Sebuah Perjalanan Diri dan Puisi dalam P

Sebuah Perjalanan: Diri dan Puisi dalam Penangkar Bekisar Karya Kiki
Sulistyo1
Oleh Dharma Satrya HD2
Pengantar
Dalam buku puisi itu, penyair memberikan ruang untuk didefiniskan dan
memberikan sebuah titik yang dengan titik itu kita bisa menarik garis dan
bahkan membuat sebuah bidang atau bangunan. Bagi Kiki, puisi menampakkan
rahasia, tetapi sebenarnya tidak. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa puisi
menjadi berharga karena ada hikmah yang dipetik. Apa hikmahnya? Penyair
melihat dirinya yang tidak penuh, melihat dirinya telah dan tengah berjalan,
sehingga ia tidak bisa menghindari pertemuan dan persentuhan yang kemudian
puisi menurutnya seperti itu. Dan melalui semua itu, Kiki mencoba mencari
makna. Satu diantara banyak makna adalah ingin menemukan dan memenuhi
dirinya yang bagi dia sendiri tidak pernah penuh. Semua dalam perjalanan dan
seperti yang dia percayai. Ada hal yang dia tidak percayai, yaitu masa depan.
Dia hanya percaya pada perjalanan. Oleh karena itu, ia selalu mengembara,
sehingga masa depannya sudah tentu menjadi seorang pengembara, sehingga ia
akan merumuskan perjalanannya, kalaupun ia tidak biasa merumuskan kemana
arah tujuan.
Ada masalah yang nampaknya cukup serius dari penulis, yaitu tentang
diri, sejarah, kenangan, perjalanan, dan puisi. Bagaimana


aspek tersebut

berhubungan dengan diri Kiki sebagai penulis puisi? Bagaimanan hubungan
masa lalu, kenangan, atau sejarah hidup Kiki dengan puisinya? Bagaimana diri
Kiki dan perjalanannya mendefinisikan seperti apa dirinya? Puisi-puisinya
menjadi titik awal dan titik lanjut untuk melihat Kiki dan dirinya.
Persoalan di atas mengantarkan kita pada konsep yang ditawarkan Lacan
mengenai diri dan bahasa. Lacan yakin subjek manusia tidak mungkin ada tanpa
bahasa, tetapi subjek tidak bisa direduksi menjadi bahasa (Sarup, 2011: 9).
Makalah disampaiakan pada acara Bulan Budaya 2015 di Musium Negeri Nusa
Tenggara Barat 26 September 2015
2
Pengajar Universitas Hamzanwadi Lombok
1

1

Artinya, subjek tidak pernah sama dengan bahasa. Konsep yang demikian
membawa kita pada konsep Lacan tentang yang riil, yang simbolik, dan yang

imajiner. Yang riil dipahami sebagai segala yang ada sebelum bahasa, yang
simbolik adalah semua area yang sudah dibahasakan, dan yang imajiner sebagai
ranah tempat mengendap segala hal yang gagal diterjemahkan (Akmal, 2013: 80).
Konsep demikian bisa dilihat pada kasus puisi bahwa diri penyair tidak
mungkin ada tanpa puisi. Ada hubungan representasi antara diri dan puisi
bahwa puisi merepresentasikan diri penulisnya. Lacan menekankan poin bahwa
tidak ada subjek kecuali dalam representasi, dan bahwa tidak ada representasi
yang dapat merangkum diri kita secara utuh (Sarup, 2011: 13). Masalahnya,
apakah representasi tersebut terjadi secara langsung? Ada yang secara langsung
dan ada yang secara tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat pada sudut
pandang yang digunakan, apakah orang pertama atau mahatahu. Hal ini
berdampak pada kemampuan penulis menggambarkan sebuah dunia yang
dilihat atau dialaminya dalam perjalanan. Isu perjalanan ini mengantarkan pada
konsep Carl Thomson tentang travel writing. Isu itu paling mutakhir dalam dunia
kritik sastra saat ini. Thomson (2011: 9) menjelaskan bahwa travel writing adalah
negosiasi antara diri dan yang lain yang dibawa dari perpindahan dalam ruang.
Sebelum negosiasi terjadi, dalam sebuah perjalanan muncul penggambaran
sebuah dunia. Prinsip utama dalam travel writing adalah untuk melaporkan,
membahwa berita tentang dunia yang luas dan menyebarkan informasi tentang
orang dan tempat yang tidak familiar (Thomson, 2011: 62). Kiki dalam puisinya

