dari siklus kebijakan. Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya. Namun, implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun organisasional. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun sasaran sering terjadi dimana selama implementasi sering


(28)

terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun strateginya. Dalam proses ini sering terdapat mekanisme insentif dan sanksi agat implementasi suatu kebijakan dapat berjalan dengan baik (Subarsono, 2005:12).

Sementara itu Hogwood dan Gunn yang dikutif oleh Wahab (1990:61-62) dalam bukunya yang berjudul “Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara” telah membagi pengertian kegagalan kebijakan dalam dua kategori, yaitu:

1. Non implementation (tidak terimplementasikan), mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka sudah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kemampuannya, sehingga betapa gigihnya usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup ditangulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi.

2. Unsuccesful implementation dimana implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Secara langsung maupun tidak langsung, kegagalan/ keberhasilan impelementasi mempengaruhi proses implementasi lainnya karena kebijakan merupakan siklus yang tak dapat dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari gambar 1.1 di bawah ini:


(29)

Gambar 1.1 Siklus kebijakan publik

Sumber: Said. 2002

1.6.1.3Pendekatan Implementasi Kebijakan

Dalam memperlancar proses implementasi kebijakan, harus dilakukan pendekatan. Pendekatan ini dilakukan para implementor kepada beberapa hal yang terkait dalam implementasi kebijakan. Terdapat empat pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendekatan struktural, pendekatan prosedural, pendekatan kejiwaan dan pendekatan politik.

Pendekatan struktural adalah pendekatan yang melihat peran institusi atau organisasi sebagai sesuatu yang menentukan sehingga perlu dilakukan bersama dengan proses penataan institusi. Pendekatan prosedural atau manajerial yang melihat bahwa langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan ialah hal yang

Penyusunan Agenda

Formulasi dan Legitimasi

Impelementasi Kebijakan

Kebijakan Baru

Evaluasi Implementasi, Kinerja dan Dampak

Kinerja dan Dampak Kebijakan Tindakan Kebijakan

Kebijakan

Agenda Pemerintah


(30)

terpenting dan biasa dikenal dalam konsep PPBS (Planning, Progrraming, Budgeting and Supervision) atau PERT (Progrraming, Evaluation and Review Technique). Pendekatan kejiwaan berhubungan penerimaan atau penolakan masyarakat atas suatu kebijakan. Penerimaan masyarakat tidak sekedar ditentukan oleh isi atau substansi kebijakan tetapi juga oleh pendekatan dalam menyampaikan dan cara melaksanakannya. Pendekatan politik melihat pelaksanaan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari politik baik pengertian umum sebagai pencerminan dari persaingan antar kekuatan politik sebagai kekuatan dan pengaruh dalam organisasi atau antar instansi, yang dapat disebut politik dalam birokrasi (Said, 2002: 202-206).

1.6.1.4Model-model Implementasi Kebijakan

Model adalah sebuah kerangka sederhana yang merupakan sebuah usaha untuk memudahkan penjelasan terhadap suatu fenomena. Dalam implementasi ada beberapa faktor atau variabel yang memengaruhinya. Banyak kesulitan yang akan ditemui jika fenomena sosial harus dijelaskan dengan konsep yang abstrak. Oleh karena itu, model diperlukan untuk menyampaikan fenomena yang rumit dan kompleks, dengan tujuan menyamakan persepsi terhadap suatu fenomena (Indiahono, 2009: 19). Berikut model-model implementasi kebijakan yang biasa digunakan dalam pelaksanaan suatu kebijakan:

a. Model Gogin

Untuk mengimplementasi kebijakan model Gogin dapat mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi yakni bentuk dan isi kebijakan, kemampuan organisasi, dan pengaruh lingkungan (Tangkilisan, 2003).


(31)

Bentuk dan isi kebijakan berbicara mengenai kemampuan suatu kebijakan membuat struktur dalam proses implementasi. Hal itu berarti kebijakan tersebut dengan jelas menjelaskan setiap struktur bagan impelementor yang menjalankan sehingga tidak terdapat kebingungan dalam menentukan orang yang paling tepat dalam memutuskan suatu keputusan bila diperlukan dalam mengimplementasi kebijakan tersebut.

Kebijakan dapat diimpelentasi dengan baik jika implementor mampu mengorganisasi segala sumber daya berupa dana maupun intensif lainnya yang dapat mendukung implementasi secara efektif. Selain itu pengaruh lingkungan dari masyarakat berupa karakteristik, motivasi, kecendrungan hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya juga mempengaruhi dalam proses implementasi.

b. Model Grindle

Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kegiatan dan hasil-hasilnya. Keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar yakni isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Variabel isi kebijakan mencakup bobot kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan, letak pengambilan keputusan, impelementor dan sumber daya. Sedangkan, variabel dalam lingkungan kebijakan adalah kekuasaan, kepentingan dan strategi karakteristik lembaga, kepatuhan dan daya tanggap kelompok sasaran (Subarsono, 2005: 93).

Variabel isi kebijakan berisi tentang sejauh mana kepentingan-kepentingan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran atau target groups termuat dalam kebijakan tersebut. Apakah seluruh kepentingan masyarakat


(32)

sudah termuat di dalamnya atau kebijakan tersebut hanya berisi kepentingan menurut persepsi pemerintah sehingga tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat.

Tipe-tipe manfaat yang diterima target groups melalui kebijakan tersebut memang sesuai kebutuhan kelompok itu. Derajat perubahan mengenai sejauhmana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan kebijakan itu diimplementasikan atau justru tidak menunjukan perubahan apapun terhadap masyarakat. Bahkan perubahan yang timbul ke arah yang negatif/ berlawan dengan yang diharapkan pemerintah.

Letak pengambilan keputusan juga mempengaruhi dalam implementasi kebijakan. Kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik jika pengambilan keputusan dilakukan oleh bagian yang tepat. Suatu kebijakan juga menyebutkan implementornya secara rinci sehingga dalam pertanggungjawabannya pun dapat dilakukan dengan benar. Hal yang terakhir, kebijakan tersebut didukung oleh sumber daya yang mendukung.

