Lomba Cipta Cerita Pendek

Cita Rasa Indonesia
Peringkat V
Shiba Mutiara Nabilah
SMA IT Al-Kahfi, Jawa Barat

Beragam, tapi tetap satu,
Banyak rasa, tapi tetap satu,
Adat yang berbeda, tapi tetap satu,
Bhinneka Tunggal Ika, aku cinta Indonesia
Menit itu aku menemukannya. Cita rasa baru yang menyentuh
per ukaa lidahku. I i gudeg, M ak? Begitulah perta yaa e erapa ora g
yang telah merasakan resep terbaruku ini. Sungguh, aku mencintai ide
cemerlang ini. Pastel isi Gudeg. Belum terpikir olehku nama unik dari harta
karun terindah yang dihasilkan otakku setelah berpikir keras. Hanya merasa
bangga pada daerah tercinta, Jogjakarta. Meski dahulu terasa pahit di hati.

***

10 tahun silam.
Assala u alaiku .
Wa alaiku sala .... Ada apa Kiara, kok teriak-teriak? .

Aku terus berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan Ibu. Sore yang
kelam bagiku. Sepulang sekolah langsung saja aku pergi membawa biola
kesayanganku menuju taman dekat rumah.
Tidak ingin pulang. Biarlah semilir angin membelai kepalaku dengan
lembut. Bahkan burung-burung berbaik hati menyanyikan sebuah lagu yang
indah. Sementara aku masih bergetar, meringkuk. Di bawah rindang pohon,
kutaruh biola pemberian Ibu tepat di sisiku.
Jawa ka pu g! Maka a ya a eh! Ma is a get rasa ya! Ka u gak
cocok tinggal di sini. Tempatmu itu di Jawa, Norak! Ah, biar kuberi tantangan.
Jika besok kamu masih di sini, kamu harus mencicipi makanan super pedas

uata ku! HAHAHAAA .
Masih terngiang. Ejekan Radit soal masakan Ibu.
Sudah seminggu aku tinggal di Sulawesi Selatan. Tak begitu lama
dibanding dulu tinggal di Jogja. Aku belum terbiasa di sini. Memang, orangorang di sini baik. Tapi ada salah satu temanku yang selalu mengejek masakan
Ibu untuk bekalku di sekolah. Awalnya aku terima, lama-lama aku muak.
Bahkan aku tak tahu harus apa bila besok Radit memberiku makanan
pedas? Aku tak bisa memakannya. Aku tak bisa makan pedas. Lidahku bisa
terbakar nanti. Bisa saja aku mengadu pada Ibu. Tapi untuk apa? Percuma! Aku
tetap akan sekolah di tempat yang sama. Sebab, Ayahku memang di tugaskan

di pulau kecil ini, Selayar. Terletak tepat di bawah kaki Sulawesi Selatan.
Budayanya indah, tapi tidak dengan Radit!.

***

Keesokan harinya.
Kiara? Kok, asih di si i? Tidak takut? .
Ah, lagi-lagi Radit. Biar saja dia berbicara sesuka hati. Aku pura-pura
tidak dengar saja.
Kiara! Ka u de gar gak, sih?! ‘adit e ggertak.
Apa?! Mau ka u apa?! Aku e a ta g ya. Ka u au makan bekal
buatan I uku?! .
Tunggu, kali ini Radit malah pergi. Tidak menghiraukanku. Apa ada? Ah,
aku tidak peduli.
Alih-alih hatiku er isik se uah ke aika . Ha piri ia, Kiara . Baiklah,
aku mengangguk mantap. Sepertinya Radit memang tak bermaksud menyakiti
hatiku. Entahlah. Biar aku coba berbicara dengannya.
Rupanya Radit sedang melamun di belakang kelas. Dia tidak bergerak.
Diam saja seperti batu.
Ada apa, Dit? Ta yaku pela , ha pir tak terde gar.

Pergi sa a! Ja ga
e gha piri atau e gikutiku lagi! .
Radit berdiri, hendak beranjak pergi. Tidak, dia tidak jadi melangkah
pergi. Ia e oleh ke arahku. Juga ja ga awa ekal dari I u u lagi! .
Baik, jadi itu kata terakhir yang bagus rupanya. Sungguh aku tak

mengerti, ada apa dengan Radit? Apakah sesuatu membuat ia marah? Hingga
aku yang kini menjadi pelampiasannya. Aku tak peduli. Sungguh.

***

Pulang sekolah kali ini aku sedikit tenang. Kau tahu?. Ini semua sebab
tidak ada gangguan dari Radit. Soal janjinya ingin memberiku makanan pedas.
Tidak hari ini mungkin besok. Entahlah. Aku tetap senang karena sore ini aku
hendak bermain biola dengan tenang di taman dekat rumah.
‘adit? Ngapai di si i? .
Tiba-tiba saja taman tempatku bermain terisi orang yang tidak ingin
kulihat. Hal bodoh macam apa ini?.
Hai Kiara. ‘u ahku juga dekat si i. Gak ada ya g tahu ru ahku. ‘adit
berkata lembut.

Alisku mengernyit, tidak biasanya Radit begini.
Boleh aku i ta aaf? ‘adit erkata lirih sa il terus e u dukka
kepala.
Ke apa? Ta yaku ya g asih elu
e gerti.
Aku suka ekal u, e ak. Aku ha ya iri. I uku dulu juga seri g
membuatkanku makanan daerah asal Sulawesi Selatan. Seperti Ibumu
memperkenalkan kuliner daerah asalmu. Kita sama. Bedanya, bagiku semua itu
telah lampau. Bagimu tidak. Ibuku sudah tidak bisa memasak. Ia terbaring
le ah di ru ah sakit .
Ke apa? Aku e yela, pe asara .
Tu or otak, ‘a. “ejak dua i ggu lalu.
“udahlah, gak usah sedih. Ayo ke ru ahku, kita uatka I u u gudeg
buatan Ibuku. Nanti kamu akan diajarkan bagaimana membuatnya. Tapi kamu
juga harus mengajarkanku dan Ibu cara memasak makanan daerah Sulawesi
“elata i i, Oke? .
Radit me ga gkat kepala, tidak lagi e u duk ersedih. Ka u aka
kuajarka
e uat Jala gkote, asal kau i gi
e aafka ku.

Te a g ‘adit, kita te a uka ? .
Kemudian waktu seakan berhenti. Membiarkan aku dan Radit berbagi

tawa. Bukan lagi amarah atau sebuah kesedihan. Semoga tetap seperti ini.

***

Waktu terus berjalan. Bumi nampaknya masih ingin berputar. Itu bagus.
Sebab aku masih ingin menemukan Radit.
Umurku sudah dua puluh tahun kini. Sudah tumbuh menjadi seorang
koki di tempat asalku, Jogjakarta, kembali pulang. Memikirkan apa yang akan
aku perbuat ke depan. Belum lagi Radit, kemana orang itu? Mencari haruskah
aku?.
Memikirkan Radit membuatku mendapat ide cemerlang! Jalangkote,
pastel dengan kuah pedasnya yang terkenal dan isinya dengan tambahan kari.
Gudeg, manis dengan sayur nangkanya. Bagaimana jika mereka bertemu?
Seperti aku dan Radit. Seperti Indonesia, yang meski banyak ragam suku dan
adat istiadatnya namun tetap satu. Akan kubuat Jalangkote berisi gudeg yang
disiram sedikit kari dan tambahan saus pedas. Bukankah itu cemerlang? Terima
kasih Tuhan, kau ciptakan Radit sebagai inspirasiku. Sungguh, ini karunia.


