Etika dan Estetika dalam perang Bhratayu

MAKALAH REVISI

ETIKA DAN ESTESTIKA DALAM WAYANG
(KISAH PERANG BHARATAYUDA)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M. Hum.
Dr. Hari Bakti Mardikantoro, M. Hum.

Oleh:
Arum Ratnaningsih

(0103513110)

Ana Solikha

(0103513024)

Tyasmiarni Citrawati

(0103513139)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
KONSENTRASI BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Situasi sekarang ini banyak terlihat gejala-gejala kemerosotan etika dan estetika
(keindahan) yang terjadi dimana-mana. Mulai dari usia anak-anak hingga dewasa maupun
orang tua terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan imbas dari adanya modernisasi dan
globalisasi yang merusak tatanan etika dan estetika di masyarakat. Padahal etika
merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal serta menjadi ciri yang
membedakan

manusia


dengan

binatang.

Sehingga

manusia

yang

berperilaku

berlandaskan dengan etika dan estetika yang menjadi pembatas manusia dengan makhluk
lainnya dalam berperilaku.
Seni pedalangan atau pewayangan merupakan salah satu jenis seni pertunjukkan
yang sudah tua umurnya dan masih hidup serta berkembang sampai masa sekarang.
Istilah pedalangan mempunyai pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan
dalang atau seorang dalang sebagai sentralnya, sedangkan pewayangan berartikan segala
sesuatu yang berhubungan dengan wayang. Pada dasarnya pewayangan sangat dikenal
luas di seluruh dunia bahkan dianggap sebagai wahana pembelajaran budi pekerti yang

bisa menjadi tolak ukur ciri khas suatu bangsa. Di Jawa jenis wayang purwa dianggap
wayang tertua dibandingkan dengan jenis wayang lainnya. Wayang kulit sebagai bagian
dari seni pertunjukkan mengandung nilai-nilai estetika dan etika yang dikemas dengan
mempertimbangkan kaidah-kaidah keindahan agar dapat memukau penghayatnya. Nilainilai estetika mengandung peringatan dan cita-cita kreativitas dan tanggapan seniman
yang diwujudkan dengan simbol-simbol dalam pewayangan. Nilai-nilai estetika
merupakan unsur-unsur penting yang dapat mempengaruhi kreativitas seniman yang
mana kreativitas tersebut timbul karena adanya rasa tidak puas dengan bentuk yang sudah
ada. Garapan-garapan baru akan timbul yang secara langsung menambah kekayaan
kreativitas dan menambah nuansa baru dalam garapan.
Kreativitas seorang dalang yang biasanya bertumpu pada kisah hidup pribadi
atau orang lain untuk menggarap lakon/cerita wayang bahkan memperjelas karakter
tokoh. Pengalaman-pengalaman pribadi sangat mempengaruhi kreativitas seniman
didalam memperoleh ide-ide yang mempunyai sifat kebaruan dan keterkejutan yang
2

berimbas pada penghayat menjadi mengetahui dan memahami karya-karya baru, bahkan
ada beberapa yang mengkultuskan karakter tokoh yang ada di dalam pewayangan.
Pada lakon perang Bharatayuda, sajian pertunjukkan wayang juga selalu
ditunggu penonton tentang nilai yang ingin dituangkan oleh seorang dalang. Perang
Baratayuda merupakan cerita yang berbobot dan menarik, mengandung nilai-nilai etis

yang sebenarnya ingin dipertahankan oleh masyarakat melalui pementasan lakon. Banyak
sekali unsur etika maupun estetika yang bisa digali dari cerita seni pewayanagan ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan etika?
2. Pendekatan apa yang digunakan dalam bidang etika?
3. Apakah yang dimaksud dengan moral?
4. Apa saja prinsip-prinsip moral dan sikap kepribadian moral yang kuat?
5. Apakah yang dimaksud estetika?
6. Apa saja relasi estetika dalam wayang dan makna perang Bharatayuda?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diuraikan tujuan penulisan makalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian etika dari berbagai sudut pandang ahli.
2. Untuk mengetahui pendekatan yang digunakan dalam bidang etika.
3. Untuk mengetahui pengertian moral dari berbagai sudut pandang ahli.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dan sikap kepribadian moral yang kuat.
5. Untuk mengetahui pengertian estetika dari berbagai sudut pandang ahli.
6. Untuk mengetahui relasi estetika yang terjadi dalam wayang dan makna dari perang

Bharatayuda secara etika maupun estetika.

