Struktur Keluarga Jepang dan Implementas

Struktur Keluarga Jepang dan Implementasinya dalam Keluarga Indonesia*1
Rima Devi
Jurusan Sastra Jepang FIB, Universitas Andalas
rima_devi2004@yahoo.com

Keluarga adalah satu institusi penting dalam masyarakat di manapun berada. Dari keluarga individu berasal,
tumbuh, dan menjadi dewasa kemudian membentuk keluarga sendiri dan akhirnya meninggal dunia juga dalam
keluarga. Jepang yang berada pada belahan timur mengalami perubahan struktur keluarga karena pengaruh politik,
ekonomi, dan budaya. Ogawa Yoko seorang novelis Jepang kemudian menangkap perubahan struktur keluarga
tersebut dan menawarkan satu struktur keluarga yang disebut dengan interdependent family relationship yang
merupakan pengejawantahan dari ideologi yang dianutnya yaitu sekte Konko.
Sementara itu pada masyarakat Indonesia sebagaimana masyarakat Jepang yang merupakan negara bagian Timur
memiliki beragam suku dan agama. Keberagaman suku dan agama mempengaruhi struktur keluarga yang terbentuk
di Indonesia. Bagaimana implementasi struktur keluarga Jepang dalam keluarga Indonesia merupakan bahasan
pada tulisan ini. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra dengan metode kajian pustaka. Hipotesis dari
tulisan ini adalah faktor pembentuk struktur keluarga di Indonesia adalah latar belakang suku dan agama.
Kata kunci: sosiologi sastra, keluarga, struktur keluarga, Ogawa Yoko

Pendahuluan
Bourdieu (1996) mengatakan keluarga telah terinternalisasi secara kolektif pada diri tiap-tiap individu karena
keluarga adalah konstruksi dasar dari kenyataan sosial. Bourdieu berkeyakinan bahwa keluarga adalah produk dari

institusionalisasi dengan tujuan membuat setiap anggotanya merasa menjadi bagian dari satu unit yang eksis dan
kokoh. Sesuai dengan pernyataan Bourdieu ini maka masyarakat di belahan bumi ini baik pada negara Barat
maupun negara Timur memiliki institusi yang disebut dengan keluarga. Keluarga yang terbentuk memiliki struktur
yang beragam, yang oleh para ahli seperti Murdock dikelompokkan ke dalam keluarga besar atau extended family
dan keluarga batih atau nuclear family.
Keluarga batih disebut juga dengan keluarga modern dikarenakan struktur keluarga ini terdiri dari suami istri dan
anak-anak yang belum menikah. Keluarga batih dianggap sangat sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi
dan industri modern sehingga disebut sebagai keluarga modern. Hal ini mulai terlihat pada keluarga Jepang setelah
berakhirnya perang dunia kedua, ketika industri mulai berkembang, tumbuh pula kota-kota baru yang ditempati
oleh pasangan suami istri muda. Para suami pergi bekerja ke kantor dan pabrik-pabrik sementara para istri
mengurus rumah dan merawat anak-anak mereka. Para pasangan muda yang pindah ke kota industri ini berasal dari
keluarga besar. Mereka memisahkan diri dari keluarga asalnya karena alasan pekerjaan dan tempat tinggal. (Goode,
2007).
Berkaitan dengan keluarga batih yang sesuai dengan tuntutan industri modern maka keluarga besar disebut dengan
keluarga tradisional. Keluarga tradisional memiliki struktur keluarga yang anggotanya terdiri dari beberapa
generasi dan tinggal bersama dalam satu rumah. Anggota keluarga tradisional ini berjumlah sangat banyak
sehingga disebut juga dengan keluarga besar. Tiap-tiap kelompok masyarakat yang menganut sistem keluarga besar
memiliki aturan dan tata cara tersendiri dalam mengatur anggota dan mengelola keluarganya. Aturan yang
diterapkan biasanya berdasarkan ideologi yang dianut ataupun berdasarkan adat istiadat yang berlaku sehingga bisa
dipahami mengapa bentuk keluarga besar ini disebut juga dengan keluarga tradisional yang melaksanakan tradisi

mereka turun-temurun.
Negara yang umumnya menjalankan sistem kekeluargaan tradisional ini adalah negara Timur seperti Indonesia,
Jepang, China, India, dan lain sebagainya. Namun seiring dengan perkembangan dunia industri, sistem
kekeluargaan tradisional mengalami perubahan dan penyesuaian menurut tuntutan zamannya. Perubahan sistem
kekeluargaan tradisional menjadi keluarga modern terlihat cukup bermakna adalah pada masyarakat Jepang.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
1
 Dipresentasikan
 pada
 Seminar
 Internasional
 Sastra
 Bandung
 2015
 pada
 tanggal
 7-­‐8
 Oktober
 2015
 di
 Hotel
 Panghegar,
 Bandung,

 
dan
 dimuat
 pada
 buku
 Sastra
 Kita:
 Kini,
 Dulu,
 dan
 Nanti,
 disunting
 Resti
 Nurfaidah,
 M.Hum.,
 dkk.
 Cetakan
 Unpad
 Press,
 Jatinangor,

 
2015.
 