mencoba

melakukan

penggambaran

sebuah

dunia

dan

kemudian

melakukannya. Puisinya menjadi travel text yang di dalamnya travel experience
dimasukkan.
Ada beberapa puisi yang merepresentasikan dirinya, seperti seorang buta
di depan cermin, borjuis, si batang patah, menjadi pohon, penangkar bekisar, dan suluh
zaratshtra. Ada puisi yang merepresentasikan perjalannya, seperti dingin terakhir,
pil tidur, pelatuk, sirkus, bulan mangkuk abu, setiap kali lonceng berkeleneng, boneka

jerami, kain kabung, penembakan di pelabuhan, agoni lebaran I, pasar pagi, pohon
keluarga, nirmala, tunjang tua, mata hijau anjing danau, senandung jagung, bilah
bamboo pecah seribu, getah kayu merah, kemedi rudat, gurandil, cidalu di kaki tambora.

2

Puisi-puisi berikutnya, setelah penangkar bekisar, adalah puisi-puisi
tentang pertemuan dan perpisahan. Sebagai bentuk perjalanannya, ia bertemu
dan melakukan negosiasi antara diri dan yang lain. Dalam penggambarannya
tentang pertemuan dan tentang dunia, terlihat pengamatan yang objektif dan
subjektif pada diri Kiki. Sebelum membahas pengamatan Kiki terlebih dahulu
melihat representasi diri Kiki dalam puisinya.
Representasi Diri Kiki dalam Penangkar Bekisar
Kiki percaya pada perjalanan maka sehimpun puisi ini adalah sebuah
perjalanan Kiki Sulistyo dalam menemukan dirinya dan memaknai dirinya.
Dirinya yang hadir di dunia sebagai seorang buta di depan cermin. Tidak mungkin
orang buta melihat dirinya di depan cermin. Artinya, ia tidak bisa melihat seperti
apa dirinya. Jangankan orang buta, orang yang tidak buta saja tidak dapat
melihat lebih dekat siapa dirinya. Dia hanya mendengar kepak burung-burung
bangkai. Kondisi buta membuat dia tidak tahu seperti apa cerminnya, seperti apa

bentuk cerminnya, seperti apa bayangannya, sehingga dia menyangsikan rupa
manusianya. Kalau ia sendiri sangsi bagaimana orang lain, barangkali lebih
menyangsikan rupanya. Oleh karena itu, dia tertimbun dengan debu dan abu,
sehingga terlihat tak berarti seperti debu dan abu yang menunggu waktu entah
dibersihkan, dibuang atau dipelihara. Begitulah diri penyair, aku berdiri di sini
hanya untuk mempersiapkan obituari. Puisi itu menjadi titik awal keberadaan diri
Kiki.
Saya tidak percaya ketika Kiki mengatakan kapan ia mulai berjalan,
karena puisi pertamanya menunjukkan sebuah permulaan ketika ia berjalan
sebagai seorang buta. Dalam perjalanan berikutnya ia mengalami kondisi dingin
(terakhir) dan (pil) tidur. Karena tidak banyak yang bisa dilakukan oleh seorang
buta.
Dengan mata tertutup, seorang lelaki
menafsir sihir musim
masa kecil yang koyak
Cuma menyisa kain kumal dan kaki bengkak

