Manajemen Bencana Gempa dan Tsunami

MANAJEMEN BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI
Suatu Masukan Untuk Pasca Bencana
di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara
Ir. Supardiono Sobirin
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
Ir. R.W. Triweko, M.Eng, Ph.D
Universitas Katolik Parahyangan
Christiana Yuni Kusmiati, S.IP
Universitas Katolik Parahyangan

I. PENDAHULUAN
Bencana yang terjadi di Aceh saat ini merupakan bencana yang bersifat kompleks. Gempa
dan tsunami yang merupakan bentuk dari bencana geologi ini hanya merupakan sebagian
dari bencana yang kasat mata dialami oleh masyarakat Aceh. Namun keadaan ekonomi,
politik, sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat Aceh pasca bencana justru
akan memiliki potensi untuk secara akumulatif memperparah keadaan bencana yang
mereka alami sekarang ini. Masalah pengungsian, evakuasi korban bencana, pengiriman
dan pengelolaan bantuan beserta isu politik yang berkembang menyertainya, penjarahan,
pendataan, treatmen pengungsi, keberadaan HAM, dan sebagainya membuat situasi
bencana ini tidaklah sederhana. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam sendi
kehidupan sosial yang juga bercampur-baur dengan keadaan lingkungan fisik pasca

bencana, telah benar-benar memperlihatkan kompleksitas bencana yang terjadi di Aceh.
Kompleksitas bencana dan potensi masalah yang mungkin terjadi di wilayah bencana ini
seringkali mengarahkan pertanyaan tentang kondisi manajemen bencana yang ada saat ini
dan manajemen bencana seperti apa yang harus diaplikasikan di Aceh dan Sumatera
Utara
II. MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA
Manajemen bencana pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai pengelolaan berbagai
upaya dan tindakan yang dilakukan untuk pencegahan, penjinakan atau mitigasi,
penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, baik sebelum, pada saat, maupun setelah
kejadian bencana. (Pribadi dan Merati, 1996). Tindakan-tindakan tersebut pada umumnya
meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengarahan,
pemantauan, evaluasi dan pengendalian yang dapat teraktualisasi dalam bentuk
sekumpulan kebijakan dan keputusan administratif maupun aktivitas-aktivitas yang
bersifat operasional.
Berdasarkan pemahaman akan konsep manajemen bencana tersebut, maka
refleksi terhadap bencana yang terjadi di Aceh dan Sumut telah memperlihatkan adanya
kelemahan dalam manajemen bencana yang diterapkan di Indonesia. Generalisasi
demikian bukanlah merupakan pernyataan yang berlebihan, apabila dikaitkan dengan
kondisi real masyarakat Aceh dan Sumut pada saat pra-bencana, bencana dan pasca
bencana. Fakta adanya ketidaktahuan masyarakat akan ancaman bencana setelah kejadian

gempa yang mereka rasakan sesaat sebelum tsunami melanda, fakta besarnya korban dan
dampak yang ditimbulkan serta sulitnya koordinasi yang terjadi dalam penanganan
1

bantuan setelah bencana merupakan cerminan nyata dari kelemahan manajemen bencana
di Indonesia.
Kelemahan manajemen bencana tersebut dapat dimungkinkan terjadi karena
beberapa faktor. Pertama, lemahnya pemahaman akan manajemen bencana pada seluruh
stakeholder yang ada baik pada level decision maker, pelaku formal dalam penanggulangan
bencana maupun masyarakat. Manajemen bencana selama ini hanya dipahami secara elitis
dilingkar akademisi, struktur Bakornas PBP yang merupakan institusi formal yang
bertugas dalam penanggulangan bencana dan pemerhati lingkungan. Masyarakat pada
umumnya awam terhadap konsep ini. Jikapun terdapat beberapa praktik tradisional
mengenai manajemen bencana, namun kian hari pemahaman dan praktik tersebut kian
luntur dan dianggap bukan hal yang penting untuk menjadi prioritas. Walaupun
pemahaman akan manajemen bencana sudah ada meski pada tingkatan yang terbatas,
namun pemahaman tersebut nampaknya lebih didominasi pada pemahaman manajemen
bencana yang bersifat konvensional. (Paripurno, 2003). Dalam manajemen bencana
konvensional, praktik pengelolaan bencana lebih memposisikan masyarakat sebagai objek
yang pemahamannya beserta keterlibatannya di dalam pengelolaan bencana bukan

