Reproduksi Hukum di Rusunawa Kota Tanjungbalai

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Penelitian dalam skripsi ini mengenai reproduksi hukum pada bidang

sosial semi-otonom di kalangan penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa Kota
Tanjungbalai. Hukum menjadi alat untuk mencapai tujuan pembangunan (Otto,
2012), dan menjadi sarana pengendalian sosial yang terdapat dalam setiap bentuk
masyarakat (Malinowski dalam Nurjaya, 2011). Hukum juga dibuat di Rusunawa
sebagai alat untuk mengatur masyarakat, untuk mencapai harapan atau target
pembangunan Rusunawa sendiri.
Rusunawa yang merupakan singkatan dari Rumah Susun Sederhana Sewa
adalah perumahan vertikal, yang pembangunannya bertujuan menjadi salah satu
alternatif pemerintah dalam memecahkan permasalahan akan kebutuhan
perumahan dan permukiman, terutama untuk daerah perkotaan yang memiliki
keterbatasan lahan dengan jumlah penduduk semakin meningkat (Sam, 2014; ITS,
2014; Kementrian PU, 2012; Rhompas, 2004; Randy, 2003).
Pemerintah Indonesia dalam mencapai Millenium Development Goal

(MDGs)1 memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Ditjen Cipta Karya,
Kementrian Pekerjaan Umum dalam menuntaskan target ke 11 MDGs, yaitu:

1

Terkait dengan pembangunan, dipenghujung abad ke 20 yang lalu, PBB telah memutuskan agenda besar
pembangunan di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai Millenium Development Goals (MDG‟s)
(OECD, 2011). Dan Indonesia telah menyampaikan komitmennya di mata dunia untuk ikut berpartisipasi
menghapus kawasan kumuh. Tekad tersebut dikukuhkan dengan telah ditandatanganinya Deklarasi
Millenium, yang menegaskan kesepakatan Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri bersama-sama
beberapa negara lain di dunia mencapai target-target MDGs (Kementrian PU, 2011).

1
Universitas Sumatera Utara

“Mencapai perbaikan yang berarti untuk meningkatkan kehidupan
sedikitnya 100 juta masyarakat miskin yang hidup di permukiman
kumuh hingga tahun 2020. Target tersebut diimplementasikan
dengan kegiatan penyelenggaraan RUSUNAWA (rumah susun
sederhana sewa) yang telah dirintis pelaksanaannya sejak Tahun

2003.” (Kementrian PU, 2012).
Berdasarkan Undang-Undang Rumah Susun No. 20 tahun 2012, Rusunawa
diperuntukkan bagi masyarakat perkotaan yang tergolong berpenghasilan rendah
atau masyarakat menengah bawah guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat
itu sendiri. Pembangunan Rusunawa sudah dilaksanakan di masing-masing
provinsi di Indonesia sejak tahun 2003 (Kementrian PU, 2012). Di Provinsi
Sumatera Utara, Rusunawa dibangun di Kota Medan, Tanjungbalai, dan Tebing
Tinggi (Kementrian PU, 2012).
Tanjungbalai sebagai kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk
relatif tinggi2, saat ini telah membangun 96 unit Rusunawa pada tahun anggaran
2005-2006, 96 unit pada tahun anggaran 2006-2007, 99 unit pada tahun angaran
2010-2011, dan 99 unit pada tahun 2011-2012 (Kementrian PU, 2012). Pada
tahun 2015, pemerintah Kota Tanjungbalai sudah membangun 5 Rusunawa di
Kota Tanjungbalai.
Tujuan pembangunan Rusunawa ini sendiri bukan semata-mata hanya
untuk penanganan perumahan kumuh dengan alasan fisik dan lingkungan serta
estetika kawasan perkotaan saja, tetapi didasari oleh tinjauan dari sisi sosial,
budaya serta ekonomi kemasyarakatan (Kementrian PU, 2012). Sehingga,

2


Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Tanjungbalai pada Tahun 2011-2012 adalah 0,82%, dengan jumlah
penduduk 155.889 pada Tahun 2011 dan 157.175 pada tahun 2012 (Hasil Proyeksi berdasarkan Data Sensus
Penduduk BPS).

2
Universitas Sumatera Utara

dimungkinkan bagi pemerintah daerah untuk memberikan subsidi3 bagi Rusunawa
tersebut (UU Rumah Susun No.20 Tahun 2011 Pasal 57 ayat 3).
Permasalahan terkait dengan pengadaan tempat tinggal menjadi masalah
yang rumit dan belum dapat teratasi secara tuntas (ITS, 2014; Bahri, 2005;
Mauliani, 2002). Selain pemenuhan kebutuhan akan sandang dan pangan,
pemenuhan kebutuhan tempat tinggal menjadi masalah yang tidak akan terlepas
dari manusia selama menjalani proses kehidupan, karena pemenuhan tempat
tinggal adalah upaya manusia dalam mempertahankan keberlanjutan hidupnya
(Bahri, 2005; Harian Antariksa, 1985).
Budaya bermukim4 dan budaya hukum5 merupakan problema tersendiri
disamping masalah ekonomi. Dikarenakan tinggal di rumah susun berbeda dengan
tinggal di rumah biasa, dan setiap manusia memiliki kemampuan adaptasi yang

berbeda dalam rangka penyesuaian kebudayaan (Bahri, 2005; Widyo, 2004).
Manusia sebagai pelaku budaya memiliki peran yang sangat penting dalam
mewujudkan tujuan pembangunan Rusunawa.
Masyarakat sebagai penghuni Rusunawa berasal dari latar belakang
budaya6 yang berbeda baik etnis, daerah asal, agama dan sebagainya. Menurut
Sally Folk Moore (dalam Ihromi, 1993), masyarakat yang dikumpulkan dan
3

Subsidi adalah pembayarn yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk
mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam
kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk
mengurangi harga atau menambah keluaran (output).
4
Budaya bermukim merupakan perilaku atau kebiasaan manusia dalam menempati suatu ruang atau wadah
dimana manusia bisa menjalankan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari (Randy,2013).
5
Budaya hukum merupakan salah satu bagian dari kebudayaan manusia yang begitu luas. Budaya hukum
adalah tanggapan umum yang sama dari manusia terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan
kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi, suatu budaya hukum menunjukkan tentang
satu individu yang sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama

terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 2006).
6
Budaya adalah seperangkat sistem gagasan, kepercayaan, perilaku, kebiasaan dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1982)

