Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi
Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi
Keuangan
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
DOSEN : SARIFUDDIN DALIMUNTE
DISUSUN
O
L
E
H
Kelompok 5
SEMESTER 1-U Perbankan Syariah
1. INDAH SARI DALIMUNTE
2. NURZUKHAIRI SYAFITRI
3. DEWI INDRIANI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TAHUN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
yang berjudul “Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi Keuangan “
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen BAPAK SARIFUDDIN
DALIMUNTE Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah
diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima
Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi
penulis dan semua pembaca pada umumnya.
Tanjung Pura Oktober 2017
Penulis
Kelompok (Lima)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad........................................................2
B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid...........................................6
C. Pembagian Ijtihad............................................................................................8
D. Lapangan Ijtihad..............................................................................................9
E. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer.........................10
F. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah..................12
G. Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro....................................................13
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................15
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan
oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad
tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum
Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad ?
2. Bagaimana Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid ?
3. Bagaimana Pembagian Ijtihad ?
4. Lapangan Ijtihad ?
5. Bagaimana Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer ?
6. Bagaimana Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan
Syariah ?
7. Bagaimana Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad
2. Untuk Mengetahui Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid
3. Untuk Mengetahui Pembagian Ijtihad
4. Untuk Mengetahui Lapangan Ijtihad
5. Untuk Mengetahui Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan
Kontemporer
1
6. Untuk Mengetahui Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan
Syariah
7. Untuk Mengetahui Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad
a. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:1
… … دوال لدإذيدن دلا يدإجهدودن إإ لدلا هجمهددههمم
Artinya:
“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
عاءء
عل ع دعي عووجتعءهددا وو ءفى ال دد ع
عصل دووا ع
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
عاءء
عوأ ع دعماال دسدجوودد عفاوجتعءهددووا ءفى ال دد ع
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad
mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’
pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha
1 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97
2
lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau
pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian,
ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu.
Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan
daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y
atau at-tafkir.
b. Perkembangan Ijtihad
1. Ijtihad Fiqih pada Masa Nabi SAW
Umat Islam pada masa rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi
suatu masalah yang baru, mereka medatangi Nabi untuk bertanya. Mereka
bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan
kepadanya, atau dengan pet unjuk Ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari
wahyu. Mereka hanya mempwegunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya.
Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.
Sesudah Nabi wafat, para ulama mulai melakukan Ijtihad, karena dirasa
sangat perlu. Mereka mulai memutar otak (nadhar) memikirkan soal-soalyang
terjadi karena wahyu telah putus. Memang mereka memerlukan ijtihad karena Al
Quran sebagai Undang-undang dasar yang kulli hanya menetapkan pokok-pokok
undang-undang yang umum (qawaaid kulliyah) yang dapat dipersesuaikan dengan
segala masa dan tempat, yang semuanya itu bertujuan menyelamatkan manusia
baik dunia ataupun di akhirat.2
2. Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW
Dengan meneliti perjalanan sejarah Islam, terutama sejarah tasyri’nya, kita
dapat menetapkan, bahwa Ijtihad sesudah Nabi wafat adalah memlalui tiga
periode:
a) Periode sahabat bsar, periode Khulafaur Rasyidin
b) Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di Masa bani Umayyah
c) Periode tabiin dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa bani abbas
3. Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasidin
Para
sahabat
besar,
sepeninggal
Rasul
mengahadapi
berbagai
permasahalan baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan
2 Ibid hal. 99
3
tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak
member jawaban (fatwa) terhadap yang belum timbul.
Bila terjadi satu masalah, barulah mereka melakukan Ijtihad. Mereka
berpegang dalam urusan tersebut, kepada:
1) Al Quran, merupakan sendi Islam, yang telah mereka pahami dengan
sempurna karena Al Quran itu diturunkan dalam bahasa merka disamping
itu mereka pun dapat menyaksikan sebab-sebab turunnya.
2) Sunatur Rasul, mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka
Abu bakar bila mengalami peristiwa yang baru, beliau mencarinya dalam
memperhatikan Al quran. Jika terdapat didalamnya, beliau menetapkan hokum
dengannya. Jika tidak terdapat didalamnya beliau lalu mencarinya dalam hadits.
Jika terdapat di Hadits, beliaupun menetapkan hokum dengannya. Jika tidak
mendapati hokum itu didalam hadits, sesudah beliaua memeriksanya dengan
seksama, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Jika ada seseorang sahabat yang
memberitahukan tentang putusan nabi, beliaupun berpegang kepadanya.3
Umar juga menuruti jejak itu. Apabila Umar tidak mendapatkan hokum
dalam Al Quran dan Al Hadits, beliau bertanya tentang penetapan yang dilakukan
oelh Abu Bakar dan beliau mengamalkannya jika penetapan Abu bakar itu tidak
beliau temukan dalam sumber lain
Utsman dan Ali bersikap demikian pula. Mereka sangat berhati-hati
menerima riwayat. Diantaranya ada yang menerima riwayat sesudah perawi
disumpah dan ada yang meminta saksi.
Adapun cara Ijtihad yang mereka terapkan adalah, sebagai berikut:
a) Mengeluarkan hokum dengan dasar ra’yu perseorangan (Ijtihad Fardi)
b) Menetapkan hokum dengan cara mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
Apabila timbul soal-soal yang tidak ada nash nya di dalam Al Quran dan Al
hadits,para sahabat itu menjalankan ra’yu atau mempergunakan pikiran dan daya
akal, yakni “mendasarkan, hokum pada kemaslahatan dengan bersendikan kaidahkaidah umum.”
Apabila tidak mendapat hokum dalam Kitab dan Sunnanh, abu Bakar
mengumpulkan para ulama di kalangan sahabat dan merembukkan permasalahan
3 Harjan Syuhada et.al. Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h.57
4
itu. Kemudian bila para ulama itu bermufakat menetapkan suatu pendapat, Abu
Bakar pun menghukumi masalah itu menurut pendapat yang disepakati. Pendapat
yang diambil dengan perembukan harus diikuti oleh rakyat. Mengeluarkan
pendapat (menetapkan hukum) dengan jalan berkumpul itu dinamakan ijma’.
Pada masa tersebut, jumlah mereka yang dikumpulkan untuk berunding,
masih sedikit. Tegasnya, melakukan ijma’ (menyatukan pendapat) sebagaimana
yang dikehendaki ulama ushul masih dapat dijalankan dengan mudah, yang sesuai
dengan kehendak ahli politik.