merupakan sebuah keharusan. Manajemen bencana model inipun lebih menempatkan
pemerintah sebagai aktor utama yang berperan dalam manajemen bencana. Dengan
pemahaman demikian maka wajar jika masyarakat menjadi awam akan apa yang dimaksud
dengan bahaya, bencana, faktor penyebab, dampak dalam skala yang luas hingga pada
cara pencegahan dan penanggulangan yang benar dan tepat. Selama ini pemahaman
tersebut hanya terbentuk berdasarkan self-perception. Kondisi ini tentulah membawa
dampak pada lemahnya daya dukung bagi kegiatan manajemen bencana yang dilakukan.
Kedua, lemahnya kapasitas organisasi formal Bakornas PBP dalam manajemen
bencana. Organisasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi yang pembentukannya didasarkan pada Keppres No. 3 Tahun
2001 dan Keppres No. 111 Tahun 20011 ini merupakan organisasi yang memiliki tugas
yang besar namun dengan kapasitas dan fleksibilitas yang amat terbatas. Keterbatasan
kapasitas dan fleksibilitas ini dapat terjadi karena ketidakselarasan antara tugas dan tata
kerja Bakornas PBP, keanggotaan serta sifat organisasi birokrasi. Dalam Keppres No. 3
Tahun 2001 nampak bahwa pada dasarnya Bakornas PBP memiliki tugas yang bukan
hanya terfokus pada kondisi post-emergence atau pasca bencana melainkan juga sebagai
badan yang bertugas untuk mengelola berbagai tindakan dalam rangka pencegahan
bencana. Namun demikian dalam tata kerja yang termuat dalam keppres tersebut masih
nampak bahwa tata kerja yang berlaku justru menunjukkan bahwa badan ini hanya
berfungsi sebagai badan ad hoc yang bekerja dalam penanggulangan bencana dan

pengungsi pasca bencana. Kondisi ini tentulah melemahkan kapasitas organisasi untuk
menjalankan manajemen bencana secara optimal. Faktor yang kedua berkaitan dengan
keanggotaan organisasi. Organisasi ini beranggotakan pejabat-pejabat struktural
pemerintah pusat yang berkedudukan sebagai pimpinan departemen dan kementrian dan
juga pejabat daerah yang berkedudukan sebagai kepala daerah. Kondisi ini tentulah
menjadi kendala bagi totalitas penanganan manajemen bencana, mengingat tugas dan
tanggungjawab utama mereka dalam posisi sebagai pejabat struktural pemerintahan yang
tentunya sudah sangat kompleks. Selain itu keanggotaan tersebut juga memungkinkan
1

Keppres No. 111 Tahun 2001 merupakan revisi dari Keppres No. 3 Tahun 2001. Dalam Keppres ini
perubahan terjadi pada susunan keanggotaan Bakornas PBP. Susunan keanggotaan PBP saat ini terdiri
dari Wakil Presiden RI sebagai ketua, Menkokesra sebagai wakil ketua, sedangkan anggota terdiri dari
Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah,
Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Panglima TNI, Kapolri serta Gubernur yang wilayahnya
terkena bencana/terjadi pengungsian.
2

sulitnya koordinasi dalam tubuh Bakornas sendiri. Sebagai organisasi yang diisi oleh
pejabat-pejabat pemerintah maka tugas manajemen bencana yang diembannya lebih

condong bersifat birokratis yang lekat dengan kepatuhan dan struktur yang hierarkhis dan
prosedur formal birokrasi sehingga fleksibilitas kerja sangat sulit dilakukan. Pertimbangan
budget dan panduan legal basis yang seringkali menjadi sandaran kerja birokrasi, nampak
menjadi kendala tersendiri bagi organisasi ini untuk dapat menjalankan fungsi sebagai
aktor formal dalam manajemen bencana. Oleh karena itu, struktur Bakornas dirasakan
terlalu sempit untuk mengurusi masalah bencana di negara kita. Hal itu tentulah
merupakan kondisi yang memprihatinkan jika mengingat Indonesia merupakan negara
dengan resiko bencana yang tinggi. Pengalaman peristiwa bencana di NAD dan Sumut ini
haruslah dapat digunakan sebagai momentum untuk mereformasi manajemen bencana di
Indonesia.
III. RESIKO BENCANA DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN
SUMATERA UTARA
Mengingat bahwa bencana sebenarnya merupakan peristiwa yang dapat terjadi
karena banyak faktor alam dan ulah manusia yang saling kait mengait, identifikasi
terhadap aspek alam serta manusia dalam konteks sosial dan politik dapat memberikan
indikasi mengenai tingkat kerentanan wilayah NAD dan Sumut terhadap bencana.
Bencana alam geologi yang terjadi di kedua wilayah ini sebenarnya merupakan bencana
yang telah berbaur dengan terjadinya bencana sosial yang menunjukkan indikasi
kemungkinan terjadinya bencana yang kompleks. Kondisi alam yang ada serta situasi
masyarakat dan kondisi sosial, politik (terutama untuk wilayah Aceh) telah membuat