 

 

 


 

2
 

Perubahan struktur keluarga tidak hanya dipicu oleh perkembangan teknologi dan industri, namun oleh hal yang
lebih kuat yaitu peraturan perundang-undangan negara Jepang. Sistem kekeluargaan tradisional yang ditetapkan
sebagai sistem kekeluargaan negara Jepang yang tercantum di dalam undang-undang dasar negaranya dihapuskan
pada tahun 1947 dan masyarakat Jepang diarahkan untuk meninggalkan struktur keluarga tradisional dan
membangun struktur keluarga modern.


Perubahan sistem kekeluargaan secara yuridis tidak serta merta membuat sistem kekeluargaan dalam masyarakat
Jepang berubah. Sebagian besar masyarakat Jepang masih menjalankan sistem kekerabatan tradisional hingga saat
ini namun dengan bentuk yang agak berbeda dengan sistem kekerabatan tradisional yang pernah dijalankan oleh
masyarakat Jepang sebelum perang dunia kedua. Masyarakat Jepang yang masih menjalankan sistem kekerabatan
tradisional hanya melaksanakan sebagian dari unsur-unsur yang terdapat dalam sistem tersebut. Akibatnya struktur
masyarakat Jepang dewasa ini berubah-ubah dari waktu ke waktu sehingga memiliki pola yang beraneka ragam.
Sugimoto (1997) membuat empat kategori keluarga Jepang yaitu pertama tipe keluarga yang masih kuat
menjalankan sistem kekeluargaan tradisional, kedua, tipe keluarga yang struktur anggotanya seperti keluarga besar
karena terdiri dari beberapa generasi, namun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mereka terpisah seperti
keluarga batih. Ketiga, tipe keluarga batih namun mereka masih meyakini adanya hubungan garis seketurunan
sehingga walaupun mereka berada jauh dari keluarga asalnya karena alasan pekerjaan dan lain-lain, mereka masih
menyempatkan diri untuk hadir pada acara tradisional yang diselenggarakan keluarga besarnya seperti pesta
pernikahan tradisional, acara pemakaman, festival daerah, pemujaan arwah leluhur dan lain sebagainya. Keempat,
tipe keluarga batih modern yang menjalankan ideologi keluarga modern. Dari pengkategorian yang dibuat oleh
Sugimoto ini dapat dipahami bahwa struktur keluarga yang terbentuk dalam masyarakat Jepang setelah kalah pada
perang dunia kedua memiliki berbagai corak dan memiliki kecendrungan untuk terus berubah berdasarkan tuntutan
zaman.
Adalah Ogawa Yoko, seorang novelis perempuan Jepang, melihat perubahan struktur keluarga yang terjadi di
dalam masyarakatnya. Ogawa Yoko kemudian menawarkan satu struktur keluarga melalui novel-novelnya kepada

masyarakat Jepang. Struktur keluarga yang ditawarkan tidak sama dengan keluarga modern tapi memiliki
kemiripan dengan struktur keluarga tradisional Jepang. Menurut Devi (2015), Ogawa Yoko menawarkan struktur
keluarga yang disebut dengan “Sougoizonteki Kazokukankei” 「相互依存的家族関係」atau “Interdependent
Family Relationship” atau “Hubungan Kekeluargaan Interdependen”. Bagaimana struktur keluarga yang
ditawarkan oleh Ogawa Yoko kepada masyarakatnya dapat diimplementasikan dalam keluarga Indonesia
merupakan permasalahan pada tulisan ini.
Hubungan Kekeluargaan Interdependen
Masyarakat Jepang pada masa pemerintahan Meiji (1868-1912) merasa perlu mengukuhkan sistem kekeluargaan
yang mereka jalankan dalam undang-undang dasar negaranya yang disebut dengan Meiji Minpo. Pada undangundang dasar negara disebutkan bahwa sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat Jepang adalah sistem ie
yang berdasarkan sistem patriakat. Sistem ie ini disebut sebagai sistem kekeluargaan tradisional Jepang yaitu dalam
satu keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga yang mengayomi anggota keluarga dalam jumlah cukup besar.
Keluarga yang terbentuk berupa keluarga besar yang anggotanya terdiri dari beberapa generasi.
Kata ie sendiri dalam bahasa Jepang bermakna rumah. Ie memiliki makna yang lebih luas yaitu keluarga yang
mengacu pada keluarga tradisional. Untuk kata keluarga sendiri dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah kazoku
yang mengacu pada kata family dalam bahasa Inggris. Menurut Aruga, ie adalah
  adat istiadat khusus yang terdapat
dalam masyarakat Jepang, yang maknanya berbeda dengan keluarga pada umumnya. … Ie adalah satu kelompok
yang menjalankan usaha dari harta milik keluarga (kasan) dan merupakan usaha keluarga (kagyou). Melalui
pemahaman mengenai hal ini maka sebagai satu unit di dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, maka
tujuannya adalah kesinambungan dari ie dan setiap anggotanya baik yang masih hidup maupun yang sudah