Selanjutnya adalah pengaruh lingkungan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan terdiri dari seberapa kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Jika implementor yang menjalankan memiliki kekuasaan yang cukup besar, secara langsung memberi kemudahan yang lebih dalam menjalankan kebijakan tersebut.

Namun implementasinya juga dipengaruhi karakteristik lembaga penguasa dan rezim yang sedang berkuasa. Bagaimana penguasa atau rezim


(33)

yang sedang berkuasa tersebut mendukung atau justru menghambat kebijakan tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Sekalipun kebijakan telah didukung oleh implementor yang berkuasa dan rezim yang mendukung apabila masyarakat yang menjadikan kelompok sasaran memiliki tingkat kepatuhan dan daya tanggap yang rendah terhadap kebijakan. Hal itu juga dapat menghambat proses implementasi kebijakan. c. Model Donal S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi/hubungan antar organisasi karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial dan ekonomi serta disposisi implementor (Subarsono, 2005: 99-100).

Suatu kebijakan harus memiliki standar dan kebijakan yang jelas dan terukur sehingga dapat direalisasi. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

Implementasi kebijakan perlu dukungan baik sumber daya manusia (human resources) yaitu staf yang memiliki pengetahuan yang sesuai dan mapan maupun non-manusia (non-human resources) seperti uang atau alat-alat yang mendukung. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu kebijakan.

Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu juga akan memengaruhi implementasi. Kondisi sosial, politik dan


(34)

ekonomi yang mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan. Hal ini mencakup sejauhmana kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

Variabel yang terakhir ialah disposisi implementor. Disposisi implementor mencakup tiga hal penting yakni respon implementor terhadap kebijakan yang akan memengaruhi kemamuannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yakni pemahaman terhadap kebijakan, dan intensitas disposisi implementor yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor. d. Model George Edward III

Adapun empat variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan adalah (Tangkilisan, 2003: 12-14):

1. Komunikasi

Wilbur schramm (dalam Nugroho, 2004:14) yang memulai gagasan bahwa communication berasal dari kata communis yang berasal dari kata dasar common. Artinya, tatkala berkomunikasi, maka yang hendak dicapai adalah mencari “persamaan” dengan yang lain. Komunikasi memerlukan komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan). Cooley (dalam Nugroho, 2004:13) menggambarkan komunikasi sebagai mekanisme eksistensial manusia untuk berhubungan dengan manusia lain dalam ruang dan waktu yang mereka miliki.


(35)

Dalam implementasi kebijakan, komunikasi adalah persyaratan pertama untuk berjalannya suatu kebijakan dengan baik. Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti disampaikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa diikuti.

Komunikasi mengenai ukuran implementasi harus diterima dengan jelas. Jika tidak, para implementor akan kacau dengan apa yang harus dilakukan dan mereka akan memiliki diskresi (kewenangan) untuk mendorong tinjauannya dalam implementasi kebijakan yang mungkin akan jauh dari pandangan si pembuat kebijakan. Selain komunikasi antara pembuat kebijakan dan implementor, komunikasi yang baik juga diperlukan antara implementor dan masyarakat karena komunikasi yang kurang baik menyebabkan penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang akan dijalankan.

Setiap implementor harus memahami apa yang dilakukan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan konsisten pada juklak tersebut, sering ditemukan hambatan dalam penyampaian informasi pada hierarkhi organisasi yang berlapis-lapis, semakin baik komunikasi akan semakin baik implementasi, implementor juga diharapkan mengurangi distorsi informasi dan menjaga transparansi peraturan.

2. Sumber daya

Sumber daya adalah segala sesuatu yang dipakai untuk mewujudkan suatu kegiatan. Sumber daya dapat berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam hal implementasi kebijakan, sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, dana dan fasilitas yang


(36)

mendukung lainnya. Sumber daya bisa menjadi faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik.

Sumber daya manusia bisa meliputi jumlah staff yang cukup dan latar belakang pendidikan dengan ketrampilan yang tepat untuk melakukan tugas serta informasinya dan otoritasnya. Dana yang dimaksud adalah besaran anggaran yang dapat digunakan dalam implementasi kebijakan menurut kemampuan pemerintah yang menjalankannya. Sedangkan fasilitas adalah alat-alat yang mendukung dan memudahkan implementor untuk menjalankan kebijakan.

3. Disposisi

Disposisi merupakan keadaan dimana implementor tidak mau melakukan sesuai arahan yang dibuat oleh pembuat kebijakan. Disposisi menghalangi implementasi suatu kebijakan jika implementor benar-benar melakukan sesuatu yang jauh dari harapan semula. Dan menjadi hal yang sulit bagi pejabat puncak untuk mengganti implementor yang ada dan untuk mengantisipasi hal itu dilakukan pemberian insentif atau sanksi kepada implementor. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan suatu kebijakan.

4. Struktur birokrasi

Para implementor kebijakan mungkin tahu apa yang harus dikerjakan dan memiliki keinginan dan sumber daya yang cukup untuk melakukannya namun implementor mungkin masih dicegah di dalam


(37)

implementasi oleh struktur organisasi dimana mereka melayani. Dua karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian standar (SOP) dan fragmentasi.

Standar Operasional Prosedur adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instasi pemerintah berdasarkan indikator indikator teknis, administrasif dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan. Tujuan SOP adalah menciptakan komitment mengenai apa yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintahan untuk mewujudkan good governance.

Standar operasional prosedur tidak saja bersifat internal tetapi juga eksternal, karena SOP selain dapat digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, juga dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik di mata masyarakat berupa responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dengan demikian SOP merupakan pedoman atau acuan untuk menilai pelaksanaan kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan prosedural sesuai dengan tata hubungan kerja dalam organisasi yang bersangkutan. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab untuk sebuah bidang kebijakan di antara unit-unit organisasional.