Sikap Abu Bakar itu tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kepala
Negara pada saat inin, yaitu memerintahkan badan eksekutif dan legislatif
bersidang untuk menetapkan undang-undang yang harus dipatuhi oleh Negara dan
masyarakat. Penetapan badan-badan itu yang diambil dengan suara bulat dinamai
ijma’.
Kesimpulannya, para sahabat yang memegang Ijtihad (yang dapat
dikatakan menjadi anggota badan perancang) pada periode iini, mengeluarkan
hokum dari dalil-dalilnya (Al Kitab dan Sunnah). Sesudah menyelidikanya
dengan seksama, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan
membuat keputusan yang sempurna.
Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang member fatwa secara pribadi, tidak
menentukan hokum untuk masalah yang belum terjadi. Karena itu, pemakaian
qiyas kurang terjadi dalam masaini. Bahkan sebagaian mereka mencela
pemakaian qiyas (dengan tdak memakai batas) dalam urusan menetapkan hokum.
Dan perlu ditegaskan bahwa hokum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi
dengan kekuatan Ijtihad mereka masing-masing, tidak harus dituruti oleh rakyat.4
Abu Bakar apabila berijtihad mengatakan, “Ini pendapatku. Jika benar
maka dia dari Allah. “Umar apabila berijtihad mengatakan, “Inilah pendapat
Umar. Jika benar maka dia dari Allah. Jika salah, maka dia dari Umar sendiri.
Sunah itu, hanyalah yang di sunahkan Allah dan Rasul Nya; jangan kamu
menjadikan pikiran yang salah, sunah bagi rakyat.”
Adapun para ulama setelah masa sahabat menetapkan pokok-pokok
dengan memperhatikan sikap-sikap para sahabat dalam menetapkan hokum bahwa
4 Ibid Hal. 58
5
“pokok-pokok pegangan” dalam menetapkan hokum dan menciptakan hokum
fiqih ada empat perkara.
1) Kitabullah
2) Sunatur Rasul
3) Al Ijtihad (Ar Ra’yu) ; menetapkan suatu hokum berdasarkan kemaslahatan
dan berdasarkan kaidah syara’ yang umum dan illat-illat hokum.
4) Al Ijma ; menetapkan hokum dengan dimusyawarahkan bersama-sama, baik
penetapan itu berdasarkan kaidah pada keterangan Kitab, ataupun
keterangan Sunah, maupun ketetapan Ra’yu, Al Ijma adalah cara
membuahkan hokum yang di istinbatkan dari Al Quran dan As Sunah,
secara tersendiri dan secara bersama.5
B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid
a. Syarat-syarat mujtahid
Berbicaratentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang
syarat-syarat mujtahid. Demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara syarat-syarat
mujtahid tidak lain berbicara
ilmu syara’, mampu melihat yang dzon didalam hal-hal yang syar’i, tentang
syarat-syarat ijtihad.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa [5](II/102) menyatakan mujtahid
mempunyai dua syarat :
1. Mengetahui dan menguasai mendahulukan apa yang wajib didahulikan dan
membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.
2. Ia hendaknya sorang yang adil. Menjauhi segala ma’siyat membuat cemarkan
sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini yang penting karena syarat ini menjadi
landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang
tidak mempunyai sifat yang demikian , fatwanya tidak boleh dijadikan
pegangan. Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa
atau ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi
halangan. Artinya didalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja boleh saja
berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk
dirinya sendiri.
5 Ibid Hal. 59
6
adapun syarat lebih rincinya pendapat ulama ushul terhadap orang yang
mengemukakan ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang al-Qur’an serta memahaminya
mencakup ilmu yang berkaitan denganya, seperti nasikh mansukh, asbabu
al-Nuzul mujmaldan mubayyan, muthlaq muqayyad, mantuq dan mafhum
lafadz ‘amm khas.
b. Hafal al-Qur’an seluruhnya (Imam syafi’i )
c. Mempunyai pengetahuan Sunnah Nabi meliputi al-Jarh wata’dil,
asbabulwurud al-Hadist, ilmu hadist dirayah wa riwayah dan ilmu lain
yang berhubungan dengan hadist.
d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang menjadi ijma’ para ulama
terdahulu.
e. Mengetahui bahasa Arab dengan baik dan sempurna, paham ilmu nahwu
dan lainya.
f. Mengetahui Ushul fiqh
g. Mengetahui maqashid as-Syari’ah
h. Iman, cerdas dan lainya6
b. Kualifikasi mujtahid
Tanpa memenuhi syarat, seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai
mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Dikalangan ulama yang melakukan
ijtihad ada beberapa tingkatan. Dan tingkatan ini tergantung pada aktivitas yang
dilakukan mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingkatan dikalangan mujtahid itu
sebagai berikut:
1. Mujtahid muthlaq mustaqil ( mujtahid Independen), yaitu mujtahid yang
membangun teori dan istinbath sendiri tanpa bersandar kepada kaidah
istinbat pihak lain. Yang termasuk dalam jajaran ini adalah Imam 4
Madzhab, laist ibn sa’ad. Al-‘auza’I, sufyan al-Sauri , Abu Saur dan lainya
2. Mujtahid Muntasib ( Mujtahid Berafiliasi ) yaitu para ulama yang berijtihad
dengan menggunakan kaidah Imam madzhab yang diikutinya. Tapi, dalam
masalah furu’ biasanya ia berbeda dengan ulama madzhab yang diikutinya.
6 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
7
Diantaranya adalah Abu Yusuf, Hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah, ibnu
taimiyah dan lainya.
3. Mujtahid fi al-Madzhab ialah mujtahid yang mengikuti ulama madzhabnya
baik dalam kaidah istimbat dan furu’
4. Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum furu’.
Mereka sebatas membandingkan pemikiran hukun mujtahid sebelumnya,
kemudian memilih yang dianggap (rajjih) paling kuat.
C. Pembagian Ijtihad
1. ijtihad Istinbathi
Pengertian dari Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang ditujukan untuk
mengeluarkan hukum tetang sebuah masalah yang belum ada aturan pastinya atau
nash. Juga pada sebuah masalah yang sudah ada nashnya tetapi masih bersifat
dhanni atau belum bermakna pasti.
Menjadi keharusan dalam ijtihad Istibanthi ini adalah bahwa hal yang
diijtihadi itu belum pernah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. 7
2. Ijtihad Tathbiqi
Ijtihad ini membahas tentang masalah yang sudah dilakukan proses ijtihad
sebelumnya. Namun secara spesifik belum membahas mengenai sebuah kasus
atau masalah, karena pada waktu dilakukan ijtihad sebelumnya kasus tersebut
belum terjadi. Sehingga, dengan kata lain ijtihad Tathbiqi adalah sebuah ijtihad
yang bersifat mengkhususkan sebuah masalah.