3

Pada kondisi itu ia hanya bisa menafsirkan keadaan sambil mengenang masa

lalunya seperti apa. Masa lalu dengan kenangan menderita, kondisi koyak dan
bengkak. Menarik masa lalu dengan mengingat masa kecil sebuah langkah
mendalam dalam menarik garis dirinya seperti apa kedepannya kalaupun Kiki
tak percaya masa depan. Tetapi masa sekarangnya ditentukan dari bagaimana ia
hidup di masa kecil yang membuatnya mempersiapkan diri dengan menghitung
domba-domba terapung, sebelum malam merambat semakin lambat. Masa kecil menjadi
sebuah titik bagi Kiki menarik garis perjalanannya dan kembali lagi ke masa
sekarang. Kiki menjadi penyair yang berfikir historis yang menjadikan masa lalu
atau sejarahnya sebagai alat refleksi diri ketika ia sampai pada titik yang berbeda
dengan masa lalunya.
Aku sedang senang
Sebab bab-bab tidurku telah hampir akhir
Tidur dengan penuh domba tak terhitung
Usia tak perlu kubatalkan
Aku hanya perlu menjahit kenangan
Masa lalu dengan sebuah penderitaan di masa kecil dan masa sekarang dengan
menjahit kenangan. Kondisi buta, mata tertutup, tidur sampai pada akhir
sehingga ia akan mulai melangkahkan kaki pada perjalanan berikutnya, dan
akan sampai pada bab bangun tidur. Tidur yang dialaminya seperti sebuah buku
yang berbab-bab yang di dalamnya penuh domba tak terhitung. Pada tidur

awalnya ia belum mengenal lebih dalam dunia sekitar dan lingkungannya,
kemudian mulai mengenal dan membaca dan menafsirkan musim sehingga
akhirnya tahu kemana arah musim, musim apa selanjutnya. Buta, mata tertutup,
dan tidur dalam pengertian ini tidak dalam pengertian literal, tetapi metaforis
bahwa tidur tersebut adalah kondisi pikiran, perasaan, dan bahkan jiwa yang
belum terbuka untuk memahami dunia tempatnya berpijak, memahami ke arah
mana dunia akan membawanya. Dia seperti pil pilu dan tinggal satu, karena
tinggal satu dunia tidak bisa lagi berkata-kata padanya. Karena juga, hanya dia
yang menjahit kenangan menjadikannya baju salju. Dengan demikian, dia akan
menjadi orang yang siap menghadapi musim dingin. Perjalanan yang dilaluinya

4

mengajarkannya melakukan itu. Yang menarik adalah pada kenangan yang
dijahit dan kemudian dijadikan baju. Baju salju menjadi sebuah pakaian yang
melekat dan menjadi identitasnya. Baju salju yang akan menyelamatkannya dari
dingin, dari kondisi terjaga.
Ketika ia sudah pada bab kesadaran, setelah tidur dan bangun, ia sudah
bisa bermain, yaitu sirkus.
tak ada saat paling patut bagi seorang badut

kecuali dirinya di panggung ini
bersama cincin api dan perempuan bercawat
Juga singa yang dijinakkan dengan kata-kata dalam sajak
Kiki berdiri sebagai seorang badut di sebuah panggung beserta atributnya,
eksistensinya, legitimasi dirinya, teman bermain, bahkan dengan singa yang
dijinakkan dengan menjadikan kata sebagai sebuah singa yang siap menerkam
dan menghujam orang yang akan menumbangkan kekuasaannya sebagai rajanya
sajak di dunianya.
Dengan kemahirannya, ia bisa bersepeda dengan sepatu roda kalaupun
terkadang ia khawatir ia akan ditertawakan penonton ketika terjungkal. Sebagai
pemain, sebagai badut, ia tetap hati-hati dengan kata-kata kalaupun pada
akhirnya ia menukar dirinya dengan ular. Mungkin sebuah harga yang cocok
untuk dirinya, sehingga ia bisa menjadi ular yang siap dengan bisanya untuk
siap mematuk siapa saja yang akan mengancamnya. Sebagai pemain sirkus,
penulis tahu aturan mainnya sehingga akan selalu hati-hati.
Pengetahuan beserta perannya yang demikian membuat Kiki menjadi
seorang borjuis.
Hingga setiap pagi kutemukan diriku
Terjebak di kegelapan yang sama
Bercermin, keluar-masuk hotel, berdansa