kedua wilayah ini sebagai daerah dengan resiko bencana yang tinggi. Jika diamati secara
seksama bencana alam yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipologi bencana,
yakni bencana alam geologi, bencana iklim, bencana lingkungan dan bencana sosial,
seperti dipaparkan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Resiko Bencana di NAD dan Sumut
Jenis Ancaman Bahaya
Resiko Bencana
Ancaman Bahaya Geologi
1. Gempa Bumi
2. Tsunami
3. Tanah Longsor
Ancaman Bahaya Iklim
1. Badai
2. Banjir
3. Kekeringan
Ancaman Bahaya Lingkungan
1. Polusi
2. Penjarahan Hutan
3. Alih Fungsi Lahan
4. Teknologi Tidak Tepat Guna

5. Wabah Penyakit
6. Gagal Panen
Ancaman Bahaya Sosial
1. Kerusakan Budaya
2. Budaya Tidak Disiplin
3. Politik Tidak Memihak Rakyat
4. Konflik/Kerusuhan

Sangat Rawan
Sangat Rawan
Sangat Rawan
Agak Rawan
Rawan
Agak Rawan
Agak Rawan
Sangat Rawan
Sangat Rawan
Rawan
Rawan
Rawan

Sangat Rawan
Sangat Rawan
Sangat Rawan
Sangat Rawan
3

Dari kondisi iklim setelah pasca gempa dan tsunami yang menimpa, maka kedua
wilayah ini juga masih harus menghadapi ancaman bahaya banjir yang rawan dan juga
badai serta kekeringan dengan tingkat kerentanan dengan kategori agak rawan. Sementara
itu wilayah ini juga rentan terhadap bahaya bencana lingkungan. Terdapat 5 bentuk
ancaman bahaya bencana lingkungan yang mengancam masyarakat kedua wilayah.
Penjarahan / perambahan hutan serta alih fungsi lahan merupakan dua bentuk ancaman
bahaya lingkungan yang diindikasikan akan sangat rawan terjadi. Praktik-praktik
penerapan teknologi tidak tepat guna dalam rangka pembangunan kembali kedua wilayah
juga merupakan satu bentuk ancaman bencana lingkungan yang rawan terjadi. Belum lagi
pencemaran lingkungan, kondisi gagal panen serta wabah penyakit yang menjadi situasi
yang umum dialami oleh masyarakat di wilayah pasca bencana juga potensial terjadi
disana. Tingkat kerentanan yang diindikasikan terdapat di daerah-daerah ini juga termasuk
pada bentuk ancaman bencana yang amat vital yakni ancaman bencana sosial. Situasi
politik yang tidak memihak rakyat dan konflik ataupun kerusuhan yang mungkin

menyertai penataan kembali kedua wilayah ini pasca gempa dan tsunami. Sementara itu
budaya tidak disiplin serta benih-benih kerusakan budaya lainnya yang telah ada dan
mewarnai kehidupan masyarakat (terutama di wilayah Aceh) juga menjadi ancaman
bahaya sosial yang rawan untuk memperparah kondisi bencana masyarakat. Keempat
jenis ancaman bencana ini saling berinteraksi dan berakumulasi menjadi sebuah kondisi
kerentanan yang membutuhkan pola manajemen yang tidaklah mudah.
IV. MANAJEMEN BENCANA UNTUK NANGGROE ACEH DARUSALAM
DAN SUMATERA UTARA
Ketidakberdayaan atau menurunnya kapasitas merupakan gambaran umum yang
seringkali nampak di setiap wilayah ataupun setiap komunitas yang telah tertimpa
bencana. Gambaran itu pulalah yang nampak di NAD dan Sumut pasca bencana gempa
dan tsunami.. Trauma yang luar biasa, hilangnya aset-aset sosial yang dimiliki komunitas,
porak prandanya modal-modal fisik berupa infrastruktur dasar serta hilangnya sumber
mata pencaharian, secara akumulatif telah menimbulkan suasana ketidakberdayaan yang
sangat kompleks. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bencana gempa dan tsunami
NAD dan Sumut telah menyebabkan hilangnya atau menurunnya kapasitas penduduk
untuk menjalankan fungsi keindividuannya dan fungsi sosial mereka. Pemahaman akan
kondisi ini menjadi hal penting yang mendasar dalam penentuan manajemen bencana di
NAD dan Sumut.
Pada hakekatnya manajemen bencana di NAD dan Sumut hendaklah