3
Universitas Sumatera Utara

melakukan aktifitas yang berulang-ulang dalam suatu wadah, secara berangsurangsur akan membentuk aturan-aturan tersendiri bagi kelompok atau komunitas
masyarakat tersebut. Aturan-aturan ini tidak tertulis atau bersifat informal tetapi
mampu membujuk dan memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan-aturan
itu.
Pembangunan Rusunawa ini sendiri tidak terlepas dari keputusan hukum
yang menjadi kontrol sosial dan berisi keputusan, kebijakan atau aturan-aturan
yang dibuat oleh pemerintah bagi masyarakat dalam proses pelaksanaan
pembangunan Rusunawa. Namun, adakalanya akibat lingkungan fisik dan
kehidupan sosial yang baru, membuat masyarakat melakukan penyesuaian terus
menerus dan menghasilkan suatu kesepakatan atau aturan-aturan baru bagi
mereka, dengan demikian manusia berusaha untuk mengubah sistem kontrol
sosial yang lama dengan sistem kontrol sosial yang baru.

Perubahan tersebut merupakan kebiasaan yang membentuk aturan-aturan
yang dapat berlaku secara cepat ataupun lambat dan terjadi dengan mengubah
sebahagian atau keseluruhan sistem kontrol sosial sebelumnya (Hadikusuma,
2006; Emmed, 1989). Manusia tidak selamanya menjadi penerima pasif, manusia
memiliki perlawanan diri yang mampu membuatnya bertindak diluar aturan yang
sudah ditetapkan (Vandenbroek, 2011).
Dalam hal ini Rusunawa bisa dikatakan sebagai bidang sosial semiotonom dikarenakan kumpulan atau komunitas masyarakat ini tidak hanya
mengatur “diri-sendiri”, artinya terdapat banyak aturan baik dari luar maupun dari
dalam Rusunawa yang menjadi acuan penghuni Rusunawa dalam bertindak.

4
Universitas Sumatera Utara

Menurut Moore (dalam Tamaha dalam Irianto, 2011), “ Law is the self-regulation
of a „semi-autonomous social field”, hukum merupakan mekanisme pengaturan
masyarakat dalam bidang sosial semi-otonom. Aturan-aturan yang sudah ada di
Rusunawa lagipula bisa saja memicu atau memunculkan aturan-aturan yang baru,
tanpa disadari aturan tersebut menambahkan hukum yang sudah ada di Rusunawa.
Penambahan hukum ini terjadi secara berangsur-angsur perlahan untuk
meyakinkan publik sebagai suatu proses yang alamiah (Suryomenggolo, 2013).

Mereka (kelompok yang berkepentingan) mungkin juga mengakumulasi elemenelemen dari sistem yang berbeda-beda atau mencampur elemen-elemen tersebut
untuk menciptakan bentuk “hybrid” (Sarat dan Kearns dalam Beckmann, 2002).
Hal ini bahkan terjadi dalam interaksi skala kecil sekalipun (atau bidang
sosial semi-otonom yang kecil), banyak variasi yang berbeda-beda (Beckmann,
2002). Pada tahun 1978 Holleman (dalam Irianto, 2012), mengatakan bahwa di
wilayah urban di negara-negara berkembang, tumbuh bentuk-bentuk hukum baru
yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum
agama, sehingga disebut sebagai hybrid law.
Berdasarkan konsep praksis bahwa aturan tidak pernah bersifat permanen,
masyarakat bisa menjadi agen yang akan mengoreksi aturan-aturan yang
diberlakukan kepada mereka, dan kemudian koreksi aturan tersebutlah yang
mengatur masyarakat (Bourdieu dalam Alam, 2011) dan konsep ini menjelaskan
bahwa struktur struktur dari aturan-aturan dapat dibuat, dipertahankan dan dirubah
oleh masyarakat (Vandenbroek, 2011).

5
Universitas Sumatera Utara

Hukum berkaitan erat dengan kebudayaan, bahkan sangat tidak realistis
untuk mengartikan hukum sebatas hukum undang-undang, karena hukum adalah

dokumen antropologis yang hidup (Irianto, 2012). Tidak berfungsinya hukum
sebagaimana mestinya di dalam praktik merupakan masalah serius, baik bagi
rakyat biasa maupun penguasa (Otto, 2012).
Dengan demikian dalam konteks pembangunan, proses kepastian hukum
(menjamin legislasi dibuat dengan baik dan dijalankan secara konsisten), acap
tidak

berhasil

menjamin

pencapaian

tujuan-tujuan

yang

nyata,

tujuan


pembangunan nyata tersebut sejatinya tidak hanya muncul di atas kertas sekadar
sebagai janji, melainkan seharusnya terwujud dalam kehidupan konkret (Otto,
dkk, 2012).
Kebijakan dan peraturan Rusunawa perlu diawasi oleh pemerintah,
memonitoring dan mengevaluasi bagaimana peraturan pemerintah tersebut sampai
ke penghuni Rusunawa sangat dibutuhkan. Keterpaduan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan selama ini terkesan sekedar hanya
sebagai slogan (Budhiarjo dalam Mauliani, 2002).
Tanpa adanya pengawasan dari pemerintah terkait dengan peraturan
Rusunawa yang dibuat, masyarakat cenderung menghasilkan aturan-aturan sendiri
dari interaksi yang berulang-ulang terhadap sesama penghuni Rusunawa, sehingga
pembangunan Rusunawa sebagai solusi pemenuhan rumah dalam skala besar
sesuai dengan tuntutan perkembangan kota, untuk sementara hanya mampu
menjawab persoalan ekonomi (Bahri, 2005; Mauliani, 2002). Sedangkan, rumah