Dari antara model-model di atas, penulis menggunakan model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III karena dibandingkan dengan model implementasi yang lainnya, model George Edward III tidak hanya membahas dari sudut pandang antar implementor tapi juga antara implementor


(38)

dan masyarakat sehingga dinilai paling tepat untuk menganalisis pelaksanaan penanggulangan bencana yang memerlukan kerja sama yang baik antara sesama pelaksana kebijakan juga kerja sama kepada masyarakat dalam melaksanakan kebijakan ini.

1.6.2 Bencana

1.6.2.1 Pengertian Bencana

Bencana (dalam UU No.24 tahun 2007) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Jenis-jenis bencana di Indonesia dapat disimpulkan secara implisit melalui UU No. 24/2007, yaitu:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.


(39)

istilah yang digunakan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 ialah bencana angin topan bukan angin puting beliung karena angin topan adalah bencana yang memiliki kecepatan dan dampak lebih besar dari pada angin puting beliung.

1.6.2.2 Puting Beliung

Angin adalah udara yang bergerak atau gerakan massa indara yang arahnya horizontal. Angin bergerak dari daerah bertekanan masksimum ke daerah bertekanan minimum (Rima, Ratna dan Eko Sujatmiko, 2012: 12). Angin memiliki berbagai macam nama seperti angin tornado, angin siklon, angin topan, puting beliung, dan lain sebagainya. Jenis-jenis angin tersebut sesungguhnya sama namun letak perbedaannya hanya pada kecepatannya dan tempat dimana ia terjadi juga mempengaruhi nama panggilan angin tersebut. Angin siklon adalah angin yang gerakannya berputar menuju pusat. Terjadinya angin siklon disebabkan adanya depresi (daerah barometris minimum) dikelilingi oleh daerah barometris maksimum. Angin siklon pada belahan bumi utara (di sebelah utara khatulistiwa) berlawanan dengan jarum jam, sebaliknya di belahan bumi selatan (di sebelah selatan khatulistiwa) berpusar searah jarum jam.

Angin topan adalah siklon tropis yang berkecepatan sangat tinggi. Topan disebut juga angin ribut atau badai (Ratna dan Eko, 2012: 12 dan 55). Pengertian angin topan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu pusaran sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin tornado adalah putaran yang kencang dari suatu kolom udara yang terbentuk dari awan cumuliform yang telah menyentuh tanah, biasanya tampak sebagai corong awan


(40)

(funnel cloud) dan kerap disertai dengan badai angin dan hujan, petir atau batu es yang memiliki kecepatan lebih dari 480 km/jam, rata-rata 175 km/jam atau lebih (di sekitar pusat dapat mencapai 100-200 meter/jam), dengan ketinggian ± 75 m, diameter umumnya berkisar antara puluhan hingga ratusan meter, pada belahan bumi utara sebagian besar tornado berpusar berlawanan dengan jarum jam, sebaliknya di belahan bumi selatan berpusar searah jarum jam dan hanya terjadi dalam beberapa menit saja. Di Indonesia, angin tornado lebih dikenal sebagai angin puting beliung ada juga yang menyebutkannya sebagai angin Leysus di daerah Jawa, di daeraAngin Bohorok dan masih ada sebutan lainnya (diakses dalam.

Angin puting beliung termasuk dalam satu cuaca ekstrim yang merupakan akibat dari pemanasan global. Angin puting beliung pada umumnya terjadi selama masa pergantian musim kemarau dan musim hujan. Puting beliung dengan kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada atap rumah, kegemparan, medan listrik dan pohon tumbang (National Disaster Management Plan 2010-2014).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian tentang berbagai jenis angin. Pada kata “angin”, disebutkan bahwa angin topan sama dengan angin puting beliung. Namun pada entri topan disebutkan bahwa topan sama dengan angin ribut/ badai. Sedangkan, angin ribut didefinisikan sebagai gerakan udara yang kecepatannya antara 32 dan 37 knot (mil per jam). Namun pada kata badai, dipaparkan bahwa badai adalah angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan antara 64 dan 72 knot (diakses dalam


(41)

Puting adalah bagian pangkal pisau yang runcing dan dibenamkan ke dalam tangkai hulu, sedangkan beliung adalah perkakas tukang kayu, yang rupanya seperti kapak dengan mata melintang (tidak searah dengan tangkainya). Puting beliung adalah bagian pangkal beliung yang runcing yang dibenamkan ke dalam tangkainya (diakses dalam. Oleh karena itu, angin topan sering dipanggil dengan sebutan angin puting beliung karena bentuk angin tersebut yang seperti puting beliung.

Puting beliung (diakses dalam yang berlangsung 5-10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus (Cb). Gejala Awal Puting Beliung adalah:

1. Udara terasa panas dan gerah (sumuk).

2. Di langit tampak ada pertumbuhan awan Cumulus (awan putih bergerombol yang berlapis-lapis).

3. Di antara awan tersebut ada satu jenis awan mempunyai batas tepinya sangat jelas bewarna abu-abu menjulang tinggi yang secara visual seperti bunga kol.

4. Awan tiba-tiba berubah warna dari berwarna putih menjadi berwarna hitam pekat (awan Cumulonimbus).

5. Ranting pohon dan daun bergoyang cepat karena tertiup angin disertai angin kencang sudah menjelang.

6. Durasi fase pembentukan awan, hingga fase awan punah berlangsung paling lama sekitar 1 jam. Karena itulah, masyarakat agar tetap waspada


(42)

selama periode ini.

