makalah ibrahim mustafa

Pemikiran Nahwu Ala Ibrahim Mustofa
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Nahwu)

Dosen Pengampu:

Tamim Mulloh, M.Pd.

Disusun Oleh:

Sajjatul Hidzqy

(12310026)

Faiqotul Maziyah

(12310034)

Ika Khoirin Nida

(12310029)


Bagus Indra I.

(10310038)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014

1

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi

sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru
sekalian alam yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik serta
menjadikannya sebagai makhluk istimewa diantara sekian makhluk yang
diciptakan. Al-Kariim yang telah menganugrahi manusia dengan akal yang dapat

dipergunakan untuk merenungi semua tanda-tanda yang ada dilangit dan di bumi
agar manusia dapat mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat serta
menghilangkan segala gulita yang melingkupi relung-relung hati mereka.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah ke haribaan seseorang yang
mendapat gelar uswatun hasanah, dan telah menunjukkan jalan yang terang
kepada kita semua. Manusia pilihan yang telah menghimpun segala cahaya terang
dengan baik lagi sempurna. Nabi Muhammad S.A.W yang telah diutus oleh Allah
S.W.T sebagai rahmatallil‟aalamiin.
Atas ridha, nikmat, dan kuasa-Nya, wal hasil kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judul, ”Pemikiran Nahwu Ala Ibrahim Mutofa”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini
bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi.
Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun taka da gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi evalwasi
perbaikan dan tambahan bagi khazanah keilmuan dunia serta islam pada

khususnya.
Akhir kata kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua
pembaca fiddunya wal akhirah aamiin.

Malang, 28 Pebruari 2014

2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I .......................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
1.1

Latar Belakang ..........................................................................................4

1.2

Rumusan Masalah .....................................................................................5


1.3

Tujuan........................................................................................................5

BAB II ......................................................................................................................6
PEMBAHASAN ......................................................................................................6
2.1

Biografi Ibrahim Mustofa..........................................................................7

2.2

Pemikiran-pemikiran Ibrahim Mustofa .....................................................9

2.2.3 Kritik terhadap Ihya‟ an-Nahw..................................................................17
BAB III ..................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
3.1


Kesimpulan..............................................................................................19

3.2

Saran ........................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................20

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ilmu Nahwu atau biasa disebut nahwu, merupakan salah satu cabang
pengetahuan tradisional Islam terpenting1, khususnya terkait dengan masalah
kebahasaan. Sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi
bahan kajian yang dinamis dikalangan para pakar linguistic Arab. Sebagai salah
satu cabang linguistic (Ilmu Lughoh), ilmu ini dapat dipelajari untuk dua

keperluan. Pertama, sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu
lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir,
Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama
(sebagai spesialisasi Linguistik bahasa Arab)2.
Akan tetapi dewasa ini, hampir semua negara Arab mengalami kesedihan
mendalam berkenaan dengan kesulitan para pelajar dalam mempelajari ilmu
nahwu. Lebih jauh dari itu, mereka telah kehilangan selera dalam mentradisikan
berbahasa lisan dengan baik dan benar. Gambaran alegorisnya, bahasa mereka
kini terkena sebuah penyakit yang membuat lidah mereka bengkok sehingga tak
lagi bisa menyampaikan maksud keseharian mereka dengan menggunakan bahasa
yang ideal3.
Kesulitan yang dialami generasi muda bangsa Arab ini adalah karena ilmu
nahwu yang diajarkan kepada mereka4. Bagi mereka, kesulitan itu muncul karena
banyaknya bab-bab, pengelompokan bab demi bab juga sighah/bentuk yang telah
turun temurun diajarkan di ruangan kelas dan disusun dalam buku-buku ajarnya.

A.S. Ade Wahyu. “Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer”. (Makalah, UIN Syarif
Hidayatullah:Jakarta, 2011). hlm.1
2
Kholisin. jurnal Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu. Bahasa dan Seni Malang, Vol.31 No.1.

Februari 2003. hlm.1-2
3
Syawqi Dayf, “Tjdid an- nahwi”,(Daar al- ma‟aarif:Kairo. tt) hlm.3
4
Syawqi Dayf, “Taysir An-Nahw At-Ta‟limi Qadiman wa Haditsan ma‟a Nahji Tajdidihi”,
(Daarul Ma'arif:Kairo, 1986) hlm.3.
1

4

Apa yang dijabarkan secara panjang lebar dalam buku-buku yang mereka pelajari
kebanyakannya tidak terpakai dalam komunikasi lisan sehari-hari5.
Corak nahwu yang telah berkembang sedemikian rupa pada gilirannya
telah mencuatkan sebuah kesadaran baru dari para tokoh nahwu generasi
kontemporer ilmu nahwu seperti As suyuthi, Ibrahim Musthafa, Syauqi Dhoif,
dan lain sebagainya, untuk membuat rumusan baru atau reformulasi dan
mengembalikan tujuan semula ilmu ini dibangun.
Dari uraian tersebut, maka pemakalah tertarik untuk mengambil judul
yang berkaitan dengan para tokoh nahwu kontemporer pencentus rumusan baru
atau reformulasi dan mengembalikan tujuan ilmu nahwu, “PEMIKIRAN

NAHWU ALA IBRAHIM MUSTOFA”.