3. Ijtihad tathbiqi
Ijtihad ini merupakan proses ijtihad dalam upaya untuk menjadikan proses
ijtihad terdahulu sebagai sebuah aturan formal dalam bentuk Undang-undang
yang bersifat mengikat. Karena, apabila sebuah proses ijtihad hanya disampaikan
dalam bentuk pernyataan atau fatwa, maka hasil ijtihad tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum untuk mengikat secara formal.
4. Ijtihad intiqa’i
adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk
memilih pendapat para ahli fikih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu,
7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, (Ciputat Jakarta, jilid 2,
1997) h. 109
8
sebagai mana tertulis dalam kitab fikih, kemudian menyeleksi mana yang lebih
kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang
5. Ijtihad insya’i
usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa
baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fikih terdahulu
Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasuskasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Jadi dalam menghadapi persoalan
yang sama sekali baru diperlukan pengetahuan mengenai maasalah yang sedang
dibahas, tampa mengetahui kasus yang baru tersebut maka kemungkinan besar
hasil ijtihadnya akan membawa kepada kekeliruan.
6. Ijtihad Muqorin (Komperatif)
adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad diatas ( intiqa’i dan Insya’i )
dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa
pendapat , juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih
sesuai dengan tuntunan zaman8
D. Lapangan Ijtihad
Secara ringkas lapangan ijtihad ada dua:
1. Perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali.
2. Perkara syari’ah yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya
(tidak pasti penunjukan maknanya).
Kalau di dalam lapangan ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu
perkara, lantas hasil ijtihad itu menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan
wewenang qodhi/ hakim, maka wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian
keputusan berdasarkan undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang
itu sendiri.
Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang, karena wewenangnya
hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara berdasarkan
undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk
mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang
sudah pasti penunjukan maknanya).
8 Ibid hal. 110
9
Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad” terhadap yang sudah ada nash
qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar
ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim
memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan
hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang.
Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang
Contohnya, tidak bolehnya berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat
Islam, larangan khamr, larangan makan daging babi, larangan makan riba,
kewajiban memotong tangan pencuri –bila tidak ada keraguan dan telah
memenuhi syarat untuk dipotong–. Juga tentang hukum pembagian harta waris
mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian seorang laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan
dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang pasti, yang telah disepakati umat
Islam dan telah diketahui dari ajaran agama dengan pasti sehingga telah menjadi
sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.
Hendaknya kita jangan sampai terbawa arus orang-orang yang hendak
mempermainkan agama, yang ingin mengubah nash-nash muhkamat menjadi
mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai hukum-hukum yang
dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa dilepas atau bisa
diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan tempat kembalinya
nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan tempat
rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi
pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila
hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap
sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana
hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada pula
ukuran yang dijadikan landasan hukum. 9
E. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer
Syariat Islam telah memberikan pedoman khusus dalam menetapkan
hukum dalam bidang muamalah yang berbeda dengan furu’ fiqih lainnya, selain
itu Islam juga telah memberikan beberapa kaedah dalam bidang muamalah
9 Dr. Saiban, Kasuwi MA., Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, (Kutub Minar 2005) hal 90
10
ini.Oleh karena itu, setiap orang yang ingin membahas tentang transaksi atau
muamalah keuangan syariah kontemporer mesti memahami pedoman khusus ini
dan karakteristiknya. Karakteristik yang paling penting dipahami adalah bahwa
fiqih muamalah berdiri di atas dasar prinsip-prinsip umum.
Sumber dasar muamalah serta cabang-cabang fiqih lainnya adalah AlQur’an dan As-Sunnah.Tetapi dalam bidang muamalah pensyariatannya juga
didasarkan kepada prinsip-prinsip umum ( )المبادئ العامةdan kaedah-kaedah umum (
)القواعد اكلية, hal tersebut agar memudahkan para fuqaha’ untuk melakukan ijtihad
pada perkara-perkara baru yang dibuat oleh manusia. Di antara prinsip-prinsip
umum tersebut adalah:
a. Melarang tindak kezaliman dan harus saling redho
عن تددراضض إلمنك همم دودلا تدمقتههلوا دأنهفدسك همم إإ لدن الل لدده
كم إبال مدباإطإل إإ لدلا دأن تد ه
كم بدي من د ه
ديا أ دي لهدها ال لدإذيدن آدمهنوا دلا تدأ مك ههلوا أ دممدوال د ه
جادرةة د
كودن إت د
﴾٢٩ :دكادن إبك همم درإحيةما ﴿النساء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS. An-Nisa’:
29).
b. Melarang riba
﴾٢٧٥ :دوأ ددح ل دل الل لدهه ال مبدي مدع دودح لدردم الإلردبا ﴿البقرة
Artinya :“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(QS. Al-Baqarah: 275)
c. Melarang gharar
(عمن بدي مإع ال مدغدرإر )راوه مسلم
حدصاإة دو د
د-صلى الله عليه وسلم- عمن أ دإبى ههدري مدردة دقادل ن ددهى درهسوهل الل لدإه
د
عمن بدي مإع ال م د
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW telah melarang jual
beli al-hashah dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)
d. Melarang maisir (perjudian) atau spekulasi10
د
حودن
ديا أ دي لهدها ال لدإذيدن آدمهنوا إإن لددما ال م د
عدمإل ال لدشي مدطاإن دفامجتدإنهبوهه ل ددعل لدك همم تهمفلإ ه
ب دوال مأ دمزدلاهم إرمجسس إلممن د
خممهر دوال مدمي مإسهر دوال مأندصا ه
﴾٩٠ :﴿المائدة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
10 Ibid hal. 91
11
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 90)
e. Memerintahkan jujur dan amanah
﴾١ :ديا أ دي لهدها ال لدإذيدن آدمهنوا أ دموهفوا إبال مهعهقوإد﴿المائدة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. AlMaidah: 01)
f. Sadd Adz-Dzariah ()سد الذرائع.
Sadd adz-dzariah adalah menutup semua jalan atau cara yang zahirnya mubah
tetapi tujuannya haram. Dalam menggunakan kaedah ini, para ulama telah
menetapkan beberapa pedoman yaitu:
- Perkara tersebut secara umum mendatangkan mafasadat.