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika
1. Pengertian Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat. Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik
buruk. Sedangkan yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang
menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya.
Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran yang dapat dinilai,
sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Jika kita melihat dalam KBBI, etika membedakan tiga arti yaitu pertama,
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban.
Kedua, kumpulan asas atau nilai. Ketiga, nilai mengenai benar atau salah yang dianut
oleh suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah suatu refleksi tentang tema-tema
yang menyangkut perilaku kita. Dalam etika menganalisis tema-tema pokok seperti

hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban. Etika berarti
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Jadi etika
adalah ilmu atau asas atau nilai tentang baik dan buruk tingkah laku berdasarkan
kebiasaan yang berlaku.
Menurut Sunoto dalam Fuad Ihsan mengatakan bahwa etika dapat dibagi
menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan,
menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak
mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Sedangkan
etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan buruk, yang harus
dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti nilai,
motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah
pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan,
dan sebagainya.
2. Landasan Etika
4

Menurut sebagian penulis, Socrateslah filosof pertama yang meletakan dasar-dasar
ilmu etika, dan Aristoteleslah (384-322 SM) filosof pertama yang membangun
madzhab etika. Sebelum Aristoteles, “ilmu etika” dengan metode yang berbeda sudah

ada. Socrates tidak memisahkan antara etika dan agama (metafisika). Kehidupan etika
bagi Socrates, bertumpu pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum Ilahi
yang tidak tertulis. Socrates sendiri tidak menemukan adanya kontradiksi apapun
antara sendi transcendental ini dengan eksistensi etika yang merupakan ilmu praktis.
Hal ini bukan hanya karena Socrates berbicara seakan-akan dibimbing oleh wahyu
atau ilham, tapi karena – khususnya pada detik-detik menjelang wafatnya Dia
mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika.
3. Metode Etika
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, normanorma, dan pandangan-pandangan moral secara kritits. Sehingga etika tidak
membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapatpendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Jadi metode yang tepat
pada etika yaitu dengan pendekatan kritis.
Metode yang dipergunakan dalam etika adalah metode pendekatan kritis.
Etika pada hakekatnya mengamati realitas sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan
manusia secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran ataupun ideology, melainkan
memeriksa, merefleksi, mengevaluasi, dan menganalisa kebiasaan-kebiasaan, nilainilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut
agar ajaran-ajaran moral tersebut dapat dipelajari dan dihayati oleh setiap manusia,
kemudian

dapat


dilaksanakan

dalam

kehidupannya

secara

nyata,

dan

dipertanggungjawabkan di hadapan dirinya, orang lain, alam semesta, dan Tuhan Yang
Maha Esa. Selain itu, etika dengan motode pendekatan kritisnya, berusaha untuk
menjernihkan persoalan-persoalan moral secara benar dan porposional.
4. Pendekatan Pembinaan Etika
Pendekatan yang akan dipergunakan dalam penanaman etika, adalah
pendekatan yang biasa dipergunakan dalam pendekatan pendidikan nilai. Adapun
pendekatan-pendekatan tersebut, seperti disebutkan oleh Superka, ada lima

pendekatan, yaitu: pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral
kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan
5

pembelajaran berbuat. Penjelasan pendekatan-pendekatan tersebut antara lain sebagai
berikut:
a. PendekatanPenanamanNilai
Pendekatan Penanaman Nilai (Values Inculcation Approach) adalah suatu
pendekatan yang memberi penekanan akan pentingnya nilai-nilai budi pekerti.
Seseorang harus menerima dan meyakini bahwa nilai-nilai tersebut adalah benar.
Ada dua tujuan dari pendekatan ini, yaitu: diterimanya nilai-nilai budi pekerti dan
berubahnya prilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Metode yang
digunakan dalam pendekatan antara lain: keteladanan, penguatan positif dan
negatif, simulasi, permainan peranan, dan yang lainnya.
b. PendekatanPerkembangan Moral Kognitif
Pendekatan ini disebut Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive
Moral Depelovment Approach) karena karakteristiknya memberikan penekanan
pada aspek kognitif dan perkembangannya Pendekatan ini mendorong untuk
berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusankeputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu

tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi. Tujuan yang ingin
dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama, yaitu: Pertama, membantu
untuk membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai yang
lebih tinggi. Kedua, mendorong untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika
memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral.
c. PendekatanAnalisisNilai
Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach) memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis
masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan
pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya
bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalahmasalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif
memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada dua tujuan
utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu untuk
menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis
masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua,
6

membantu untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam
menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.
d. Pendekatan Klarifikasi Nilai

Pendekatan Klarifikasi Nlai (Vlues Clarification Aproach) memberi penekanan
pada usaha untuk membantu dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri,
untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang ilai-nilai mereka sendiri. ujuan
pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu untuk
menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang
lain. Kedua, membantu supaya mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur
dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, membantu,
supaya mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional
dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah
laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan
metode: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain.
e. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach) member penekanan
pada usaha memberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral,
baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Superka, menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan
kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan melakukan perbuatan moral,
baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai
mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak
memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat,
yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
5. Fungsi Etika
Adapun fungsi pengajaran etika, seperti dijelaskan oleh Suharsono danYodi
Orbawan (2004), antara lain:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan perilaku manusia dari yang buruk menjadi
baik dan dari yang baik menjadi lebih baik, sehingga mendekati kesempurnaan.
b. Penyaluran, yaitu membantu manusia agar menyalurkan potensi-petensi yang
dimiliki untuk kebaikan dirinya, orang lain, dan alam semesta.
7

c. Perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan
yang ada dalam dirinya.
d. Pencegahan, yaitu mencegah manusia agar tidak melakukan hal-hal yang dapat
merusak harga diri, keluarga, agama, bangsa, dan negara.
e. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati, seperti
sombong, iri, dengki, riya, dan lainnya, agar manusia tumbuh dan berkembang
sesuai dengan fitrah manusia, ajaran agama, dan budaya bangsa.
f. Penyaring, yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa, baik bangsa sendiri
maupun bangsa lain, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.
6. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara
hidup. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.
Sedangkan bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Jadi moral adalah ukuran baik dan buruk sikap
manusia dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat.
Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya
sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Macam-macam norma ada dua
yaitu pertama norma khusus, yang berlaku dalam bidang atau situasi khusus.
Contohnya peraturan tata tertib di kampus universitas yang hanya berlaku selama kita
berada di kampus. Kedua norma umum, terbagi menjadi tiga macam antara lain
norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Pertama norma sopan santun, menyangkut sikap lahiriah manusia. Sikap
lahiriah mengungkapkan sikap hati dan mempunyai kualitas moral. Kedua norma
hukum, adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena
dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Pengertian lain, bahwa
norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar jika ada orang yang
melanggar hukum pasti akan dikenai hukum sebagai sanksi. Norma hukum tidak
sama dengan norma moral. Hal ini dikarenakan norma hukum tidak dipakai untuk
mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin
tertib umum. Ketiga norma moral, adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk
mengukur kebaikan seseorang. Sehingga penilaian moral selalu berbobot.
7. Prinsip-prinsip Moral Dasar
8