Menyebrang sembarangan dan sesekali kencing di jalanan

5

Kiki menemukan diri pada sebuah kebudayaan para borjuis dan memang
semuanya dalam perspektif tertentu adalah milik kaum borjuis. Dengan
atributnya dan dengan modalnya ia akan mempertahankan dan melanggengkan
kekuasaannya. Aktivitas yang demikian, dia bukan lagi seorang buta, bukan lagi
sebuah pil yang tersisa, tetapi sosok yang memiliki kekuasaan memproduksi
sebuah budaya, misalnya budaya berpuisi, budaya bersastra. Ia pergi dari satu
tempat ke tempat lain sebagai orang yang melegitmasi keberadaan seseorang,
menjadi juri, pemateri, pelatih, kurator, penyair, penulis, bahkan jurnalis. Semua
yang dilakukan bukanlah tanpa kesadaran. Artinya, ia sadar bahwa ia sedang
terjebak pada kegelapan. Sampai di sini, Kiki sebenarnya sudah tahu tentang
masa depan, padahal ia tidak percaya masa depan karena tidak terbiasa
merumuskan ke kemana tujuan. Ketika ia berkata seperti itu maka pada saat itu
juga sebenarnya ia sudah merumuskan ke kemana tujuan. Dalam kondisi
tertentu, orang cenderung melakukan hal yang paradoks. Apa tujuannya?
Tujuannya adalah berjalan, malakukan perjalanan. Di dalam perjalanan ia
menemukan dan mengalami sesuatu yang kemudian ditulis ke dalam puisinya.

Perjalanannya berlanjut, ia kemudian menemukan bulan mangkuk abu terbit di atas
kota, melihat orang sedih dan memberontak setiap kali lonceng berkeleneng, boneka
jerami, kain yang disulam dari duka paling hitam, penembakan di pelabuhan, agoni
lebaran, pasar pagi, dan sampai pada puisi si batang patah. Pada puisi itu, kita bisa
melihat bagaimana Kiki menjadi (aku) si batang patah dari lambahan paman. Ia
menyadari dirinya bahwa pohon-pohon di dekatnya bukanlah keluarganya,
namun sosok yang membuatnya patah dan bahkan yang akan mematahkannya.
Pada puisi selanjutnya, Pohon Keluarga, menjadi semakin jelas bahwa pohon
silsilah yang patah tepat di batang tengah. Apa yang membuatnya patah? Kita
bersedia dewasa dengan masing-masing luka, luka ingatan, dan luka peristiwa.
Dia membahwa lukanya dan pergi dengan kedewasaannya meninggalkan masa
lalu, meninggalkan masa kecilnya. Tetapi meninggalkannya tidak dengan
menghindari jalan melingkar yang di sana, ada duka dan derita, karena jalan
tetap ada dan akan ditemukannya.
Ia menemukan dirinya dihadapkan pada persoalan antara ingatan dan
keinginan melupakan, melupakan jalan itu, jalan melingkar yang pernah

6

dilaluinya. Karena begitu mengingatnya ia ingin melupakannya, tetapi juga

menginginkannya, seperti bagaimana ia menginginkan Nirmala.
Saat itu hamba hanya ingin nirmala. Bola mata yang pernah
memenjara. Tapi dimana nirmala, hanya citra. Tak sampai nyata.
Hamba merasa lebih tua dari prasasti tersembunyi. Bila mana hari mulai
sibuk. Manusia ramai mengutuk. Mengetuk pintu-pintu mimpi.
Tapi hamba sudah penuh.
Dia hanya menginginkan sebuah citra, sesuatu yang tidak nyata, sesuatu yang
tersembunyi seperti prasasti, seperti ingatannya, keinginanannya, masa lalunya,
masa kecilnya. Citra dalam konteks ini, bisa dalam pengertian literal dan
metaforis. Antara nirmala dan citra, keduanya berada dalam dunia ideal. Ketika
Kiki menginginkan sesuatu yang tidak nyata, mengeinginkan citra, maka Kiki
menjadi orang romantic, menginginkan sesuatu yang tidak nyata dan mungkin
didapatkan. Kondisi yang demikian membuat Kiki berada dalam dunia,
sebagaimana dikatakan Faruk (2012: 87) yaitu dunia ideal yang imajiner. Kalau
memang sudah penuh tidak mungkin lagi ia menginginkan citra itu. Kalau tetap
ingin berarti dia penuh dengan mimpi atau mimpinya kepenuhan dan tak
kunjung nyata.
Lalu hamba melayang tak terjangkau siapapun. Ke langit yang bersih,
mencari ia sepanjang usia membuat hamba bergelimang sedih.
Kutipan di atas menunjukkan adanya penyatuan antara dirinya dengan yang
lain, istrinya, nirmala, dan sebuah citra. Sebagai orang romatik, dalam
perjalanannya ia mengharapkan sampai pada dunia ideal yang faktual, yang
semua keinginan dan harapan dapat dicapai.
Apa yang tersisa? Hanya tunjang tua, keinginan yang menua seperti
tunjang tua. Pada tunjang (tua) itu aku melihat apa yang ada dalam pikiranku,
kesendirian yang panjang, gurat usia yang berusaha lekang. Ia memikirkan tunjang
itu, harapan itu, keinginan itu karena pada harapan dan keinginan pikiran
diarahkan. Bahkan bukan saja pikiran, tetapi juga mata yang menghijau, semakin
kilau bagai mata pisau, tenang dan dalam. Begitulah sebenarnya Kiki melihat dan
menghadapi kenyataan seperti mata hijau anjing danau. Perlahan hijau matanya
7