- Mafsadat yang ditimbulkan sama dengan maslahat yang diperoleh atau lebih.
- Niat untuk melakukan mafsadat tidak menjadi syarat dalam mengamalkan
kaedah ini.
- Kaedah ini tidak melarang untuk melakukan hal yang mubah jika merupakan
kebutuhan, misalnya pelamar atau dokter melihat perempuan ajnabi (bukan
mahram), hal ini dibolehkan karena hajat apabila terjamin tidak terjadi mafsadat.
Nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Hadits terkait dengan ekonomi sangatlah
banyak, sehingga pilar ekonoimi Islam perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilainilai yang lebih terinci agar dapat menjadi rumusan penuntun perilaku para pelaku
ekonomi. Keberadaan nilai semata padaperilaku ekonomi dapat mengasilkan suatu
perekonomian yang normatif, tidak akan bias berjalan secara dinamis. Oleh
karena itu, implementasi nilai-nilai ini harus secara bersama-sama didasarkan atas
prinsip ekonomi11
F. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah
Inovasi produk dan keuangan menjadi kunci perbankan syariah untuk
lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak
tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk
yang menarik, kompetitif dan memberkan kemudahan transaksi, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat..
11 Ibid hal.93
12
Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah ,
sebab inovasi memiliki peran penting di tengah pasar yang kompetitif. karena itu
industri perbankan syariah harus dapat terus melakukan inovasi-inovasi
baru.Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang cendrung statis, hanya
terbatas di tabungan, deposito, giro, pembiyaan murabahah, mudharabah, syirkah,
dan itu sangat sedikit sekali. Makanya bank-bank syariah harus mengembangkan
variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu
akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah menghadapi keutuhan
masyarakat modern yang semakin kompleks.Karena itu bank-bank harus
mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas SDM dengan menggelar training
atau wokrshop inovasi produk.
G. Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro
Mikro ekonomi dominan bicara tentang prilaku individual yang
berorientasi pada pemaksimalan kepuasan dan keuntungan, dari prilaku ekonomi
(konsumen dan produsen) sampai prilaku pasar (deman dan supply). Sementara
pada makro ekonomi akan banyak bicara tentang dinamika ekonomi negara
dengan orientasi pembangunan (pendapatan nasional), kesejahteraan (tingkat
kesempatan kerja termasuk pemerataan) dan kestabilan sistem (tingkat harga dan
laju inflasi. Namun dilihat dari dua pembahasan yang ada di mikro dan makro
dengan kaca mata lebih dalam, akan terlihat ketidaksinkronan orientasi keduanya.
Betul secara besaran variabel instrumen mikro dan makro terlihat berjenjang dan
korelatif, tetapi jika dianalisis orientasi instrumen tadi akan terlihat tidak ada
korelasinya, bahkan cenderung paradoksial.12
Ketika instrumen makro bicara tentang upaya mewujudkan pertumbuhan
ekonomi dan pencapaian stabilitas ekonomi dengan basis analisis makro
(kolektif), mikro ternyata bicara tentang kepentingan individual dalam
pemaksimalan kepuasan dan keuntungan yang relatif tidak peduli dengan
pencapaian kolektif tadi. Dinamika makro ekonomi tentu akan menjadi lancar dan
optimal ketika langkah-langkah kolektif berjalan sesuai dengan visi dan orientasi
mikro ekonomi. Namun realitanya akan sulit dicapai jika melihat nature ilmu
mikro ekonomi, yang visi dan orientasinya lebih bersifat individualistik. Contoh
12 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
13
sederhana, bagaimana men-sinkronkan teori utility mikro ekonomi dengan misi
wealth and income distribution-nya makro ekonomi?
Yang juga menarik, meski banyak membahas prilaku individual (baik
perseorangan maupun unit bisnis), pada himpunan ilmu mikro tidak akan
ditemukan pembahasan filosofi prilaku ekonomi seperti nilai-nilai hidup yang
diyakini mampu mempengaruhi tingkat preferensi ekonomi, misalnya nilai akhlak
dan moral atau nilai agama dan keyakinan. Pembahasan prilaku individu terkesan
betul-betul
bersandar
pada
human
nature
(fitrah)
manusia,
tanpa
memperhitungkan faktor-faktor yang dapat men-shape human nature, seperti
agama dengan nilai-nilai akhlak dan moralnya.
Boleh jadi disinilah letak jurang antara mikro dan makro ekonomi.
Sekaligus, disinilah pula letak jembatan yang sepatutnya ada atau dibangun agar
mikro dan makro menjadi satu teori yang tidak bisa dipisahkan atau bahkan
sampai berkorelasi paradok secara orientasi. Nah, inti dari tulisan ini adalah
sekedar ingin menawarkan bahwa dalam perspektif ekonomi Islam, jurang itu
tidak ada, atau mungkin dapat secara moderat saya katakan ada jembatan antara
mikro dan makro ekonomi, yaitu nilai Islam itu sendiri. Islam memiliki akidah
dan akhlak yang lengkap untuk menjadi nilai bagi prilaku ekonomi pada ranah
mikro ekonomi dan nilai-nilai itu harmonis dengan guidance syariah pada ranah
makro ekonominya. Islam baik mikro dan makro menuntun ekonomi untuk
konsisten dengan nilai dan parameter ekonomi yang bersifat kolektif. Kepentingan
kolektif mendominasi aktifitas mikro maupun makro. Secara sederhana, instrumen
yang melekatkan itu misalnya zakat, dimana zakat pada satu sisi mempengaruhi
prilaku individual maupun pasar di level mikro dan mempengaruhi konstelasi
ekonomi negara pada level makro.13
13 Ibid hal. 100
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh atau mengarahkan segala
kemampuan. Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at
Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak
dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan Al-Hadits.
Dengan pendekatan istinbath akan diperoleh hukum Islam dari sumbersumbernya. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh cara-cara
pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh
pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan
oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan
15
DAFTAR PUSAKA
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Harjan Syuhada et.al. 2011. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: PT Bumi Aksara
Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqih. PT. Logos Wacana Ilmu. Ciputat Jakarta.
jilid 2,
Dr. Saiban, Kasuwi MA. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Kutub Mina.
16
Keuangan
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
DOSEN : SARIFUDDIN DALIMUNTE
DISUSUN
O
L
E
H
Kelompok 5
SEMESTER 1-U Perbankan Syariah
1. INDAH SARI DALIMUNTE
2. NURZUKHAIRI SYAFITRI
3. DEWI INDRIANI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH
TAHUN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
yang berjudul “Ijtihad dan Penerapannya dalam Ekonomi Keuangan “
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen BAPAK SARIFUDDIN
DALIMUNTE Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah
diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima
Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi
penulis dan semua pembaca pada umumnya.