Etika normatif yang mempunyai tolak ukur menilai tindakan manusia secara
moral. Sehingga sebagai panduan dalam tolak ukur etika normatif tersebut
menggunakan prinsip-prinsip moral dasar. Prinsip-prinsip moral dasar terbagi menjadi
tiga bagian antara lain:
a. Prinsip sikap baik
Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Hal ini
dikarenakan prinsip sikap baik mempunyai dasar dalam struktur psikis manusia.
Misalnya kita bertemu dengan orang yang belum kita kenal, dengan adanya sikap
dasar ini kita dapat bertemu dengan orang yang belum kita kenal tanpa takut. Jadi
sikap yang biasa pada manusia bukan sikap memusuhi dan mau membunuh,
melainkan sikap bersedia untuk menerima baik dan membantu. Jadi prinsip sikap
baik bukan hanya sebuah prinsip yang kita pahami secara rasional, melainkan
juga mengungkapkan “syukur” suatu kecondongan yang memang sudah ada
dalam watak manusia.
b. Prinsip keadilan
Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja dan apa yang
menjadi haknya. Karena hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia,
maka tuntutan paling dasar adalah keadilan. Keadilan adalah perlakuan yang sama
terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan
mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap
semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati
hak semua pihak yang bersangkutan.
c. Prinsip hormat terhadap diri sendiri
Prinsip ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri
sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham
bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian, dan berkehendak, yang
memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Prinsip hormat
terhadap diri sendiri mempunyai dua arah yaitu pertama dituntut agar kita tidak
membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan semacam itu
merugikan kedua belah pihak. Karena sebagai manusia kita mempunyai harga
diri. Kedua jangan sampai membiarkan diri terlantar. Kita mempunyai kewajiban
bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap diri kita sendiri. Bahwa
manusia

juga

mempunyai

kewajiban
9

terhadap

dirinya

sendiri

berarti

kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap
dirinya sendiri.
Jadi prinsip kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu
diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai makhluk yang
bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk
bersikap adil, tetapi tidak membuang diri.
8. Sikap Kepribadian Moral yang Kuat
Berikut sikap-sikap yang perlu dikembangkan untuk memperoleh kekuatan
kepribadian yang mantap dalam kesanggupan untuk bertindak sesuai dengan apa yang
diyakininya sebagai benar, antara lain:
a. Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran.
Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah karena kita
belum berani menjadi diri kita sendiri. Bersikap jujur terhadap orang lain
mempunyai dua arti yaitu pertama, sikap terbuka yang dimaksud adalah bahwa
kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Kedua bersikap fair, maksudnya
terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar. Orang jujur memperlakukannya
menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap
dirinya. Ia akan menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang
diberikan juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Orang
yang jujur tidak pernah bertindak bertentangan dengan suara hati atau
keyakinannya.
b. Nilai-nilai otentik
Otentik berarti asli, manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan
menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya dengan kepribadian yang
sebenarnya.
c. Kesediaan untuk bertanggung jawab
Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam
kesediaan untuk bertanggung jawab. Tanda-tandanya yaitu pertama kesedian
untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Kedua sikap
bertanggung jawab mengatasi segala etika peraturan. Ketiga tidak membatasi
perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya. Keempat
kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta,
10

memberikan, pertanggungjawaban atas tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan
kewajibannya.
d. Kemandirian moral
Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri
dan untuk bertindak sesuai norma agama.
e. Keberanian moral
Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan
sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, demikian pula apabila tidak disetujui
atau secara aktif dilawan oleh lingkungan.
f. Kerendahan hati
Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan
kenyataannya.
g. Realistik dan kritis
Sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja, melainkan
kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan
dengan tuntutan prinsip-prinsip moral dasar.
B. Estetika
Nilai estetika dalam filsafat yang dalam kamus besar bahasa Indonesia, cabang
filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan
manusia mengenai keindahan akan sesuatu yang indah. Estetika digunakan oleh
Alexander Baumgarten dalam arti cabang filsafat sistematis yang menempatkan
keindahan dan seni sebagai objek telaahnya. Sejak itu istilah estetika dipakai dalam
bahasan filsafat mengenai benda-benda seni
Estetika (estetis) adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan
keindahan (beauty). Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aesthesis”, yang berarti
penerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual.
Istilah art berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Keindahan atau estetika
merupakan bagian dari sebuah filsafat, sebuah ilmu yang berintikan logika, estetika,
metafisika, dan epistemologi. Batasan keindahan sulit dirumuskan. Karena keindahan itu
abstrak, identik dengan kebenaran. Maka batas keindahan pada sesuatu yang indah, dan
bukannya pada “keindahan sendiri”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai
pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan
intelektual. Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah
11