Dampak dan besarnya badai tornado dapat dikategorikan berdasarkan Skala Fujita (F-Skala) atau Skala Fujita-Pearson. Skala ini adalah skala untuk menggambarkan intensitas tingkatan tornado, terutama didasarkan pada kerusakan yang ditimbulkan tornado pada manusia, bangunan dan vegetasi. Skala ini diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Tetsuya Fujita dari Universitas Chicago. Berikut adalah skala angin puting beliung berdasarkan Skala Fujita:

1. F5, Kecepatan angin 419–512 km/jam

Kerusakan yang luar biasa dapat ditimbulkan oleh tornado jenis ini. Bangunan-bangunan yang memiliki struktur beton baja bertulang (seperti rumah, gedung dll) tercerabut hingga pondasinya. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan jalur tornado tersebut bisa mencapai 1100 m bahkan lebih dari itu, dengan laju mencapai 100 km lebih. Namun demikian persentasi kemunculan tornado ini termasuk jarang.

2. F4, Kecepatan angin 333–418 km/jam

Dampak yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan dampak tornado F5. Beberapa tornado yang mencapai kecepatan angin lebih dari 300-480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat bertahan di permukaan dengan lebih dari 100 km. Frekuensi kemunculannya 1,1%. 3. F3, Kecepatan angin 254–332 km/jam

Kerusakan parah yang diciptakan tornado jenis ini, adalah atap dan beberapa dinding rumah sobek, pohon yang tercabut, dan gedung


(43)

pencakar langit bengkok. Frekuensi kemunculannya terbilang sering, mencapai 4,9%.

4. F2, Kecepatan angin 181–253 km/jam

Kerusakan yang signifikan dengan bingkai atap rumah robek dengan jendela pecah dan hancur, mobil terlempar, dan pohon besar tumbang. Persentasi 19,4% kemunculannya, menjadi ancaman tersendiri di daerah-daerah yang rawan tornado.

5. F1, Kecepatan angin 117–180 km/jam

Dampak kerusakannya terbilang sedang dengan intensitas kemunculannya 35,6%. Diawali dengan kecepatan angin yang bergemuruh, atap-atap rumah berterbangan dan mobil-mobil bergeser terdorong.

6. F0, Kecepatan angin 64–116 km/jam

Beberapa hal yang sering terjadi adalah kerusakan pada cerobong-cerobong asap rumah dengan cabang-cabang pohon patah. Papan-papan reklame yang rusak. Tipikal tornado jenis ini sering kali masyarakat Indonesia menyebutnya dengan angin puting beliung. Frekuensinya sangat sering (38,9%) dewasa ini, dengan menimpa hampir sebagian wilayah di Indonesia sebagai anomali cuaca.


(44)

Gambar 1.2

Wilayah Rawan Bencana Angin Puting Beliung

Sumber: National Disaster Plan 2010-2014

Gambar 1.2 menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensial terjadinya angin puting beliung baik pada wilayah sumatera bagian utara dan wilayah di Indonesia Timur. Puting beliung yang terjadi di Sumatera bagian utara berasal dari India

1.6.3 Penanggulangan Bencana

Penyelenggaraan manajemen penanggulangan bencana (dalam UU No.24 tahun 2007) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: pra-bencana, saat tanggap darurat dan pasca-bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca-bencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi.


(45)

Gambar 1.3

Paradigma Siklus bencana PARADIGMA SIKLUS BENCANA

Rencana Kontingensi Kajian darurat

Peringatan dini Rencana operasional

Bantuan darurat

Perencanaan kesiapan Pemulihan

Mitigasi Rehabilitasi

Rencana manajemen Rekonstruksi

Pencegahan

Pembangunan kembali

Sumber: Pujiono dalam Dwiyanto. 2003

Gambar 1.3 menjelaskan bahwa penganggulangan bencana mencakup tahapan persiapan bencana (prabencana), penanganan saat terjadi bencana (tanggap darurat) dan pascabencana. persiapan bencana (prabencana) dilakukan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari bencana yaitu pencegahan dan mitigasi (mitigasi dan rencana manajemen pencegahan). Kegiatan yang dilakukan adalah pengadaan perangkat keras (misalnya alat berat, alat angkut pengungsian, alat pengusung dan tanda peringatan bahaya) dan segala kegiatan yang bertukuan memperkecil kerugian yang timbul akibat peristiwa bencana. Pada tahap ini sering kali pemerintah lengah dalam melakukannya padahal seandainya pemerintah melaksanakan tahapan ini dengan baik akan dapat menekan angka kerugian material dan non material yang diderita

Penanganan saat terjadi bencana atau tanggap darurat dalah semua kegiatan yang dilakukan ketika bencana melanda, yang tujuannya adalah

Kesiapsiagaan

Pengkajian, Koordinasi, Manaj.

Informasi, Mobilisasi sumber, Keterkaitan Nas dan

Int

Tanggap Darurat

Pencegahan dan Mitigasi


(46)

menyelamatkan korban manusia (jiwa-raga) dan harta-benda meliputi evakuasi korban ke tempat penampungan sementara, pendataan korban dan distribusi bantuan. Pada masa tanggap darurat dilakukan kajian darurat, rencana operasional dan bantuan darurat.

Pasca-darurat yang terdiri dari pemulihan, rehabilitasi (perbaikan dan perfungsian kembali kondisi sosial dan kondisi fisik pada masyarakat) dan rekonstruksi. Kegiatan yang tujuannya memulihkan kembali kemampuan masyarakat yang terkena bencana hingga kondisi fisik dan non-fisik masyarakat dapat kembali pulih seperti sebelum terjadi bencana bahkan menuju kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.