seperti terbalut selaput lembut, lalu berubah pucat dan pecah seperti serat pada jubah
orang dulu. Dalam perjalananya, Kiki sampai pada situasi seperti yang tergambar
dalam baris puisi itu, kondisi pucat dan pecah menghadapi kenyataan yang
penuh dengan ujian, peristiwa luka. Apa yang terjadi padanya? Pada puisi
Senandung Jagung, Kiki memataforkan dirinya seperti jagung yang bersenandung
tentang kenangan mengenang masa-masa tentram bersama teman-temannya.
beginilah aku sekarang. kering dan pirang. dengan selimut keras bagai
cangkang. semenjak biji disebar di luas ladang. lalu ditinggalkan. Aku
kenang saat-saat paling tentram. diantara segunduk teman.
Apa yang menyebabkan dia menjadi demikian? Ia kering dan pirang bukan oleh
panas arang dari pedagang, tetapi dari siang dan riang tembang para penagih
hutang. Artinya, kondisi lingkungan, baik dari alam langsung maupun dari
manusia sendiri yang menciptakan sebuah situasi. Penagih menagih hutang dan
yang ditagih tertekan memenuhi tuntutan bahwa ia harus membayar sesuai
waktu yang sudah ditentukan. Kiki merindukan dengan teman-temannya, yang
memberinya atau membuatnya tentram, dan sekarang seolah-olah sendiri.
Pada puisi selanjutnya, bilah bambu pecah seribu, dapat dilihat apa yang
terjadi pada diri Kiki, sekarang telah terpisah batang jadi bilah saling melingkar dan
silang sebagai keranjang atau pagar. Sebagai batang, ia juga terpisah atau terpotong
seperti sebuah bilah bambu yang pecah seribu, ia akan dipakai sebagai keranjang
dan sebagai pagar. Di satu sisi, Kiki hadir seperti sebuah keranjang yang
memungkinkan untuk diisi, dan di lain sisi, Kiki menjadi sebuah pagar yang
membatasi antara wilayah di dalam dan di luar, wilayah diri dan orang lain.
Gambaran diri yang demikian tidak jauh berbeda dengan penggambaran diri
pada puisi menjadi pohon.
Kau menjadi bagian dari hutan, bertahan tanpa pakaian
Tanganmu terentang dengan tulang-tulang membangkang
Tumbuh sebagai cecabang yang untuh
Kini kau meninggi, seakan hendak mencuri matahari
Kiki selalu melihat cermin dan kalau masyarakat atau orang lain adalah sebuah
cermin maka Kiki sebenarnya melihat dirinya, sehingga kau adalah saya. Kiki