1.2 Rumusan Masalah
Sementara itu, rumusan masalah yang dapat diangkat dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimanakah biografi dari Ibrahim Mustafa?
2. Bagaimanakah Pemikiran-pemikiran Ibrahim Mustafa?
3. Adakah kritik terhadap karya Ibrahim Mustafa?

1.3 Tujuan
Makalah ini diharapkan mampu memenuhi beberapa tujuan. Adapun
tujuan-tujuan yang kami harapkan dari kegiatan ini adalah;
1. Untuk mengetahui biografi Ibrahim Mustafa
2. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Ibrahim Mustafa
3. Untuk mengetahui ada tidaknya kritik terhadap karya Ibrahim Mustafa.

5

Syaiqi Doif, “Taysirul Lughawiyyah”,(Daarul Ma'arif:Kairo, tt) hlm.9


5

BAB II

PEMBAHASAN

Dewasa ini, hampir semua negara Arab mengalami kesedihan mendalam
berkenaan dengan kesulitan para pelajar dalam mempelajari ilmu nahwu. Lebih
jauh dari itu, mereka telah kehilangan selera dalam mentradisikan berbahasa lisan
dengan baik dan benar. Gambaran alegorisnya, bahasa mereka kini terkena sebuah
penyakit yang membuat lidah mereka bengkok sehingga tak lagi bisa
menyampaikan maksud keseharian mereka dengan menggunakan bahasa yang
ideal6.
Kesulitan yang dialami generasi muda bangsa Arab ini adalah karena ilmu
nahwu yang diajarkan kepada mereka7. Bagi mereka, kesulitan itu muncul karena
banyaknya bab-bab, pengelompokan bab demi bab juga sighah/bentuk yang telah
turun temurun diajarkan di ruangan kelas dan disusun dalam buku-buku ajarnya.
Apa yang dijabarkan secara panjang lebar dalam buku-buku yang mereka pelajari
kebanyakannya tidak teraplikasikan dalam komunikasi lisan sehari-hari8.
Di zaman modern sekarang ini, upaya hingga seruan demi pembelajaran

ilmu nahwu yang mudah dan efektif tak pernah surut. Bila di abad 19 lalu
beberapa upaya ke arah pembelajaran ilmu nahwu yang mudah dilakukan dengan
mengacu kepada atau terpengaruh oleh Ibn Madha9. Di antara mereka yang
terpengaruh pemikiran nahw Ibn Madha ini adalah Rifaah al- Tahtawi (1873 M)
dalam bukunya at-Tuhfah al-Maktabiyah fi Taqrib al-Lughat al-„Arabiyyah, atau
Ali al-Jarim dan Mushtafa Amin (1987 M) dalam an-Nahw al-Wadih. Kitab anNahw al-Wadih yang mashur di Indonesia ini ternyata pernah menjadi buku wajib

Syawqi Dayf, Syawqi Dayf, “Tjdid an- nahwi”, Op.cit, hlm.3
Syawqi Dayf, “Taysir An-Nahw At-Ta‟limi Qadiman wa Haditsan ma‟a Nahji Tajdidihi”, Op.cit,
hlm.3.
8
Syaiqi Doif, “Taysirul Lughawiyyah”,Op.cit, hlm.9
9
Asep M. Tamam, “Upaya Individual Pembaruan Ilmu Nahwu Abad XX” (Uin Sunan Gunung
Djati: Bandung) hlm.2
6
7

6


sekolah-sekolah menengah di Mesir dan bertahan lebih dari 40 tahun10. Selain
Rifa‟ah dan Ali al-Jarim, ada juga tokoh seperti Hifni Nashif Bek yang menulis
buku qawa‟id al-Lughat al-„Arabiyyah atau beberapa tokoh lain dengan
masterpiece mereka11.

Di abad 20, upaya pembaharuan ilmu nahwu lebih gencar dan lebih deras
lagi. Berbagai upaya demi lebih mempermudah pembelajaran ilmu nahwu
dilakukan sesuai dengan berbagai tingkatan pendidikan. Para punggawa di bidang
bahasa Arab telah mengerahkan puncak usaha yang bisa mereka kerahkan demi
menjaga pertahanan terakhir bahasa al-Quran al-Kariim ini. Mereka begitu ikhlas
dan penuh keyakinan bahwa usahanya itu mulia, penting dan bisa dimanfaatkan
berbagai generasi pembelajar dan pengagum bahasa termulia ini. Dan ternyata,
pelajaran ahasa Arab, utamanya para pembelajar ilmu nahwu modern telah
memetik buah karya mereka yang dianggap memelopori upaya pembaruan untuk
lebih mempermudah pengajaran dan pembelajaran bahasa Arab. Tak hanya itu,
usaha mereka pun telah mereformasi berbagai permasalahan dan berbagai
kekurangan yang terjadi sebelumnya. Adapun tokoh yang akan dihadirkan dalam
makalah singkat ini adalah Ibrahim Mustafa, representasi kritikus dan pembaharu
nahwu abad modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti
pandangan dan pola berpikirnya.