Tanjung Pura Oktober 2017
Penulis
Kelompok (Lima)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad........................................................2
B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid...........................................6
C. Pembagian Ijtihad............................................................................................8
D. Lapangan Ijtihad..............................................................................................9
E. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer.........................10
F. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah..................12
G. Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro....................................................13
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................15
DAFTAR PUSAKA..............................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan
oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad
tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum
Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad ?
2. Bagaimana Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid ?
3. Bagaimana Pembagian Ijtihad ?
4. Lapangan Ijtihad ?
5. Bagaimana Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer ?
6. Bagaimana Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan
Syariah ?
7. Bagaimana Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Ijtihad dan bagaimana Perkembangan Ijtihad
2. Untuk Mengetahui Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid
3. Untuk Mengetahui Pembagian Ijtihad
4. Untuk Mengetahui Lapangan Ijtihad
5. Untuk Mengetahui Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan
Kontemporer
1
6. Untuk Mengetahui Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan
Syariah
7. Untuk Mengetahui Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad Perkembangan Ijtihad
a. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:1
… … دوال لدإذيدن دلا يدإجهدودن إإ لدلا هجمهددههمم
Artinya:
“Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
عاءء
عل ع دعي عووجتعءهددا وو ءفى ال دد ع
عصل دووا ع
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
عاءء
عوأ ع دعماال دسدجوودد عفاوجتعءهددووا ءفى ال دد ع
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad
mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’
pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha
1 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97
2
lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau
pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian,
ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu.
Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan
daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y
atau at-tafkir.
b. Perkembangan Ijtihad
1. Ijtihad Fiqih pada Masa Nabi SAW
Umat Islam pada masa rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi
suatu masalah yang baru, mereka medatangi Nabi untuk bertanya. Mereka
bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan
kepadanya, atau dengan pet unjuk Ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari
wahyu. Mereka hanya mempwegunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya.
Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan putusannya.
Sesudah Nabi wafat, para ulama mulai melakukan Ijtihad, karena dirasa
sangat perlu. Mereka mulai memutar otak (nadhar) memikirkan soal-soalyang
terjadi karena wahyu telah putus. Memang mereka memerlukan ijtihad karena Al
Quran sebagai Undang-undang dasar yang kulli hanya menetapkan pokok-pokok
undang-undang yang umum (qawaaid kulliyah) yang dapat dipersesuaikan dengan
segala masa dan tempat, yang semuanya itu bertujuan menyelamatkan manusia
baik dunia ataupun di akhirat.2
2. Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW
Dengan meneliti perjalanan sejarah Islam, terutama sejarah tasyri’nya, kita
dapat menetapkan, bahwa Ijtihad sesudah Nabi wafat adalah memlalui tiga
periode:
a) Periode sahabat bsar, periode Khulafaur Rasyidin
b) Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di Masa bani Umayyah
c) Periode tabiin dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa bani abbas
3. Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rasidin
Para
sahabat
besar,
sepeninggal
Rasul
mengahadapi
berbagai
permasahalan baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan
2 Ibid hal. 99
3
tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak
member jawaban (fatwa) terhadap yang belum timbul.
Bila terjadi satu masalah, barulah mereka melakukan Ijtihad. Mereka
berpegang dalam urusan tersebut, kepada:
1) Al Quran, merupakan sendi Islam, yang telah mereka pahami dengan
sempurna karena Al Quran itu diturunkan dalam bahasa merka disamping
itu mereka pun dapat menyaksikan sebab-sebab turunnya.
2) Sunatur Rasul, mereka telah bermufakat mengikuti sunnah yang mereka
Abu bakar bila mengalami peristiwa yang baru, beliau mencarinya dalam
memperhatikan Al quran. Jika terdapat didalamnya, beliau menetapkan hokum
dengannya. Jika tidak terdapat didalamnya beliau lalu mencarinya dalam hadits.
Jika terdapat di Hadits, beliaupun menetapkan hokum dengannya. Jika tidak
mendapati hokum itu didalam hadits, sesudah beliaua memeriksanya dengan
seksama, beliau lalu bertanya kepada sahabat. Jika ada seseorang sahabat yang
memberitahukan tentang putusan nabi, beliaupun berpegang kepadanya.3
Umar juga menuruti jejak itu. Apabila Umar tidak mendapatkan hokum
dalam Al Quran dan Al Hadits, beliau bertanya tentang penetapan yang dilakukan
oelh Abu Bakar dan beliau mengamalkannya jika penetapan Abu bakar itu tidak
beliau temukan dalam sumber lain
Utsman dan Ali bersikap demikian pula. Mereka sangat berhati-hati
menerima riwayat. Diantaranya ada yang menerima riwayat sesudah perawi
disumpah dan ada yang meminta saksi.
Adapun cara Ijtihad yang mereka terapkan adalah, sebagai berikut:
a) Mengeluarkan hokum dengan dasar ra’yu perseorangan (Ijtihad Fardi)
b) Menetapkan hokum dengan cara mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
Apabila timbul soal-soal yang tidak ada nash nya di dalam Al Quran dan Al
hadits,para sahabat itu menjalankan ra’yu atau mempergunakan pikiran dan daya
akal, yakni “mendasarkan, hokum pada kemaslahatan dengan bersendikan kaidahkaidah umum.”
Apabila tidak mendapat hokum dalam Kitab dan Sunnanh, abu Bakar
mengumpulkan para ulama di kalangan sahabat dan merembukkan permasalahan
3 Harjan Syuhada et.al. Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h.57
4
itu. Kemudian bila para ulama itu bermufakat menetapkan suatu pendapat, Abu
Bakar pun menghukumi masalah itu menurut pendapat yang disepakati. Pendapat
yang diambil dengan perembukan harus diikuti oleh rakyat. Mengeluarkan
pendapat (menetapkan hukum) dengan jalan berkumpul itu dinamakan ijma’.
Pada masa tersebut, jumlah mereka yang dikumpulkan untuk berunding,
masih sedikit. Tegasnya, melakukan ijma’ (menyatukan pendapat) sebagaimana
yang dikehendaki ulama ushul masih dapat dijalankan dengan mudah, yang sesuai
dengan kehendak ahli politik.
Sikap Abu Bakar itu tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kepala
Negara pada saat inin, yaitu memerintahkan badan eksekutif dan legislatif
bersidang untuk menetapkan undang-undang yang harus dipatuhi oleh Negara dan
masyarakat. Penetapan badan-badan itu yang diambil dengan suara bulat dinamai
ijma’.