6
Universitas Sumatera Utara

susun sebagai tempat hunian juga memiliki masalah sosial, ekonomi dan budaya

yang tidak sederhana (Harian Antariksa, 1985).
Menurut Libertus S Pane (dalam Mauliani, 2002), pendekatan terhadap
faktor manusia penghuni rumah susun sering diabaikan oleh pemerintah pada
waktu membangun rumah susun. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui pola
pikir dan perilaku sosial masyarakat yang berperan penting terhadap keberhasilan
pembangunan. Perilaku merupakan cerminan dari peraturan hukum (Nurjaya,
2011)
Pola ulangan perilaku yang dihasilkan oleh sekumpulan masyarakat dalam
suatu wadah dalam menyelesaikan permasalahan diantara mereka menjadi
kebiasaan yang mampu menciptakan aturan baru yang berlaku dalam masyarakat
dan terkadang memiliki kontrol sosial yang lebih kuat dari pada aturan-aturan
(formal) yang dibuat oleh pemerintah sendiri (Hadikusuma, 2006; Moore dalam
Ihromi, 1993; Friedmann, 1994).
Munculnya aturan-aturan dari berbagai pihak di Rusunawa bisa menjadi
pendukung atau penghambat terwujudnya tujuan pembangunan Rusunawa.
Kegagalan fungsi hukum menjadi penghalang utama yang menghambat
keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian tujuan kebijakan pembangunan, dan
hukum juga terbukti mutlak diperlukan untuk memastikan keberhasilan hampir
semua program-program pembangunan terpenting (Otto, 2012).
Hal ini menjadi alasan mengapa penulis memilih untuk meneliti

permasalahan tersebut. Penulis ingin melihat aturan-aturan yang lahir dan
berkembang di Rusunawa. Sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang

7
Universitas Sumatera Utara

manusia, antropologi tentunya dapat digunakan untuk melihat bagaimana hukum
dalam masyarakat

diciptakan, dirobah, dimanipulasi,

diinterpretasi,

dan

diimplementasikan (Beckmann dalam Nurjaya, 2011).

1.2

Tinjauan Pustaka

1.2.1

Hukum dari kaca mata ilmu sosial

1.2.1.1 Antropologi Hukum
Indonesia adalah negara hukum, dimana dalam membicarakan negara
hukum ini bukan untuk (konsep) negara hukum itu sendiri, melainkan untuk
menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya (Rahardjo dalam Arizona,
2010). Prof. Tjip (dalam Arizona, 2010), juga menuliskan bahwa hidup yang baik
adalah dasar hukum yang baik. Secara antropologis bentuk mekanismemekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation)
dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang
secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F.von
Benda-Beckmann; Snyder; Griffiths; Hooker; K. von Benda-Beckmann &
Strijbosch; Moore; Spiertz & Wiber dalam Arizona,dkk, 2010).
Antropologi melihat hukum sebagai suatu aspek dari kebudayaan, yaitu
aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur
perilaku manusia dalam suatu aturan yang sifatnya tidak tertulis, perilaku tersebut
menjadi kebiasaan masyarakat sehingga tetap dijalankan dan dipatuhi.

8
Universitas Sumatera Utara

Antropologi hukum cenderung memperhatikan struktur, proses, dan konsepsi
yang umum dari aturan-aturan itu dalam kenyataannya (Hadikusuma, 2006).
Jadi yang menjadi masalah bukanlah mempelajari bagaimana kehidupan
manusia itu tunduk kepada aturan hukum, tetapi bagaimana dalam kenyataannya
aturan-aturan hukum itu dapat diterima dalam kehidupan mereka (Hadikusuma,
2006). Dan sasaran antropologi hukum adalah untuk memahami bagaimana
manusia berperilaku untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mengatasi
kesulitan dan mencari jalan keluar akan permasalahan yang dihadapinya untuk
menciptakan keseimbangan, memelihara kerukunan, ketertiban, keadilan, dan
kedamaian dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 1984).
Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia terkait
dengan budaya dan hukum. Budaya yang dimaksud merupakan budaya hukum,
yaitu segala perilaku manusia yang mempengaruhi dan berkaitan dengan masalah
hukum (Eva, 2012). Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dan fenomena-fenomena sosial (secara impiris) yang
terjadi dalam masyarakat (Eva, 2012).
Antropologi Hukum adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari
bagaimana hukum sebagai bagian dari kebudayaan, bekerja dalam keseharian
masyarakat (Irianto, 2012). Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen,
bagian-bagian atau cluster (Benda-Beckmann dalam Sulistyowati, 2012), yaitu
konsepsi normatif, konsepsi kognitif dan para aktor. Cluster atau komponen dari
hukum ini bisa saling bersentuhan, berpengaruh, dan berinteraksi membentuk
konfigurasi hukum „baru‟ (Sulisyowati, 2012), pada mulanya aturan-aturan

9
Universitas Sumatera Utara

tersebut terlebur dan terserap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
struktur (Sulistyowati, 2012).
Menurut Syauqi (2012), hukum bukanlah hanya apa yang tertulis sebagai
peraturan perundang-undangan atau hukum negara. Dalam konteks antropologi
hukum, aktivitas budaya adalah hukum yang berfungsi sebagai instrumen yang
menjaga keteraturan sosial, sarana pengendalian sosial, dan alat untuk melakukan
rekayasa sosial. Hukum juga dimaknai sebagai peraturan-peraturan lokal yang
bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law), dan memiliki
mekanisme

pengaturan

tersendiri

yang

juga

berfungsi

sebagai

sarana

pengendalian sosial (legal order) dalam masyarakat (Syauqi, 2012).
Membangun negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum,
artinya sama dengan membangun suatu peradaban baru (Rahardjo dalam Arizona,
2010). Hukum menjadi urusan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat,
hukum diciptakan untuk manusia bukan sebaliknya dan hukum sendiri ada untuk
sesuatu yang lebih luas dan tidak terbatas. Untuk bisa memberikan makna yang
luas, hukum memerlukan suatu pendekatan interdisipliner sehingga harus bergaul
dengan disiplin ilmu lain (Arizona, 2010).
Hukum bukan semata-semata sebagai produk dari hasil abstraksi logika
sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan semata, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku dan proses
sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Llewellyn dan Hoebel;
Hoebel; Black & Mileski; Moore; Cotterrel dalam Nurjaya, 2011).