***

M ak, de gar-de gar di si i ada e u aru ya? .
Ada, Mas. Jala gkote isi Gudeg. .
“aya pesa dua. .
Baik, aka segera dia tarka . .
Sayup-sayup aku mendengar percakapan salah satu pelayan berbicara
dengan sosok yang tak asing bagiku. Aku mengintip sebentar lagi dari balik
kaca tempat aku memasak. Pelayan tadi menghampirinya lagi. Melakukan
sedikit perbincangan dan menghampiriku. Tunggu, apa kubilang tadi? Pelayan
tadi menghampiriku. Apa masakanku tak enak, ya?.
Bu, di ari sa a pela gga di depa . Pelaya itu e garahka
jempolnya dengan sopan ke arah orang yang berada di meja nomor 15.
Baiklah, aku siap menghampirinya.

Ada ya g isa di a tu. Pak? Tuturku sopa sedikit e u duk.
Masaka u e ak, ‘a. Be ar-benar percampuran Sulawesi Selatan dan
Jogja banget. Kamu berhasill menggabungkannya. Membuat keanekaragaman
I do esia terasa di lidah. Aku a gga. .

Tidak mungkin. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat dan dengar di
hadapa ku i i, terpera gah. ‘adit? .
Me a g ya sudah lupa de ga garis wajahku? Ja ga erle iha , ah.
Hahaha. .
Tak terasa air mataku terjatuh membasahi pipi. Aku rindu, teman.
Ya, aku tahu e a g iki ka ge . Lagi-lagi ia terkekeh jahil. I uku
sudah gak ada, ‘a. Tapi te a g aku ikhlas. Dia erpesa sesuatu. .
Aku terdia . He i g sesaat. Apa? ta yaku lirih.
I u ila g, au gak ka u e eri a la ara ku? Ke udia kita aka
gabungkan dua daerah ya g er eda de ga kasih saya g. .
Detik itu aku tak dapat berkata-kata. Bukankah ini skenario Tuhan. Ia
ciptakan Indonesia dengan keaneka ragaman, namun tetap bersatu. Bhinneka
Tunggal Ika. Aku cinta Indonesiaku.

***
Kini aku dan Radit mendirika se uah afe de ga a a Cita ‘asa
I do esia . Ada a yak perpadua rasa di dala ya. Juga a eka a a ora g
yang berkunjung dengan adat istiadatnya. Ah, betapa indahnya melihat semua
ini. Indonesia benar-benar bersatu. Benar-benar saling mencintai.
Ka u pi tar, Kiara. Me iptaka se ua i i. .

Kare a ka u juga, Dit. “udah a yak e a tuku. .
Bukan, ini semua berkat Tuhan ciptakan Indonesia.
Radit menciptakan sajak singkat. Dia memang bisa diandalkan soal
tulisa . Judul ya Cita ‘asa I do esia . Sepeti nama cafe kami. Ia tulis untuk
diapajang pada etalase toko. Sebagai pengingat bahwa kita harus saling
mencintai.
Cita Rasa Indonesia.
Jika kau bertanya, bagaimana rasa cinta?

Jika kau bergumam, bagaimana Indonesia bersatu?
Tanyakan saja pada dirimu sendiri.
Bagaimana kau terlahir di Indonesia tapi tidak cinta?
Cinta terhadap keragamannya.
Cinta terhadap orang-orang di sekitarmu.
Mulailah mencintai perbedaan.
Karena kita satu.
Bhinneka Tunggal Ika.
- Radit -

***


Ke

a g di Persimpangan Jalan
Peringkat VI
Fida Aifiya Chusna
SMAN 1 Talun, Jawa Timur

Eeh... hei, hei, ke apa itu ka u taruh situ, hah? Ke apa pake gitugitua segala? .
Sukarmin dengan tubuhnya yang kurus ringkih nyaris ambruk gemetaran
karena suara tinggi Haji Dullah.
Ke apa pertigaa dikasih ke a g tujuh rupa segala? Musyrik itu
a a ya! Kata Haji Dullah de ga
ata e tar-mentar macam lampu sorot
merah, membuat Sukarmin makin gemetaran. Tangan besarnya di taruh di
pinggang, sebagian karena menyangga perut buncit yang nyaris luruh ke tanah,
sebagian karena beliau mau pamer jam Rolex yang dia beli waktu jalan-jalan ke
Dubai minggu lalu.
A-a-ampun Pak Haji, sa-saya cuman disuruh sama Kang Tarjo. Sa-saya
mah, ga tahu apa-apa. Ta-tadi saya pulang dari sawah tiba-tiba dikasih ini,

katanya suruh ditaruh di pertigaan, suara “ukar i ge etar. Dia harus
membela diri. Haji Dullah itu bak harimau di Kampung Sutojayan. Kalau lihat
apa-apa, walaupun masih sekali lihat, prasangka pertamanya lurus sekali,
tajam macam tombak. Kalau tak ada yang menjelaskan, bisa-bisa tombak itu
melayang sampai tembus tulang iga korbannya.
Ka g Tarjo... Ka g Tarjo... dari dulu kalau ada apa-apa, kamu selalu
menyalahkan Kang Tarjo. Kamu tahu kan, Kang Tarjo itu orang kepercayaan
saya di kampung ini. Kamu mau memutuskan tali di silaturahmi dan rasa saling
per aya ka i, hah? ta ga Haji Dullah e ga u g-acung ke wajah Sukarmin.
Yang diacung-acungi Cuma bisa mengkerut sambil memiringkan kepala sebisa
mungkin. Takutnya jari-jari Haji Dullah yang sebesar pisang raja dan berkuku
panjang itu menusuk bola matanya.
A-a pu Pak Haji... i i e ara .. .
Alaah... ka u itu – .
Bah! Bisa ggak sih, ggak usah teriak-teriak kasar gitu ke orang lain?
Lagian Pak Sukarmin juga nggak bohong. Memang tadi Kang Tarjo yang nyuruh

ngasih kembang tujuh rupa di pertigaan sini. Kalau nggak percaya, aku
saksinya! Udah, ayo cepet pulang. Ngapain juga ngurusi yang beginian? Buangua g waktu. Ari i, putri tu ggal Haji Dulah e atika ti daka kasar
bapaknya dalam kalimat yang menjelaskan segalanya. Seperti biasa, kembang