Kesimpulannya, para sahabat yang memegang Ijtihad (yang dapat
dikatakan menjadi anggota badan perancang) pada periode iini, mengeluarkan
hokum dari dalil-dalilnya (Al Kitab dan Sunnah). Sesudah menyelidikanya
dengan seksama, barulah mereka mempergunakan penyelidikan akal dan
membuat keputusan yang sempurna.
Ahli-ahli fatwa dimasa itu, yang member fatwa secara pribadi, tidak
menentukan hokum untuk masalah yang belum terjadi. Karena itu, pemakaian
qiyas kurang terjadi dalam masaini. Bahkan sebagaian mereka mencela
pemakaian qiyas (dengan tdak memakai batas) dalam urusan menetapkan hokum.
Dan perlu ditegaskan bahwa hokum-hukum yang mereka tetapkan secara pribadi
dengan kekuatan Ijtihad mereka masing-masing, tidak harus dituruti oleh rakyat.4
Abu Bakar apabila berijtihad mengatakan, “Ini pendapatku. Jika benar
maka dia dari Allah. “Umar apabila berijtihad mengatakan, “Inilah pendapat
Umar. Jika benar maka dia dari Allah. Jika salah, maka dia dari Umar sendiri.
Sunah itu, hanyalah yang di sunahkan Allah dan Rasul Nya; jangan kamu
menjadikan pikiran yang salah, sunah bagi rakyat.”
Adapun para ulama setelah masa sahabat menetapkan pokok-pokok
dengan memperhatikan sikap-sikap para sahabat dalam menetapkan hokum bahwa
4 Ibid Hal. 58
5
“pokok-pokok pegangan” dalam menetapkan hokum dan menciptakan hokum
fiqih ada empat perkara.
1) Kitabullah
2) Sunatur Rasul
3) Al Ijtihad (Ar Ra’yu) ; menetapkan suatu hokum berdasarkan kemaslahatan
dan berdasarkan kaidah syara’ yang umum dan illat-illat hokum.
4) Al Ijma ; menetapkan hokum dengan dimusyawarahkan bersama-sama, baik
penetapan itu berdasarkan kaidah pada keterangan Kitab, ataupun
keterangan Sunah, maupun ketetapan Ra’yu, Al Ijma adalah cara
membuahkan hokum yang di istinbatkan dari Al Quran dan As Sunah,
secara tersendiri dan secara bersama.5
B. Syarat-syarat mujtahid dan Kualifikasi mujtahid
a. Syarat-syarat mujtahid
Berbicaratentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang
syarat-syarat mujtahid. Demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara syarat-syarat
mujtahid tidak lain berbicara
ilmu syara’, mampu melihat yang dzon didalam hal-hal yang syar’i, tentang
syarat-syarat ijtihad.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa [5](II/102) menyatakan mujtahid
mempunyai dua syarat :
1. Mengetahui dan menguasai mendahulukan apa yang wajib didahulikan dan
membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.
2. Ia hendaknya sorang yang adil. Menjauhi segala ma’siyat membuat cemarkan
sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini yang penting karena syarat ini menjadi
landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang
tidak mempunyai sifat yang demikian , fatwanya tidak boleh dijadikan
pegangan. Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa
atau ijtihadnya itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi
halangan. Artinya didalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja boleh saja
berijtihad untuk dirinya sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk
dirinya sendiri.
5 Ibid Hal. 59
6
adapun syarat lebih rincinya pendapat ulama ushul terhadap orang yang
mengemukakan ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang al-Qur’an serta memahaminya
mencakup ilmu yang berkaitan denganya, seperti nasikh mansukh, asbabu
al-Nuzul mujmaldan mubayyan, muthlaq muqayyad, mantuq dan mafhum
lafadz ‘amm khas.
b. Hafal al-Qur’an seluruhnya (Imam syafi’i )
c. Mempunyai pengetahuan Sunnah Nabi meliputi al-Jarh wata’dil,
asbabulwurud al-Hadist, ilmu hadist dirayah wa riwayah dan ilmu lain
yang berhubungan dengan hadist.
d. Mengetahui masalah-masalah hukum yang menjadi ijma’ para ulama
terdahulu.
e. Mengetahui bahasa Arab dengan baik dan sempurna, paham ilmu nahwu
dan lainya.
f. Mengetahui Ushul fiqh
g. Mengetahui maqashid as-Syari’ah
h. Iman, cerdas dan lainya6
b. Kualifikasi mujtahid
Tanpa memenuhi syarat, seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai
mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Dikalangan ulama yang melakukan
ijtihad ada beberapa tingkatan. Dan tingkatan ini tergantung pada aktivitas yang
dilakukan mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingkatan dikalangan mujtahid itu
sebagai berikut:
1. Mujtahid muthlaq mustaqil ( mujtahid Independen), yaitu mujtahid yang
membangun teori dan istinbath sendiri tanpa bersandar kepada kaidah
istinbat pihak lain. Yang termasuk dalam jajaran ini adalah Imam 4
Madzhab, laist ibn sa’ad. Al-‘auza’I, sufyan al-Sauri , Abu Saur dan lainya
2. Mujtahid Muntasib ( Mujtahid Berafiliasi ) yaitu para ulama yang berijtihad
dengan menggunakan kaidah Imam madzhab yang diikutinya. Tapi, dalam
masalah furu’ biasanya ia berbeda dengan ulama madzhab yang diikutinya.
6 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
7
Diantaranya adalah Abu Yusuf, Hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah, ibnu
taimiyah dan lainya.
3. Mujtahid fi al-Madzhab ialah mujtahid yang mengikuti ulama madzhabnya
baik dalam kaidah istimbat dan furu’
4. Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum furu’.
Mereka sebatas membandingkan pemikiran hukun mujtahid sebelumnya,
kemudian memilih yang dianggap (rajjih) paling kuat.
C. Pembagian Ijtihad
1. ijtihad Istinbathi
Pengertian dari Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang ditujukan untuk
mengeluarkan hukum tetang sebuah masalah yang belum ada aturan pastinya atau
nash. Juga pada sebuah masalah yang sudah ada nashnya tetapi masih bersifat
dhanni atau belum bermakna pasti.