2.1 Biografi Ibrahim Mustofa
Pemikir Arab di bidang ilmu Nahwu ini adalah orang pertama yang secara
ilmiyah dan metodologis menghadirkan kritik terhadap wacana nahwu klasik. Ia
pun mencoba mengubah beberapa format dan terminology nahwu. Demikian
usaha ini dia dilakukan dalam rangka kontekstualisasi nahwu sesuai dengan
perubahan, perkembangan dan kebutuhan zaman. Ia mencoba menginventarisir
dan membatasi beberapa kelemahan, keganjilan dan kerancuan yang ia temukan
dalam buku-buku pengajaran nahwu sebelumnya. Setelah diketemukan

Abdullah Jad al-Karim, “ad- Dars an-Nahwi fi al- qarn al-„isyrin” (Maktabah Adab:Kairo,
2004), hlm.167
11
Syawqi Dayf, Syawqi Dayf, “Tjdid an- nahwi”, Op.cit, hlm.3
10

7

permasalahannya, maka usaha selanjutnya adalah bagaimana mencari jawaban
yang bisa menjadi solusi12.
Kritikus dan pembaharu nahwu abad modern ini dilahirkan di Andalus
tahun 1863 H dan wafat pada tahun 1387 M /1927 H13.
Salah satu riwayat karir perjalanan hidup Beliau adalah menjadi dosen
pada fakultas Adab Universitas Fu‟ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo).
Senada dengan hal ini Toha Husain menyebutkan dalam kesimpulannya dari
kitab al-Ihya‟ fi an-nahw al-„Arby pernah belajar di Universitas Al Azhar, lalu
melanjutkan ke “Daarul „Uluum”, dan Universitas Mesir14.
Jika Ibnu Madha‟ merupakan kritikus nahwu abad tengah (klasik), maka
Ibrahim Musthafa adalah representasi kritikus dan pembaharu nahwu abad
modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan
pola berpikirnya Pada tahun 1936 ia menyelesaikan karyanya dibidang nahwu
yang ia beri judul “Ihyâ‟ al-Nahwi” (revitalisasi ilmu nahwu) dan setahun
kemudian yaitu pada abulan Juli 193715 diterbitkan oleh lajnat al-ta‟lif wa altarjamah wa al-nasyr Kairo16.
Pada bagian pengantar kitab ini, Ibrahim Musthafa menyatakan sebagai
berikut:
”kitab ini membahas tentang nahwu yang aku geluti selama tujuh
tahun tetapi aku sajikan hanya dalam beberapa lembar saja.
Tujuanku adalah untuk mengubah metode nahwu dalam mempelajari
bahasa Arab, melenyapkan bahasan nahwu yang memberatkan para
pelajar dan menggantinya dengan cara-cara yang mudah dan simpel
sehingga mereka dapat dengan mudah mempelajari bahasa Arab,

12

Asep M. Tamam, Op.cit. hlm.1
muqoddimah:
Diroosat
taqdiyah
fi
an-Nahw
al-'Araby,
http://mahfuzmian.blogspot.com/2012/06/ibrahim-mustafa.html, 6/5/14
14
Ibrohim Mustofa,” Ihya' an-Nahwiyah”, (lajnat al-ta‟lif wa al-tarjamah wa al-nasyr: Kairo,
1992)
15
Kamil J. Walwil, Jurnal Almajaalah Al-Arkadiniyah At-Tatbiqiyyah Al-Majalah Al-Hadiyah
“Taisiirul Nahw 'inda Ibrahim Mustafa”. Simplifying Arabic Grammar , Vol.11. No.1,
Agustus,2007, hlm.60
16
http://shaniadewa.blogspot.com/2012/11/perkembangan-ilmu-nahwu-kontemporer.html, diakses
tanggal 6/5/14
13

8

juga mengantarkan
(stylistikanya)…”17.

mereka

dapat

memahami

uslub-uslubnya

Dalam karyanya ini ditulis dengan maksud sebagai kritik dan penolakan
atas berbagai prinsip nahwu. Ide pembaharuan Ibrahim Musthafa terhadap nahwu
mencakup banyak aspek, diantaranya yang terpenting adalah:
1. Redefinisi Nahwu.
2. Penolakan terhadap amil.
3. Pembagian ulang masalah i‟rab.
4. Tanda-tanda i‟rab yang bersifat far‟iyah.

Sedangkan di akhir kitabnya beliau menyatakan,
“I‟rab itu tidak ada pada fiil, I‟rab itu hanya pada isim, karena fiil
tidak dapat dii‟rab”18.