desa itu mencuatkan durinya. Seperti biasa pula, bapaknya yang kena durinya.
Ari i e eri tatapa ayo pula g ya g sa gat taja pada Haji Dullah.
Meskipun itu tidak mendinginkan api di dada Haji Dullah, setidaknya sikap
ketus-tegas Arini menjadi payung peneduh yang tak terduga bagi Sukarmin.
Nduk, ka u itu ke apa to, selalu egitu sa a A ah? Masa ada a ak
perempuan bicara keras sama bapaknya di tempat umum? Kan malu kalau
dilihat orang. Mbok ya yang kalem, halus, biar nanti – .
Arini yang berjalan di depan bapaknya berbalik tiba-tiba, mengagetkan
Haji Dullah. Mukanya masih masam. Jengkel, kepanasan, dan muak oleh tabiat
buruk bapaknya, sehingga wajah yang dipahat dengan begitu artistik itu tibatiba nampak seperti wajah penjaga pintu neraka. Dengan suara tegas seperti
tadi, dia erkata lurus pada wajah terkejut Haji Dullah, Bah, kau ggak au
di e tak, ja ga e tak ora g lai ! .
Kata-kata itu mendidihkan emosi di dada Haji Dullah. Uapnya sampai ke
ubun-ubun, membuat wajahnya merah serupa lobster. Ia hendak membentak
balik Arini, tapi putrinya itu sudah pergi duluan. Arini melemparkan tungkainya
jauh-jauh pada setiap langkah, dengan ritme super cepat, sehingga Haji Dullah
yang punya encok itu tidak bisa mencapainya.
Sampai rumah, Arini mengunci pintu kamarnya. Hajjah Maimunah,
ibunya yang kalem dan penakut hanya menonton dengan rasa panik dan
waswas putrinya pulang tidak bersama si bapak.
Ari i! Ari i, ja ga kura g ajar ka u sa a A ah! Haji Dullah
memasuki rumah dengan kaki dihentak-hentak dengan nafas hampir putusputus, dia masih terlihat seperti badak murka. Berhenti di depan pintu kamar
Arini, Haji Dullah membuka lagi kasus Sukarmin dan kembang tujuh rupa di
pertigaan, A ah tadi au eluruskan Sukarmin! Menaruh kembang tujuh
rupa di pertigaan itu sama saja mempercayai kalau ada roh nenek moyang
yang melindungi tempat itu, yang minta diberi persembahan. Percaya sama
roh e ek oya g itu usyrik, ka u juga tahu itu! .
Arini diam saja. Menjawab ceramah Haji Dullah sama saja mengajak
bicara anjing menyalak. Bukan karena isi ceramahnya itu buruk atau salah, tapi

seindah-indahnya lagu, kalau yang menyanyikan anjing, jadinya tetap
gonggongan.
Arini melempar dirinya tengkurap di atas tempat tidur. Wajahnya
menghadap ke arah jendela. Dari sana tampak seseorang... Arini memicingkan
matanya, Kang Tarjo! Pria itu tengah menuntun sepeda pancalnya yang
berkarat ke arah barat. Biasanya sore-sore begini Kang Tarjo baru pulang dari
kebun tebu majikannya. Laki-laki itu, seperti kebanyakan laki-laki di kampung
Sutojayan, bertubuh kurus dengan kulit legam terbakar matahari. Hidup
sederhana di gubuk sederhana dengan keluarga yang sederhana juga. Setiap
subuh pergi ke surau, setiap kerja bakti selalu datang dengan antusias, seolaholah hidupnya dipersembahkan untuk Kampung Sutojayan dan masyarakat di
sini. Tapi Arini yang cuek tak pernah repot-repot memperhatikan laki-laki itu
pulang dari Kebun tebu majikan, kecuali sekarang. Ada dorongan aneh dalam
dirinya yang mengatakan dia harus menghampiri laki-laki itu dan memintanya
menjelaskan masalah kembang tujuh rupa di pertigaan pada Haji Dullah.
Bangun dari tempat tidurnya, Arini meraih kerudungnya, tapi kemudian
meletakkannya kembali begitu mendengar suara Haji Dullah memanggil Kang
Tarjo. Jo, Tarjo, si i! .
Kang Tarjo menghentikan langkahnya, menengok kanan-kiri. Rasanya dia
tadi mendengar panggilan, tapi ia tak menduga kalau yang memanggil adalah
Haji Dullah.
“i i, Jo! Haji Dullah keluar ke teras ru ah supaya Kang Tarjo
melihatnya.
Oooh, Pak Haji! Tak pikir siapa... .
Dengan senyum polos-ramah tipikal orang kampung. Kang Tarjo
mnuntun sepedanya ke pelataran rumah Haji Dullah. Dia pikir pak Haji galak
yang biasanya baik padanya itu kali ini juga memanggilnya untuk memberi
perlakuan baik lain, tapi laki-laki polos itu sedang dalam nasib malang.
Eh, ka u gapai suruh “ukar i aruh ke a g tujuh rupa di
pertigaa , hah? .
Kang Tarjo mencengkeram gagang stang sepeda dengan otot-otot jari
yang mulai tegang. Karet pelapisnya yang aus terasa kasar dan lengket di
telapak tangan. Dia tahu benar Haji Dullah memandang Sukarmin seperti
kucing kurus sakit-sakitan yang tiap kali mengeong hanya membuat sakit
telinga orang satu kampung. Kang Tarjo tak tahu pasti alasannya, tapi yang dia

tahu, sekarang dia dalam masalah.
Tadi se ua ora g si uk. Pak Haji, ya g ada Cu a “ukar i , jadi saya
suruh dia.... .
Buka itu asalah ya! e tak Haji Dullah.
Sepeda pancal reyot Kang Tarjo nan rapuh nyaris jatuh ke tanah karena
bentakan Haji Dullah.
Ke apa harus pakai ke a g tujuh rupa segala, hah?? Itu syirik
namanya! Menyekutukan Allah! Besar dosanya. Kamu nggak pernah baca AlQur a ya? Nggak per ah de gar era ah? “udah jelas ka , di Al-Qur a tidak
akan masuk surga orang yang menyekutukan Allah. Mereka kekal di neraka!
Ka u au asuk eraka?? .
Wajah Kang Tarjo pucat pasi, kaki dan tangannya lemas. Setelah berkalikali melihat warga kampung lain dibentak Haji Dullah, baru kali ini dia
merasakan pengalaman serupa. Pantas saja warga kampung banyak yang alergi
kalau berdekatan dengan Haji Dullah.
Ndak, Pak Haji, saya dak au asuk eraka. “aya Cu a gikut tradisi
di Kampung Sutojayan, kalau malam tahun baru, harus dikasih kembang tujuh
rupa di tiap persi pa ga jala . .
Tradisi... tradisi... tradisi syirik itu namanya! Udah, cepetan kamu ambil
ke a g ya. “i gkirka se ua! .
Terbirit-birit Kang Tarjo menuntun sepedanya pergi ke persimpangan
jalan. Dipungutinya kembang tujuh rupa yang sudah ditaruh Sukarmin atas
perintahnya sendiri.
Malam itu, malam tahun baru, ketika kembang api meledak di langit
berbintang, muda-mudi berkumpul di pinggir jalan dengan maksud yang tak
terlalu terpuji, Kang Tarjo berbaring di atas kasur kapuk, memikirkan ceramah
yang dibentakkan Haji Dullah. Di tengah lamunannya, suara benda dihantam
keras dan jeritan perempuan terdengar dari pertigaan dekat rumahnya. Semua
orang keluar, melihat dengan panik. Dua korban jatuh. Laki-laki-perempuan
boncengan. Yang laki-laki berdarah kepalanya, yang perempuan berdarah
sepanjang lengan kanan.
I i gara-gara tidak ada ke a g tujuh rupa! gerutu ora g-orang
kampung.
I ilah kalau tidak taat tradisi.. .
Karena gerutu dan bisik-bisik yang masif itu, kembang tujuh rupa

diletakkan di persimpangan jalan, termasuk di pertigaan dekat rumah Haji
Dullah.
Pak Haji menggerutu, masih melanjutkan topik ceramah tentang
kesyirikan. Arini diam saja. Saat lewat pertigaan malam itu, dia melihat
sepasang laki-laki dan perempuan berboncengan. Awalnya motor melaju
kencang, tapi begitu pengemudinya melihat objek sakral di pertigaan, jalannya
melambat. Dari arah timur, ada kendaraan lain yang juga melambat setelah
melihat kembang tujuh rupa. Arini yang tadinya waswas membayangkan dua
kendaraan itu bertubrukan, akhirnya bernafas lega.
Sekarang dia paham, ada alasan dibalik segalanya. Siapapun yang
menurunkan tradisi kembang tujuh rupa di persimpangan jalan setiap malam
tahun baru adalah orang cerdik. Mereka tidak memikirkan makhluk gaib
penunggu kampung, mereka memikirkan keselamatan manusia, bahkan
mereka yang paling kurang bijaksana sekalipun.
Arini tersenyum. Langkahnya ke rumah terasa ringan. Sekarang dia tahu
bagaimana cara menjawab gonggongan anjing yang menyalak.