Menjadi keharusan dalam ijtihad Istibanthi ini adalah bahwa hal yang
diijtihadi itu belum pernah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. 7
2. Ijtihad Tathbiqi
Ijtihad ini membahas tentang masalah yang sudah dilakukan proses ijtihad
sebelumnya. Namun secara spesifik belum membahas mengenai sebuah kasus
atau masalah, karena pada waktu dilakukan ijtihad sebelumnya kasus tersebut
belum terjadi. Sehingga, dengan kata lain ijtihad Tathbiqi adalah sebuah ijtihad
yang bersifat mengkhususkan sebuah masalah.
3. Ijtihad tathbiqi
Ijtihad ini merupakan proses ijtihad dalam upaya untuk menjadikan proses
ijtihad terdahulu sebagai sebuah aturan formal dalam bentuk Undang-undang
yang bersifat mengikat. Karena, apabila sebuah proses ijtihad hanya disampaikan
dalam bentuk pernyataan atau fatwa, maka hasil ijtihad tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum untuk mengikat secara formal.
4. Ijtihad intiqa’i
adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk
memilih pendapat para ahli fikih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu,
7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, (Ciputat Jakarta, jilid 2,
1997) h. 109
8
sebagai mana tertulis dalam kitab fikih, kemudian menyeleksi mana yang lebih
kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang
5. Ijtihad insya’i
usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa
baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fikih terdahulu
Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasuskasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Jadi dalam menghadapi persoalan
yang sama sekali baru diperlukan pengetahuan mengenai maasalah yang sedang
dibahas, tampa mengetahui kasus yang baru tersebut maka kemungkinan besar
hasil ijtihadnya akan membawa kepada kekeliruan.
6. Ijtihad Muqorin (Komperatif)
adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad diatas ( intiqa’i dan Insya’i )
dengan demikian disamping untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa
pendapat , juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih
sesuai dengan tuntunan zaman8
D. Lapangan Ijtihad
Secara ringkas lapangan ijtihad ada dua:
1. Perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali.
2. Perkara syari’ah yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya
(tidak pasti penunjukan maknanya).
Kalau di dalam lapangan ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu
perkara, lantas hasil ijtihad itu menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan
wewenang qodhi/ hakim, maka wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian
keputusan berdasarkan undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang
itu sendiri.
Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang, karena wewenangnya
hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara berdasarkan
undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk
mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang
sudah pasti penunjukan maknanya).
8 Ibid hal. 110
9
Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad” terhadap yang sudah ada nash
qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar
ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim
memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan
hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang.
Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang
Contohnya, tidak bolehnya berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat
Islam, larangan khamr, larangan makan daging babi, larangan makan riba,
kewajiban memotong tangan pencuri –bila tidak ada keraguan dan telah
memenuhi syarat untuk dipotong–. Juga tentang hukum pembagian harta waris
mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian seorang laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan
dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang pasti, yang telah disepakati umat
Islam dan telah diketahui dari ajaran agama dengan pasti sehingga telah menjadi
sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.
Hendaknya kita jangan sampai terbawa arus orang-orang yang hendak
mempermainkan agama, yang ingin mengubah nash-nash muhkamat menjadi
mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai hukum-hukum yang
dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa dilepas atau bisa
diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan tempat kembalinya
nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan tempat
rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi
pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila
hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap
sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana
hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada pula
ukuran yang dijadikan landasan hukum. 9
E. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan Kontemporer
Syariat Islam telah memberikan pedoman khusus dalam menetapkan
hukum dalam bidang muamalah yang berbeda dengan furu’ fiqih lainnya, selain
itu Islam juga telah memberikan beberapa kaedah dalam bidang muamalah
9 Dr. Saiban, Kasuwi MA., Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, (Kutub Minar 2005) hal 90
10
ini.Oleh karena itu, setiap orang yang ingin membahas tentang transaksi atau
muamalah keuangan syariah kontemporer mesti memahami pedoman khusus ini
dan karakteristiknya. Karakteristik yang paling penting dipahami adalah bahwa
fiqih muamalah berdiri di atas dasar prinsip-prinsip umum.
Sumber dasar muamalah serta cabang-cabang fiqih lainnya adalah AlQur’an dan As-Sunnah.Tetapi dalam bidang muamalah pensyariatannya juga
didasarkan kepada prinsip-prinsip umum ( )المبادئ العامةdan kaedah-kaedah umum (
)القواعد اكلية, hal tersebut agar memudahkan para fuqaha’ untuk melakukan ijtihad
pada perkara-perkara baru yang dibuat oleh manusia. Di antara prinsip-prinsip
umum tersebut adalah:
a. Melarang tindak kezaliman dan harus saling redho
عن تددراضض إلمنك همم دودلا تدمقتههلوا دأنهفدسك همم إإ لدن الل لدده
كم إبال مدباإطإل إإ لدلا دأن تد ه
كم بدي من د ه
ديا أ دي لهدها ال لدإذيدن آدمهنوا دلا تدأ مك ههلوا أ دممدوال د ه
جادرةة د
كودن إت د
﴾٢٩ :دكادن إبك همم درإحيةما ﴿النساء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS. An-Nisa’:
29).
b. Melarang riba
﴾٢٧٥ :دوأ ددح ل دل الل لدهه ال مبدي مدع دودح لدردم الإلردبا ﴿البقرة
Artinya :“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(QS. Al-Baqarah: 275)
c. Melarang gharar
(عمن بدي مإع ال مدغدرإر )راوه مسلم
حدصاإة دو د
د-صلى الله عليه وسلم- عمن أ دإبى ههدري مدردة دقادل ن ددهى درهسوهل الل لدإه
د
عمن بدي مإع ال م د
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW telah melarang jual
beli al-hashah dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)
d. Melarang maisir (perjudian) atau spekulasi10
د
حودن
ديا أ دي لهدها ال لدإذيدن آدمهنوا إإن لددما ال م د
عدمإل ال لدشي مدطاإن دفامجتدإنهبوهه ل ددعل لدك همم تهمفلإ ه
ب دوال مأ دمزدلاهم إرمجسس إلممن د
خممهر دوال مدمي مإسهر دوال مأندصا ه
﴾٩٠ :﴿المائدة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
10 Ibid hal. 91
11
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 90)
e. Memerintahkan jujur dan amanah
﴾١ :ديا أ دي لهدها ال لدإذيدن آدمهنوا أ دموهفوا إبال مهعهقوإد﴿المائدة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. AlMaidah: 01)
f. Sadd Adz-Dzariah ()سد الذرائع.