mendasarkan pada prinsip community based dan bersifat memberdayakan. Dengan
mendasarkan diri pada komunitas, maka berbagai tindakan manajemen dalam bentuk
kebijakan maupun aktivitas pengurangan resiko bencana haruslah dirancang oleh dan
untuk komunitas yang ada di wilayah NAD dan Sumut. Dengan prinsip ini pula maka
manajemen bencana dituntut untuk selalu menempatkan masyarakat sebagai subyek yang
aktif dan memiliki berbagai kemampuan atau kapasitas yang dapat diberdayakan. Semua
pihak baik pemerintah, masyarakat ataupun swasta haruslah ditempatkan sebagai subyek
yang setara. Semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Berbagai tindakan
manajemen bencana haruslah selalu diarahkan pada capaian dampak jangka panjang
berupa kondisi masyarakat NAD dan Sumut yang berdaya baik dalam kapasitasnya
sebagai individu, keluarga atau masyarakat dalam rangka mengatasi tingkat kerentanan
terhadap bencana terutama gempa dan tsunami.

4

Prinsip back to basic juga menjadi prinsip yang harus mendasari pola manajemen
bencana di kedua wilayah. Dengan pemahaman akan tingkat kerentanan di kedua wilayah
bencana ini, maka berbagai kebijakan maupun aksi pembangunan yang dilakukan harus
dapat menyesuaikan dengan alam, meningkatkan kapasitas manusia dan tidak
menghantarkan komunitas atau wilayah pada bencana. Prinsip demikian menjadi penting

untuk menghindarkan diri dari resiko bencana di kedua wilayah.
Dengan pertimbangan kondisi NAD dan Sumut saat ini, yang sedang berada
dalam suasana krisis, maka manajemen bencana di kedua wilayah lebih diarahkan pada
upaya untuk penanggulangan situasi krisis yang disebabkan oleh bencana. Hal ini tentulah
dilakukan dengan tidak mengabaikan upaya untuk menetapkan landasan keberdayaan
serta kesiapan bagi warga wilayah NAD dan Sumut untuk menghadapi ancaman bencana,
yang merupakan bagian dari tujuan manajemen bencana.
Berdasarkan pada ketiga prinsip yang telah dipaparkan di atas, maka model
manajemen bencana pada fase penanggulangan bencana haruslah menjadi pola
manajemen yang memfokuskan pada peningkatan kapasitas penduduk korban dalam
rangka mengatasi krisis yang mereka hadapi, membangun kesiapan diri terhadap bencana
dengan mendasarkan pada pilihan serta pertimbangan mereka yang bersesuaian dengan
kondisi alam dan tanpa bersifat paksaan. Pemahaman manajemen bencana seperti ini
hendaknya akan menempatkan penduduk NAD dan Sumut sebagai subyek dalam
manajemen bencana. Oleh karena itu kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan
hendaklah tidak bersifat reaktif tetapi lebih mendasarkan pada analisis kebutuhan
masyarakat NAD dan Sumut yang dilakukan secara seksama dan komprehensif. Dengan
pola semacam ini maka berbagai tindakan penanggulan yang dilakukan akan lebih
berorientasi pada pembangunan kapasitas baik kapasitas untuk mengembangkan prilaku
adaptif, rasional dan pro-sosial atau kapasitas dan kesediaan untuk menjalin interaksi
sosial dalam masyarakat dan bukan mengutamakan pada pengerahan bantuan material
atau fisik semata.
Sedangkan manajemen bencana yang berorientasi untuk menciptakan kesiapan
terhadap bencana dan menghindarkan atau meminimalkan dampak dapat dilakukan
dengan penyusunan kerangka kerja persiapan bencana yang bersifat komprehensif.
Kerangka tersebut dapat meliputi kegiatan pengkajian kerentanan, perencanaan, kerangka
kerja institusional, sistem informasi, basis sumber daya, sistem peringatan, mekanisme
respon, pendidikan, pelatihan dan penelitian serta gladi.
Pengkajian kerentanan. Kegiatan pengkajian kerentanan merupakan kegiatan
strategis yang dapat dilakukan dengan cara penelitian. Kajian kerentanan ini hendaknya
diarahkan pada korban gempa dan tsunami, objek wilayah, kondisi bangunan dan
infrastruktur serta korban gempa dan tsunami. Kegiatan ini pada akhirnya diharapkan
akan dapat menghasilkan informasi mengenai tingkat kerentanan pada obyek yang
beraneka. Kajian kerentanan yang diarahkan untuk melakukan pemetaan zona-zona yang
rentan bencana di wilayah NAD dan Sumut, hendaknya dapat menghasilkan sebuah peta
zonasi bencana hingga pada unit yang paling rendah yakni dusun atau gampong untuk
wilayah NAD dan unit dusun di wilayah Sumut. Kajian kerentanan yang diarahkan pada
obyek bangunan dan infrastruktur di wilayah yang terkena gempa dan tsunami hendaknya
dapat memberikan informasi mengenai standar bangunan yang tahan gempa dan tsunami.
Kegiatan ini dapat dilakukan pada bangunan dan infrastuktur yang masih utuh atau
bertahan pada saat gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu. Kajian kerentanan lain
yang perlu dilakukan adalah kajian pada korban gempa dan tsunami. Melalui kajian ini
diharapkan akan terdapat penegasan informasi mengenai cara pengamanan diri dan
tingkat kerentanan sebuah wilayah untuk menjadi kawasan hunian. Seluruh kajian ini
5