10
Universitas Sumatera Utara

Hukum adalah produk kebudayaan yang hidup dalam setiap bentuk
komunitas masyarakat (Syauqi, 2012). Ketika berbicara tentang hukum, secara
sadar atau tidak kita akan mengekspresikan harapan tentang apa yang harus
dilakukan, terkait juga dengan bentuk pelanggaran, penyimpangan atau kejahatan
yang terjadi dalam suatu masyarakat (Suryomenggolo, 2003). Bagaimanapun
juga, semua hukum dilihat sebagai (bagian) sistem. Mungkin ada aturan-aturan
(memiliki kriteria hukum) yang tidak diperlakukan sebagai bagian dari sistem, dan
hal ini lah yang disebut “hukum tak bernama” (Beckman, 2002).
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang
integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari
sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek
kebudayaan yang lain (Nurjaya, 2011). Perilaku masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari yang berlangsung secara normal ternyata dapat menjelaskan prinsipprinsip hukum yang terkandung di balik perilaku warga masyarakat tersebut
(Nurjaya, 2011). Hukum mencelupkan dirinya ke dalam segala hal tanpa memiliki
bidang kekusaannya sendiri (Latour, 2012).
1.2.1.2 Kemajemukan Hukum
Menurut Griffith (dalam Nurjaya, 2011), secara umum kemajemukan atau
pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih
sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial
yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem
pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial. Atau menerangkan suatu
situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan

11
Universitas Sumatera Utara

sosial (Hooker dalam Nurjaya, 2011), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu
sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas
dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (Beckmann dalam
Nurjaya, 2011).
Pendekatan yang paling dominan dalam antropologi hukum adalah tentang
pendekatan pluralisme hukum yang lahir dari isu-isu adanya keberagaman hukum
dalam masyarakat (Irianto, 2012). Griffths mengadopsi pengertian pluralisme
hukum Moree (dalam Irianto, 2011) yaitu, Pluralisme hukum berkenaaan dengan
kehadiran heterogenitas normatif atas fakta bahwa aksi sosial selalu mengambil
tempat dalam banyak konteks, saling melengkapi bidang sosial semi-otonom.
Menurut Sally Falk Moore (dalam Irianto, 2011), “Law is the selfregulation of a „semi-autonomous social field”, artinya hukum adalah pengaturan
sendiri (self-regulation) dari bidang sosial semi-otonom. Bidang sosial semiotonom merupakan label dari pembentukan aturan yang disertai kekuatan
pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial (Moree dalam Irianto, 2011).
Dalam

perkembangannya,

konsep

pluralisme

hukum

tidak

lagi

mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi
dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi
yang lain. Namun, lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai
sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum
dalam masyarakat (Nurjaya, 2011).
Bahkan, dewasa ini pluralisme hukum terus berubah dan dipertajam
melalui berbagai perdebatan ilmiah dari para ahli dan pemerhati dalam ranah

12
Universitas Sumatera Utara

hukum dan kemasyarakatan (socio-legal studies), sehingga pengertian pluralisme
hukum pada masa awal sangat berbeda dengan masa sekarang (Irianto, 2012). Hal
tersebut sangat berkaitan dengan perspektif baru dalam metodologi antropologi,
khususnya etnografi, dalam mempelajari globalisasi hukum, di mana pendekatan
pluralisme hukum mendapatkan perspektif yang „baru‟pendekatan pluralisme
hukum mendapatkan perspektif yang „baru‟, lebih tajam dan berarti dalam
menganalisis fenomena hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia
(Irianto,

2012).

Para

peneliti

yang

mempelajari

pluralisme

hukum

mengembangkan metode etnografi hukum modern seiring dengan isu-isu global
yang membuat pendekatan pluralisme hukum semakin tajam memandang
fenomena keberagaman hukum (Irianto, 2012).
1.2.1.3 Studi Sosio-legal
Pendekatan studi sosio‐legal merupakan percampuran antara peran
pendekatan studi hukum dan teori‐teori sosial (Arizona, dkk, 2010). Menurut
Tamaha (dalam Arizona, dkk, 2010), bahwa label studi sosio‐legal secara
berangsur‐angsur menjadi istilah umum yang menegaskan suatu kelompok
disiplin yang mengaplikasikan suatu perspektif keilmuan sosial untuk studi
hukum, termasuk di dalamnya sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah
hukum, psikologi, ilmu politik, dan ilmu perbandingan hukum. Sosio-legal
merupakan “hibrida” dari ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari
perspektif kemasyarakatan dan secara praktikal, studi ini menjelaskan bagaimana
hukum bekerja dalam kehidupan masyarakat (Irianto, 2012).

13
Universitas Sumatera Utara

Secara umum, studi sosio-legal dikategorikan kedalam tiga kelompok
berbeda, salah satunya adalah studi-studi kritikal (critical studies) yang
dilandaskan pada riset lapangan, dengan pendekatan sosio-legal sebagaimana
umum dilakukan pada tataran lokal oleh peneliti antropologi hukum, dan acap
dilakukan di negara-negara berkembang (Moore, Griffiths, dan Beckmann dalam
Otto, Stoter dan Arnscheidt, 2012). Dalam penelitian (dan juga dalam tipe studi
lainnya) titik tolaknya kerap adalah teori-teori tentang pluralisme hukum dan
dampak sosial (social effects theory) (Otto, Stoter dan Arnscheidt, 2012).
1.2.2

Pengertian Pembangunan
Pembangunan dalam kehidupan sehari-hari, dapat digunakan sebagai

terjemahan atau padanan istilah: development, growth, change, modernization,
bahkan juga progress (Theresia dkk, 2014). Pembangunan menjadi sangat sulit
untuk didefenisikan karena mencakup banyak makna baik fisik maupun non-fisik,
proses maupun tujuannya, serta duniawi maupun rohaniah, namun kesemuanya
merujuk kepada suatu usaha atau proses perubahan ke arah yang positif demi
tercapainya kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat (dan individu-individu
didalamnya) (Riyadi dalam Feri, 2013).
Seers (dalam Marzali, 2005), mendefenisikan pembangunan sebagai suatu
istilah teknis, yang berarti membangkitkan masyarakat di negara-negara
berkembang dari kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang rendah,
pengangguran, dan ketidakadilan sosial. Pembangunan merupakan suatu usaha
atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan

14
Universitas Sumatera Utara

secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam
rangka pembinaan bangsa (Siagian dalam Riyadi dalam Rijal, 2015).
Kebijakan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang telah
berubah secara drastis sejak tahun 1980-an. Hampir semua negara berkembang
menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi mereka kearah liberalisasi yang lebih
besar dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui
serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar (Sugiono, 1999).
Menggeliat dari kolonialisme, negara-negara baru merdeka (termasuk
Indonesia) dianggap tidak punya kapasitas otonom untuk membangun. Mereka
semuanya tergantung pada bantuan teknologi dari negara-negara industri.
Defenisi,

tujuan

dan

pemilahan

instrument-instrumen

kebijakan

untuk

menanggulangi problem-problem keterbelakangan negara-negara baru merdeka
sepenuhnya asing bagi negara-negara tersebut. Gagasan pembangunan itu
memang dirumuskan pihak luar dan diberlakukan di negara-negara tersebut tanpa
mengindahkan sejarah keterbelakangan mereka (Mehmet dalam Sugiono, 1999).
Dari sudut ilmu sosial, “pembangunan” sering kali diartikan sangat umum,
yaitu “ perubahan sosiokultural7 yang direncanakan” (Arensbeg & Niehoff dalam
Marzali, 2005). Pembangunan adalah suatu usaha atau proses perubahan, demi
tercapainya tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat (Riyadi dalam
Rijal, 2015). Pembangunan merupakan suatu proses tiada henti yang dilaksanakan
dengan sadar dan terencana, untuk menghasilkan individu-individu yang
7