2.2 Pemikiran-pemikiran Ibrahim Mustofa
Ide pembaharuan Ibrahim Musthafa terhadap nahwu mencakup banyak
aspek, diantaranya yang terpenting adalah: Redefinisi Nahwu, penolakan terhadap
amil, pembagian ulang masalah i‟rab, tanda-tanda i‟rab yang bersifat far‟iyah dan
lain sebagainya19.
Dalam kitab Ihya‟An Nahwi, beliau membagi beberapa tema di antaranya
tentang batasan pengertian nahwu seperti yang ditulis oleh para ahli nahwu,
macam-macam pembahasan nahwu, dasar dan makna I‟rob, dhommah sebagai
tanda isnad, kasroh sebagai tanda idhofah, fathah bukan sebagai tanda I‟rob, dasar
mabni itu sukun, cabang-cabang tanda I‟rob, At Tawaabi‟, dan shorof20.
Pemikiran beliau tentang beberapa hal yang berkaitan dengan nahwu, antara lain:
1. Redefinisi Nahwu
Sebelum mengajukan definisi nahwu menurut versinya, Ibrahim Musthafa
terlebih dahulu mengkritik para ulama‟ nahwu klasik yang pada umumnya
al-Sha‟idy, Abd al-Muta‟al, “al-Nahwu al-Jadîd”, Mesir: (Dar al-Fikr al-Arabi:Mesir,1947)
Ibrohim Mustofa, Op.cit
19
http://zamzamafandi.blogspot.com.2008-06.pembaharuan-ilmu-nahwu-kajian.html, diakses
tanggal 6/5/14.
20
„Ishom Kadlim Al Gholibii, “Kitab Ihya‟ An Nahwi lil Ustadz Ibrahim Musthofa: Tahlil wa
Naqd” (2011).
17

18

9

memberi definisi nahwu dengan: ”pengetahuan yang dengannya dapat diketahui
posisi akhir kata baik dari segi mu‟rab maupun mabninya”. Ahmad Muhammad
Abdurradhi menyebutkan, bahwasanya Ibrahim Mushtafa melihat para ulama
sebelumnya telah mempersempit bidang ilmu nahwu dan menyimpulkan
pemahamannya hanya kepada akhir kalimat saja. Ia memandang bahwa ilmu
nahwu lebih luas lagi dari sekedar pemahaman dan perhatian terhadap akhir
kalimat, lebih dari sekedar definisi,
21

...‫اخ‬... ‫ إعرابا و بناء‬:‫علم يعرف به أو أخر الكلمة‬...

Menanggapi fenomena ini beliau menyatakan bahwa definisi nahwu kajian
nahwu seperti itu, hanya akan berkutat dan terfokus pada pada huruf-huruf
terakhir pada sebuah kata-kata, khususnya lagi tentang mu‟rab dan mabninya.
Definisi seperti ini sama dengan mempersempit wilayah kajian nahwu22.
Sedangkan Nahwu menurut Ibrahim Musthofa adalah;

، ‫ وبيان لكل ما جب أن تكون عليه الكلمة ي اجملة‬،‫قانون تأليف الكام‬
.

‫ حى تتسق العبارة ومكن أن تؤدي معناها‬،‫واجملة مع اجمل‬

”Aturan penyusunan suatu kalimat, dan menjelaskan posisi setiap
kata yang ada di dalam suatu kalimat dan juga posisi kalimat satu
dengan kalimat-kalimat yang lain, sehingga menjadi ibarot/
perkataan yang teratur dan menunjukkan maknanya ”24.
Menurut Ibrahim Musthofa, para ahli nahwu yang membatasi pengertian
nahwu hanya pada akhir kalimat itu salah, karena dua alasan25:
a. Mereka membatasi ilmu nahwu dan menyempitkan pembahasannya serta tidak
memperhatikan uslub bahasa arab.
Abdurradhi, Ahmad Muhammad, “ihya‟ an- Nahwi wa al- Waqi‟ al- Lughawi, Dirasah” (Darul
ma'arif:Kairo, tt) hlm.16
22
Ibrohim Mustofa, Op.cit
23
Ibid, hlm. 1
24
Muhammad Fahmi Syihab, dkk, “Pemikiran Nahwu Ibrahim Musthofa” (Makalah,Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2012) hlm.3

21

25

Ibrohim Mustofa, Op.cit, hlm.7-8

10

b. Mereka menggunakan metode lafadhiyah.

2. Penolakan terhadap konsep Amil
Sebelum mengkritik dan menolak konsep amil ini, Ibrahim Musthafa terlebh
dahulu menggali dan mengambil intisari dari konsep amil tersebut dengan
menyatakan sebagai berikut:
“lebih dari seratusribu tahun mereka menekuni dan mengkaji
masalah i‟rab dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka
dapat dan kaidah-kaidahnya, tetapi apa hasil yang mereka dapat
untuk membongkar rahasia i‟rab dan hakikatnya? Pada prinsipnya
kajian mereka menyatakan bahwa I‟rab adalah wujud adanya
pengaruh dari amil baik yang verbal (terucapkan) maupun yang tidak.
Mereka membicarakan tentang amil, syarat-syaratnya dan cara
kerjanya seacara panjang lebar hingga seolah-olah konsep amil bagi
mereka adalah nahwu itu sendiri”26.
Menurut Ibrahim, inti pembicaraan mereka tentang amil dapat disarikan
sebagai berikut 27:
a. Setiap tanda i‟rab merupakan pengaruh dari amil, jika amil tersebut tidak
disebutkan secara langsung maka harus diperkirakan (muqaddar ), memang
ada amil yang harus tidak disebutkan tetapi yang pasti ia wajib ditakdirkan
(muqaddar ). Dalam satu jumlah bisa terdapat dua amil muqaddar yang tidak
sama seperti dalam contoh: ‫واأسد‬

‫إياك‬

dikira-kirakan ‫اأسد‬

‫ احذرك واحذر‬tidak

cukup hanya dengan satu fi‟il saja.
b. Dua amil tidak boleh ada dalam waktu bersamaan untuk sebuah ma‟mul.
Kalau kasus ini terjadi, maka para ulama‟ nahwu klasik membagi cara kerja
keduanya, satu amil mempengaruhi terhadap lafadz sedangkan amil satunya
lagi beroperasi pada segi posisinya.
c. Pada prinsipnya yang dapat menjadi amil adalah fi‟il semata dan hanya
beramal pada isim, baik rafa‟ maupun nashab.