***

Kisah Dalam Setangkup Roti
Peringkat VII
Sherina Salsabila
SMAN 67 Jakarta, DKI Jakarta

Aku mengoleskan mentega di roti itu. Lalu, menambahkan selai cokelat
di atasnya. Sekarang, menangkupnya dengan selembar roti lagi. Aku
mengasurkan piring roti itu kepada gadis di hadapanku. Dia mengentikan
ceritanya, mengambil roti itu dan mulai menggigit serta mengunyahnya pelan.
Dia kembali melanjutkan ceritanya.
Waktu itu aku seda g latiha Biola u tuk audisi. Lala data g da
langsung beteriak dan mengoceh tidak jelas seperti biasanya. Semakin aku
memainkan Biola dengan tempo yang cepat, teriakan Lala juga ikut menyaut
dengan tidak kalah keras. Aku sungguh kesal dengan Lala. Akupun
menghentikan latihanku dan pergi ke arah dapur, aku membuka lemari
pendingin. Baru saja aku ingin mengambil botol air dingin itu, tetapi tangan
putih dan gempal sudah tak terlebih dahulu merebutnya. Lala menenggak air
di gi itu de ga sekali teguk da ta das seketika, .
Dia berhenti sebentar, mengambil air mineral di depannya dan
meminumnya. Sejak tadi, aku memperhatikan cara dia memakan roti itu.
Menurutku, cara dia menggigit roti sangat aneh dan juga unik. Dia bercerita
lagi.
Aku e ar-benar kesal pada Lala. Aku hanya melongo melihat kejadian
di hadapanku. Dan kekesalanku sudah sampai ke ubun-ubun! Aku memaksa
Lala unuk kembali ke rumahnya dan tidak menggangguku lagi. Tetapi ucapan
dan teriakanku bahkan tidak membuat Lala merasa bersalah. Dia berlari lagi ke
ruang keluarga di rumahku, dan mengambil Biolaku yang tadi belum sempat
aku simpan. Kemudian menirukan gayaku ketika sedang bermain Biola. Lala
memainkannya dengan asal-asalan. Aku merebut Biolaku, tetapi Lala tetap
tidak ingin melepaskannya. Lalu terjadilah tarik menarik, memperebutkan Biola
itu. Hingga akhirnya... se ar Biola itu putus. .
Kini, roti yang di makan oleh gadis bernama Rin itu, sudah tidak ada
kulitnya. Karena dia memakannya dengan cara menggigit sekeliling roti itu. Aku

terus fokus mendengarkan ceritanya.
Aku erasa sa gat putus asa. Buka kare a se ar Biola kesaya ga ku
putus, tetapi karena senar itu mengenai mata Lala. Awalnya aku tidak peduli
dengan semua yang terjadi, aku berlalu begitu saja ke kamarku di lantai atas.
Aku masuk ke kamarku dan segera mengunci pintu. Aku berusaha untuk tidur
saja da
elupaka se ua kejadia itu. .
Terde gar ketuka di pintu kamarku yang terkunci. Suara itu telah
e gga ggu tidur ye yakku. Ma a asuk ke ka ar, da erkata ‘i , ayo
beres-beres, cuci muka dan pakai jaketmu, kita semua akan segera ke rumah
sakit u tuk e ga tar Lala. Aku erdegup, da tidak e gatakan apapun
lagi. “egera elakuka apa ya g diperi tahka Ma a .
Rin berhenti mengunyah rotinya yang semakin kecil. Menaruhnya di
dalam piring.
Ka i, ora g Maluku e a g e iliki kekera ata ya g asih sa gat
erat.. semuanya sudah dianggap keluarga. Apapun yang terjadi pada seseorang
di kampung kami, maka semuanya akan tahu dan siap sedia untuk membantu.
Oleh karena itulah, Mama dan Papa selalu sibuk saat terjadi sesuatu pada Lala.
Walaupun Lala bukan anak kandung mereka tapi Mama dan Papa menyayangi
Lala seperti mereka menyayangi aku. Saat aku tanyakan hal itu pada mereka,
jawabannya selalu sama. Bahwa Lala itu berbeda. Dia tidak sama dengan
re aja lai seusiaku. .
Oh ya ‘i , agai a a akhir ya setelah ka u e awa Lala ke ru ah
sakit? ta yaku pe asara .
“aat itu. Ka i se ua, aku, Ma a, Papa, da juga ora gtua Lala
menunggu dan menanti kabar tentang keadaan Lala. Ayah Lala di panggil oleh
seorang dokter yang menangani Lala. Ketika Om Pedro keluar, dia berkata
de ga lirih Lala uta . Hal itu e uat dadaku menjadi sesak,
tenggorokanku terasa tersumbat, dan perutku mulas seketika. Di tambah lagi
Bu da Lala ya g er erita... Lala adalah a ugerah Tuha ya g sa gat di a ti
di keluarga kami, penantian yang sangat lama. Lala kecil begitu sempurna bagi
kami. Putih, gempal, matanya hitam dan dalam, rambutnya lebat. Lala
membawa kebahagiaan dan keceriaan dalam hidup kami berdua. Tetapi,
ketika Lala berusia 3 tahun, semua kebahagiaan itu barulah kusam. Lala
ternyata mengidap autis hiperaktif. Kami sangat sedih, tapi tidak pernah
menunjukkannya pada Lala. Karena kami tahu, Lala juga punya perasaan, sama

seperti kita.
“etelah kejadia itu, a yak hal ya g eru ah di hidupku. Aku
menyesal. Tapi, aku juga benci pada Lala. Setelah kejadian itu, aku merasa Lala
juga jadi berubah. Dia menjadi tidak banyak bicara dan sering menangis.
Masyarakat juga telah mendengar berita ini. Tentu saja mereka memihak pada
Lala. Semenjak Om Pedro, Ayah Lala tahu bahwa karena aku dan Biolakulah
Lala jadi Buta, dia menjadi Marah padaku, bahkan Papa dan Mamaku.
Beberapan bulan aku mengurung diri di kamar karena trauma dan tidak
bisa menerima keadaan ini. Sampai Kakek Barnes mengajakku berunding
ersa a Lala da keluarga ya. Kakek erkata ‘i , Lala, kalia adalah ge erasi
muda Maluku. Tetapi kalian harus selalu ingat bahwa ritual dan warisan nenek
moyang tidak boleh kalian lupakan. Kita, sejak jaman nenek moyang sudah
dikenal dengan kedamaian dan ketentramannya. Dan untuk menjaga hal itu,
para nenek moyang kita telah membuat sebuah sumpah adat agar kita selalu
menjalin keharmonisan dengan suku kita. Itu adalah adat Pela, dimana pihak
yang berselisih atau bermasalah harus meminum darah mereka yang telah
dicampurkan. Agar kalian mengerti bahwa kita semua rakyat Maluku tersusun
dari satu badan yang utuh. Dan jika salah satunya hilang, maka kehidupan kita
akan pincang. Tanpa kedamaian, tanpa kesatuan, kita tidak akan pernah bisa
erdiri se diri. .