Sosiokultural terbentuk dari dua kata, sosial dan kultural. Sosial berasal dari kata Latin Socius yang berarti
kawan atau masyarakat, sedangkan kultural berasal dari Colere yang berarti mengolah. Colere berasal dari
bahasa Inggris yaitu Culture yang diartikan sebagai segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah
dan mengolah alam (Soerjono Soekanto, 1990).

15
Universitas Sumatera Utara

senantiasa peka terhadap masalah-masalah (yang sedang dan akan dialami), dan
alternatif-alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut, dalam meningkatkaan
mutu setiap individu dan masyarakatnya (Theresia & dkk, 2014).
Theresia (2014) melihat dan mendefenisikan pembangunan sebagai suatu
proses yang membawa perubahan yang bukan hanya mencakup akselerasi
pertumbuhan ekonomi, perbaikan distribusi pendapatan, dan pemberantasan
kemiskinan absolut tetapi juga menyangkut berbagai aspek lainnya dalam
kehidupan manusia seperti dalam hal struktur sosial, sikap mental, dan lembagalembaga sosial termasuk.
1.2.3

Urgensi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal
Seiring dengan perkembangan zaman, telah banyak perubahan-perubahan

yang terjadi baik disebabkan oleh perubahan-perubahan kondisi lingkungan fisik,
maupun yang disebabkan oleh perilaku manusia. Perubahan-perubahan tersebut
membuat kebutuhan manusia berupa pangan/makanan, sandang/pakaian dan
papan atau pemukiman juga semakin berubah (Theresia dkk, 2014).
Selain sandang dan pangan, persoalan akan tempat tinggal sudah mulai
muncul dari masa ketika manusia mulai menghentikan pengembaraannya dalam
berburu, sudah mampu mengorganisasikan dirinya, mulai sedikit menguasai alam
sekitarnya dengan bercocok tanam dan mengembangbiakkan hewan ternak (Bahri,
2005). Eugene Raskin dalam bukunya Architecture and People, mengatakan
bahwa selain kebutuhan pokok sandang dan pangan, manusia juga membutuhkan
wadah atau ruang dalam melakukan aktifitas-aktifitasnya dan rumah merupakan

16
Universitas Sumatera Utara

salah satu wujud dari ruang yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan
eksistensinya.
Rumah merupakan suatu bangunan yang menjadi tempat tinggal manusia
dalam menjalankan kegiatan dan sebagai tempat untuk melangsungkan kehidupan
(Harian Antariksa, 1985). Rumah adalah bangunan tempat berlindung manusia
dan sebagai sarana binaan keluarga (Randy, 2013). Menurut Turner (dalam
Randy, 2013), rumah mengandung arti sebagai komoditi dan sebagai proses.
Sebagai komoditi artinya rumah bisa menjadi produk yang diperjual belikan,
sebagai proses artinya rumah menggambarkan aktifitas-aktifitas penghuni rumah
tersebut dalam menjalani proses kehidupan. Menurut Eko budiharjo (dalam
Mauliani, 2002), rumah merupakan sumber kehidupan karena rumah memiliki
pengaruh yang penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.
Rumah bukan hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi, namun sebagai
perumahan sebagai benda sosial (social goods) atau sebagai instrumen
pembangunan manusia (human development instrument).
Fungsi rumah sebagai tempat bernaung lebih dari sekedar simbol status
sosial, perkembangan pengertian konsep budaya bermukim terus menerus
berkembang sejalan dengan peradaban manusia (Bahri, 2005). Menurut NorbegSchutz dalam bukunya Intention in Architecture menerangkan fungsi rumah
sebagai suatu bangunan dapat dilihat dari 4 parameter. Pertama, kontrol fisik yang
bertujuan dalam menciptakan perlindungan dan kenyamanan bagi penghuni.
Kedua, sebagai kerangka aktifitas yang bertujuan menampung aktifitas-aktifitas
yang dilakukan penghuni. Ketiga, sebagai social mileu yang bertujuan

17
Universitas Sumatera Utara

mengutarakan sistem status sosial. Dan yang keempat adalah simbolisasi kultural
yang bertujuan sebagai suatu objek kultural yang berkaitan erat dengan ideologi,
nilai agama, nilai moral, dan nilai ekonomi masyarakat.
Semakin banyaknya jumlah populasi di kota maka kebutuhan akan
pengadaan tempat tinggal muncul. Permasalahan akan perumahan atau
pemukiman yang dihadapi kota-kota di Indonesia menjadi begitu kompleks (ITS,
2014). Pembangunan rumah susun merupakan suatu alternatif pemecahan masalah
kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah kota yang padat
penduduknya (Rhompas, 2004). Seperti yang telah disampaikan oleh Bapak
Amwazi Idrus, Direktur Pengembangan Permukiman, Kementerian PU (2012),
hunian vertikal atau rumah susun merupakan salah satu solusi untuk penanganan
perumahan dan permukiman kumuh sekaligus mencegah tumbuhnya enclaves
kumuh baru sebagai konsekuensi dari pesatnya pembangunan kawasan perkotaan
yang menuai dampak seperti meningkatnya kepadatan penduduk, tingginya
kepadatan bangunan, rendahnya kualitas infrastruktur serta makin langkanya
lahan yang diperuntukkan bagi permukiman.