26
27

Ibid, hlm. 22
Ibid, hlm. 9-108

11

d. Fi‟il yang mutasharrif (bukan jamid) memiliki daya beramal sempurna,
sedangkan fi‟il jamid dapat berlaku sebagai amil tapi sebagai amil yang
lemah.
e. Isim juga dapat berfungsi sebagai amil karena dipersamakan dulu dengan fi‟il
seperti isim fa‟il, isim maf‟ul dan isim mashdar. Setiap isim yang tidak
memiliki kemiripan dengan fi‟il maka ia tidak dapat beramal atau menjadi
amil.
f. Huruf memiliki dua cara ia sebagai amil; pertama, ia berdiri sebagai huruf asli
dan tidak dipersamakan terlebih dahulu dengan fi‟il, kedua, dapat beramal
karena dipersamakan dengan fi‟il. Huruf dapat beramal baik terhadap isim
maupun fi‟il, ia merafa‟kan, menasabkan dan mengejerkannya. Terhadap isim,
huruf dapat beramal menjazamkan dan menasabkan. Jika huruf tersebut dalam
proses amalnya dipersamakan dengan fi‟il, maka kekuatan amalnya dilihat
dari sejauhmana huruf tersebut memiliki kemiripan dengan fi‟il baik dari segi
makna maupun lafadznya. Huruf “inna”, misalnya, ia dapat beramal karena ia
memiliki arti yang berfungsi meperkuat pernyataan (taukid). Oleh sebab itu, ia
memiliki kesamaan dengan fi‟il dari segi maknanya, disamping itu huruf
“inna” juga terdiri dari tiga huruf, karenanya ia mirip dengan fi‟il dari segi
bentuknya. Jika “syiddah” yang ada pada huruf “inna” itu dihilangkan dan
menjadi “in” saja, maka ia akan kehilangan daya kemiripannya dengan fi‟il
yang berarti pula semakin lemah beramalnya28.
g. Huruf baru bisa beramal setelah ia menjadi pasangan khusus bagi kata-kata
atau kalimat tertentu. Huruf “lan” dan “lam” misalnya, keduanya dapat
beramal terhadap fi‟il mudhari‟ sebab keduanya memang hanya dapat
berpasangan dengan fi‟il mudhari‟. Ini berbeda misalnya dengan huruf “qad”,
huruf ini tidak dapat beramal sebab ia tidak memiliki pasangan khusus, ia
dapat masuk pada fi‟il mudhari‟ maupun fi‟il madhi.
h. Sebuah huruf dapat beramal yang tidak sama dalam menurut konteks dan
posisinya, misalnya seperti hurur “lâ”, ia terkadang dapat beramal
sebagaimana amalnya “laisa” dan juga beramal seperti huruf “inna”.

28

ibid

12

i. Amil-amil yang bekerja untuk fi‟il memiliki posisi lebih lemah daripada amilamil yang bekerja untuk isim. Sebab amil-amil yang bekerja untuk fi‟il
terkadang dapat dihilangkan jika telah terpenuhi syarat-syaratnya seperti
huruf-huruf yang berfungsi sebagai “adawât al-syarthi”.
j. Sekelompok huruf yang memiliki cara beramal sama, maka mereka akan
dimasukan dalam sebuah keluarga seperti “inna” dan “kâna”. Masing-masing
dari keluarga huruf tersebut memiliki cara kerja yang lebih luas. Itu sebabnya,
ia disebut sebagai “ummul bab” (induk dari bab), masing-masing mereka juga
memiliki hak beramal yang tidak dimiliki yang lain di luar kelompok mereka.
Demikianlah intisari pembicaraan para ahli nahwu tentang amil dan i‟rab
yang mereka bangun dengan berdasarkan pemikiran yang logik dan filosofis
sehingga mereka mengabaikan hal yang terpenting dari kalimat, yaitu makna yang
terkandung di dalamnya.