ilmu yang membahas keindahan, bagaimana bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang
bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi
yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen
dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Beberapa pemikir estetika yang terkenal antara lain adalah Aristoteles dan
Immanuel Kant. Aristoteles dalam Poetics menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan indah
karena mengikuti aturan-aturan (order), dan memiliki magnitude atau memiliki daya
tarik. Immanuel Kant dalam Porphyrios (1991) menyatakan bahwa suatu ide estetik
adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu.
Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan yaitu keindahan natural dan
keindahan dependen. Keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam
dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek
ciptaan manusia. Jadi estetika berbicara tentang rasa yang mencakup penyerapan
perhatian dalam pengalaman. Rasa estetika itu dappat dibangkitkan dari rasa seni ketika
berusaha menimbulkan tanggapan (respon) dari bermacam objek dan pengalaman. Ia
yang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu.
C. Relasi Estetika dan Etika dalam Wayang serta Makna Perang Bharatayuda
1. Pengertian Pewayangan dan Pendalangan
Bicara tentang wayang dikandung sejumlah pengertian yaitu wayang mengacu
pada boneka (sejenisnya), wayang mengacu pada pertunjukkan (performance),
wayang mengacu pada kisah (lakon), dan wayang mengacu pada orang-orang yang
menari. Pertunjukan wayang dapat disebut teater total di dalamnya terkandung
sejumlah jenis seni yang di ramu menjadi satu kesatuan, yakni seni drama (sanggit),
musik (vokal–instrumen), rupa, gerak (tari), dan seni sastra. Di samping itu dalam
pertunjukan wayang dikandung pula efek-efek yang terdengar dan terlihat (audiovisual efek) dan artis pendukung perlengkapan (dramatis personal dan equipment).
Dalang adalah tokoh utama dalam wayang kulit. Dia adalah penutur kisah,
penyanyi lagu (suluk), yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu,
pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya itu, dialah pemberi
pemberi jiwa pada boneka wayang. Ruth (1990: 38 - 39), dalang adalah bukan pemain
biasa, seorang dalang menyiapkan diri secara batin dan lahir sebelum sebuah
pertunjukkan semalam suntuk dan sering mempertunjukkan dengan tidak sadarkan
diri.
12

Sebuah pertunjukkan wayang kulit yang klasik dinamakan semalam suntuk,
lamanya delapan jam atau lebih. Selama pertunjukan, seorang dalang duduk di
belakang kelir, menggerakkan wayang, menyuarakan wayang, menyanyi bahasa
khusus, dan memimpin karawitan.
2. Relasi Estetika dalam Wayang
Estetika pertunjukan wayang merupakan totalitas keindahan yang terdiri dari
garap artistik dan estetik yang disajikan secara utuh sehingga menimbulkan kesan rasa
bagi penghayat wayang. Estetika pertunjukan wayang dibentuk oleh pelaku, peralatan,
unsur garap pakeliran, dan penonton yang memiliki hubungan sinergis dan organis.
Dalang merupakan tokoh sentral yang mengolah unsur-unsur garap pakeliran dengan
didukung kelompok karawitan dan peralatan pertunjukan untuk menyajikan lakon
wayang yang dikomunikasikan kepada penonton. Hubungan antara berbagai unsur ini
membentuk estetika pertunjukan wayang.
Dalang menjadi kekuatan utama dalam pertunjukan wayang. Ia merupakan
orang yang bertindak sebagai pemain boneka wayang, pemimpin orkestra, sebagai
sutradara, juru penerang, dan penghibur. Dalang juga dituntut memahami bidang
kerohanian, falsafah hidup, pendidikan, kesusastraan, ketatanegaraan, dan sebagainya.
Untuk mencapai pertunjukan wayang yang estetis, dalang dituntut menguasai
keterampilan teknik, kemampuan sanggit, dan totalitas ekspresi.
Kelompok karawitan terdiri dari pengrawit, pesinden, dan penggerong.
Pengrawit bertugas memainkan instrumen gamelan. Pesinden bertugas menyajikan
vokal perempuan dalam alunan gendhing ataupun tembang, dan penggerong bertugas
menyajikan vokal laki-laki. Kehadiran pengrawit, pesinden, dan penggerong dalam
pagelaran wayang adalah mendukung terciptanya kualitas estetik. Hubungan sinergis
antara kelompok karawitan dengan dalang ditunjukkan pada makna sasmita gending.
Dalang melontarkan sasmita gending yang diterjemahkan kelompok karawitan dalam
vokal gending tertentu untuk mendukung pertunjukan wayang.
Untuk menyajikan pertunjukan wayang, diperlukan kehadiran peralatan
penunjang seperti boneka wayang, kelir, blencong, kothak, cempala, keprak, gamelan,
dan pengeras suara. Semua peralatan memiliki kontribusi bagi terbentuknya estetika
pertunjukan wayang. Ada hubungan organis antara peralatan pertunjukan dan estetika
pertunjukan wayang lainnya, sehingga meniadakan salah satu peralatan akan
mengganggu keutuhan estetika pertunjukan wayang.
Pada estetika pertunjukkan wayang dikenal perangkat lunak yang dinamakan
unsur garap pakeliran, seperti lakon, catur, sabet, dan karawitan pakeliran
13