meninggal dunia secara turun-temurun. (dalam Devi, 2015).
Melalui penjelasan mengenai ie yang dikemukakan oleh Aruga ini dapat diketahui bahwa ie adalah satu adat
istiadat khusus yang berlaku dalam masyarakarat Jepang yang berbentuk keluarga. Keluarga di dalam ie berbeda
dengan makna keluarga pada umumnya karena ie adalah satu kelompok yang memiliki aturan tersendiri dalam
menjalankan kesehariannya. Aturan yang dimiliki dalam ie adalah adanya harta keluarga yang dikelola secara
bersama-sama oleh anggota keluarganya dalam bentuk usaha keluarga. Misalnya pada keluarga petani, maka usaha


 


 

3
 

keluarga mereka adalah mengolah lahan pertanian, pada keluarga nelayan, maka usaha keluarga mereka adalah
mencari dan mengolah ikan, demikian juga pada keluarga pedagang, usaha mereka adalah menperjualbelikan
barang.
Sementara itu tujuan dari keluarga dalam sistem ie adalah menjaga kesinambungan ie-nya secara turun-temurun.

Untuk melaksanakan tujuan dari ie maka di dalam ie ditunjuk seorang kepala keluarga yang disebut dengan
kachou. Tugas kachou cukup berat karena kachou bertanggung jawab akan kesejahteraan anggota dan
kesinambungan ie-nya. Dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin keluarga sekaligus usaha atau bisnis keluarga,
kachou dibantu oleh istrinya yang disebut dengan shufu. Tugas utama shufu adalah hal yang berkaitan dengan
urusan domestik seperti mengatur anggaran belanja harian rumah tangga, bersama para wanita lainnya menyiapkan
makanan untuk semua anggota keluarga, menjahitkan pakaian, mengurus anak-anak, dan merawat lansia.
Penentuan siapa yang akan menjadi kachou pada ie biasanya ditentukan berdasarkan garis keturunan dan hubungan
darah. Anak laki-laki tertua dari kachou yang disebut dengan chounan biasanya disiapkan untuk menjadi pewaris
bila kachou pensiun atau meninggal dunia. Selain mengelola ie-nya, menyiapkan calon pewaris, kachou juga
bertugas menjalankan upacara pemujaan arwah leluhur yang disebut dengan sosen suuhai. Masyarakat Jepang
percaya bahwa leluhur mereka yang sudah meninggal dunia akan menjadi dewa dan akan terus menjaga dan
melindungi anak cucunya yang masih hidup dan yang akan lahir. Untuk itu ritual pemujaan arwah leluhur menjadi
hal yang sangat penting dalam ie.
Mengenai anggota keluarga yang terdapat dalam ie memiliki struktur yang khas. Dalam satu ie terdapat anggota
keluarga yang memiliki hubungan darah secara langsung yaitu kachou dengan chounan, yang memiliki hubungan
ini seperti hubungan pada keluarga batih. Namun dalam ie terdapat pula ayah dari kachou yang merupakan mantan
kachou, kachou sendiri, chounan, dan cucu dari kachou sehingga dalam ie tinggal beberapa generasi. Ada pula
anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung namun memiliki hubungan kekerabatan
yaitu kachou dengan saudara beserta anak istrinya. Anggota lain yang tinggal di dalam ie adalah anggota yang
tidak memiliki hubungan darah dan tidak pula memiliki hubungan kekerabatan. Anggota keluarga ini disebut