3. Pembaharuan Nahwu
a. Pembatasan Tanda I‟rab29
Jika selama ini tanda I‟rab yang dikenalkan dalam nahwu ada tiga macam
yaitu; fathah, kasrah dan dhammah, maka Ibrahim Musthafa mengajukan tawaran
agar fathah tidak dimasukkan ke dalam salah satu tanda i‟rab. Jadi menurutnya,
tanda i‟rab itu hanya ada dua yaitu dhammah dan kasrah, keduanya muncul bukan
karena adanya pengaruh dari amil tetapi dari sipembicara sendiri untuk
menentukan makna dari kalimat.
Dhammah menurutnya adalah tanda dari isnad (‟alamat al-Isnad).
Karenanya, Ibrahim mengelompokkan pembahasan tentang al-Mubtada‟, al-Fa‟il
dan Na‟ibul Fail, isim kaana. Semuanya tadi dalam kategori Ibrahim adalah
berstatus sebagai musnad ilaiah (al-Musnad ilaihi) dan ditandai dengan harakat
dhammah. Adapun selain empat kasus tersebut yang terjadi dalam struktur ilmu

29

Ibid hlm.28-107

13

nahwu maka semuanya, selain yang berharakat kasrah, bisa ditandai dengan
fathah30.
Sedangkan tanda kasroh menurut Ibrahim adalah sebagai tanda dari idafah
(al-Idhaafah). Dalam kategori yang dibuat Ibrahim ada dua bahasan nahwu yang
termasuk menerima tanda kasrah ini atau yang disebut idafah yaitu idafah
konvensional (kata majmuk) dan idafah yang didahului oleh huruf (jar) seperti
huruf “min, ilaa, „an, „alaa, fii” dan lain sebagainya yang olehnya disebut sebagai
huruf idhafah (huruf al-Idhafah)31.
Fathah, dalam pandangan Ibrahim tidak termasuk tanda dari i‟rab, sebab ia
tidak menunjukan makna apapun. Fathah hanyalah harakat yang lebih disukai
orang Arab daripada harakat-harakat lain. Mengapa demikian? Sebab harakat
fathah lebih ringan dalam pengucapan daripada harakat-harakat lain semisal
kasrah, dhammah atau bahkan sukun32.

b. Penolakan adanya tanda-tanda I‟rab yang bersifat far‟iyyah33.
Di samping I‟rab asli (dhammah, kasrah dan fathah), para ahli nahwu
klasik pada umumnya juga menciptakan i‟rab cabang atau yang biasa disebut
dengan “al-„Alaamat al-Far‟iyyah” yang beperan sebabagi pengganti dari i‟rab
yang asli. Dalam kasus al-Asma‟ al-Khamsah, seperti contoh-contoh berikut ini:

‫ مررت بأبيك‬،‫ رأيت أباك‬،‫جاء أبوك‬
menurut ahli nahwu klasik yang pertama alamat rafa‟nya ditandai dengan huruf
“wawu”, yang kedua alamat nasabnya ditandai dengan huruf “alif”, sedang dalam
contoh ketiga alamat jarnya ditandai dengan huruf “ya‟”.
Menurut Ibrahim, teori ini terlalu mengada-ada dan dipaksakan, karena
kalimat-kalimat tersebut adalah merupakan kalimat yang mu‟rab seperti kalimat30

Ibid, hlm. 28-71
Ibid, hlm. 72-78
32
Ibid, hlm. 79-96
33
Ibid, hlm. 108-112

31

14

kalimat mu‟rab lainnya yang didhammah karena berperan sebagai musnad ilaih
dan dikasrah karena idhafah. Jika diluar peran sebagai isnad dan idhafah maka
semuanya ditandai harakat fathah.
Hal yang sama juga terjadi dalam kasus jama‟ muzakkar salim (jam‟ alMuzakkar al-Salim) yang menurut mereka (ulama klasik) huruf “wawu” yang

terdapat di dalamnya adalah sebagai tanda rafa‟, sedang huruf “ya‟” sebagai tanda
nasab dan jar. Seperti dalama kasus contoh;

‫ مررت بامسلمـن‬،‫ رأيت امسلمـن‬،‫ جاء امسلمون‬.
Padahal, menurut Ibrahim, dalam kasus tersebut persoalannya lebih simpel
dibanding yang terjadi dalam kasus asma‟ul khamsah. Tanda rafa‟nya adalah
dhammah, sedang huruf “wawu” berfungsi sebagai “isyba ‟” (pemuasan atau
pemantapan semata), demikian pula, kasroh tetap sebagai tanda jar dalam contoh
tersebut, sedangkan huruf “ya‟” hanya berfungsi sebagai isyba‟. Di dalam kasus
contoh tersebut fathah tidak disinggung, karena memang bukan merupakan bagian
dari tanda I‟rab. Hal serupa juga terjadi dalam jama‟ mu‟annats salim yang hanya
mengenal I‟rab dhammah dan kasrah karena, sekali lagi, fathah bukan termasuk
dari tanda I‟rab34.
Ibrahim Musthafa juga tidak sependapat jika dalam kasus isim ghairu
munsharif (tidak menerima tanda tanwin) tanda fathah yang terdapat padanya
ketika majrur disebut sebagai ganti dari tanda kasrah. Sebab, menurutnya, tanda
fathah itu tidak ada, maka iapun tidak dijadikan sebagai ganti tanda lain (kasrah)
yang memang ada 35.

c. Tawabi‟36.
Tawabi‟ adalah sebah kata atau kalimat yang mengikuti kata atau kalimat
sebelumnya. Dalam buku-buku nahwu klasik yang termasuk dalam kategori

34

Zamzamfandi, Op.cit
Ibrohim Mustofa. Op.cit
36
Ibid, hlm. 112-114

35

15

tawabi‟ tersebut adalah “al-athf, al-na‟at, al-taukid dan al-badal”. Ibrahim tidak
menolak adanya tawabi‟ ini. Yang ia usulkan adalah agar pembahasan tentang
athaf (al-Athf) tidak dimasukkan ke dalam jajaran tawabi‟ atau menjadi

pembahasan tersendiri. Sebab lafadz yang diathafkan memang tidak termasuk dari
tawabi‟, tetapi lafadz yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan ma‟thuf-nya.