pemahaman lakon menitikberatkan pada sumber lakon, jenis lakon, dan struktur lakon.
Pada garap catur, sabet, dan karawitan pakeliran diketahui berdasarkan elemenelemennya, yaitu pertama, catur terdiri dari bahasa, ginem, janturan, pocapan, dan
teknik antawecana. Kedua, sabet meliputi cepengen, tancepan, solah, entas-entasan,
ragam gerak, dan makna gerak. Ketiga, karawitan pakeliran terdiri atas urutan sajian
dan nama gending, jenis dan cengkok sulukan, maupun dhodhogan-keprakan.
Estetika pertunjukan wayang tidak terlepas dari respon penonton. Sunardi
(2012: 4) ada hubungan signifikan antara dalang, pagelaran wayang dengan
penontonnya. Tipe penonton penurut dan kritis, daya apresiasi penonton yang tinggi,
sikap penonton yang mengikuti tata aturan menonton wayang, jumlah penonton yang
banyak dan tetap, serta kualitas penonton sangat berpengaruh dalam pencapaian
estetika pertunjukan wayang.
3. Makna Perang Bharatayuda dan Nilai Etika dalam Wayang
Interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang purwa/kulit" banyak versi
sesuai dengan peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang
purwa/kulit" yang pada hakikatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa
perubahan yang bersifat mikro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang
bersikap makro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Arti simbolik yang
bersifat mikro (dalam diri manusia secara individu) pengertian simbolik perang
Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia dalam rangka
mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan buruk. Peperangan yang tiada henti
selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi luhur dan
melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang
bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya.
a. Bharatayuda sebagai simbol pertarungan/pergulatan etika baik dan buruk dalam
diri manusia: Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang saudara,
karena apabila manusia menginginkan sifat baik yang terpancar dalam
kehidupannya dia harus berani membunuh sifat buruk dalam dirinya yang berarti
membunuh sebahagian dari dirinya. Betapa sakitnya seseorang yang harus
membunuh sifat dalam dirinya yang bersifat kesenangan yang merusak seperti
"ma-lima" (lima) yaitu (madon, madat, maling, main, mabuk. Madon berarti:
kesenangan dengan wanita/sex diluar pernikahan, madat: kesenangan dengan
candu/ganja/ekstasi/heroin/atau

sejenisnya,
14

maling:

kesenangan

memiliki

hak/kepunyaan orang lain, main: kesenangan berjudi, mabuk: kesenangan minum
minuman keras). Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti
tadi yang merupakan sifat buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap
sebagai Arjuna yang harus berani melakukan perang Bharatayuda, untuk
membunuh sebahagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu sangat berat
dan terasa menyakitkan. Dan apabila sifat ksatria utama yang memenangkan
peperangan dalam diri seseorang, dia mampu mengatasi dirinya untuk tidak
berbuat yang kurang terpuji dan berbudi luhur dalam perbuatan nyata untuk
dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya. Kemenangan dalam peperangan
ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari manusia yang
kurang terpuji sifat-sifatnya menjadi manusia yang terpuji sifat-sifatnya.
b. Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/akibat
perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakannya terhadap
nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk.
Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya
pengaruh berbagai budaya dari luar kadang-kadang agak sulit untuk mengenali
dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan
etika moral yang terpuji maupun kebalikannya terkadang agak sulit menarik garis
hitam putih. Tapi kalau kita mengkaji kisah/lakon dalam "wayang purwo/kulit" hal
tersebut bukan sesuatu yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh-tokohnya yang
selalu bergulat dalam perbuatan yang terpuji maupun kurang terpuji, bahkan
terhadap tokoh-tokoh yang diidealkan seperti tokoh Pandawa Lima dan Sri Kresna.
Hal ini adalah suatu indikasi alamiah ketidaksempurnaan manusia.
Arti simbolik yang bersifat makro (dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara) perang Bharatayuda adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul
di dalam masyarakat apabila muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi
luhur yang melaksanakan perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkara
murka agar terjadi perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih
baik. Bahwa pada akhirnya Pandawa Lima memutuskan untuk melaksanakan suatu
perang Bharatayuda bukanlah suatu proses atau keputusan yang mudah, Pandawa
Lima secara nyata telah menjalankan usaha mencegah agar perang Bharatayuda jangan
terjadi dengan misi perdamaian yang terakhir adalah lakon/cerita "Kresno Duto" yang
mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah secara damai yang akhirnya malah
15

menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur
kan seluruh kerajaan Hastinapura. Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman
dan keangkara murkaan itu semacam candu/ecstacy, sekali kita didalamnya sulit kita
bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya, harus ada pihak-pihak yang
berani memerangi dan menghancurkannya.
Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang "gegirisi" atau
sangat menakutkan tidak ada satupun perang yang tidak menakutkan yang akan
meminta banyak korban dimana akhirnya semua seratus Kurawa dan segala Ksatria
yang membantunya habis terbunuh, juga dari sisi Pandawa Lima tidak ada anak-anak
Pandawa Lima yang bisa lolos dari maut. Kemenangan dari Pandawa Lima harus
dibayar sangat mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa menjadi negara yang adil
makmur setelah segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. "Jer basuki mawa
bea" adalah suatu pepatah Jawa yang artinya untuk mencapai suatu tujuan selalu ada
biayanya.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
16

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika dan estetika
dalam wayang memang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
terkait dengan nilai-nilai agung yang ada dalam wayang. Etika adalah ilmu atau asas
atau nilai tentang baik dan buruk tingkah laku berdasarkan kebiasaan yang berlaku,
membantu untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu di lakukan
dan yang perlu di pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala
aspek atau sisi kehidupan. Sedangkan moral adalah ukuran baik dan buruk sikap
manusia dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat.
Estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang dianggap
sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Relasi estetika dalam wayang merupakan totalitas keindahan yang terdiri dari
garap artistik dan estetik yang disajikan secara utuh sehingga menimbulkan kesan
rasa bagi penghayat wayang. Interpretasi perang Bharatayuda pada hakikatnya bisa
dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat mikro (dalam diri
manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap makro (dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara). Dari penggambaran perang Baharayuda diharapkan
masyarakat dapat mengambil ajaran etika yang baik dan memahami unsur estetika
yang sesungguhnya, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam segala
aspek atau sisi kehidupan.
B. Saran
Untuk lebih mendalami etika dan estetika dalam wayang, pembaca disarankan untuk
melihat video pementasan wayang atau cerita tentang wayang.

Daftar Pustaka
Abdul Hakim, Atang, dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi
Sampai Teofilosofi Cetakan Pertama. Bandung: CV Pustaka Setia.
17

Bertens, K. 2007. Sari Filsafat Atma Jaya: 15 etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fuad Ihsan, H.A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.
Kencana Syafiie, Inu. 2010. pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama.
Mark Ruth, Woodward. 1990. Wayang Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Sunardi. 2012. Estetika Pertunjukkan Wayang Purwa. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Suseno, Franz Magnis. 2010. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. kamus besar bahasa Indonesia edisi ke 3.
Jakarta: Balai Pustaka.
Yusuf. 2012. http://yusup-doank.blogspot.com/2011/05/metode-dan-kegunaan-etika.html.

18