Sadd adz-dzariah adalah menutup semua jalan atau cara yang zahirnya mubah
tetapi tujuannya haram. Dalam menggunakan kaedah ini, para ulama telah
menetapkan beberapa pedoman yaitu:
- Perkara tersebut secara umum mendatangkan mafasadat.
- Mafsadat yang ditimbulkan sama dengan maslahat yang diperoleh atau lebih.
- Niat untuk melakukan mafsadat tidak menjadi syarat dalam mengamalkan
kaedah ini.
- Kaedah ini tidak melarang untuk melakukan hal yang mubah jika merupakan
kebutuhan, misalnya pelamar atau dokter melihat perempuan ajnabi (bukan
mahram), hal ini dibolehkan karena hajat apabila terjamin tidak terjadi mafsadat.
Nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Hadits terkait dengan ekonomi sangatlah
banyak, sehingga pilar ekonoimi Islam perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilainilai yang lebih terinci agar dapat menjadi rumusan penuntun perilaku para pelaku
ekonomi. Keberadaan nilai semata padaperilaku ekonomi dapat mengasilkan suatu
perekonomian yang normatif, tidak akan bias berjalan secara dinamis. Oleh
karena itu, implementasi nilai-nilai ini harus secara bersama-sama didasarkan atas
prinsip ekonomi11
F. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syariah
Inovasi produk dan keuangan menjadi kunci perbankan syariah untuk
lebih kompetitif dan lebih berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak
tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk
yang menarik, kompetitif dan memberkan kemudahan transaksi, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat..
11 Ibid hal.93
12
Inovasi produk harus menjadi strategi prioritas bagi bank-bank syariah ,
sebab inovasi memiliki peran penting di tengah pasar yang kompetitif. karena itu
industri perbankan syariah harus dapat terus melakukan inovasi-inovasi
baru.Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang cendrung statis, hanya
terbatas di tabungan, deposito, giro, pembiyaan murabahah, mudharabah, syirkah,
dan itu sangat sedikit sekali. Makanya bank-bank syariah harus mengembangkan
variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu
akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah menghadapi keutuhan
masyarakat modern yang semakin kompleks.Karena itu bank-bank harus
mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas SDM dengan menggelar training
atau wokrshop inovasi produk.
G. Ijtihad Dalam Ekonomi Mikro dan Makro
Mikro ekonomi dominan bicara tentang prilaku individual yang
berorientasi pada pemaksimalan kepuasan dan keuntungan, dari prilaku ekonomi
(konsumen dan produsen) sampai prilaku pasar (deman dan supply). Sementara
pada makro ekonomi akan banyak bicara tentang dinamika ekonomi negara
dengan orientasi pembangunan (pendapatan nasional), kesejahteraan (tingkat
kesempatan kerja termasuk pemerataan) dan kestabilan sistem (tingkat harga dan
laju inflasi. Namun dilihat dari dua pembahasan yang ada di mikro dan makro
dengan kaca mata lebih dalam, akan terlihat ketidaksinkronan orientasi keduanya.
Betul secara besaran variabel instrumen mikro dan makro terlihat berjenjang dan
korelatif, tetapi jika dianalisis orientasi instrumen tadi akan terlihat tidak ada
korelasinya, bahkan cenderung paradoksial.12
Ketika instrumen makro bicara tentang upaya mewujudkan pertumbuhan
ekonomi dan pencapaian stabilitas ekonomi dengan basis analisis makro
(kolektif), mikro ternyata bicara tentang kepentingan individual dalam
pemaksimalan kepuasan dan keuntungan yang relatif tidak peduli dengan
pencapaian kolektif tadi. Dinamika makro ekonomi tentu akan menjadi lancar dan
optimal ketika langkah-langkah kolektif berjalan sesuai dengan visi dan orientasi
mikro ekonomi. Namun realitanya akan sulit dicapai jika melihat nature ilmu
mikro ekonomi, yang visi dan orientasinya lebih bersifat individualistik. Contoh
12 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
13
sederhana, bagaimana men-sinkronkan teori utility mikro ekonomi dengan misi
wealth and income distribution-nya makro ekonomi?
Yang juga menarik, meski banyak membahas prilaku individual (baik
perseorangan maupun unit bisnis), pada himpunan ilmu mikro tidak akan
ditemukan pembahasan filosofi prilaku ekonomi seperti nilai-nilai hidup yang
diyakini mampu mempengaruhi tingkat preferensi ekonomi, misalnya nilai akhlak
dan moral atau nilai agama dan keyakinan. Pembahasan prilaku individu terkesan
betul-betul
bersandar
pada
human
nature
(fitrah)
manusia,
tanpa
memperhitungkan faktor-faktor yang dapat men-shape human nature, seperti
agama dengan nilai-nilai akhlak dan moralnya.
Boleh jadi disinilah letak jurang antara mikro dan makro ekonomi.
Sekaligus, disinilah pula letak jembatan yang sepatutnya ada atau dibangun agar
mikro dan makro menjadi satu teori yang tidak bisa dipisahkan atau bahkan
sampai berkorelasi paradok secara orientasi. Nah, inti dari tulisan ini adalah
sekedar ingin menawarkan bahwa dalam perspektif ekonomi Islam, jurang itu
tidak ada, atau mungkin dapat secara moderat saya katakan ada jembatan antara
mikro dan makro ekonomi, yaitu nilai Islam itu sendiri. Islam memiliki akidah
dan akhlak yang lengkap untuk menjadi nilai bagi prilaku ekonomi pada ranah
mikro ekonomi dan nilai-nilai itu harmonis dengan guidance syariah pada ranah
makro ekonominya. Islam baik mikro dan makro menuntun ekonomi untuk
konsisten dengan nilai dan parameter ekonomi yang bersifat kolektif. Kepentingan
kolektif mendominasi aktifitas mikro maupun makro. Secara sederhana, instrumen
yang melekatkan itu misalnya zakat, dimana zakat pada satu sisi mempengaruhi
prilaku individual maupun pasar di level mikro dan mempengaruhi konstelasi
ekonomi negara pada level makro.13
13 Ibid hal. 100
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh atau mengarahkan segala
kemampuan. Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at
Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak
dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan Al-Hadits.
Dengan pendekatan istinbath akan diperoleh hukum Islam dari sumbersumbernya. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh cara-cara
pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh
pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan
oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan
15
DAFTAR PUSAKA
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Harjan Syuhada et.al. 2011. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: PT Bumi Aksara
Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqih. PT. Logos Wacana Ilmu. Ciputat Jakarta.
jilid 2,
Dr. Saiban, Kasuwi MA. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Kutub Mina.
16