hendaknya dilakukan secara berkelanjutan sehingga khusus terhadap kajian kerentanan
korban, dapat diidentifikasikan kelompok masyarakat yang rentan terhadap bencana.
Rentan dalam hal ini dikaitkan dengan kemampuan mereka untuk memulihkan trauma
akibat bencana. Hasil pengkajian ini tentunya dapat meningkatkan pemahaman publik
akan tingkat kerentanan lingkungan, hunian dan diri mereka sendiri. Informasi ini akan
sangat berguna dalam merencanakan kesiapan bencana baik bagi dirinya, keluarganya
maupun masyarakat di sekelilingnya
Perencanaan. Kegiatan pengkajian yang telah dilakukan akan dapat menjadi
informasi dasar bagi kegiatan perencanaan. Perencanaan tersebut haruslah memiliki
serangkaian tujuan yang jelas bagi semua pihak serta merefleksikan rangkaian kegiatan
yang logis. Perencanaan ini juga harus juga menetapkan tugas dan tanggungjawab dari
setiap stakeholder yang terlibat. Sebuah perencanaan yang komprehensif akan dapat
menggambarkan daya dukung implementasi, jika dilakukan dengan cara yang partisipatif.
Berbagai pertimbangan serta masukan dari setiap stakeholder yang ada harus
mendapatkan ruang pembahasan sehingga tingkat pemahaman mengenai tujuan dan
langkah-langkah aksi yang akan ditetapkan kemudian sudah akan terbangun dengan baik
sejak dari fase perencanaan ini. Perencanaan ini pun haruslah memiliki dasar legal yang
cukup agar mampu memiliki daya gerak terhadap seluruh komponen masyarakat karena
diarahkan untuk mengendalikan berbagai pilihan aksi pembangunan individu maupun
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat.
Kerangka kerja institutional. Implementasi perencanaan yang partisipatif akan
memiliki daya dukung implementasi yang lebih besar jika perencanaan tersebut
mendasarkan pada sistem dan struktur yang telah ada dan berjalan dengan baik, sehingga
tidak menuntut perubahan dan adaptasi yang terlalu mendasar dari aspek kelembagaan.
Lembaga yang dibentuk ini haruslah kuat serta memiliki kapabilitas serta kekuatan yang
cukup untuk mengimplementasikan perencanaan mitigasi. Oleh karena itu identifikasi
mengenai peran dan tanggungjawab dari setiap unit yang ada dalam lembaga tersebut
haruslah dipastikan sehingga dapat ditindaklanjuti dengan penempatan individu-individu
ataupun unit yang cocok dalam menjalankan peran dan tanggungjawab yang ada.
Sistem informasi. Kerangka kesiapan bencana akan dapat dijalankan secara
optimal jika seluruh stakeholder yang ada paham akan berbagai informasi berkenaan
dengan tingkat kerentanan yang dihadapinya. Oleh karena itu, peran sistem informasi
menjadi sangat penting untuk menciptakan kesiapan tersebut. Seluruh pihak perlu
memahami informasi ancaman bahaya sepanjang waktu. Jaminan distribusi informasi
yang berkelanjutan dan valid ini menjadi tugas dari institusi fungsional yang resmi seperti
Badan Meteorologi dan Geofisika. Namun demikian akurasi dan kontinuitas informasi
bukanlah merupakan jaminan kondisi kesiapan publik. Lembaga fungsional yang
berwenang tadi juga harus menjamin agar informasi yang tepat, sampai pada orang yang
tepat, dengan cara yang tepat pula. Oleh karena itu, penggunaan cara-cara informatif yang
sesuai dengan kondisi penerima informasi harus mendapat perhatian yang cukup.
Informasi ini juga diharapkan akan menjadi sebuah bentuk peringatan dini bagi pihakpihak yang terkait, sehingga masing-masing pihak akan mampu menentukan tindak lanjut
dari informasi tersebut secara tepat.
Basis sumber daya. Penyusunan kelembagaan tentulah harus didukung dengan
kesiapan dana manajemen bencana yang mampu membiayai langkah-langkah pelaksanaan
program secara berarti sehingga efektif dalam rangka pencapaian tujuan. Mekanisme
koordinasi bantuan juga hendaknya didesain dengan tepat termasuk mekanisme
penyimpanan bantuan serta distribusinya.