dengan houkounin yang bersama anak istrinya tinggal di dalam ie dan bekerja bersama-sama dalam bisnis keluarga.
Kachou dengan semua anggota keluarganya tinggal bersama-sama dalam satu komplek perumahan yang saling
berdekatan satu sama lain.
Sistem ie ini dijalankan oleh masyarakat Jepang sejak beratus tahun lalu sehingga menguat mengakar dalam
masyarakatnya. Namun sistem ini mengalami perubahan seiring dengan dihapuskannya sistem ie dari undangundang dasar Jepang. Masyarakat Jepang diarahkan untuk membentuk struktur keluarga modern yang disebut
dengan keluarga batih. Struktur keluarga batih terlihat pada keluarga di daerah perkotaan terutama kota besar
seperti Tokyo dan Osaka, sementara di daerah pedesaan masyarakatnya masih menjalankan adat istiadat yang
berlaku dalam ie sehingga struktur keluarga di pedesaan pada umumnya masih berbentuk keluarga besar.
Perbedaan yang mencolok antara struktur keluarga di kota dan di desa dapat terjadi karena adanya perbedaan dari
jenis pekerjaan. Pada wilayah pedesaan masih terdapat lahan pertanian yang perlu dikelola secara bersama-sama,
demikian juga pada daerah pantai masih terdapat keluarga besar yang bersama-sama mencari ikan dan mengelola
hasil tangkapan secara bersama-sama. Sementara di daerah perkotaan pekerjaan yang umumnya dilakukan adalah
pekerjaan yang bersifat individu karena menawarkan jasa dan keahlian seperti dokter, guru, konsultan, buruh pada
satu perusahaan dan lain-lain, yang pekerjaan ini tidak bisa diwariskan kepada chounan.
Perkembangan teknologi dan industri yang sangat pesat dan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan barang dan
jasa membuat anak muda Jepang yang tinggal di desa berbondong-bondong menuju kota untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih layak. Namun karena masih kuatnya adat istiadat dalam pewarisan harta dan usaha
keluarga di pedesaan, anak laki-laki yang merupakan anak tertua atau chounan terpaksa tetap bertahan di desa dan
melanjutkan mengelola usaha keluarga. Tidak semua keluarga di desa memiliki chounan, dan tidak semua chounan
bersedia tinggal di desa apalagi bila usaha keluarga mereka tidak begitu besar dan tidak bisa menunjang kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu tak jarang ditemui adanya keluarga yang ditinggal oleh chounannya karena alasan
ekonomi. Terkadang karena alasan eknomi ini pula ditemui adanya kachou yang meninggalkan ie-nya untuk
sementara waktu karena akan menjadi pekerja musiman di daerah urban. Usaha keluarga yang ditinggalkan oleh
kachou akhirnya dikerjakan oleh shufu. Para shufu ini akhirnya menjadi lebih paham mengenai bagaimana
pengelolaan lahan pertanian mereka dibandingkan dengan kachou. (Henry, 2003).
Terjadinya urbanisasi besar-besaran pada masyarakat Jepang dan tuntutan dari perkembangan teknologi dan
industri membuat masyarakat di perkotaan cendrung untuk membentuk keluarga batih. Dalam keluarga setiap