***

Rin menghentikan ceritanya dan menatap roti yang kini tinggal bagian
tengahnya saja, de ga kata erli a g. “ejak saat itu, aku ulai isa
menerima segala kekurangan Lala. Bunda Lala benar bahwa selama ini, Lala
juga bisa merasakan sakit, senang dan sedih. Tetapi kemudian, kejadian lain
menimpa Lala. Kampung kami terbakar, entah apa penyebabnya. Banyak yang
bilang, bahwa api merambat dari hutan sebelah Kampung. Kejadiannya begitu
tiba-tiba dan tidak terduga. Lala yang saat itu sedang asik menggambar di
kamarku, tidak tahu bahwa api telah memenuhi ruangan. Aku ingin
menyelamatkan Lala sebagai tanda terima kasihku, tetapi semuanya
terla at, .
Isak tangis Rin memenuhi ruangan. Dia masih menatap roti di dalam

piring itu. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya. Aku mengelus
punggungnya, menenangkan.
‘i , sudahlah... ayo ha iska roti u. Lala kan sangat suka roti di bagian
tengahnya. Lala juga pasti senang melihat kamu makan roti dengan cara dia
e aka ya. .
Rin menatapku, dia menghapus tangis di matanya.
Hari i i, tepat bulan kepergian Lala. Aku menyebkan matanya buta
dan api itu membuatnya pergi dari hidupku da dari du ia ya. Aku jahat! .
Aku memeluk Rin, lalu dia memakan rotinya. Lalu tersenyum, dan
kembali melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Memaikan biola dengan lagulagu menyayat hari. Dan melukiskan gambar yang sama. Dua orang gadis muda
dengan kulit khas, dan senyum yang sama.
Aku mengambil buku Catatanku, dan mencatat semua yang terjadi hari
ini. Percakapanku dengan Rin mengajarkanku bahwa pertentangan itu selalu
bisa diatasi. Walaupun dengan cara yang berbeda, unik dan tidak biasa. Dan
seseorang kadang hanya butuh didengarkan untuk dimengerti.

***

Mata Dadu
Peringkat VIII
Azizah Amatullah
SMAN 2 Cimahi, Jawa Barat

Aku menatap sosok cowok menyebalkan di depanku, yang kutatap
hanya membalas dengan seringai senyum menyebalkannya.
Aku tidak tahu, apakah isi kepala u itu sedang konslet atau bagaimana.
Apa mungkin ini efek UAS-UA“ aku e atap ya yi yir.
Ayolah, UA“ sudah erakhir, “arah, . Dia tergeletak. Mai
o opoli
itu tidak masalah kan? Apalagi kita sudah lama tak memainkannya. Waktu
kecil, watakmu yang egois itu selalu tidak mau kalah, kalau tidak, kau pasti
e a gis, lalu e gadu pada Ma a. .
Aku tersenyum masam. Kesal sekali mengingat Pras selalu menang
melawanku Dia terlalu beruntung.
Pras membuka papan monopoli di lantai kayu rumah pohon kami.
Rumah pohon yang menjadi saksi bisu masa kecil kami berdua. Rumah pohon
ini adalah hadiah dari ayah waktu kami berdua berulang tahun yang kedua.
Well, kau oleh e ilih pio u, Tua Putri. Da kau isa ain lebih
dulu. .
“eperti iasa, war a erah, aku e ga il pio er e tuk kepala
kuda war a erah, da kau war a iru. .
Aku melempar dua buah dadu. Kemudian muncul mata empat dan tiga.
Tujuh langkah. Aku mulai menggerakkan pionku.
Heh, Pras. Me urut u apa itu kesatua ? aku e atap papa
o opoli ya g sudah lu aya le ek. Mo opoli i i pu ya er agai a a
kota di Indonesia. Lihat, pionku berhenti di Medan! Seperti apa kesatuan yang
ada di negeri kita? Terlalu banyak budaya di negeri kita, dan kita sedang
erada di se uah era. Di a a kada g, udaya itu dipa da g se elah ata. .
Pras e ga gkat se elah alis ya, Kau i i ke apa sih, “ar? Masih
ter aya g UA“ PKN ha ya dapat 7? .
Ha ha. tawaku datar. Aku ha ya erta ya, Pa gera . .
Yeah, Well, dia e ghela afas. Budaya tradisio al da
oder itu

susah hidup berdampingan. Dengan adanya era globalisasi seperti sekarang ini,
budaya asli perlahan hilang. Dan soal kesatuan, teknologi itu menyatukan kita
sebenarnya. Bukan lagi seperti Deklarasi Juanda yang berkata bahwa laut
adalah yang menyatukan pulau-pulau di Indonesia. Aku pikir, budaya hilang itu
jadi wajar saja. Pras Melempar dadu. Enam dan lima mata dadu. Sebelas
la gkah Pio ya erhe ti di kota Ba du g. Kesatua di egeri kita itu jelas
ada, Sayang. Tapi ini bukan lagi soal mempertahakan budaya kita. Bukan
asalah esar kalau udaya hila g. Hei hei, apa aksud u de ga udaya
ya g hila g. Aku e atap ya gagal paha . Pras tertawa.
Lihat? Kita erhe ti di kota kita ter i ta, Kota Ba du g, Pras e u juk
pio
erah ya. Berapa ilai Bahasa “u da u? ,
Aku e ela ludah, Tujuah puluh dua .
Nah! Pas e je tikka jari ya. Telu juk ka a ya e garah ke
hidu gku. Bagai a a udaya isa hila g, “arah? Jelas isa, toh, kita se diri
tak pandai berbahasa Sunda. Era globalisasi atau budaya modern dengan
pe garuh arat, te tu saja sulit erda ai de ga udaya asli kita. .
Aku tertegun dengan kalimatnya barusan.
Kau lihat apa? Pras e u jukka dadu o opoli.
H
... itu dadu? .
Oke, kita a alogikan dadu ini sebagai negeri kita, dan kemudian mata
dadu se agai udaya .
Pras mengangkat dadu mungil itu hingga sejajar dengan mataku. Aku
e erhatika ya, lalu? .
Ma a e urut u ya g pali g se pur a? Dia e utar-mutar
dadu ya E a te tu saja, aku menjawab spontan.
Ya g pali g er eda? Dia tetap e utar-mutar dadunya.
Aku e atap ya tak paha . Pali g er eda? .
Ya, ya g pali g er eda de ga
ata dadu lai ya. .
Maksud u satu ata dau? aku eraih dadu ya g lai . Tergeletak tak
jauh dari te patku duduk. Kare a ha ya satu ata dadu ya g erwar a
erah erah. .
Apakah satu telrihat uruk di ata u? Buka kah satu i i a pak le ih
besar dari yang lain. Bukankah dadu ini menampakkan kesatuan. Kalau kita
menyatukan semua budaya dengan menghilangkan beberapa budaya. Itu!
sa a sekali tidak uruk, “arah “aya g. .