8

merepresentasikan masyarakatnya yang terwakili melalui dia. Menurut Lacan
(Sarup, 2011: 2) individu tidak terpisah dari masyarakat, karena masyarakat ada
dalam diri setiap individu. Sebagai individu, Kiki tidak terpisah dari
masyarakatnya. Sebagai bagian dari hutan, Kiki bertahan tanpa pakaian, tanpa
seragam, tanpa satu warna yang jelas, tetapi bukan berarti tanpa kejelasan. Ia
dengan jelas adalah seorang pembangkang, satu cabang yang utuh bersaing
dengan yang lain dan tumbuh meninggi. Posisi yang tinggi membuatnya
mampu melihat yang di bawah dan yang jauh di sana. Dia melihat Kemidi Rudat,
Gurandil, Cendalu di Kaki Tambora. Ia melihat tradisi dan melihat modernitas, dan
bahkan diantara keduanya.
Sebagai pohon, Kiki berkenan pada yang tak berkandang. Siapa yang tak
berkandang? Siapa yang diinginkan Kiki? Yang dibayangkan? Kiki sudah
menyatakannya dalam puisi sebelumnya dan dalam pengantar di awal buku ini.
Sebuah lukisan yang “menangkar” jiwa dari puisi (-puisi) saya di wilayah
yang tidak bernama itu. Sudah lama saya mendengar nama mas Hanafi
dan sejujurnya saya tidak (berani) membayangkan bahwa suatu ketika,
mas Hanafi akan melukis khusus untuk sampul buku saya.
Kutipan pada pengatar buku Kiki ini tentang Kiki, tentang Hasrat Kiki
memimpikan bulu biru berkilat itu hinggap di tiang-tiang kayu. Pada penjelasan
sebelumnya, Kiki adalah sebuah pohon, sebuah bilah kayu yang menjadi tiang,
menjadi keranjang, menjadi pagar yang bermimpi dihinggapi bulu biru berkilat.
Bulu biru berkilat adalah sebuah metafor bagi hasratnya pada mas Hanafi, yang
tidak pernah dibayangkan akan melukis untuk sampul bukunya. Kiki
mempertegas bahwa bukan sebab tergoda oleh suara, tetapi karena kesepian
yang disimpan dan dilayarkan bersampan-sampan. Di dalam kesepian apa yang
orang rindukan selain sebuah suara yang akan membuatnya ramai, tidak
kesepain lagi. Memimpikan bulu biru berkilat adalah sebuah capaian dan
strategi bahwa ternyata ia sadar sedang berjalan dan sampai pada posisi
meninggi seperti sebuah pohon yang ingin menggapai sinar matahari. Sampai di
sini, Kiki sudah masuk dalam dunia ideal yang faktual, dunia yang keinginannya
sedikit tidak tercapai.

9

Puisi itu sebagai sebuah tanda akan perjalanan Kiki sampai pada posisi
meninggi. Puisi itu menjadi penangkar bagi diri Kiki sendiri sebagai sorang
penyair dan dalam capain tertentu menjadi sebuah bekisar yang siap menjadi
butir-butir telur. Dengan demikian, maka akan ia temukan telur menekur, seakan
butir atma lepas dari tubuh petapa, menunggu moksa. Begitu hasrat terpenuhi,
bulu biru berkilat menghiggapinya, maka Kiki akan menunggu moksa,
menunggu puisinya moksa. Apakah Kiki kemudian tidak punya hasrat lagi,
kebutuhan yang lain lagi untuk dipenuhi? Semuanya meninggalkan jejak pada
puisi-puisi berikutnya, dan jejak itu butuh untuk diinterpretasi.
Penggambaran dunia dalam Penangkar Bekisar
Penggambaran dunia dan pelaporannya menjadi karakteristik dalam
travel writing. Kita akan lihat pada kasus Cindalu di Kaki Tambora, Aku melihat
gunung dan merasakan nafasnya, seperti pendengkur kesepian di tngah riuh dunia. Kiki
hanya melihat dan kemudian menafsirkan kondisi gunung itu. Artinya, Kiki
dalam pengamatannya berada dalam jarak pandang jauh, yaitu dari rumah kayu
peristirahatan. Pada puisi ini, Kiki lebih menunjukkan subjektivitasnya melihat
sebuah dunia, dengan kata lain melihat dengan pengamatan yang subjektif.
Manakala tiba musim badai, pintu di tutup. Jalan makin landai
Aku melihat gunung dan merasakan kesepiannya.
Dari rumah kayu peristirahatan ini, uap kopi menyalakan ingatan
Desa-desa bangkit di kejauhan, seperti sebelum letusan besar
Sebelum tahun tanpa musim panas sampai jauh di barat.
Bait puisi di atas adalah sebuah narasi tentang kondisi gunung. Puisi itu
melaporkan aktivitas di sekitar Tambora, badai, pintu, jalan, uap kopi, desa
bangkit, tapi subjektifnya terlihat ketika dari jsudut pandang jauh ia merasakan
kesepiannya. Hal itu terjadi juga pada puisi kemidi rudat.
Lewat gerak rampak dan music rancak kita bacakan hikayat
musafir persia yang tiba pertama di pelabuhan kota
berdagang sembari bermain gambus dengan topi tarbus