Gambar 1.4

Model Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Fungsi Koordinasi

Sumber: Pujiono dalam Dwiyanto. 2003

Gambar 1.4 merupakan model penyelenggaraan penanggulangan bencana yang menjelaskan setiap tahapan penanggulangan bencana tidak dapat dipisahkan secara nyata (ketat dan kaku) tetapi di antara tahapan tersebut saling berhubung

Tidak ada bencana

Perencenaan penanggulangan bencana Pengurangan risiko bencana Pencegahan

Persyaratan analisis risiko bencana Penegakan rencana tata ruang Pendidikan dan pelatihan Persyaratan standard teknis

Pemulihan

Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Pada saat darurat

1.Kajian kilat

2.Penetapan status bencana 3.SAR

4.Pemenuhan kebutuhan dasar 5.Perlindungan kelompok

rentan

6.Pemulihan sarana kunci

Kesiapsiagaan

-Mitigasi -Kesiapan -Peringatan dini


(47)

dan bergantung. Upaya penanggulangan bencana juga merupakan tanggung jawab bersama bahkan tiap fungsi-fungsi pemerintahan dapat berganti sesuai dengan peran yang harus dimainkan: yakni fungsi koordinasi pada saat tahap kesiapsiagaan, tahap tidak ada bencana dan tahap pemulihan; menjadi fungsi komando saat darurat. Kegiatan-kegiatan yang bisa digunakan selama tidak ada bencana tetapi bisa mengurangi risiko jika sewaktu-waktu bencana terjadi antara lain: penyusunan peraturan tata ruang, prasyarat bangunan dan aturan penyelamatan korban, pelatihan kepada masyarakat untuk memahami bencana dan cara perlindungannya, pembuatan jalan evakuasi dan tempat pengungsian dan lain-lain.

1.6.4 Sistem Perundangan (Legislasi) Manajemen Bencana

UU No.24/2007 merupakan peraturan tertinggi yang memberikan kepastian hukum sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Undang-undang No. 24 tahun 2007 terdiri dari 8 bab dan 12 pasal. Aturan main tentang pelaksanaan sistem penanggulangan bencana semakin jelas dengan dikeluarkannya empat aturan turunan UU No. 24/2007 dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP), yaitu:

a. Peraturan Presiden No. 08/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

b. Peraturan Pemerintah No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

c. Peraturan Pemerintah No. 22/2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana


(48)

Untuk mendukung peraturan tingkat nasional tersebut, di tingkat daerah diterbitkan peraturan daerah mengenai Penanggulangan Bencana di Daerah dan Pembentukan BPBD. Selain itu di tingkat daerah pengaturan mengenai penanggulangan bencana muncul dalam bentuk Peraturan Gubernur, Bupati atau Walikota.

1.6.4.1Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Menurut Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2005, Pemerintah bekerja sama dengan Bakornas (Badan Koordinasi Nasional), Satkorlak (Satuan Koordinasi Pelaksana) dan Satlak (Satuan Pelaksana) dalam menanggulangi setiap bencana yang terjadi di Indonesia. Namun dengan adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BPBD (diakses melalui badan koordinasi yang dipakai BNPB untuk memudahkan melakukan penanggulangan bencana di daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas pokok membantu dan memberikan dukungan teknis administrasi dan operasional di bidang kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pasca bencana. Adapun fungsi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Utara adalah :

1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien

2. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh


(49)

3. Pemantauan dan mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah

4. Pelaksanaan pelayanan administrasi internal dan eksternal

Saat ini BPBD telah ada pada hampir semua kabupaten/kota di Sumatera Utara kecuali di kabupaten Deli Serdang, Karo dan Padang Sidempuan. Namun sampai saat ini belum terdapat BPBD di Deli Serdang sehingga proses penanggulangan bencana dilakukan melalui Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas) yang akan mengkoordinir dinas-dinas yang terkait seperti Dinas Sosial.

1.6.4.2Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpol-Linmas)

Berdasarkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 sebagai perubahan atas Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 yang intinya mengamanahkan kepada pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama program dengan ormas dan lembaga nirlaba lainnya dalam bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri. Tugas badan ini adalah untuk optimalisasi pembentukan karakter (nation building), penguatan cinta tanah air, revitalisasi nilai-nilai patriotism dan nasionalisme, memperkokoh jati diri dan daya saing bangsa.

Adapun yang menjadi visi dari badan ini adalah “Terwujudnya Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Politik serta Perlindungan Masyarakat Provinsi Sumatera Utara yang demokratis, dinamis dan tentram melalui penguatan institusi dan peningkatan koordinasi”. Dimana misi yang diangkat adalah:

1. Meningkatkan wawasan kebangsaan masyarakat Sumatera Utara untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan;


(50)

2. Mendorong peningkatan situasi dan kondisi aman, tentram, dan tertib dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Utara;

3. Mendorong peningkatan peran supra dan infrastruktur politik dalam pembangunan demokrasi;

4. Meningkatkan kemampuan Aparatur Pemerintah, satuan linmas dan masyarakat dalam Penanganan ketentraman berbasis masyarakat.

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik memiliki 4 bidang yaitu bidang ideology dan kewaspadaan bangsa, bidang pembinaan kewaspadaan nasional, bidang pembinaan politik dalam negeri dan bidang perlindungan masyarakat. Untuk menjalankan fungsi koordinir penanggulangan bencana dikerjakan oleh bidang perlindungan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Gambar 1.5

Struktur Organisasi Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat


(51)

1.7 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan suatu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan dengan yang lainnya (Singarimbun, 1995:33).

Untuk dapat menemukan batasan yang lebih jelas maka dapat menyerdehanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka peneliti mengemukakan konsep antara lain:

1. Implementasi kebijakan adalah proses untuk melaksanakan kebijakan yang membutuhkan koordinasi sumber daya yang terlibat dan masyarakat supaya mencapai hasil yang diharapkan.

2. Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, termasuk kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.

3. Bencana puting beliung adalah bencana alam berupa angin yang berputar dengan kecepatan lebih dari 60-90 km/jam yang berlangsung 5-10 menit akibat adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala sangat lokal yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus (Cb). Puting beliung dikategorikan sebagai angin topan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2007 dikarenakan angin topan dan angin puting beliung memiliki definisi yang sama namun angin topan memiliki kecepatan dan dampak yang lebih besar.