1.2.4

Pembangunan Rusunawa
Menurut Samsul Bahri (2005), rumah susun merupakan aletrnatif dalam

pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan sebagai produk dari modernisasi.
Pengertian atau istilah rumah susun, kondominium merupakan istilah yang
dikenal dalam sistem hukum negara Italia. Kondominium terdiri atas dua suku

18
Universitas Sumatera Utara

kata con yang berarti bersama-sama dan dominum berarti pemilikan (Sukanti,
1994). Di negara Inggris dan Amerika menggunakan istilah Joint Property
sedangkan negara Singapura dan Australia mempergunakan istilah Strata Title.
Banyaknya istilah yang digunakan kalangan masyarakat di Indonesia
seperti apartemen, flat, kondominium, rumah susun (rusun) pada dasarnya
mengandung arti yang sama yakni bangunan perumahan vertikal. Namun di
Indonesia sendiri, rumah susun atau lebih sering disebut dengan rumah susun
sederhana sewa merupakan perumahan vertikal yang dibangun untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal masyarakat berpenghasilan rendah atau menengah
kebawah (Kementrian PU, 2012).
Didalam penjelasan umum UURS (undang-undang rumah susun) No.20
Tahun 2011, ditegaskan bahwa pembangunan rumah susun ditujukan terutama
untuk hunian masyarakat khususnya bagi golongan menengah ke bawah yang
berpenghasilan rendah. Namun, walaupun demikian pembangunan rumah susun
harus mampu mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional. Rumah
susun harus memenuhi syarat-syarat minimum seperti rumah biasa yakni dapat
menjadi tempat berlindung, memberi rasa aman, menjadi wadah sosialisasi, dan
memberikan suasana harmonis (Rijal, 2015).
Selain untuk pemenuhan akan kebutuhan pengadaan tempat tinggal,
pembangunan rumah susun juga bertujuan untuk menciptakan perumahan yang
layak dalam lingkungan yang sehat, mewujudkan pemukiman yang selaras, serasi
dan seimbang, meremajakan daerah-daerah kumuh, mengoptimalkan sumber daya

19
Universitas Sumatera Utara

tanah perkotaan dan mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk
(UURS, 2011).
Asas dan tujuan pembangunan perumahan dan pemukiman seperti
tercantum dalam pasal 3 dan pasal 4, UU RI No.4

Tahun 1992 tentang

perumahan dan pemukiman adalah sebagai berikut: pembangunan perumahan dan
permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil, merata, kebersamaan dan
kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan kelestarian
lingkungan hidup (Sugandhy dalam Bahri, 2005). Menurut UURS No. 20 pasal 2
tahun 2011, penyelenggaraan rumah susun berasaskan pada: (a) kesejahteraan; (b)
keadilan dan pemerataan; (c) kenasionalan; (d) keterjangkauan dan kemudahan;
(e) keefisienan dan kemanfaatan; (f) kemandirian dan kebersamaan; (g)
kemitraan; (h) keserasian dan keseimbangan; (i) keterpaduan; (j) kesehatan; (k)
kelestarian dan berkelanjutan; (l) keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan; dan
(m) keamanan, ketertiban, dan keteraturan.
Sedangkan tujuan pembangunan Rusunawa diatur dalam UURS No. 20
pasal 3, yaitu bertujuan untuk:
1. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau
dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta
menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan
ekonomi, sosial, dan budaya;
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah,
serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam
menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan

20
Universitas Sumatera Utara

seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan;
3. Mengurangi luasan dan
4. Mencegah timbulnya perumahandan permukiman kumuh;
5. Mengarahkan

pengembangan

kawasan

perkotaan

yang

serasi,

seimbang, efisien, dan produktif;
6. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan
penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan
pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak,
terutama bagi MBR;
7. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan
rumah susun;
8. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan
terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman,
harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan
dan permukiman yang terpadu; dan
9. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian,
pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.

1.2.5

Korelasi antara Hukum dan Pembangunan

21
Universitas Sumatera Utara

Permasalahan pada Rusunawa bukan hanya menyangkut perpindahan
golongan yang tidak mampu dan bukan pula perubahan tempat tinggal horisontal
ke pola vertikal saja, tetapi menyangkut perubahan cara hidup, kebiasaan dan
menyangkut kemampuan ekonomi (Mauliani, 2002). Setiap masyarakat memiliki
suatu sistem kontrol sosial yang merupakan suatu kompleks pola perilaku dalam
suatu pranata sosial (Hadikusuma, 2006).
Dalam setiap masyarakat juga terdapat berbagai kerangka hukum, sesuai
dengan taraf kemajemukan masyarakatnya. Semua masyarakat memiliki aturanaturan yang mengatur perilaku manusia, aturan-aturan tertentu bersifat sebagai
patokan referensi, namun yang lain dianggap sebagai patokan perilaku yang
pantas dilakukan (Soekanto, 1984).
Tinggal di rumah susun tidak sama dengan tinggal di rumah biasa (rumah
individu) karena adanya perbedaan baik dari segi perilaku maupun suasana
lingkungannya, kemudian akan adanya perubahan-perubahan gaya hidup,
kebiasaan, dan adat istiadat sangat terasa jika seseorang berpindah dari rumah
biasa ke rumah susun (Maslow & Benjamin Handier). Perubahan-perubahan gaya
hidup, kebiasaan, dan adat istiadat tersebut dapat memunculkan aturan-aturan
baru, yang terbentuk dari pembaharuan perilaku masyarakat yang berulang
Perilaku dalam masyarakat bisa dilihat dengan melakukan pendekatan
faktor manusianya. Faktor manusia ini menjadi hal yang sangat penting karena
sebagai makhluk hidup yang mempunya pikiran dan perasaan, manusia tidak
terlepas dari berbagai permasalahan seperti masalah sosial, ekonomi dan budaya,
serta faktor psikologisnya (Mauliani, 2002).

22
Universitas Sumatera Utara

Membangun rumah susun bukan sekedar membangun fisik bangunannya
saja, tetapi juga berarti harus dapat membangun masyarakat penghuninya menjadi
masyarakat yang sejahtera sosial, budaya dan ekonominya (Mauliani, 2002).
Dalam hal ini hukum berperan penting untuk membangun masyarakat penghuni
Rusunawa.
Bidang sosial semi-otonom sendiri tidak bisa terlepas dari hukum, kedua
hal ini saling terkait satu dengan yang lain (Ihromi, 1993; Emmed, 1989). Hukum
memiliki arti yang sangat luas sehingga mencakup semua proses pengendalian
sosial terkait kebijakan, aturan, perilaku, wewenang, kekuasaan, dan keputusan.
(Soekanto, 1984). Budaya hukum merupakan budaya yang menyeluruh dari suatu
masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan sikap dan perilaku yang tidak terlepas
dari keadaan, sistem dan susunan masyarakat.
Masalah

pembangunan

kerap

kali

muncul,

dikarenakan

model

pembangunan yang berlaku tidak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. Padahal, orang yang paling tahu
akan kebutuhan dan masalah yang dihadapi mereka adalah warga masyarakat itu
sendiri (Widyo, 2004).
Pemerintah hanya membangun infrastruktur tanpa membangun dan
melibatkan penghuni Rusunawa. Pembuatan hukum yang berisi keputusankeputusan,
keberhasilan

aturan-aturan
pembangunan

maupun

kebijakan-kebijakan

Rusunawa

tidak

melibatkan

guna

mencapai

penghuni

yang

seharusnya menjadi subjek sekaligus penerima hasil pembangunan. Dari sisi
manusia sebagai pengguna bangunan, dan dalam penyediaan perumahan bagi

