BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Fenomena bertambahnya laju pertumbuhan penduduk serta semakin meningkatnya kegiatan bertransmigrasi di Indonesia tidak dapat dihindari. Daya tarik yang ditunjukkan kota memang sangat kuat terutama dalam segi perekonomian. Tentu saja hal ini membuat banyak penduduk Indonesia beranggapan akan memperoleh kehidupan yang lebih layak jika berdomisili di kota. Namun ironisnya, sering kali dijumpai para transmigran bertransmigrasi tanpa bekal yang memadai baik secara materi, intelektual, keahlian, atau pun mental.

  Kelemahan-kelemahan tersebut memberi dampak negatif terhadap kota yang dituju, seperti pengangguran yang berpengaruh terhadap kriminalitas, hingga ketidakseimbangan jumlah penduduk dengan luas wilayah. Semakin padat jumlah penduduk, maka kebutuhan akan ruang kota akan semakin meningkat. Namun ruang yang tersedia relatif tetap dan tidak semua ruang bisa digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatannya secara spesifik apalagi semakin pesatnya aktivitas masyarakat.

  Menurut Budiharjo dan Sudanti (1993), perkembangan kota yang pesat ditandai dengan meningkatnya aktivitas manusia seperti pemanfaatan lahan, pemukiman, perindustrian dan lain sebagainya. Ruang kota sebagai wadah kegiatan sosial-ekonomi masyarakat memiliki keterbatasan dan peluang pengembangan yang tidak sama. Tingginya dinamika kebutuhan ruang dalam rangka memfasilitasi kepentingan pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat menuntut adanya tata ruang kota yang mampu mengakomodasikan kepentingan berbagai pihak.

  Pemanfaatan ruang kota sering timbul konflik kepentingan diantara kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi masyarakat akibat belum tertatanya kota secara optimal. Hal ini dapat dikarenakan tidak tegasnya penetapan fungsi-fungsi ruang kota dan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang tidak konsisten menurut fungsi- fungsi yang telah ditetapkan. Tidak adanya kaitan fungsional dan struktural antar kegiatan dan kawasan juga sering menjadi penyebab tidak optimal dan tidak terpadunya pemanfaatan ruang kota. Bagaimana sebenarnya pemanfaatan tata ruang kota itu sendiri?

  Tata ruang kota merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) dalam melakukan pengalokasian ruang yang tepat guna dan berdaya guna. Sejalan dengan permasalahan tata ruang yang semakin berkembang, telah disusun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Dengan adanya Undang-Undang ini telah memberikan kewenangan sekaligus kewajiban bagi pemerintah pada berbagai tingkatan untuk melakukan penataan ruang.

  Pada era pemerintahan saat ini, dengan berlakunya otonomi yang semakin luas maka kedalaman dan kerincian dari berbagai tingkatan rencana tata ruang yang juga diamanatkan oleh UU Nomor 26 Tahun 2007 akan semakin jelas. RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) hanya akan mernuat secara garis besar peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya serta jaringan prasarana nasional. Sementara RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) akan memuat rencana yang lebih rinci dari kawasan lindung dan budidaya di tingkat provinsi. Sedangkan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota) akan mernuat rencana yang sangat rinci atas tata guna tanah di wilayah kabupaten atau kota.

  Pada prinsipnya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah berjiwa desentralisasi. Ini terlihat dari pasal-pasal mengenai kewajiban penyusunan rencana tata ruang wilayah nasional, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Disebutkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 78 ayat (4) huruf c bahwa Pemerintah Daerah Provinsi perlu menyusun dan rnenetapkan rencana tata ruang wilayah propinsi, demikian juga Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkewajiban menyusun dan menetapkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

  Sebagai bentuk tindak lanjut dari isi undang-undang tersebut, setiap daerah terutama kota besar harus memiliki peraturan mengenai tata ruangnya. Salah satunya adalah Kota Medan yang merupakan kota besar dan memiliki daya tarik yang kuat. Hal ini mendorong masyarakat untuk bertransmigrasi sehingga

  

1

  terbanyak di Indonesia yakni 2.097.612 jiwa pada tahun 2010 dengan luas wilayah Kota Medan 26.510 Ha dengan tingkat kepadatan 7,9 jiwa/Ha. Tentunya Kota Medan mengalami ketidakseimbangan wilayah dan jumlah penduduk. Terlebih lagi Kota Medan adalah salah satu kota metropolitan, dimana aktivitas masyarakat semakin pesat dan membutuhkan ruang.