 


 

4
 

anggotanya memiliki hak yang sama sebagaimana tercantum dalam undang-undang dasar yang baru. Oleh
karenanya setiap individu bebas menentukan jalan hidupnya sendiri seperti pasangan suami istri bebas menentukan
apakah akan punya anak atau tidak, apakah istri akan bekerja atau di rumah saja mengurus rumah tangganya. Anakanak yang sudah dewasa dan mandiri juga bebas menentukan apakah akan tetap tinggal serumah dengan orang tua
atau tidak. Lalu individu dewasa yang sudah mandiri juga bebas menentukan apakah akan menikah atau hidup
melajang, apakah menikah secara resmi, atau hidup bersama tanpa ikatan perkawinan. Bila mereka tidak merasa
nyaman lagi dengan pasangannya, mereka juga lebih mudah untuk bercerai. Kebebasan yang didapatkan oleh
individu ini membuat struktur keluarga Jepang khususnya di daerah perkotaan memiliki variasi yaitu adanya
keluarga yang memiliki anggota keluarga lebih dari tiga generasi yaitu keluarga besar, adanya keluarga batih yang
anggotanya suami istri dan anak-anak yang belum menikah, keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja, keluarga
yang terdiri dari ayah dan anak saja, keluarga yang terdiri dari ibu dan anak saja, bahkan adanya keluarga yang
anggotanya satu orang saja. (Rebick, 2006).
Beragamnya susunan anggota keluarga pada masyarakat Jepang menimbulkan berbagai persoalan yang berkaitan
dengan tidak lengkapnya anggota keluarga seperti pengasuhan anak, perawatan lansia, dan muenshi 2. Pemerintah
Jepang terus berupaya mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam masyarakatnya dan para ahli sosiologi Jepang
juga terus berupaya melakukan penelitian dan memberikan berbagai saran untuk perbaikan masyarakatnya di masa
depan. Dalam hiruk pikuk persoalan dalam masyarakatnya, Ogawa Yoko seorang novelis Jepang mencoba
menawarkan satu struktur keluarga melalui novel-novelnya. Mengenai upaya Ogawa Yoko menawarkan struktur
keluarga ini diketahui dari penelitian Devi (2015) mengenai keluarga Jepang yang tergambar dalam tiga novel
karya Ogawa Yoko yaitu Kifujin A No Sosei, Hakase No Aishita Suushiki dan Miina No Koushin.
Ogawa Yoko pada tiga novel yang disebut di atas menggambarkan struktur keluarga yang memiliki kemiripan
dengan sistem ie. Struktur keluarga yang berkenaan dengan sistem ie itu adalah terdapatnya unsur-unsur yang
terdapat dalam sistem ie. Pada setiap keluarga yang dibangun di dalam novel terdapat seorang kachou yang
memimpin keluarga. Kachou pada novel Miina No Koushin (selanjutnya disingkat dengan novel MNK) adalah
chounan dari ayahnya. Kachou ini memiliki shufu dan seorang anak laki-laki. Sementara kachou pada dua novel
lainnya adalah perempuan yang merupakan pewaris dari suaminya yang telah meninggal dunia. Dalam penentuan
siapa yang akan menjadi kachou dalam tiga keluarga ini bersesuaian dengan sistem ie. Kemudian setiap keluarga
mempunyai harta keluarga atau kasan, memiliki usaha keluarga atau kagyou, dan adanya kafu atau kebiasaan
keluarga. Selain itu pada masing-masing keluarga terdapat anggota yang tidak memiliki hubungan darah ataupun
hubungan kekerabatan yaitu houkounin. Adanya unsur dalam sistem ie yaitu kachou, shufu, chounan, houkounin,
kasan, kagyou, dan kafu dalam ketiga novel ini menunjukkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam sistem ie
masih ada di dalam keluarga Jepang saat ini.
Namun keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko pada ketiga novel ini tidak berkesinambungan sebagaimana
halnya sebuah ie yang bertujuan untuk menjaga keberadaan ie secara turun-temurun. Ogawa menjual semua harta
keluarga begitu kachou pensiun ataupun meninggal dunia. Padahal ada anggota keluarga yang bisa ditunjuk untuk
menjadi pewaris dan dapat menjaga kesinambungan ie. Lalu, Ogawa juga tidak menggambarkan pelaksanaan
pemujaan arwah leluhur yang merupakan satu kewajiban seorang kachou terhadap ie-nya. Tidak ditentukannya
calon pewaris, tidak dijalankannya pemujaan arwah leluhur, dan dijualnya aset keluarga setelah kachou pensiun
ataupun wafat memperlihatkan bahwa struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko bukanlah mengacu pada
keluarga tradisional. Selanjutnya, melihat susunan anggota keluarga yang dibangun pada novel Kifujin A No Sosei
(selanjutnya disingkat dengan novel KAS) dan novel Hakase No Aishita Suushiki (selanjutnya disingkat novel
HAS) memperlihatkan bahwa keluarga tersebut bukan pula keluarga batih karena tidak ada ikatan suami istri dalam
keluarga pada novel KAS dan HAS. Lalu keluarga seperti apa yang ditawarkan oleh Ogawa Yoko pada
masyarakatnya?
Pada ketiga novel KAS, HAS, dan MNK, Ogawa Yoko menggambarkan keluarga yang saling menolong, saling
membantu baik secara materil maupun moril seperti, anggota keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, dibantu
oleh yang mampu, anak-anak diasuh dengan baik, orang sakit dirawat dengan semestinya, dan lansia mendapatkan
perhatian khusus sehingga tidak terjadi muenshi di saat anggota keluarga yang lansia menghembuskan nafas
terakhirnya. Struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko oleh Devi (2015) disebut sebagai hubungan
keluarga yang saling bergantung atau interdependent family relationship atau dalam bahasa Jepang dapat disebut
dengan Sougoizonteki Kazokukankei「相互依存的家族関係」.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2
 Muenshi adalah seorang yang meninggal dunia seorang diri dan kematiannya diketahui berhari-hari atau berminggu-minggu
setelah mayatnya membusuk.