Menurut Ibrahim, yang layak menjadi pembahasan khusus adalah makna
daripada setiap huruf athaf. Sebab tawabi‟ sebenarnya ada dua macam. Pertama,
kedudukannya (perannya) sebagai pelengkap makna kata sebelumnya, karena
makna kalimat belum dapat dipahami apabila tidak menyebutkan kedua-duanya.
Oleh karena itu, dalam kasus ini, tabi‟ harus sesuai persis dengan matbu‟nya.
Termasuk dalam kategori jenis pertama ini adalah al-Na‟at37.
Kedua, kata kedua (matbu‟) bersifat independen (berdiri sendiri), memiliki
makna sendiri yang sudah dapat dipahami tanpa kehadiran lafadz kedua (tabi‟).
Sedang kehadiran lafadz kedua hanya berperan sebagai penjelas dari yang
pertama. Begitu pula lafadz kedua sudah dapat dipahami tanpa menyebutkan kata
yang pertama. Penuturan kedua-duanya hanya berfungsi sebagai taukid dan
penjelas semata, perhatikan contoh berikut ini:

‫ لقيت القوم أكثرهم أو كلهم‬،‫زاري حمد أبو عبد ه‬
Kalimat tersebut dapat dikatakan dengan susunan seperti ini:

‫زارنـي حمد أو زارنـي أبو عبده‬
dengan memiliki pengertian yang sama, sebab yang dimaksud dengan
Muhammad juga Abu Abdullah, dan Abu Abdullah juga Muhammad.
Penggabungan kedua kata tersebut hanya berfungsi sebagai penjelas (bayan) dan

37

Ibid, hlm. 115-124

16

memperkuat pernyataan (taukid ). Termasuk dalam kategori kedua ini adalah albadal, al-taukid dan athaf bayan 38.
Cara pembagian yang demikian ini menurut Ibrahim lebih jelas, mudah
dan efektif dari segi pembahasan ilmu nahwu.Yang membedakan fungsi masingmasing kata dalam struktur sebuah kalimat adalah maknanya. Dengan
memperhatikan makna kata, seseorang dapat mengetahui fungsi dan status sebuah
kata dalam kalimat tanpa harus bingung apakah ia sebagai na‟at, badal aatau athaf
bayan39.

2.2.3 Kritik terhadap Ihya’ an-Nahw
Ibrahim Mustafa menolak alasan-alasan hingga perbedaan-perbedaan
pendapat yang diperdebatkan dan memenuhi buku-buku tentang nahwu. Tak
hanya itu, beliaupun menolak masalah-masalah dan tamrinaat yang tidak ilmiah
dan beberapa hipotesa filosofis 40.
Para ulama nahwu yang datang setelah Ibrahim Mustafa menilai, bahwa
usahanya dalam bidang nahwu merupakan perwujudan dari sebentuk harapan
untuk mempermudah dan memperbarui nahwu. Sebagian ulama lainnya
menganggap bahwa usaha Ibrahim Mustafa begitu serius dan upayanya dalam
pembaruan nahwu tak usah diragukan lagi. Point terpenting dari gagasan Ibrahim
Mustafa adalah agar kita tak mudah menyerah dan percaya begitu saja terhadap
para ulama nahwu. Dalam hal ini Ibrahim Mustafa mengajak untuk merenungkan
dan memikirkan lebih mendalam terhadap permasalahan nahwu. Sampai di sini,
upaya Ibrahim Mustafa dianggap banyak memberi efek positif. Hasratnya yang
mendalam demi kebehasilan pembaruan nahwu, juga kecenderungannya untuk
mempermudah