Oke, Bahasa “u daku oleh saja jelek, kataku e gakui. Toh, ora gtua
ka i juga tidak egitu e ekoki ka i de ga Bahasa “u da. Tapi a alogi u
itu uruk sekali, Pras, aku e ghela afas. Menatap ke luar jendela rumah
pohon. Aku bisa melihat kolam ikan dan lapangan basket milik Pras. Dia
memang gila basket.
Aku erjala
e dekati je dela. Kau tidak oleh elihat ke uruka ya
saja .
Tapi itu tidak uruk, “arah .
Oke, oke, oke. Kau benar. Aku tertawa. Boleh i ta dadu satu lagi,
Pras? .
Pras angkat bahu, lalu menggelindingkan dadu itu ke arah dekatku. Aku
meraihnya kemudian seolah tanpa sengaja, aku melemparkannya ke luar
je dela. Ups aaf. .
“ar, ka u gapai sih? Kita ka lagi ai are g! Dia e dekatiku,
melihat ke arah luar jendela.
Budaya kita jatuh se ua ih, Pras, a ili do g! kataku sa il
tertawa. Kita sudah asuk usia “MA, Pras “aya g. “e aki hari, udaya
semakin berubah. Tapi tanpa budaya, permainan kita tak isa di ulai. .
Kalau udaya di a alogika se agai ata dadu. Muka e a
ata dadu
adalah ya g pali g se pur a. Kita isa ela gkah le ih jauh! .
‘ight! aku menganggukan kepala. Setuju dengan apa yang ia utarakan.
Kare a tidak ada kese pur aa di dunia ini. Tapi kita tentu bisa mencoba
e jadi ya g ter aik. .
Pras terdiam. Mungkin dia mencoba mencerna apa yang sebenarnya
i gi aku ulas. Kesatua itu e a g ada, “aya g. Tapi kita ersatu uka
hanya soal satu hal. Tapi karena kita Indonesia. Dan Indonesia itu macama a sekali udaya ya. .
Kalau kita a alogika
ata dadu se agai takdir Tuha . E a
ata dadu
adalah takdir Tuha ya g pali g se pur a. Mak a kesatua itu ele gkapi. .
Yeah well kau e ar. Tapi uka ya udaya se diri saja kau tak paham?
Kau boleh saja ribut soal keragaman budaya di Indonesia. Betapa indahnya
kalau kita berbeda. Tapi lihat kenyataannya. Kita tetap bersatu dengan
teknologi, dan tanpa Budaya Sundamu juga, biasa saja kah? Kita, dari berbagai
macam kota, provinsi, bahasa. Tentu saja menggunakan satu bahasa Indonesia
untuk saling berkomunikasi. Lagipula, dengan era seperti saat ini, mungkin

Bahasa I ggris le ih pe ti g. .
Kita i i se e ar ya seda g de at atau asih o opoli sih? aku
tertawa. Turu yuk, Pras. Disi i pa as a get! Ka i e uru i ta gga ru ah
pohon.
Aku erkelili g ru ah poho . Ba tui ari dadu ya g tadi do g, Pras. .
Kami berdua kemudian berpencar mencari dadu kecil yang tadi
kulempar. Tak lama kemudian, Pras kembali dengan sebuah dadu kecil di
tangan.
Aku ha ya e e uka satu dadu ih, “ar, dia e yerahka dadu ya
kepadaku.
Padahal dadu ya sejarah a get uat kita ya, Pras? .
Iya a get. Mu gki
tahu lalu ya kita perta a kali ai ga e
monopoli. Kamu sih, main analogi aja di lempar-lempar. .
Iya aaf atuh, Pras. A is ka u ye eli a get tadi. .
Maafi aku juga, “ar. Aku ila g ka u egois pas perta a ai , tapi
ter yata aku se diri ya g egois. .
Aku e ga gguka kepala. Eh tapi, e a g ya dulu aku seegois itu
ya? .
Iya a get loh. Sar. Dulu kamu juga suka lempar dadu ke luar jendela.
Makanya pas kamu lempar dadu tadi, aku jadi inget kalau kamu marah lempar
dadu ke luar je dela. U tu g selalu kete u lagi. .
Aku tergelak. Meski menyebalkan mendengarkan Pras bercerita masa
laluku, tentu saja itu menarik untuk dikenang.
Na ti saja deh erita ya. Dadu ya i i gi a a loh Pras erta ya kesal.
Ter yata udaya itu i dah ya, Pras .
Pras e atapku kesal. Lah, kata ya udaha go o gi udaya ya?
Kita sa pai ga jadi ai
o opoli loh. .
Iya, i dah a get. Kita itu aru gerasa erarti sa a sesuatu kalau
udah ilang. Pasti diteliti, pasti dicariin. Pokoknya indah banget, kaya dadu kita.
“oal ya, eski kelihata ya ku o, ga kelihata tapi tetep aja i dah
dike a g. .
Pras terdiam.
Budaya itu ga harus ku o ka , Pras? .
Pras e ga gguka kepala ya. Iya sih. .
Aku tertawa. Balapa yuk, siapa ya g isa e ui dadu dulua , aka

dia yang menang.
Pras termenung sebentar, namun kemudian dia menganggukan kepala
Ayo! .
Semoga Pras paham, budaya itu bukan hanya untuk dilupakan. Semoga.

***

Di alik Per edaa
Peringkat IX
Jihan Aulia Zahra
SMAN 104 Jakarta, DKI Jakarta

Jika kalian pernah berpikir bahwa Jakarta adalah kota yang penuh
dengan masalah-masalah sosial dan politik, maka pikiran kalian tak
sepenuhnya salah. Tapi belum sepenuhnya benar juga. Jika kalian perhatikan
Jakarta dan semua sudut pandang, disanalah aku dan warga Jakarta lainnya
dapat menikmati hidup. Bukan hidup yang keras seperti yang kalian
bayangkan. Namun hidup penuh persaingan.
Aku Dira. Lahir dan besar di Jakarta. Selama hampir 17 tahun. Walau
sudah lama di Jakarta, bukan berarti segala sesuatu yang ada di Jakarta telah
aku rasakan. Namun, jangan salah sangka! Sebutkan saja ikon Jakarta yang
kamu ketahui dan aku akan menceritakan semua detail mengenai tempat itu.
Atau bahkan cara untuk mencapai tempat itu dengan transportasi umum.
Waktu yang sangat ramai untuk menikmati destinasi wisata Jakarta
adalah ketika liburan. Terutama liburan pergantian semester untuk anak-anak
sekolah seperti sepupuku, datang jauh-jauh dari Surabaya hanya ingin
erasaka at osfer Jakarta ya g pe uh de ga asap. Biar asap, tapi gaul,
begitu katanya.
Dia memintaku mengajakanya ke tempat-tempat destinasi Jakarta yang
orang-orang se Indonesia raya tak akan asing mendengarnya. Aku
menyetujuinya dan berjanji akan membawanya ke Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) yang jaraknya dekat dengan rumah. Ditambah aku sudah khatam
dengan TMII yang luasnya berkilo-kilo meter persegi.
Jadilah aku memboyong sepupuku bernama Widi ke TMII. Sempat
terjebak macet yang penuh asap dan suara bising klakson kendaraan, Widi
terlihat menikmatinya.
Wo g u a asap kok kese e ga ? ta yaku.
Ka iar isa e syukuri, M a, jawa ya sa il e yekir.
Yowes, terserah. ku pasa g asker ya g ku awa dari ru ah da
mengikatkannya di belakang kepalaku.