 


 

5
 

Penyebutan istilah hubungan keluarga interdependen ini terkait dengan ideologi yang dianut oleh Ogawa Yoko
sebagai seorang pengarang. Dalam ajaran Sekte Konko yang dianut oleh Ogawa Yoko dikenal istilah aiyo kakeyo
「あいよ
かけよ」yaitu saling bergantung. Yang dimaksud dengan saling bergantung pada ajaran Sekte Konko
ini adalah saling ketergantungan antara Tuhan atau Kami dengan manusia, manusia dengan sesama manusia, dan
manusia dengan alam. Syurga bagi penganut Sekte ini adalah dunia tempat kita tinggal. Keindahan syurga akan
didapatkan dengan saling mendengarkan dan saling membantu sesama manusia baik secara moril maupun materil.
Sebagai bentuk bakti manusia kepada Kami, manusia juga harus membantu manusia lain yang membutuhkan.
Ajaran dasar dari Sekte Konko yaitu saling bergantung ini tergambar jelas dalam ketiga novel KAS, HAS, dan
MNK. Sesuai dengan gambaran keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko dalam novelnya dan ajaran yang
dianutnya maka struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko disebut dengan hubungan keluarga
interdependen. Struktur keluarga yang ditawarkan Ogawa Yoko dalam novelnya bukanlah hal yang kebetulan atau
tidak disengaja. Ogawa Yoko sendiri mengatakan bahwa dirinya ingin menjadi perantara atau toritsugi3 untuk
menyampaikan ajaran agamanya kepada sesama. (Watanabe, 2011). Pada penjelasan mengenai struktur keluarga
Jepang di atas dapat diketahui bahwa struktur keluarga yang ditawarkan Ogawa Yoko pada masyarakatnya
dirancang menggunakan konsep agama yang dianutnya yaitu Sekte Konko, dan konsep keluarga tradisional Jepang
yang merupakan adat istiadat masyarakat Jepang yaitu sistem ie.
Implementasi Struktur Keluarga Jepang dalam Keluarga Indonesia
Berkenaan dengan masyarakat Jepang, masyarakat Indonesia juga termasuk dalam kelompok negara Timur yang
menjalankan sistem kekeluargaan tradisional. Sama halnya dengan sistem kekeluargaan di Jepang, Sistem
kekeluargaan tradisional di Indonesia sudah dijalankan ratusan tahun lalu. Namun ada perbedaan dengan Jepang,
sistem kekeluargaan di Indonesia pada zaman dahulu bukan atas nama satu negara atau satu bangsa seperti Jepang,
melainkan atas nama suku yang tersebar di seluruh Nusantara. Dan setiap suku memiliki aturan dan tata cara
tersendiri dalam mengatur keluarganya.
Pada keluarga tradisional Jepang setiap ie atau keluarga memiliki rumah atau komplek perumahan yang cukup luas
tempat semua anggota keluarga dari ie tersebut tinggal. Mereka tinggal bersama-sama dalam ie-nya menjalankan
kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan keluarga tradisional di Indonesia terdapat rumah yang besar dan luas,
yang terdiri dari banyak ruangan yang bisa ditempati secara bersama-sama oleh beberapa pasangan suami-istri.
Rumah-rumah yang besar pada umumnya berbentuk rumah panggung yang dapat ditemukan diberbagai suku di
Indonesia seperti Suku Minangkabau 4 , Batak, Melayu, dan lain sebagainya. Rumah tradisional pada Suku
Minangkabau misalnya, pada rumah tersebut terdapat ruangan yang besar dan luas tempat semua anggota keluarga
berkumpul atau melakukan acara-acara keluarga dan terdapat sembilan buah kamar yang ditempati oleh beberapa
orang pasangan suami istri dan anak-anak mereka.
Kemudian mengenai kepala keluarga atau kachou dalam sistem ie, juga terdapat dalam suku-suku di Indonesia.
Kepala keluarga disebut juga dengan tetua suku, kepala adat, dan sebutan lainnya yang berkaitan dengan pemimpin
keluarga. Seperti pada Suku Minangkabau, kepala adat disebut dengan datuak dan memiliki gelar nama tersendiri
sesuai dengan keluarga masing-masing. Dalam hal mata pencarian setiap keluarga pada ie, terdapat keluarga yang
bermata pencariannya dari pertanian dan perdagangan, keluarga pada suku-suku di Indonesia juga memiliki mata
pencarian dari pertanian dan perdagangan. Namun dalam pengelolaannya apakah melibatkan semua anggota
keluarga seperti pada ie, diperlukan telaah yang lebih lanjut.
Setelah berakhir perang dunia kedua dan negara Barat yang menang perang seperti Amerika mulai
mengumandangkan paham demokrasi dan kesetaraan gender. Pada bangsa Jepang sebagai negara yang kalah
perang, menerima paham demokrasi ini dan menuliskan di dalam undang-undang dasar negaranya. Pada negara
Indonesia yang merupakan daerah jajahan, pada awal pembentukan negara juga memasukkan paham demokrasi


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3
 Toritsugi

atau mediator adalah istilah yang digunakan dalam Sekte Konko untuk menyebutkan pendeta atau orang yang
menyebarkan ajaran agamanya.