ilmu

nahwu

menjadikannya

begitu

bersemangat

dalam

kampanyenya menyerang para ulama ahli nahwu terdahulu. Kadangkala, ia

38

Ibid, hlm. 114
Ibid, hlm. 128
40
Asep M. Tamam, Op.cit. hlm.4
39

17

dianggap terlalu gegabah dan berlebihan, terkadang ia pun dianggap keterlaluan
dalam menuduh para ulama nahwu terdahulu41.
Senada dengan hal itu, pemikiran-pemikiran Ibrahim Mustafa pun
mendapat kritik. Ia dikeritik bahwa bukunya “ihya‟ an-nahw” tidak begitu saja
tunduk pada keinginan penulisnya dalam membahas dunia kebahasa Araban
modern, meskipun disadarinya bahwa pembahasan-pembahasan berkenaan
dengan pembaruan nahwu itu tersebar di beberapa halaman dalam bukunya ini.
Asep M. Tamam menuliskan dalam tulisannya yang berjudul Upaya Individual
Pembaruan Ilmu Nahwu Abad XX, para kritikus ihya‟ annahwiyah itu
menyebutkan bahwa kitab tersebut tak jelas dalam mengarahkan maksud dan
tujuan serangan-serangan Ibrahim Mustafa terhadap para ulama nahwu terdahulu.
Kitab itu, menurutnya, mungkin hanya menggambarkan ihya‟ (menghidupkan
ilmu nahwu) hanya untuk beberapa makna saja. Atau bisa disebutkan bahwa di
antara hal yang “dihidupkan‟ itu adalah apa yang ia bahas mengenai problematika
bahasa Arab dan problematika nahwu, ajakan seriusnya dalam pembahasan
mendalam terhadap permasalahan-permasalahan itu, penjelasannya tentang
falsafah rasional dalam ilmu nahwu, juga penemuannya terhadap berbagai
kerancuan teori-teori tradisonal. Selain itu ia pun dikeritik karena telah
mengadopsi pemikiran Ibn Madha dalam konteks kampanyenya memindahkan
kajian struktur kata (mabna) kepada substansi makna dan kampanyenya
menghapuskan teori „amil42.

41
42

Ibid
Ibid, hlm. 4-5

18

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan sebelumnya maka dapat diambil benang merah yaitu,
Ibrahim Musthofa adalah representasi kritikus dan pembaharuan nahwu abad
modern yang banyak mengilhami para ahli nahwu lain mengikuti pandangan dan
pola berpikirnya. Ibrahim adalah seorang dosen pada fakultas Adab Universitas
Fu‟ad al-Awal (kini menjadi Universitas Kairo). Pada tahun 1936, ia
menyelesaikan karyanya dibidang nahwu, yang ia beri judul “Ihya‟ al-Nahwi”.
Ide pembaharuan Ibrahim Musthafa terhadap nahwu mencakup banyak
aspek, diantaranya yang terpenting adalah: Redefinisi Nahwu, penolakan terhadap
amil, pembagian ulang masalah i‟rab, tanda-tanda i‟rab yang bersifat far‟iyah dan
lain sebagainya. Akan tetapi disamping itu semua terdapat banyak kritik yang
menhujani tokoh ini, salah satu kritik terhadap Ihya‟ al-Nahwi adalah kitab ini
hanya menggambarkan ihya‟ (menghidupkan ilmu nahwu) hanya untuk beberapa
makna saja.

3.2 Saran
Akhirnya makalah ini sampai pada penutup dan terkhir yang ingin kami
sampaikan dari makalah ini bahwa kami menyadari makalah kami masih
sangatlah jauh dari kriteria makalah yang baik dan benar, dari itu kami tidak
bosannya sangatlah mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
evaluasi pada makalah kami berikutnya. Dan semoga terselesainya makalah ini
dapat memberi manfaat bagi kita semua terlebih bagi yang memanfaatkannya.

19

DAFTAR PUSTAKA
Abdurradhi, A. M. tt. ihya‟ an- Nahwi wa al- Waqi‟ al- Lughawi, Dirasah . Kairo:
Darul ma'arif.
Ade Wahyu, A. S. 2011. Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
al-Karim, A. J. 2004. ad-Dars an-Nahwi fi al-qarn al-isyrin . Kairo: Maktabah
Adab.
al-Sha‟idy, A. a.-M. 1947. al-Nahwu al-Jadîd. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.
Dhoif, S. 1986. Taysir An-Nahw At-Ta‟limi Qadiman wa Haditsan ma‟a Nahji
Tajdidihi. Kairo: Daarul Ma'arif.

Dhoif, S. tt. Tajdid an- nahwi. Kairo: Dar Ma'arif.
Dhoif, S. tt. Taysirul Lughawiyyah. Kairo: Daarul Ma'arif.
Gholibii, K. 2011. Kitab Ihya‟ An Nahwi lil Ustadz Ibrahim Musthofa: Tahlil wa
Naqd.

Mustofa, I. 1992. Ihya' an-Nahwiyah. Kairo: lajnat al-ta‟lif wa al-tarjamah wa alnasyr.
Syihab, Muhammad Fahmi dkk, 2012. Pemikiran Nahwu Ibrahim Musthofa.
Naskah Publikasi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Tamam, A. M. tt. Upaya Individual Pembaruan Ilmu Nahwu Abad XX. Naskah
Publikasi Hasil Penelitian. Bandung: UIN Sunan Gunung Jati Bandung.

Jurnal
Kholisin. 2003, Februari. Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu . Bahasa dan Seni,
Vol.31, 1-2.

20

Walwil, K. J. 2008. Taisiirul Nahw 'inda Ibrahim Mustafa . Almajaalah AlArkadiniyah At-Tatbiqiyyah Al-Majalah Al-Hadiyah, Vol.11, 59-78.

Websate,
http://mahfuzmian.blogspot.com/2012/06/ibrahim-mustafa.html diakses tanggal 6
Juni 2014
http://shaniadewa.blogspot.com/2012/11/perkembangan-ilmu-nahwukontemporer.html diakses tanggal 6 Juni 2014
http://zamzamafandi.blogspot.com.2008-06.pembaharuan-ilmu-nahwukajian.html, diakses tanggal 6 Juni 2014

21