  Selain hal tersebut, di Kota Medan sangat sering dijumpai bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi ruang kota. Bahkan, sampai menyebabkan kerusakan keseimbangan dan lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berita Waspada tanggal 12 September 2012 yang disampaikan oleh menyatakan bahwa saat ini Kota Medan dijiluki sebagai Kota Ruko karena tidak memiliki perencanaan tata ruang. Semua tanah di tengah kota sudah tergarap tanpa aturan yang benar. Di pinggiran kota tumbuh rumah toko (ruko) sehingga kota menjadi gersang. Hal tersebut dikemukakan juru bicara Fraksi Partai Damai Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (F-PDS DPRD) Medan, Paulus Sinulingga saat menyampaikan pemandangan umum fraksi PDS terhadap Ranperda Rencana Detail Tata Ruang Kota Medan dalam sidang paripurna DPRD Medan yang dipimpin Ketua DPRD Medan, Amiruddin, di gedung DPRD Medan.

  Keserakahan pengguna tata ruang kota telah menjadikan kota Medan sebagai kota yang semrawut dan hampir tanpa identitas. Sebab, selama ini keberhasilan pembangunan kota hanya dilihat dari pembangunan gedung-gedung bertingkat yang mewah tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan, kemacetan lalu lintas, estetika kota, dan kepentingan masyarakat banyak.

                                                              

  Sehingga Pemerintah Kota Medan agar aturan yang telah ditetapkan dalam Ranperda RDTRK ini dipahami dan ditetapkan kepada kebutuhan kota yang sejalan dengan rencana pembangunan kota jangka panjang. Pembangunan fasilitas kota harus lebih cepat tumbuhnya dari pertumbuhan kebutuhan masyarakat agar kota Medan dapat menjadi kota yang ideal bagi kehidupan.

  Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan juga sebagai bentuk implementasi dari UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka Pemerintah Kota Medan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031. Perda ini diharapkan agar kota Medan mampu memiliki regulasi mengenai penataan ruang yang mengarahkan pembangunan serta pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Dengan adanya Perda ini juga dapat mengawasi bagaimana pembangunan dilakukan serta pemanfaatan ruang yang dijalankan di Kota Medan hingga pada saat ini.

  Penataan ruang memiliki sifat multisektor, multifungsi, dan multidimensi sehingga harus ditangani secara terpadu oleh lembaga/instansi yang memiliki tupoksi koordinatif. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 50 Tahun 2009 telah ditetapkan suatu badan koordinasi untuk melaksanakan Perda ini yakni Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dengan adanya lembaga koordinasi yang dibentuk oleh pemerintah, diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian masalah implementasi Perda ini dari terkait. Sehingga dalam pelaksanaannya akan terjadi kesinergisan. Pelaksana yang merupakan bagian dari badan koordinasi ini, khususnya di Kota Medan ditanggungjawabi oleh Walikota Medan dan terdiri dari instansi-instansi seperti Bappeda, SKPD terkait seperti Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan dan Badan Lingkungan Hidup.

  Peraturan Walikota sebagai Petunjuk Laksana/ Petunjuk Teknis Perda Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031 juga sudah menetapkan tugasnya masing-masing pelaksana. Dalam Lampiran Perda ini juga sudah dimuat indikasi program yang menjadi bagian dari para pelaksana. Program yang dijalankan berupa tahunan maupun 5 tahunan. Melihat urgensi terhadap pemenuhan tata ruang, sudah seperti apa pelaksanaan yang dilakukan setiap pelaksana.

  Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031”.

1.2. Rumusan Masalah

  Bagaimana proses Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031?

  1.3. Fokus Masalah

  Fokus masalah dalam penelitian ini adalah melihat implementasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kota Medan dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

  1.4. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Kota Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031 yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kota Medan

  1.5. Manfaat Penelitian

  Ada pun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

  a. Secara subyektif. Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literatur sehingga menghasilkan suatu wacana baru dalam memperkaya wawasan kepustakaan pendidikan.

  b. Secara praktis. Memberikan data dan informasi yang berguna bagi semua kalangan terutama bagi mereka yang serius mendalami proses Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031. c. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Deartemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi peneliti lainnya yang memiliki minat dalam mengkaji Implementasi Peraturan Daerah Kota Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

1.6. Kerangka Teori

  Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara mengonstruksi hubungan antar konsep dan proposisi dengan menggunakan asumsi

  2 dan logika tertentu (Kerlinger, 1973: 9).

  Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.6.1. Kebijakan Publik

  Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan publik bisa diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun Negara.

  Menurut Easton (1969), kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan

                                                               tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah

  3 yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

  Sedangkan menurut Anderson, kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan

  4 atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.

  Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata.

  Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki banyak proses dan variabel. Menurut William Dunn (1998), tahap-tahap kebijakan

  5

  publik adalah sebagai berikut :

  a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting) Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang disampaikan oleh mereka akan bersaing untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan memilih isu yang akan 3                                                              4 Tangkilisan, Hesel N. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi (Yogyakarta: YPAPI) hal. 2.

  Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik ( Yogyakarta: Media Pressindo) hal.

  16. mereka angkat. Sedangka isu yang lain ada yang tidak tersentuh sama sekali dan sebagian lagi akan didiamkan dalam waktu yang cukup lama.

  b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation) Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para pembuat kebijakan akan didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk memecahkan masalah.

  c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption) Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui program- program yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini, berabagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau criteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

1.6.2. Implementasi Kebijakan

  Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

  6 tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

  Menurut Dunn, implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-

  7

  aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang

  8 dimaksudkan untuk mencapai tujuan.

  Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model kebijakan, sebagai berikut: 6                                                               Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi 7 Kebijaksanaan Negara (Malang: UMM Press) hal.65.

   Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakarta: Gajah Mada 8 Unversity Press) hal. 132.

   Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa)

  9

a. Model Implementasi Kebijakan George Edward III

  Gambar 1.6.2.1.: Dampak Langsung dan Tidak Langsung Dalam Implementasi

  Menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu:

  a.1. Komunikasi

  Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya. 9                                                               Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta:

  a.2. Sumber daya

  Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi program/kebijakan pemerintah. Sebab tanpa kehandalam implementor, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan sumber daya finansial menjamin keberlangsungan program/kebijakan. Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.

  a.3. Disposisi

  Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang paling penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan di hadapan anggota kelompok sasaran. Sikap ini menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan program/kebijakan.

  a.4. Struktur Birokrasi

  Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/kebijakan.

  SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor.

  Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat. Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis, dan birokratis.

  10

b. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

  Model implementasi kebijakan dari Meter dan Horn menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan suatu model

                                                               kinerja kebijakan. Beberapa variabel yang terdapat dalam Model Meter dan Horn adalah sebagai berikut:

  b.1. Standart kebijakan dan sasaran

  Standart dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.

  b.2. Kinerja kebijakan

  Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan di awal.

  b.3. Sumber daya

  Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan. Hal sulit yang terjadi adalah berapa nilai sumber daya (baik finansial maupun manusia) untuk menghasilkan implementasi kebijakan dengan kinerja baik. Evaluasi program/kebijakan seharusnya dapat menjelaskan nilai yang efisien.

  b.4. Komunikasi

  Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program.

  Komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan, misalnya: seberapa sering rapat menunjuk adanya tuntutan saling dukung antar institusi yang berkaitan dengan program/kebijakan.

  b.5. Karakteristik

  Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.

  b.6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

  Lingkungan sosial, ekonomi dan politik, menunjuk bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

  b.7. Sikap pelaksana

  Sikap pelaksana, menunjuk bahw sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.

  Komunikasi Antar Organisasi dan Pelaksanaan Kegiatan Standar dan Sasaran

  Kinerja Karakteristik Sikap Pelaksana Kebijakan

  Badan Pelaksana Sumber Daya Lingkungan Sosial,

  Gambar 1.6.2.2.: Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

  Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975: 463

  11

c. Model Implementasi Kebijakan Grindle

  Implementasi menurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program, (6) sumber daya yang dilibatkan.

  Demikian dengan konteks kebijakan juga memengaruhi proses implementasi. Yang dimaksud Grindle dengan konteks kebijakan adalah: (1) kekuasaan kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran, dan para pelaksana program akan bercampur baur memengaruhi efektivitas implementasi.

  Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang 11                                                              Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) dikemukakan oleh van meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.

  Policy Goals I mplementing Activities Outcomes: I nfluenced by: a.

  I mpact on society, individuals, and

a. Content of Policy

groups

  

 Intersts affected

  b. Change and its

 Type of benefits

  Goals  Extent of change envisioned  Site of decision making achieved?