 
4
 Fenomena yang digambarkan dan contoh pada analisis ini adalah Suku Minangkabau karena penulis sendiri berasal dari
Suku Minangkabau. Pengetahuan yang dimiliki untuk analisis ini adalah data dari pengamatan langsung sebagai seorang yang
berasal dari daerah tersebut dan juga seorang perantau.


 

 


 

6
 

dalam undang-undang dasarnya. Sama halnya dengan Jepang, menyebarnya paham demokrasi ini tidak serta
merta merubah struktur keluarga dalam masyarakat Indonesia.
Sama halnya dengan Jepang, perubahan struktur keluarga di Indonesia mulai terlihat sejak berkembangnya
teknologi dan industri. Pembangunan di daerah perkotaan membuat masyarakat di pedesaan berbondong-bondong
pula meninggalkan kampung halamannya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Kaum muda mencoba
peruntungan mereka di kota dengan menjadi perantau. Para perantau ini walaupun masih memegang adat istiadat
mereka yang diketahui di kampung, namun pelaksanaan adat istiadat ini mulai tergerus oleh tuntutan zaman. Para
perantau cendrung untuk membangun keluarga sendiri yang umumnya terdiri dari keluarga batih walaupun tak
jarang ditemuinya adanya keluarga perantau yang merupakan keluarga besar. Di daerah perkotaan muncul
komunitas atas nama suku atau daerah asal masing-masing. Dari fenomena yang terlihat dalam masyarakat
Indonesia yang terdiri dari banyak suku, terlihat ada kemiripan dengan Jepang yaitu perubahan struktur keluarga
terjadi karena faktor ekonomi, pekerjaan dan tempat tinggal. Seperti masyarakat pada suku Minangkabau yang
memang memiliki kebiasaan merantau. Para perantau sejak zaman dahulu sudah meninggalkan kampung
halamannya mencari penghidupan yang lebih baik. Namun jarang yang menetap di rantau dan membentuk keluarga
sendiri karena perantau ini pada umumnya laki-laki dan mereka pergi tanpa membawa keluarga. Pada waktu-waktu
tertentu mereka pulang menemui keluarganya dan membawakan barang dan uang untuk keperluan keluarganya
selama ditinggalkan. Namun sejak berkembangnya teknologi dan industri dan meningkatnya kebutuhan hidup, para
perantau ini membawa serta keluarganya dan menetap di daerah rantau hingga beranak-bercucu bahkan sampai
meninggal dunia. Kampung halaman hanya dikunjungi ketika hari raya atau sewaktu-waktu saja. Mengenai
perantau-perantau ini memiliki kemiripan dengan kaum urban pada masyarakat Jepang yaitu yang menetap tinggal
di kota dan pulang sewaktu-waktu ke kampung halamannya ketika ada perayaan tertentu.
Para perantau yang tinggal di daerah perkotaan yang berbaur dengan berbagai suku lain yang tinggal di kota yang
sama kemudian tak dapat mengelakkan diri dari kawin campur dengan suku lain yang memiliki adat yang berbedabeda. Perbedaan itu membuat struktur keluarga yang dibangun cendrung menjadi keluarga batih karena lebih
bersifat menerima perbedaan suku dalam struktur keluarga batih, walaupun tak jarang ditemui keluarga yang kawin
antar suku masih menjalankan struktur keluarga besar. Struktur keluarga yang terbentuk dalam masyarakat
Indonesia terutama di daerah perkotaan selain dipengaruhi oleh adat istiadat setiap suku juga dipengaruhi oleh latar
agama yang dianut. Para perantau umumnya menerima perkawinan beda suku bukan saja karena pemahaman
memiliki tempat tinggal yang sama yaitu diperkotaan namun juga karena memiliki latar agama yang sama. Tak
jarang latar agama ini menjadi acuan bagi keluarga untuk menerima lamaran perkawinan untuk anggota
keluarganya. Latar belakang agama yang sama malah menguatkan terjadinya perkawinan beda suku ini.
Melihat latar belakang masyarakat Indonesia terbaca bahwa banyak struktur keluarga yang dapat terbentuk akibat
percampuran dalam masyarakat yang beragam dan menimbulkan berbagai variasi dari struktur keluarga. Sebagai
mana Ogawa Yoko yang menawarkan struktur keluarga interdependen, maka pada masyarakat Indonesia terdapat
potensi untuk terbentuk pula masyarakat seperti yang digambarkan oleh Ogawa Yoko karena permasalahan
keluarga dalam masyarakat di Indonesia saat ini juga memiliki kemiripan dengan masyarakat Jepang yaitu
pengasuhan anak, perawatan orang sakit, perawatan lansia, dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Masyarakat Jepang sebagai masyarakat Timur memiliki permasalahan yang hampir sama dengan masyarakat
Indonesia terutama dalam masalah keluarga saat ini yaitu pengasuhan anak, perawatan orang sakit, dan perawatan
lansia. Untuk itu diperlukan satu struktur keluarga yang bisa mendukung setiap individu dalam menjalankan
kehidupannya di dunia ini. Oleh Ogawa Yoko ditawarkan struktur keluarga yang disebut dengan hubungan
kekeluargaaan interdependen yang kemungkinan hubungan kekeluargaan seperti terdapat di dalam masyarakat
Indonesia dan dapat pula dijadikan sebagai acuan untuk membentuk keluarga walaupun masyarakat Indonesia
memiliki berbagai suku yang memiliki adat istiadat sendiri dan latar agama sendiri.
Melalui karya sastra seorang pengarang dapat menyampaikan ide dan pemikirannya kepada masyarakatnya dan ide
serta pemikiran tersebut dapat menjadi inspirasi bukan oleh masyarakat tempatnya bernaung namun juga oleh
masyarakat dari suku dan bangsa lain yang memiliki persoalan yang sama dengan masyarakat di mana karya
tersebut lahir. Untuk melihat lebih jelas lagi bagaimana struktur keluarga yang terdapat dalam masyarakat
Indonesia diperlukan penelitian lebih lanjut.