23
Universitas Sumatera Utara

masyarakat golongan menengah bawah ini, masyarakat cenderung dijadikan
sebagai objek bukan subjek pembangunan (Soedarsono, 2009; Mauliani, 2002).
Penghuni yang merupakan bagian dari masyarakat seharusnya ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan, dari proses perencanaan sampai pada
tahap pelaksanaan (Theresia dkk, 2014). Masyarakat yang memperoleh peran aktif
dalam proses pengambilan keputusan akan cenderung memiliki kesediaan yang
lebih besar dalam menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan akan
hukum yang dibuat pemerintah (Hadjasoementari dalam Wahid, 2014).
Penghuni Rusunawa seharusnya ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan, dari proses perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan (Theresia
dkk, 2014). Masyarakat yang memperoleh peran aktif dalam proses pengambilan
keputusan akan cenderung memiliki kesediaan yang lebih besar dalam menerima
dan menyesuaikan diri dengan keputusan akan hukum yang dibuat pemerintah
(Hadjasoementari dalam Wahid, 2014).
Pada dasarnya masyarakat dapat dilibatkan secara aktif sejak tahap awal
menyangkut pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan
(Soedarsono, 2009; Widyo, 2004). Menurut Hadjasoementari (dalam Wahid,
2014), apabila ada tindakan-tindakan yang diambil untuk kepentingan masyarakat,
dan apabila masyarakat diharapkan menerima dan patuh terhadap tindakan
tersebut, maka masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengembangkan dan
mengutarakan pendapatnya.
Dengan kata lain, tindakan-tindakan ini merupakan keputusan hukum yang
berlaku dan dalam pelaksanaannya diperlukan peran serta masyarakat. Gundling

24
Universitas Sumatera Utara

(Wahid, 2014) mengemukakan ada 4 dasar bagi peran serta masyarakat, yaitu: (1)
member informasi, (2) meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerima
keputusan, (3) Membantu perlindungan hukum; dan (4) mendemoktratisasikan
pengambilan keputusan.
Menurut Soekanto (dalam Rijal, 2015), pembangunan merupakan proses
perubahan yang direncanakan atau dikehendaki oleh manusia, dimana perubahan
tersebut dilakukan oleh masyarakat itu sendiri didasari oleh kebutuhan masyarakat
dalam berbagai aspek kehidupan. Peran serta masyarakat sangat diperlukan,
rencana tindakan pemerintah dapat menimbulkan masalah termasuk dalam proses
pembuatan atau pengambilan keputusan sehingga dengan adanya peran serta ini
dapat meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh
pemerintah ataupun lembaga-lembaga yang bersangkutan (Hadjasoementari
dalam Wahid, 2014).
Pembagian kewenangan dan tanggung jawab pemerintah dalam bidang
pemukiman adalah penetapan pedoman perencenaan dan pengembangan
perumahan dan pemukiman dan penetapan

pedoman pengawasan dan

pengendalian pembangunan perumahan dan pemukiman (Sasongko dalam Bahri,
2005). Keputusan terkait pembuatan perencanaan dan kebijakan sangat
memerlukan kerja sama antar pemerintah dan masyarakat (Evans dan Munir
dalam bahri, 2005).
Menurut Eko Budiharjo (2005), pemerintah atau penguasa cenderung
menggunakan kewenangan dan kekuasaannya yang didasari aturan hukum atau
perundang-undangan yang formal. Indonesia sudah sangat terkenal bukan karena

25
Universitas Sumatera Utara

rule of law melainkan law of the ruler. Perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan kota yang “down to the last detail” tidak hanya tidak mungkun,
akan tetapi juga tidak diinginkan dikarenakan kemunculan hal yang tiba-tiba.
Kejadian, perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang bisa
berkembang dalam suatu wadah.

1.3

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijelaskan diatas, maka rumusan

masalah yang diangkat adalah mengenai terbentuknya hukum di Rusunawa,
bagaimana hukum di Rusunawa berjalan, diciptakan, dirubah, dimanipulasi,
diinterpretasi, dan diimplementasikan dalam kehidupan penghuni Rusunawa, dan
apakah hukum yang berlaku tersebut dapat mencapai tujuan pembangunan
Rusunawa sendiri.

1.4

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui aturan-aturan

apa saja yang berlaku di kalangan penguhuni Rusunawa, bagaimana aturan-aturan
tersebut diciptakan dan dijalankan di lapangan sesuai kepentingan, dan apakah
aturan-aturan yang tercipta tersebut mendukung pencapaian pembangunan
Rusunawa atau malah sebaliknya. Dan penelitian ini bermanfaat sebagai bahan
masukan bagi pemerintah terhadap kemungkinan terjadinya benturan antara state
law dengan hukum-hukum lain dalam masyarakat dalam proses pembangunan
Rusunawa Kota Tanjungbalai.

26
Universitas Sumatera Utara

1.5

Metode Penelitian
Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan

data. Jadi

metode penelitian adalah

cara-cara

yang digunakan

untuk

mengumpulkan data, sedang “metodologi penelitian” adalah ilmu tentang caracara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-jenis data. Dalam penelitian
kali ini metode yang digunakan adalah metode etnografi.
Etnografi digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan
dengan perkembangan pengaturan sosial dan budaya tertentu (Spradley, 2006).
Seperti yang diungkapkan Marzali (2005) etnografi merupakan metode lapangan
asli dari antropologi. Metode penelitian etnografi mampu menggali informasi
secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas.
Lokasi yang menjadi tempat penelitian dalam tulisan ini adalah Kota
Tanjungbalai. Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data
primer dan data sekunder. Tempat ini dipilih karena pada saat ini, Kota
Tanjungbalai merupakan kota di Provinsi Sumatera Utara yang paling banyak
membangun Rusunawa sebanyak 5 Rusunawa.