6

Sistem peringatan. Upaya untuk menciptakan kesiapan bencana pada publik
juga hendaknya dilengkapi dengan sistem peringatan yang efektif bagi masyarakat, dalam
arti dijamin akan dipatuhi oleh masyarakat. Sistem peringatan ini pun hendaknya harus
diciptakan dengan asumsi bahwa sistem komunikasi tidak berfungsi pada saat bencana
terjadi, sehingga dimungkinkan untuk menciptakan sistem peringatan alternatif. Cara-cara
peringatan yang diarahkan untuk menjaga ingatan publik juga hendaknya diciptakan
sebagai cara untuk tetap mengendalikan berbagai prilaku masyarakat serta menciptakan
kewaspadaan diri. Penetapan tanggal 26 Desember sebagai hari peringatan bencana
nasional merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan. Penempatan tanda-tanda
khusus di lokasi-lokasi bekas bencana yang juga menginformasikan mengenai bentuk
bencana, tahun bencana dan korban bencana juga dapat diterapkan dalam rangka
membangun kewaspadaan publik. Selain itu menjaga berbagai macam bentuk kearifan
lokal yang sudah dipraktekan dalam rangka mitigasi bencana juga tetap dapat
dipertahankan, seperti mitos masyarakat tentang smoong yang berlaku di Pulau Simeuleu
yang ternyata masih efektif dipercaya masyarakat setempat dan mampu menyelamatkan
warga masyarakat dari bencana gempa dan tsunami.
Mekanisme respon. Perencanaan mekanisme respon terhadap bencana haruslah
ditetapkan dengan matang dan komprehensif. Prosedur evakuasi dan SAR, keadaan
daerah yang terkena bencana, tim penilai, mekanisme aktivasi instalasi dan prasarana
khusus, penyiapan distribusi bantuan, tempat perlindungan serta perencanaan
pengaktifan program emergensi untuk bandara, pelabuhan dan transportasi darat
merupakan hal-hal minimal yang harus tercover dalam mekanisme respon bencana.
Pendidikan, pelatihan dan penelitian. Sehubungan dengan masih rendahnya
pemahaman seluruh stakeholder tentang bencana dan manajemen bencana, maka
program pendidikan yang diarahkan untuk memberikan informasi serta menumbuhkan
pemahaman akan bencana haruslah ditanamkan sejak awal. Upaya pendidikan
kebencanaan yang dimasukkan sebagai kurikulum baku, pelatihan khusus melalui
lokakarya merupakan alternatif yang dapat ditempuh dalam rangka pendidikan dan
pelatihan. Upaya penelitian berkaitan dengan bencana juga harus dilakukan dengan
dukungan dana dan fasilitas yang memadai. Pelatihan-pelatihan juga dapat dilakukan ke
seluruh kelompok masyarakat dengan cara-cara yang tepat sesuai dengan karakter target
group. Pelatihan hendaknya diarahkan untuk memahami tata cara penyelamatan diri.
Media-media cetak dan elektronik dapat digunakan secara optimal untuk menjangkau
seluruh elemen publik. Sosialisasi mengenai bencana dan manajemen bencana juga dapat
menggunakan media poster-poster yang sangat mudah untuk dicerna masyarakat.
Gladi. Pemberian informasi serta pengetahuan akan lebih bermakna dan mampu
menggerakkan pemahaman target group bila disampaikan dengan metode praktis
misalkan dalam bentuk gladi yang merupakan simulasi dengan skenario yang tepat. Pola
gladi atau pelatihan ini merupakan salah satu fungsi kontrol dalam manajemen bencana
berbasis masyarakat. Gladi ini haruslah dikemas dalam pola yang serius, dilaksanakan
secara rutin dan luas dalam arti diarahkan pada seluruh masyarakat, sehingga benar-benar
akan mampu menciptakan pemahaman dan kesiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Dalam rangka ini berbagai modul pelatihan yang mudah diserap harus disiapkan
dalam rangka memudahkan pelaksanaan gladi.
V. KESIMPULAN
§