Sesampainya di TMII, keceriaan Widi semakin bertambah. Kami berjalan
kaki mengelilingi trotoar TMII dan sempat mengunjungi beberapa rumah adat.
Widi masih terlihat baik-baik saja sampai satu kejadian membuatnya ingin
cepat-cepat ke rumah.
Kami berada di sebuah lapangan besar dengan berbagai macam atraksi
dan pameran budaya saat itu. aku menikmati acaranya karena aku memang
menyukai bagaimana orang-orang memamerkan budaya yang tak pernah aku
lihat sebelumnya. Namun tidak dengan Widi.
M a, pula g yuk! ajak ya. Terlihat eria tapi aku tahu itu di uat-buat
olehnya.
Loh, kok pula g? I i lagi seru loh, tolakku halus.
Tapi aku au pula g! e tak ya, e uat orang-orang sekitar mulai
melihar kami.
Co a jelaska dulu ke apa ka u ti a-ti a au pula g, ujarku halus
supaya suasana tak tegang.
A... a u, Widi tak dapat e jawa .
Apa? ta yaku.
Ya, okok ya pula g aja! Widi se aki keras.
Aku menariknya keluar dari kerumunan orang-orang yang masih
e o to aktraksi, e ari te pat ya g agak sepi. ka u ke apa? aku ulai
kesal dengan perubahannya.
Widi gak suka geliat atraksi egitua . Widi gak au seperti ereka
karena Widi cuman mau jadi seperti orang-orang rumah. Dan lagipula, teman
Widi di sekolah Papanya di kejar-kejar sama orang-orang berkulit hitam seperti
ereka. Widi gak suka! jelas ya histeris.
Aku mencoba memahami apa yang barusan di jelaskan Widi. Sebagai
murid yang mempelajari sosiologi di sekolah, aku mengidentifikasi Widi
memiliki sikap etnosentris atau memandang sebelah sebuah budaya.
Sejujurnya aku sangat membenci orang yang memiliki sikap ini, mungkin
penilaianku terhadap Widi berkurang, namun aku berusaha meluruskan
pikiranku.
Widi..., pa ggilku. “eu ur hidupku ketika tu uh da erke a g
di Jakarta, aku menemukan banyak sekali orang-orang dengan ciri fisik, bahasa,
logat, agama dan suku yang berbeda-beda. Dan aku gak pernah peduli dengan
apa latar belakang mereka mau dari manapun mereka, selama dia berbaik

sangka. Kamu baru menemukan orang berbeda suku dan ras seperti tadi di
pameran? Bagaimana bisa aku mengajakmu berkeliling Jakarta yang penuh
dengan perbedaan? Yang ada kamu bakal bersikap seperti itu! ta ahku.
M a, tapi..., Widi i gi
e ela.
“e aki ka u dewasa, ka u aka tahu arti ya per edaa . Di Jakarta,
percaya atau tidak, kami tak hanya menggunakan bahasa Indonesia. Ketika
bertemu dengan orang-orang yang memiliki suku dan daerah yang sama, maka
kami akan menggunakan bahasa daerah. Dan sikap orang lain tidak berasal dari
budaya-nya. Namun bagaimana ia dibesarkan. Percayalah, tak semua orang
berkulit hitam itu jahat. Bahkan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang
luar biasa yang kamu akan tertarik untuk berbincang mengenai budaya
ereka, poto gku pa ja g.
Widi kalah. Dia tak bisa berkutik, bibirnya bahkan tak bergerak. Terlukis
di wajahnya bahwa di bimbang.
Raut wajahnya menjadi buyar ketika melihat dua orang dengan
menggunakan koteka berjalan menuju kami. Widi bahkan menjadi tegang,
terlebih mereka berhenti tepat di depan kami.
Hai! “apa salah satu dari ereka. Aku terse yu .
Ka u tidak apa-apa? Ta ya satu ya lagi de ga ahasa I do esia
yang gagap kepada Widi.
Dia gapapa, iya ka ? aku e epuk ahu Widi.
Eh, eu ... iya gapapa, jawa Widi.
Tadi ka i elihat ka u e i ggalka keru u a de ga wajah kesal
ketika kami tampil. Kamu pikir, kami harus bertanya kepadamu apa
pe a pila ka i tidak agus sehi gga kalia
e i ggalka a ara egitu saja?
dan yang satunya menganggukkan kepala tertanda setuju.
Tidak, pe a pila kalia sa gat agus. Ka i eyukai ya, uka
egitu, Widi? .
Iya, a... aku e yukai kalia , jawa Widi.
“yukurlah kalau egitu. Ka i pikir pe a pila tadi tidak e uaska
kalia , ereka saling pandang dan tersenyum.
Apa kalia
asih pu ya waktu? ta yaku.
Oh, te tu. “etelah i i ka i sudah tak ada a ara lagi, jawa salah satu
dari mereka.
Bagai a a de ga
aka sia g ersa a ka i? Aku ya g ayar!

Ajakku yang membuat Widi tertegun.
Mereka saling pandang dan tersenyum, pertanda setuju. Kami langsung
mencari restoran terdekat. Sepertinya Widi juga mulai kembali ceria dan
menikmati obrolan dengan orang-orang berkulit hitam yang tak dia duga.
Mereka aik da asyik, isik Widi di sela-sela obrolan.
Besok au gak ke Kota Tua? ta yaku.
“a a Mo as ya? .
Iya, ke a apu ka u au deh, .
Widi harus tahu bahwa menjadi anak gaul Jakarta bukanlah menjadi
anak-anak yang hidup mewah di Jakarta. Melainkan menjadi anak gaul Jakarta
adalah anak yang berteman dengan siapa saja tanpa memedulikan asal dan
latar belakangnya.

***

‘esiprokal
Peringkat X
Nabila Gita Andani
SMA Labschool Jakarta, DKI Jakarta

Aku berkawan dengan bola bekel.
Biarkan saja bola karet itu bergelayut sesuka hati di antara jemariku;
bukan perkara besar apabila ia terlontar jauh. Karena aku tahu, ia akan selalu
pulang. Sejauh apapun ia melambung. Bola yang kini di genggamanku adalah
salah satu koleksi kesukaanku. Bentuknya dirajut dengan presisi; amboi! Lihai
benar ia menari-nari di telapak tanganku, alangkah pas dalam kepalan
tanganku.
Bola itu kulempar tinggi-tinggi. Mereka bilang, sebuah lemparan
bertenaga dapat mengenyahkan risaumu. Jadi, kutaruh semuanya pada bola
hijau itu lalu kuenyahkan, bersama dengan sosoknya yang melejit jauh ke
langit. Terengah-engah, aku menahan keseimbanganku yang porak-poranda.
Lalu menunggu ia mendarat.
Ya, aku yakin ia akan kembali. Seperti tuannya yang percaya bahwa ia
setia, pun sama halnya dengan apa yang ia rasa; jemari-jemari itu seolah
menariknya kembali.
Kutunggu, satu-dua menit.
Ternyata, ia tak kembali.