   Program implementors  Resources committed

  b. Context I mplementation  Power, interests, and strategies of actors involved  Institution and regime

characteristics

 Compliance and

responsiveness

  Action Programs and I ndividual Projects Designed and Funded Programs Delivered as designed? MEASURI NG SUCCESS Gambar 1.6.2.3.: Implementasi sebagai proses politik dan administratif (Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press, New Jersey, p. 11)

  12

d. Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian

  Menurut Sebatier dan Mazmanian (1983), ada tiga kelompok variabel yang mmengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari

                                                               masalah (tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan undang-undang (ability of state to structure implementation), (3) variabel lingkungan

(nonstatutory variables affecting implementation) (Subarsono,2009: 94).

  Kerangka berpkir yang mereka tawarkan juga mengarah pada dua persoalan yang mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya mematuhi peraturan yang ada.

  13

e. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach

  Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan mekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:

  1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana.

  2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai. Syarat kedua ini kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang 13                                                               Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi

  Kebijaksanaan Negara (Malang: UMM Press) hal. 71. diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif menyerapnya. Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada dasarnya bukanlah

  

resources /sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar penghubung untuk

  memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu proses mengubah uang itu menjadi sumber- sumber yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.

  3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia. Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.

  4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran karena kebijakan tersebut telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak lain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebabsebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan Wildalsky (1973), menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru.

  5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky (1973) juga memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

  6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badan- badan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan badanbadan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan kemungkinan akan semakin berkurang.

  7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai, dan kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang penting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana program dapat dimonitor.

  8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju tercapainnya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.

  

1.6.3. Variabel Yang Relevan Dengan Implementasi Peraturan Daerah Kota

Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Medan Tahun 2011-2031

  Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang sedang berjalan (implementasi) dapat dilakukan dengan berbagai model pendekatan seperti di atas.

  Sehingga dapat dilihat pelaksanaan suatu kebijakan dengan variabel-variabel dalam model pendekatan tersebut. Oleh karenannya, model yang dipakai dalam penelitian Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031 adalah dengan melihat variabel:

  a. Standar Kebijakan dan Sasaran

  Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.

  b. Komunikasi

  Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi antar organisasi juga menunjuk adanya tuntutan saling dukung antar institusi yang berkaitan dengan program/kebijakan. Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program.

  c. Disposisi atau Sikap

  Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang paling penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen, dan demokratis.

  d. Sumber Daya

  Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Dengan adanya sumber daya finansial juga akan mendukung segala fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya kebijakan /program. Namun, tanpa adanya implementor yang berkeahlian, juga tidak mampu menterjemahkan kebijakan/program dengan baik walaupun fasilitas terpenuhi.

e. Struktur Birokrasi

  Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/kebijakan.

  1.6.4. Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

  Indonesia merupakan Negara Hukum. Segala kebijakan yang menyangkut kehidupan publik diatur dengan berlandaskan hukum oleh para pembuat kebijakan. Dengan adanya peraturan tersebut, maka dalam pengimplementasiannya juga akan sangat mudah dilakukan pengawasan.

  Pengawasan dilakukan dengan melihat apakah pengimplementasiannya sudah sesuai atau tidak dengan peraturan yang telah disusun. Untuk itu, diperlukan juga suatu peraturan pemerintah disusun dengan hukum yang jelas.

  Jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia (dengan penyesuaian penyebutan berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun

  14

  2004) adalah sebagai berikut :

  a. Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Pusat (1) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; (2) Peraturan Pemerintah; (3) Peraturan Presiden; (4) Presiden Menteri; (5) Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (6) Peraturan Direktur Jendral Departemen; dan (7) Peraturan Badan Hukum Negara.

  b. Peraturan Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Daerah (1) Peraturan Daerah Provinsi; (2) Peraturan/Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi; (3) Peraturan Daerah Kabupaten Kota; (4) Peraturan/Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

  Dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah jenis peraturan perundang- undangan yakni Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

  

1.6.4.1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang

  Sejalan dengan permasalahan tata ruang yang semakin berkembang, telah disusun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang-Undang No 24 Tahun 1992. Kesatuan wadah yang meliputi 14                                                              Indrarti, Maria Farida. 2011. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan) ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Undang – undang Nomor

  26 Tahun 2007 tentang tata ruang mengamanatkan bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :

  a) keterpaduan; b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c) keberlanjutan;

  d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; e) keterbukaan ; f) kebersamaan dan kemitraan; g) pelindungan kepentingan umum; h) kepastian hukum dan keadilan; dan i). akuntabilitas. (UU 26/2007).

  Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a). terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b). terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c). terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Hal ini tertuang di dalam Undang – undang Nomor 26 Tahun 2007.

  

1.6.4.2. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031

  Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan.

  Peraturan Daerah ini merupakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka strategi dan arahan kebijakan struktur dan pola ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 78 ayat (4) huruf c Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Medan disusun sebagai alat operasionalisasi pelaksanaan pembangunan di Wilayah Kota Medan. Penataan ruang wilayah Kota Medan bertujuan untuk: a). mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan serta mempunyai daya saing dan daya tarik sebagai daerah tujuan investasi; dan b). memanfaatkan ruang daratan, lautan dan udara untuk aktifitas pembangunan kota berbasis ekonomi di sektor perdagangan dan jasa, pariwisata serta industry yang berwawasan lingkungan.

1.6.4.3. Fungsi dan Manfaat RTRW Kota

  1.6.4.3.1. Fungsi RTRW Kota

  Fungsi RTRW kota adalah sebagai: 1. Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); 2. Acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah kota; 3. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah kota; 4. Acuan lokasi investasi dalam wilayah kota yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta; 5. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kota; 6. Dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah kota yang meliputi penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; dan 7. Acuan dalam administrasi pertanahan.

  1.6.4.3.2. Manfaat RTRW Kota

  Manfaat RTRW kota adalah untuk: 1. Mewujudkan keterpaduan pembangunan dalam wilayah kota 2. Mewujudkan keserasian pembangunan wilayah kota dengan wilayah sekitarnya; dan 3. Menjamin terwujudnya tata ruang wilayah kota yang berkualitas.

1.6.4.4. Muatan Materi Perda RTRW Kota Medan

  Adapun muatan materi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan adalah : a). tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah Kota Medan; b). rencana struktur ruang wilayah kota Medan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan; c). rencana pola ruang wilayah kota Medan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya; d). penetapan kawasan strategis kota; e). arahan pemanfaatan ruang wilayah Kota Medan yang terdiri dari indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan f). ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Medan yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

1.6.4.5. Pelaksana Perda RTRW Kota Medan

  Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pedoman Koordinasi Pemetaan Ruang Daerah, dalam melaksanaan penataan ruang daerah Kabupaten/Kota, maka Bupati/Walikota harus membentuk BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) dengan susunan sebagai berikut :

  Ketua : Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota Sekretaris : Kepala Bappeda Kabupaten/Kota Anggota : SKPD terkait

  SKPD terkait seperti Dinas TRTB, Dinas Perkim, Dinas Perhubungan, Dinas PU, Dinas Pertamanan, Dinas Perindag, Dinas Kebersihan, Bina Marga, Jasa Marga, PT. KAI, PT. Telkom, PN. Gas, PDAM Tirtanadi, BLH, dan Tarukim Provinsi.

1.7. Defenisi Konsep

  Defenisi konsep adalah

   istilah yang digunakan untuk menggambarkan

  secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Dengan konsep peneliti melakukan abstraksi dan menyederhanakan pemikirannya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa

  15

  kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainnya . Maka untuk mendapatkan batasan masalah yang jelas, defenisi konsep yang diberikan penulis adalah:

  a. Kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031.

  b. Implementasi kebijakan adalah tindakan atau proses atau pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan dijalankan dengan berbagai program untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Implementasi kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Implementasi Peraturan Daerah Kota Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031 dengan melihat variabel berikut:

Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031

8 130 133

Penyelenggaraan Demokrasi Partisipatif dalam Pembentukan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031

0 53 184

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah

0 4 1

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang - Implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 20 Tahun 2011 Dalam Penerbitan Ijin Usaha Minimarket

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Studi Tentang Penerbitan Izin Reklame di Kota Medan)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengawasan Izin Usaha Pariwisata Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Kepariwisataan(Studi Pemko Medan)

0 1 21

1 BAB I PENDAHULUAN - Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah : Pajak Restoran Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Politik Kebijakan Pemerintah Kota Medan Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Studi Kasus: Implementasi di Kecamatan Medan Johor)

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 7 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Subulussalam Provinsi Aceh

0 0 9