Manajemen bencana di Indonesia sangat lemah dan tidak mampu untuk mengawal
penanggulangan bencana yang sedemikian bervariasi baik jenis dan skalanya.
7

§

Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD dan Sumut merupakan momentum
strategis untuk melakukan reformasi manajemen bencana di Indonesia.

§

Perlu segera diterbitkan undang-undang tentang kebencanaan sebagai payung legal
reformasi manajemen bencana berbasis masyarakat.

§

Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah menciptakan kondisi
masyarakat yang berkapasitas, tidak rentan, mampu menolong diri sendiri dan
kelompoknya dalam menghadapi ancaman bahaya yang berpotensi menjadi bencana.

§

Diperlukan prasyarat agar manajemen bencana berbasis masyarakat dapat
direalisasikan, antara lain perlu adanya tokoh penggerak yang memiliki keterkaitan
dan basis sosial yang kuat, konsep yang jelas, obyek aktivitas yang jelas, bahasa
komunikasi yang tepat berbasis kearifan budaya setempat, dan jaringan informasi
yang mudah diakses setiap saat.

§

Manajemen bencana ini perlu disiapkan dan diinformasikan secara efektif pada semua
pihak agar mampu menciptakan iklim kewaspadaan. Upaya sosialisasi yang efektif
dalam rangka memberikan pemahaman pada masyarakat harus senantiasa dilakukan.
Informasi ini diarahkan untuk membantu masyarakat menolong dirinya sendiri serta
meningkatkan kapasitas masyarakat, baik kapasitas individual dalam bentuk
terbangunnya kesadaran, motivasi dan kesadaran fisik maupun kapasitas
kelembagaan. Upaya manajemen bencana juga hendaknya memperhatikan dan
bersandar pada kearifan lokal yang mampu memelihara tatanan dan kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bencana.

§

Bahan sosialisasi manajemen bencana berbasis masyarakat harus mudah dimengerti
dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahap-tahap pencegahan,
mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

§

Manajemen bencana akan menjadi efektif apabila direalisasikan dalam bentuk
pelatihan yang akan mampu menanamkan kesiapan masyarakat sejak situasi prabencana.

VII. DAFTAR PUSTAKA
Eade, Deborah. 1997. Capacity Building An Approach to People-Centered Development. UK: Oxfam
Keppres RI No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi.
Keppres No. 111 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
Paripurno, Eko Teguh. 2003. Manajemen Bencana Berbasis Komunitas: Seperti Apa? Tersedia di
www.peduli-bencana.or.id
Pribadi, Krishna S. dan Gde Widyadnyana Merati. 1996. Mitigasi Bencana. Bandung: ITB
Tobin, Graham A. and Burrell E. Montz. 1997. Natural Hazards Explanation and Integration. New
York: The Guilford Press.
United Nation Disaster Management Training Programme. 1992. Tinjauan Umum Bencana.
Tersedia di http: //www.undmtp.org/Indonesian/Overview/Tinjauan%20Umum%20
Manajemen %20Bencana.pdf

8