Sejarah dan Perkembangan ilmu hadits

Sejarah dan Perkembangan ilmu hadits
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Mata Kuliah : ULUMUL HADITS
Dosen :
1. DRS. AHMAD SANUSI LUKMAN, MA
2. MA, AZHAR, SHI, MA
DISUSUN
O
L
E
H

Kelompok 5
SEMESTER 1 AKHWALUL SYAKSIYAH
MAGHFIRA FEBRISYA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TAHUN
2017


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
ULUMUL HADITS yang berjudul “Pengertian Sejarah Perkembangannya ilmu
hadis“

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini . Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah ULUMUL
HADITS.

Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah
sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan semua pembaca pada umumnya.

Tanjung Pura Oktober 2017

Penulis


Kelompok (Lima)

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist................................................................2
BAB III PENUTUP..............................................................................................10
A. Kesimpulan....................................................................................................10
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................11

2


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal
sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat
perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya yang
mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan
waktunya untuk mengabalikan ayat-ayat al-Qur'an di atas alat-alat yang mungkin
dipergunakannya.

Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat
memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan
dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam AI¬Qur'an. Mereka belum
membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits
belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya
Nabi Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun
dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya sahabat yang
wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan
pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perembangan Ilmu Hadist ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist
Hadist sebagai suatu informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukan
keotentikan periwayatannya yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang
merupakan bentuk manajemen infomasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW
sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist istilah Ulum al-hadist, jelas belum
ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu sebagai acuan
untuk menyikapi suatu informasi yang telah ada.1

Pada dasarnya hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di

dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadisthadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan
pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidahkaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka
belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.

Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam
Al-Qur’an dan hadist Rasul Saw.

Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orangorang yang fasik :

Artinya :

1 Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung
2005, hlm 52

2

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan

musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)

Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para
sahabat ddan yang lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau
untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak
mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :

(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu
(hadist), lantas dia menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar,
kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang
mendengar. (HR. Al-Tirmidzi)2

Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi
Saw dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum
yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

1. Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya
untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam
rangka memelihara kemurnian hadist dari kekeliruan dan kesalahan.

Sebagaimana sabda Rasul SAW : Siapa yang berbohong atas namaku
dengan sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka.
Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar
jangan terjadi pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar,
belum dikodifikasi secara resmi.

2. Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan
riwayat.
2 Ibid hal. 54
3

3. Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matan
hadist ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara membandingkannya
dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat
pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan
meninggalkan riwayat tersebut.

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama
hadist yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan

terutama setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah
masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan
penelitian terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa alTa’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan
berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab, maka beberapa akktifitas tertentu dilakukan oleh para
ulama hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu seperti :

1. Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadap
keadaan setiap para perawi hadist, hal yang sebelumnya belum pernah
mereka lakukan.

2. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat
mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat
tersebut.

3. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat
perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk
mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadist. Hal tersebut

dilakukan apabila ditemukan suatu hadist yang kandungan maknanya
ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama

4

secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi
pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih
tsiqat dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya bersikap
meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi
yang lebih lemah itu.3

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas
prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin
Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan
membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang
sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan
ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal
ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat
Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas serta
tingkat kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena

telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan nonArab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi
yang demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam
menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidahkaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada
masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan
hanya disepakati dan diingat oleh para ulama hadist di dalam hati mereka masingmasing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan
perhimpunan dan pembukuan hadist.

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah
hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w.
234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi
hadist), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan
para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-An’Ilal
3 Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 102

5

(beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya),
dan lain-lain.


Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab
yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab alMuhaddits al Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad alHasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M),
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah alHakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum alHadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038 M),
al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit
al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’
oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.4

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu
hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam
membicarakan ilmu hadist, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist oleh Abu
‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah
(w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din
‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

1. Hadits Pada Periode Rasulullah SAW

Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah
dihafal oleh para sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat
catatan hadis untuk kepentingan sendiri.

4 Ibid hal. 104

6



Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2
sikap:



Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan AlQuran suruhan menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagi
mererka yang jauh dari kota Madinah.

Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat
yang membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat
yang melarang penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak
bertentangan, melainkan dapat dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap
Nabi SAW diatas.5

Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat
Rasulullah SAW pada tahun 11 H.

2. Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in

a. Periode Sahabat

Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat
Islam berada di tangan sahabat Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusul
oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M), dan
Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal dengan "AIkhulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".

Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama
menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada
5 Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta,
halaman 75

7

masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan beium merupakan kegiatan yang
menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga yang dilakukan oleh sahabat
lainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam periwayatan Hadis Nabi, apalagi
ada ancaman Nabi SAW:

"Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal aku
tidak mengatakanya) hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalarn
neraka".

Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis.
Umar baru bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat
lain. Bila tidak ada saksi maka tlmar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaan
dan kehati-hatian dalam periwayatan hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan
kepalsuan. Dalam pada itu, Umar pernah merencanakan penghimpunan hadis
Nabi secara tertulis, seflah melakukan shalat Istikharah, Umar mengurungkan
niatnya itu, karena khawatir akan memalingkaa perhatian umat Islam dari AlQuran.

Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah
dengan hati-hati dari kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada
masa Umar telah banyak dilakukan umat Islam bila dibandingkari dtngan masa
Abu Bakar,namun tetap dalam kehati-hatian. Caranya tetap melalui hafalan, dan
sedikit melalui catatan yang tidak resmi.

Usman bin Affan secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan
hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah
sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin
Khatab. Pada zaman Usman kegiatan uman Islam dalarn pcriwayatan hadis
semakin luas, karena Usman tidak sekeras Umar, juga karena wilayah Islam
semakin luas, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat, dan keadaan hadis pada masa Usman ini juga

8

belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui hafalan dan catatancatatan pribadi.6

Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para
pendahulunya dalarn periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah hersedia
menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayatn hadis yang barsangkutan
mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang telah diyakini kebenaranya,
maka Ali tidak minta sumpah lagi. Dalam pada itu Ali bin Abi Thalib sendiri
cukup banyak meriwayatkan hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga dalam
bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman Ali tclah berbeda dengan situasi
zarnan sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama umat Islam.

Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-hatian
dalam periwayatan hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatab,
dan lain-lain. Dalam pada itu diakui bahwa kegiatan periwayatan hadis pada masa
sahabat sesudah periode Khulafah ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan luas
dibandingkan zaman khalitah yang empat itu.7

b. Periode Tabi'in

Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun
tetap dalam kehati-hatian. Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar
terhindar dari kepalsuan, bahkan tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh
untuk mengecek dan menylidiki kebenaranya, seperti peristiwa berikut:

 Said bin Al-Musayyab (94 N/ 712 M) seorang tabi'iy besar di kota
Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang-malam untuk
mendapaikan hanya sebuah fimlis Nabi SAW.

6 Ibid hal. 77
7 Muhammad Dede Rudliyana, MA. Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari
klasik sampai modern, Pustaka Setia, 2004 Bandung hlm 109

9

 Abu Amru Abdurrahman bin Amr Al-Auza'iy (157 H) 1774 M)
menyatakan, apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis,
maka hadis itu diteliti bersanui. Apabila ulama menyimpulkan bahea
riwayat itu memang hadis Nabi, maka Auza'iy mengambilnya dan
apabila mereka mengingkarinya, maka dia meninggalkanya.

Bukti-bukli diatas menunjukan kesungguhan, kehati-hatian, dan kekuasan
pengetahuan ulama tabi'in. Bagian hadis yang mereka kaji dam dalami buk:m
hanya matanya saja melainkan juga nama-nama periwayat dan sanadnya.

Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak mempuoleh hadis tansung dari
Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mercka, atau
dari sesama periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memp:,roleh hadis
lansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan
mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezatnan dengan mereka, atau dari tabi'ittabi'in yang banyak ilmunya.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman
tabi'in telah semakin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar
dimasyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan periode sahabat.

Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara
resmi atas perintah dan permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintaili
(99-101H/718M), dan berlanjut terus pada periode-periode berikutnya.8

8 Ibid hal. 111

10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum alhadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum
dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan
hadits berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan
antara ‘ulum dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau
yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”.

Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan
hadist di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan
perlunya menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran
hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan
pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidahkaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka
belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas
prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin
Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan
membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang
sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah
hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4 dan
ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang
ilmu hadist yang bersifat komprehensif.

11

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu
hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam
membicarakan ilmu hadist.

12

DAFTAR PUSAKA
Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, 2005. Studi Ilmu Hadist. Cita Pustaka Medi
Bandung

Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag 2004. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur

Syaikh Manna Al-Qaththan. 2005. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS. Jakarta

Muhammad Dede Rudliyana, MA. 2004. Perkembangan pemikiran Ulumul
Hadist dari klasik sampai modern. Pustaka Setia: Bandung

13