***

Yang paling menyebalkan dari ayahku adalah kepalanya yang sekeras
batu dan egonya yang dapat membuncah kapan saja. Parahnya, saat sifat-sifat
itu menggelegak bak buih dari dirinya, ia menyalahkan daerah Betawi kental
yang mengalir dalam pohon keluarganya. Ya ampun, itu kan stereotipe orang
dulu, yang hanya mencocokkan persepsi dengan keadaan?.
Udah, apalah stereotipe a a itu. “ekara g tolo g a ilka onsai

persa a Bapak di si i. ke ta gaku, ia jejalka sele ar ota ya g telah kusut.
Aku menerimanya dengan agak sungkan. Melihat bonsai-bonsai bapak yang
gemuk itu menyenangkan, tentu. Namun satu hal yang lebih menggembirakan
bagiku adalah mengetahui kelanjutan proyekku yang sedang berlangsung di
bilangan Jakarta Utara itu; terlebih bila adalah kabar menggembirakan yang
dihembuskaannya.
Sentra tanaman bonsai yang harus kujajal itu ada di Dukuh Atas; sangat
jauh dari lokasi proyek. Sekarang di sinilah aku, dengan plastik besar berisi
tanaman dari famili pinus-pinusan yang telah kerdil.
Be tuk ya jelek a get, Aku ergu a se diri. Bata g ya a tat
dan besar, seperti gelambir lemak di perut pesumo. Pesumo ukuran mini yang
ditanam dalam pot datar. Aku berada di barisan terdepan antrean penanti bus
Transjakarta yang akan membawa puluhan manusia ke Halte Matraman.
Memang posisiku sebagai kepala, namun orang-orang yang membuntutiku
bersikap sangat anarkis. Aku dapat saja sewaktu-waktu terlontar ke busway,
bersama dengan pohon bonsai keramatku.

***

Di dalam Transjakarta puna aku masih tak dapat tenang. Benakku
dibayang-bayangi proyek yang stagnan sejak dua minggu lalu dan bagaimana
cara berpegangan pada gantungan di langit-langit bus sembari membopong
tanaman bonsai ini. Sempat tergoda melihat tempat duduk yang kosong nun
jauh di ujung sana, namun apa daya posisi itu dilindungi ornmen merah jambu
yang feminim.
Akhirnya aku diam saja di situ. Pasrah terombang-ambing di antara
seorang eksekutif muda dengan kemeja yang dinodai aksen kekuningan di
bagian ketiaknya dan seorang mahasiswa berjas almamater yang menyumbat
kedua telinganya dengan headphone.
Aku meraba saku celanaku. Ada sebentuk bola bekel (koleksiku yang
lainnya, kesayanganku yang nomor dua, tentu) dan handphone-ku yang
kuharapkan segera bergetar. Kolegaku yang bertugas mengawasi kelangsungan
proyek berjanji akan mengabari apabila sebuah keajaiban terjadi. Kami berniat
untuk mengeksplor lahan batuan di dekat Pelabuhan Muara Angke dan

mendayagunakannya menjadi sebuah tempat persinggahan bagi orang-orang
yang datang ke Jakarta melalui bibir di utaranya itu.
Bro, dari ‘a u lalu kita asih erurusa sa a atu ya g pali g esar
itu, yang gue kirim fotonya lewat Whats App itu. kita pakai mesin yang sama
kayak proyek sebelumnya, tapi dia tetep kokoh di situ. Masih dipikirin sama
ya g lai te ta g solusi ya. Mu gki
au di o a didoro g lewat awah, jelas
A, rekanku yang memimpin proyek di lapangan, kami berdua sama-sama sadar
bahwa ini sebuah kondisi yang melibatkan konsumsi buah simalakama. Saat
pengerjaan proyek tak memiliki grafik elevsi, kami terus ditatap oleh puluhan
mitra yang menanamkan pundi-pundi uangnya sebagai pondasi proyek kali ini.
Selain dari itu, aku tak dapat fokus lebih jauh lagi dalam menjaga
tanaman bonsaiku ini yang didesak orang-orang. Di halte berikutnya, aku
langsung melompat turun. Aku hampir terjepit saat melewati palang otomatis,
namun langkah tunggang-langgungku ini ada baiknya. Bajaj tak berpenumpang
yang sedari tadi kutargetkan berhasil kurebut.

***

Pemilihan bajaj sama sekali tak salah. Kendaraan jingga itu berhasil
melesat dengan kecepatan angin, bahkan mesin tuanya terbatuk-batuk keras
saat berusaha menyejajari kecepatannya. Aku sampai dengan selamat di
rumahku yang terletak di daerah Proklamasi.
Nah... i i aru a ak kesaya ga Bapak. Bapak terse yu su ri gah,
lebih lebar daripada saat menyambut kepulanganku dari rantu. Ini pasti ulah si
bonsai.
Aku duduk-duduk di teras sambil memainkan bola bekelku. Di halaman
rumah, Bapak dengan penuh semangat mengoyak plastik pembungkusnya.
Ca tik ya... Bapak e gelus ata g- ata g ge uk itu. I i kualitas
i it pi us ya g pali g u ggul. .
Aku sudah menyaksikan Bapak beraksi dengan bonsainya sejak duduk di
bangku sekolah dasar. Aku sudah hapal betul, ia akan mulai dari memangkas
daun-daunnya yang dipandangnya terlalu besar.
Kau tahu, ‘a adha a, ujar eliau di sela deru gu ti g ta a a .
Memang ini yang disukai manusia terhadap alam.Membentuknya,

memodifikasinya. Kecantikan alam adalah kecantikan yang dipersepsikan
a usia. Gu ti g Bapak asih elaju, poto ga dau erserak di dekat
kakinya. Aku masih memantulkan bola bekelku.
Ala selalu e ge alika apa ya g kita tu pahka pada ereka. .
Aku berhenti memainkan bolaku. Ia menggelinding begitu saja, seperti
tak bertuan. Lalu kuraih handphone dari dalam saku celanaku. Nama kontak
Kolega A terpampang di layar.
Kalau suatu saat ala tak e ge alika ya, agai a a, Pak? .
Kali ini hening turun, menjadi jeda di antara hembusan napas kami.
Mu gki , ala sudah puas de ga apa ya g kita eri. Mu gki juga,
se e ar ya ia je gah. .
Lalu aku terdiam lebih lama lagi

***

Kecantikan alam berstandar manusia sudah sejak ada sejak era di mana
tanaman bonsai digagas, mungkin sekitar tahun 970. Dan sejak saat itu pula
manusia sadar mengenai apa yang sebenarnya mereka sukai dari alam. Seperti
batang bonsai yang meliuk-liuk, alam dapat diputar-putar sedemikian rupa.
Mereka patuh.
Lebih jauh lagi, mereka tetap berkembang selagi tunduk pada tangantangan manusia.
Dia suatu titik, manusia sadar bahwa warna yang mereka gubah pada
alam tak hanya warna-warna cerah, namun juga beberapa yang kelabu; yang
teraduk-aduk dengan komposisi tak bertakar. Bagiku, kesadaran itu diperolah
melalui Bapak dan bonsainya.
Hakikatnya, alam dan manusia resiprokal; namun tak lagi ketika alam
sudah jengah.

***

Halo? “uara dari sa u ga ter oda deru-deru mesin berat.
Oi, A; i i gue, ‘a a. .

***