(52)

4. Implementasi penanggulangan bencana puting beliung adalah pelaksanaan kebijakan yang menyangkut penanggulangan masyarakat baik pada masa prabencana, saat tanggap darurat dan pascadarurat yang dilakukan BPBD Sumatera Utara bekerja sama dengan Dinas Sosial Deli Serdang. Model implementasi yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah model implementasi George Edward III yang memiliki empat indikator yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

1.8 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep dan sistematikan penulisan.

Bab II Metode Penelitian

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

Bab III Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dimana penelitian dilakukan.

Bab IV Penyajian Data

Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.


(53)

Bab V Analisis Data

Bab ini berisikan tentang hasil analisa data yang diperoleh dari hasil penelitian memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti.

Bab VI Penutup

Dalam bab ini berisikan kesimpulan penelitian dan saran atas hasil penelitian yang dilakukan.


(54)

BAB II

METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Danin (2002: 41) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan kemudian menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian yang sesuai dengan sebagaimana adanya dan mencoba menganalisa untuk memberikan kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007:3) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Adapun alasan peneliti memilih lokasi ini adalah. Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, merupakan daerah yang baru saja terkena bencana puting beliung yang cukup parah dan belum mendapat bantuan pascabencana secara merata.


(55)

2.3 Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitiannya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Menurut Suyanto (2005:171), subyek penelitian yang telah tercermin dalam fokus ini penelitian secara sengaja. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Purposive Sample pada pemilihan informan kunci dimana informan telah ditentukan sebelumnya dan yang akan menjadi informan adalah seorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan atau permasalahan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas, akurat dan terpercaya baik berupa pernyataan, keterangan atau data-data yang dapat membantu dalam memenuhi persoalan atau permasalahan dan peneliti juga menggunakan teknik Accindental Sampling yaitu penarikan sampel secara kebetulan pada pemilihan informan utama.

Menurut Suyanto (2005:172) informan penelitian meliputi beberapa macam, yaitu:

1. Informan kunci (key informan) yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah:

a. Staff Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Utara

b. Staff Bidang Perlindungan Masyarakat, Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat


(56)

d. Sekretaris Tanggap Darurat Bencana (TAGANA) Kabupaten Deli Serdang e. Satuan Perangkat Desa Sei Mencirim

2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi informan utama adalah masyarakat korban bencana puting beliung di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang

2.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam teknik pengumpulan data menurut klasifikasi jenis dan sumbernya, yaitu:

1. Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam (depth interview) yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait dengan suatu tujuan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Metode ini dipakai untuk informan yang berhubungan dengan penelitian. Arikunto (2006:228) berpendapat bahwa peneliti harus mencatat teknik yang mana kondisi dan situasi yang mendukung penerimaan informasinya yang saling tepat.

2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui kepustakaan yang dapat mendukung data primer. Teknik


(57)

pengumpulan data sekunder dapat dilakukan dengan menggunakan instrument sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, literatur, internet dan sumber-sumber lain yang berkompentensi dan memiliki keterkaitan dengan masalah penelitian.

b. Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang menggunakan catatan-catatan atau dokumen-dokumen yang ada di lokasi penelitian atau sumber-sumber lain yang terkait dengan obyek penelitian (Bungin, 2007:116-117)

2.5 Teknik Analisa Data

Sesuai dengan metode penlitian, teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah teknik analisa data kualitatif. Menurut Moleong (2006:274), teknik analisa kualitatif digunakan dengan menyajikan data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul, mempelajari data, menelaah dan menyusunnya dalam satu satuan, yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya, dan memeriksa keabsahan dan serta menafsirkannya dengan analisa sesuai dengan kemampuan daya nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.

Penelitian ini menggunakan analisis flow model. Adapun langkah-langkah analisa dalam Sugiyono (2007:91) adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data, yang berarti merangkum, memiliki hal-hal yang pokok memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.


(58)

2. Penyajian data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan dan hubungan antar kategori.

3. Penarikan kesimpulan berupa temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.


(59)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI

3.1 Gambaran Umum Desa Sei Mencirim 3.1.1 Sejarah Desa

Desa Sei Mencirim dahulu bernama Sungai Mencirim mereupakan daerah strategis dalam mengembangkan tanaman tembakau karena daerahnya yang subur dan dikelilingi oleh Sungai Minyak, Sungai Diski, dan Sungai Mencirim. Pada tahun 1956 tidak lagi tanaman tembakau di wilayah ini dan sebagian lahan tersebut menjadi area pertanian dan persawahan masyarakat dan nama desa ini berubah menjadi Desa Sei Mencirim hingga saat ini.

Pada tahun 1956 pengelolaan desa diserahkan kepada pemerintahan kepada pemerintahan dareah Provinsi Sumatera Utara dan selanjutnya dilakukan pemilihan kepala desa yang pertama dan terpilih Bapak Djase. Pada masa pemerintahan Bapak Djase, kegiatan Desa Sei Mencirim banyak digunakan untuk menata kelembagaan kelompok masyarakat tersebut walaupun masih bersifat sederhana, mulai dari pembagian regu yang nantinya berkembang jadi dusun dan kelompok pertanian lainnya. Pemilihan kepala desa selanjutnya tetap dilakukan namun sebagian kepala desa menjabat sebanyak 2 periode.