1.5.1

Teknik Penelitian

1.5.1.1 Teknik Observasi Partisipatif
Teknik yang digunakan adalah teknik “observasi partisipatif”. Dengan
teknik observasi partisipatif, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang
unik karena mengharuskan partisipasi meneliti secara langsung dalam sebuah
masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Selain observasi partisipatif, etnografi

27
Universitas Sumatera Utara

juga mengandalkan wawancara mendalam, pembangunan rapport dan penulisan
fieldnote selama penelitian. Membangun rapport merupakan suatu cara dalam
mendekatkan diri kepada masyarakat yang diteliti sehingga dapat diterima dan
menyesuaikan diri, dan fieldnote merupakan catatan selama penelitian dilapangan
yang juga menjadi pendukung informasi.
Untuk mengungkap tujuan penulisan diperlukan beberapa teknik
pengumpulan data agar data yang didapat sesuai dengan tujuan penelitian yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dimana metode observasi merupakan suatu
pencatatan hasil penelitian yang bukan hanya mencatat tetapi juga mengadakan
pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat
(Spradley, 2006). Dimana dengan melaksanakan observasi partisipatif aktif berarti
peneliti ikut terjun dan tinggal di Rusunawa Kota Tanjungbalai untuk melakukan
kegiatan yang dilakukan masyarakat setempat guna untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan sesuai tema yang menjadi objek penelitian.
Teknik pengumpulan data yang digunakan pertama kali adalah pra
observasi. Teknik pra observasi adalah kegiatan yang pertama sekali dilakukan
dari semua peneliti. Dalam tahap pra penulisan, penulis juga melaksanakan
metode dokumentasi yang dilakukan dengan cara mencari data tentang hal-hal
atau variable.
1.5.1.2 Teknik Wawancara Mendalam
Teknik selanjutnya adalah teknik wawancara mendalam. Teknik
wawancara adalah teknik yang dilakukan dengan percakapan dengan maksud
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan penulis. Percakapan itu dilakukan

28
Universitas Sumatera Utara

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan
dan yang diwawancarai (informan) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2000).
Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan mengumpulkan keterangan
tentang berbagai informasi kehidupan masyarakat serta berbagai hal yang
menyangkut terhadap data yang diketahui oleh segelintir orang yang dalam
penelitian disebut informan. Wawancara merupakan suatu proses penting yang
dibutuhkan dalam metode observasi.
1.5.2

Analisis Data
Analisis Data dilakukan setelah pengumpulan data dari lapangan. Analisis

data merupakan suatu proses pengaturan data yang diorganisasikan dalam suatu
bentuk atau kategori (Moleong dalam Anita dkk, 2014). Ada dua sumber data
yang dilakukan penulis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang penulis dapat langsung dari lapangan yang menjadi data penelitian.
Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder. Dimana data sekunder adalah
data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki fungsi sebagai salah satu aspek
pendukung bagi keabsahan penulisan. Data ini berupa sumber-sumber atau
referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penulisan.
Pengumpulan data sekunder dalam penulisan ini dilakukan dengan cara
yang pertama adalah penulisan kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu
dengan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan
dan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi,
dokumen, majalah, dan jurnal.

29
Universitas Sumatera Utara

Selain itu, penulis menganalisis data dengan menggunakan studi sosiolegal, yakni dengan menggunakan teori-teori sosial khususnya disiplin ilmu
antropologi mengenai hukum. Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak
diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan
dianggap penting untuk dikaji kemunculan, artikulasi, dan tujuannya (Banakar &
Travers dalam Irianto, 2012)

1.6

Pengalaman Lapangan
Penelitian ini saya lakukan sendiri di Rusunawa Kota Tanjungbalai.

Sebelum melakukan penelitian saya sudah berkali-kali berkunjung dan menginap
di Rusunawa Kota Tanjungbalai ini. Kebetulan penulis memiliki sepupu yang
tinggal di Rusunawa 1 yang membuat penulis selalu berkunjung setiap tahun.
Sejak semester 5 saya sudah tertarik untuk menjadikan Rusunawa sebagai
objk penelitian saya. Sebelum saya resmi melakukan penelitian saya sudah cukup
banyak tahu mengenai budaya (perilaku dan kebiasaan) dan kehidupan sehari-hari
penghuni Rusunawa, disamping sering berkunjung penulis juga tumbuh besar di
Kota Tanjungbalai.
Selama penelitian saya menginap di Rumah Kak Mentari dan Bang
Samsul yang merupakan sepupu saya. Mereka berdua adalah sepasang suami istri
yang sudah lama menghuni Rusunawa yaitu selama 5 tahun. Kak Mentari banyak
mengetahui hal-hal terkait Rusunawa, sehingga setiap hari saya selalu berbincangbincang dengan beliau. Biasanya kami selalu berbincang-bincang di balkon pada
malam hari ketika mereka sudah pulang kerja.

30
Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan penghuni Rusunawa adalah Ibu Rumah tangga, sehingga
hampir sepanjang waktu saya habiskan untuk mengamati kehidupan penghuni
Rusunawa , ikut nimbrung dengan penghuni Rusunawa, ngobrol dengan mereka,
dan bertandang8 ke rumah mereka . Selama penelitian tidak ada sama sekali
rintangan atau masalah serius yang saya hadapi, hanya saja suasana Rusunawa ini
begitu berisik, sehingga membuat saya harus mampu beradaptasi dengan
kebisingan yang ada. Selain itu, karena rumah susun tempat sepupu saya tersebut
tidak memiliki kamar, membuat saya harus tidur tepat di samping kamar mandi
mereka.
Saya juga tidak mendapatkan masalah dalam mengambil data dengan
penghuni Rusunawa. Begitu pula dengan pengelola Rusunawa, pada saat pertama
sekali mengunjungi kantor pengelola saya sempat bingung karena ada 4 kantor
pengelola Rusunawa. Pada saat itu saya memutuskan untuk mendatangi kantor
pengelola Rusunawa 1, dan kemudian saat itu juga saya mengetahui bahwa
Rusunawa memiliki kantor pusat di Rusunawa 4. Disanalah saya bertemu dengan
Buk Lelawati sebagai sekretaris Rusunawa, Bang Rahmat, dan Kak Rosiana.

8

Mengunjungi rumah, dan mengikuti dengan kegiatan penghuni

31
Universitas Sumatera Utara