 


 

7
 

Daftar Pustaka
Aruga, Kizaemon. (1981). Ie : Nihon No Kazoku (Edisi Revisi). Tokyo: Shibundo.
Bourdieu, Pierre. (1996). On the Family as a Realized Category. Theory Culture Society, 1996 13:19. Diakses 18
Februari 2013. http://tcs.sagepub.com/content/13/3/19
Devi, Rima. (2010). Perjuangan Simbolik Seorang Ilmuwan Sebagai Ayah Alternatif pada Novel Hakase No
Aishita Shuushiki Karya Ogawa Yoko. Depok: Kajian Wilayah Jepang Pascasarjana Universitas Indonesia.
(Tesis).
Devi, Rima. (2012). Keluarga Alternatif dalam Masyarakat Jepang Abad Milenium pada Novel Hakase no Aishita
Suushiki Karya Ogawa Yoko. Journal of Japanese Studies Vol. 01 No. 01 June 2012. Center for Japanese
Studies Universitas Indonesia.
Devi, Rima. (2013). Ketiadaan Muenshi pada Lansia dalam Novel Kifujin A No Sosei Karya Ogawa Yoko.
Prosiding Simposium Nasional Asosiasi Studi Jepang Indonesia (ASJI), kamis, 28 November 2013 di
Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. ISBN: 979-26-0267-4.
Devi, Rima. (2014). Keluarga Jepang Kontemporer dalam Tiga Novel Karya Ogawa Yoko. Lingua Cultura
Jurnal Bahasa dan Budaya Vol. 8 No. 2 November 2014. Universitas Bina Nusantara.
Devi, Rima. (2015). Keluarga Jepang dalam Novel Kifujin A No Sosei, Hakase No Aishita Suushiki, dan Miina No
Koushin Karya Ogawa Yoko. Depok: Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. (Disertasi).
Damono, Sapardi. (2013). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Faruk (2012). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-Modernisme. (2nd ed.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode, William. (2007). Sosiologi Keluarga. (7th ed.). (Dra. Lailahanoum Hasyim, Penerjemah.). Jakarta: Bumi
Aksara.
Ogawa, Yoko. (1993). Yousei Ga Maioriru Yoru. Tokyo: Kakugawa Bunko.
Ogawa, Yoko. (2004, Februari). Kakareta Mono, Kakarenakatta Mono. Yuriika Shi To Hihyou, Tokushuu Ogawa
Yoko, p.44-54.
Ogawa, Yoko. (2004, Februari). Mouko Nikki. Yuriika Shi To Hihyou, Tokushuu Ogawa Yoko, p.55-59.
Ogawa, Yoko. (2009). Inu No Shippo O Nadenagara. Tokyo: Shueisha.
Sugimoto, Yoshio (1997). An Introduction to Japanese Society. Hongkong: Cambridge University Press.
Watanabe, Naoki. (2011). Watashi To Shuukyou: Takamura Kaoru, Kobayashi Yoshinori, Ogawa Yoko, Tachibana
Takashi, Araki Nobuyoshi, Takahashi Keiko, Tatsumura Jin, Hosoe Eikou, Souda Kazuhiro. Mizuki Shigeru.
Tokyo: Heibonsha Shinsho.
Wellek, Rene, & Warren, Austin. (1993). Teori Kesusastraan. (3th ed.) (Melani Budianta, Penerjemah.). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.