3.1.2 Demografi Desa Sei Mencirim

Desa Sei Mencirim merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak diantara 2, 57'-3 0 16'LU dan 97 0 52'-98 0 45'BT secara administratif terdiri dari 22 Kecamatan, dua perwakilan Kecamatan


(1)

besar. Disini banyak pohon durian dan pohon-pohon besar. Hutan-hutan itu udah gag ada semenjak tahun 1960-an. Daerah perkebunan tembakau itu sensitif dengan angin jadi dulu ada tanaman-tanaman pemecah angin dan bangunan-bangunan yang disusun dengan sedemikian rupa supaya bisa pecah anginnya. Penulis : “Siapa saja yang datang membantu abang memperbaiki toko ini? Narasumber : “Kemarin datang juga Koramil tapi cuma duduk-duduk,

jalan-jalan, dapat uang lagi. Mana ada mereka yang membantu kami. Mereka pun datangnya terlambat, kami sudah duluan membereskan baru mereka datang. Yang kemarin membantu saya itu masyarakat yang tidak kena bencana. Uang yang dikasih itu pun kurang jadi saya harus nyicil-nyicil untuk memperbaiki rumah ini. Yang saya tahu seharusnya saya menerima bantuan Rp 8.000.000, saya melihat itu di koran. kemarin ada yang hiitung kerusakan tapi saya enggak tahu bagaimana perinciannya dan cara hitungnya. Tapi namanya juga bantuan, masih syukur saya dapat. Toko saya ini di kutalimbaru tapi saya warga desa sei mencirim. Sebenarnya bisa saja saya dapat dua-duanya tapi saya enggak terlalu konsentrasi ke arah situ. Kalau mau bantu ya dibantu, kalau enggak ya sudah. Pemerintah desa sunggal itu jauh lebih tanggap bencana dari pada desa ini, namanya juga sudah lebih maju dari pada desa ini. Yayasan Budha Suci memang murni mau membantu jadi sama rata semua.

Banyak orang bilang bisa diantisipasi pake konstruksi bangunan yang sesuai, tapi saya sudah beberapa kali ganti konstruksi bangunan tapi tetap saja hancur total bangunannya. Memang warga disini banyak yang tidak pakai tiang penyangga/ rangka besi jadi hanya tempel-tempel aja jadi terangkat semua sengnya. Tapi kalau pake rangka, malah yang enggak kuat temboknya, jadi kalau ada angin, hancur temboknya. Serba salah jadinya, namanya juga bencana alam jadi tidak ada yang bisa disalahkan.


(2)

Penulis : “Di desa ini, memang cuacanya kering dan banyak angin seperti ini ya bang?”

Narasumber : “Disini perubahan cuacanya luar biasa sekali, dalam hitungan detik bisa berubah cuacanya. Anginnya itu melintasi daerah-daerah yang kosong. Disini ada namanya pintu angin, jalur masuk angin dari dataran karo. Bantuan yang saya dapat cuma 1 kali.”

Narasumber: Ibu Toni

Penulis : “Buk, bisa tolong diceritakan bagaimana puting beliung yang mengenai rumah Ibu dan bantuan apa saja yang ibu dapatkan? Narasumber : “Rumah saya ini hancur semua, barang-barang saya juga hancur.

Lama saya bangun lagi rumah ini. Bantuan yang saya dapat hanya Rp 2.500.000 padahal dana untuk memperbaiki bangunan ini sampai Rp 10.000.000. selama rumah ini masih dibangun, kami tinggal di rumah kakak saya yang ada di belakang. Kalau korban yang di Sunggal dapat bantuannya lebih banyak dari kami. Mereka dapat bantuan dari banyak pihak. Kalau kami dapat bantuan dari warga cuma Rp 200.000 dari warga, uang sebesar itu bisa digunakan untuk apa? Kalau pun dapat banyak dari pusat, nyampe sini sudah habis dipotong-potong orang desa. Yang saya dapat Rp 2.500.000, untuk apa itu?

Narasumber: Ibu Dini

Penulis : “Buk, bisa tolong diceritakan bagaimana puting beliung yang mengenai rumah ibu dan bantuan apa saja yang didapat nek?

Narasumber : “Waktu kejadian itu saya lagi kerja dan anak-anak saya titip ma neneknya. Pas pula rumah sedang saya kunci, jadi engga ada yang menyelamatkan rumah kami. Semua barang-barang elektronik saya hancur, buku-buku sekolah yang belum lunas dibayar pun hancur semua, atap rumah saya pun hancur. Ini baru direnov lagi, tiang pengikat rumahnya pun terbang. Saya dapat Cuma Rp 1.500.000


(3)

padahal rumah saya hancur total, enggak tahu mereka menghitung kayak mana. Tapi syukurnya saya dapat bantuan juga dari yang lain, ada yang dari bantuan partai PKS itu berupa 1 karung goni beras karena adik saya anggota partai, dapat juga dari perwiritan saya, pengajian anak saya, kutipan dari desa, dapat juga dari Budha Suci dan selebihnya saya tanggung sendiri. Saya bangunnya pelan-pelan, barangnya pun enggak ada. Kemarin yang paling cepat dari Yayasan Budha Suci. Sembako yang saya dapat 10 indomie, terpal, beras 5 kg. selama rumah ini masih diperbaiki, kami tinggal di rumah nenek dari pada kami pakai terpal, menyedihkan kali..

20 Juni 2013

Narasumber: Pak Tion (Kaur umum)

Penulis : “Pak, bisa minta tolong dijelaskan mengenai bantuan kepada sekolah pak?

Narasumber : “Bantuan-bantuan yang dari Dinas Sosial itu hanya untuk rumah warga saja. Kalau yang untuk kantor desa, pajak desa, balai desa dan sekolah itu beda. Kalau sekolah, ada 5 lokal /ruang yang rusak tapi sekarang sudah diperbaiki. Kalau balai desa ini sampai sekarang masih sedikit yang bias diperbaiki, belum ada dananya dari pemerintah. Kalau pajak desa ini, sudah diperbaiki meskipun keadaannya masih memprihatinkan. Sewaktu puting beliung itu, pajak desa ini rata semua tapi sekarang sudah bangun lagi.

26 juni 2013

Narasumber : Pak Hajat dan Bapak Saring Irwanto

Penulis :“Apa yang menjadi tanggung jawab TAGANA pak?”

Narasumber :“Kami ini menggunakan konsep tanggap darurat. Minimal kami menyediakan kebutuhan dasar. Masyarakat ini biasa dengan


(4)

kebudayaan menunggu. Kalau mereka butuh, seharusnya mereka bilang. Tapi masyarakat selalu bilang ini tanggung jawab Negara. Padahal Negara itu kan terdiri 4 unsur yaitu pemerintah yang memerintah, rakyat yang diperintah, kedaulatan dari Negara lain dan wilayah. Berarti kan masyarakat itu termasuk Negara. Seharusnya masyarakat harus mau berjuang bangkit sendiri dari keterupukan bencana.”

Penulis :“Kenapa hanya tanggap darurat saja pak yang ada? Prabencana dan pasca bencana kenapa tidak ada?”

Narasumber :“Sebenarnya pengen ada prabencana, mitigasi dan pascadarurat tapi kembali lagi soal dana dek.. Lagipula Tagana itu hanya relawan dek. Jadi jangan anda pikirkan kami itu sama seperti BPBD. Kami aja tidak dibayar, kami hidup dari membantu proyek dinas sosial. Tapi kalau seandainya masyarakat perlu dilakukan pembimbingan, kami mau melakukannya. Tapi itu harus diadakan musyawarah supaya kami tau dana darimana bisa digunakan, mungkin bisa dari pengusaha atau masyarakat itu sendiri.”

Penulis :“Apa sih pak yang menjadi daya ukur ketika memberikan bantuan?”

Narasumber :“Kalau ukurannya enggak ada yang pasti sih dek.. kita kira-kira aja.. Sebenarnya maunya membantu banyak tapi bagaimana mau dibilang. Cuma segitu aja dana yang dikasih. Ini aja kami dapat dana dari dana Taktis bupati. Jadi bantuan ini biasa kami sebut dana tali asih jadi enggak harus sesuai dengan yang dibutuhkan. Untuk pedoman yang adek bilang itu pun, tidak ada, semua itu musyawarah dulu, kayak mana buat petunjuk itu kalau dananya tidak ada.”

Penulis :“Menurut bapak, apa yang menjadi alasan BPBD tidak ada di Deli Serdang? Kalau seandainya BPBD hadir di Deli Serdang, Tagana mau gabung di dalamnya pak?”

Narasumber :“Itu tergantung atasan sana lah, kami hanya mengerjakan. Lagipula sudah ada kami, untuk apa ada BPBD lagi. Kalau kami


(5)

diminta bergabung, tergantung apa prinsip kami sama atau tidak. Karna untuk mengubah prinsip bekerja itu sulit dek. Lagian untuk apa dibeda-bedakan kalau sama-sama mengurusi nyawa manusia. Ini soal kemanusiaan bukan soal politik, untuk apa dikotak-kotakkan.”

Penulis : “Bagaimana koordinasi TAGANA dengan BPBD pak?”

Narasumber : “Tidak ada lah dek.. Kami kan payung hukumnya berbeda. Tanggung jawab kami pun berbeda.”

02 Juli 2013

Narasumber: Bapak Pondar Nababan (Bakesbangpol dan Linmas)

Penulis :“Untuk Deli Serdang yang tidak memiliki BPBD, penanggulangan bencana diserahkan kepada Kesbang. Bakesbang ini punya tanggung jawab yang sama atau berbeda pak dengan BPBD?”

Narasumber :“Bedanya itu struktur organisasinya dan wewenangnya. Kalau ada masalah langsung mereka yang menyelesaikan karena mereka memiliki dana tersendiri. Kalau Bakesbang itu hanya menyurati dinas yang terkait dan kita memakai dana tak terduga bupati. Itupun tergantung kejadiannya, kalau besar dana yang dibutuhkan baru kami menggunakan dana bupati. Tetapi kalau kecil, itu tergantung masyarakat lah. Kalau di masyarakatkan ada 3 bagian yaitu masyarakat, pmerintah dan pengusaha. Kami itu cuma memberikan surat dan mengkoordinir.”

Penulis :“Untuk setiap prabencana, tanggap darurat dan pascabencana. Apa saja yang sudah kita lakukan?”

Narasumber : “Kami kan Cuma koordinir beda dengan BPBD yang punya hak untuk langsung bergerak. Dan kami bagian surat-menyurat saja.” Penulis :“Ada kerja sama antara Bpbd dengan kesbang pak?”

Narasumber :“Enggak ada lah. Tapi mereka Cuma minta laporan dari kami, itu pun sebenarnya enggak wajib, mereka pun enggak ada bantu kami jadi enggak ada hak orang itu untuk minta laporan sama kami.


(6)

Itulah kelemahan otonomi daearah jadi kami bisa suka-suka hati bawahan lah tergantung bupati, kami bisa saja menentang keputusan pusat tapi jadi enggak ada keseragaman antara kami. Penulis :“Apa yang menjadi landasan hukum penanggulangan bencana di

Deli Serdang?”

Narasumber : “PP no. 83 itu lah yang ada satlak.”

Penulis : “Pak, ada laporan dari kecamatan untuk kesbang?”

Narasumber : “Seharusnya ada tapi ada juga yang enggak kasih sama kami karena mereka pikir dinsos yang ngasih bantuan jadi laporannya hanya ke dinsos.”

Penulis :“Menurut Bapak, apa yang menjadi alasan BPBD tidak hadir di dalam Deli Serdang? Bukannya deli serdang sudah termasuk rawan bencana?”

Narasumber :“Ya belum lah. Yang terjadi di deli serdang itu bencana-bencana kecil karena korbannya Cuma sedikit, belum sampai di atas 50 orang per kejadian seperti “tsunami, gunung meletus.”

Penulis :“Tapi pak, Tebing Tinggi lebih sedikit bencananya tapi memiliki BPBD.”

Narasumber :“Itu karena SKPDnya masih kurang, kalau disini kan sudah pas. Lagipula kalau dipaksakan ada BPBD, dananya mau diambil dari mana? Disusutkan dari bidang yang lain atau dinas yang lain? Toh jadi enggak maksimal. Buat apa ada BPBD kalau masih ada dinas sosial, sama aja tugasnya.”