10

kita tak tahu siapa nama abah yang tabah itu. Barangkali seorang habib
orang yang gemar berharum dan beriman pada yang gaib
Bait puisi di atas menggabarkan dunia rudat dan awal kemunculannya di
masyarakat Sasak, bahwa rudat di bawa oleh orang Persia melalui perdagangan.
Tapi Kiki tidak tahu persis siapa tokoh yang membawanya, sehingga memakai
kata “barangkali.” Penggambaran ini bisa dikatakan sebagai penggambaran
dengan pengetahun yang perseptual. Seringkali pengetahuan tentang sejarah
adalah pengetahuan yang perseptual. Penggambaran itu hanya pada tataran
yang simbolik, wilayah yang terbahasakan.
Penggambaran juga dilakukan tidak hanya tempat, tetapi juga orang
seperti pertemuan dengan, misalnya saja peracik suara dan pemancing. Pada kasus
tersebut ia menggambarkan seorang peracik suara yang bisa membedakan mana
suara sakit dan cantik dan menggambarkan seorang pemancing membuang semua
umpan dan pulang dengan hampa tangan.
Tapi bagimu, itu seperti gunjing kecil dari pemancing lain
Mereka yang berfikir melepas umpan Cuma untuk ditukar ikan
Padahal bila hanya sekedar, tunggu saja di pintu pasar
Keranjang penuh ikan bakal datang sebelum hari terang
Di tengah keluasan ini, yang kau inginkan adalah pertarungan
Antara Kiki dan pemancing bertemu pada sebuah prinsip bahwa ikan tidaklah
yang utama, tetapi sebuah pertarungan jauh lebih penting. Sebagai penyair,
membuat puisi dan menerbitkannya atau mempublishnya bukanlah yang utama,
tetapi pertarungannya pada bagaimana puisinya mendapatkan tempat pada
pembaca, masyarakatnya. Dengan demikian, dalam puisi itu terepresentasi diri
Kiki sebagai penyair petarung.
Simpulan
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan pada puisi Penangkar Bekisar,
yaitu pergerakan diri Kiki dari seorang buta, borjuis, si batang patah, pohon, dan

11

penangkar bekisar. Puisi sebagai sebuah perjalanan memperlihatkan perjalanan
Kiki dari seorang buta menjadi seorang penangkar. Diri Kiki tergambar dalam
melalui puisi-puisinya. Diri Kiki yang dalam proses menjadi seperti dalam
peran-peran yang digambarkannya. Dengan demikian, Puisi sebagai representasi
diri yang terus dalam proses menjadi, sampai pada titik perjalanan dihentikan
atau diberhentikan. Proses menjadi apa Kiki? Kiki bertemu dengan peracik suara,
pemancing, penuip harmonika, pelaut tua, pengayuh perahu samsara, cantara, rumah
perias jenazah, makam juru timbang, tikungan, si tinggi lidah, tamsil air mata, lembah
malaria, sampan tembolak, orang belangar, penujum dari jelantik, pembayun, juli
jempana, rumah tikah, mata puan, hantu kupu-kupu, mulut gang, dan setelahnya
menggambarkan sebuah dunia dan peristiwa seperti maulid, ogoh-ogoh di cakra,
luka mandalika, suluh zaratusthtra. Pertemuannya dengan yang lain adalah sebuah
proses menjadi seorang juru kabar, kita cuma juru kabar yang tak pernah didengar
seperti suluh zaratushtra, menyala sia-sia di tengah labirin manusia. Sebagai juru
kabar, Kiki tidak akan sepenuhnya menjadi juru kabar, karena akan selalu ada
dan bahkan banyak hal yang belum dan bahkan tidak akan bisa ia kabarkan.
Pada akhirnya ia akan selalu menjadi orang romantik yang mengidealkan kabar
yang sepenuhnya atau sepenuhnya kabar, dan akan terus berproses menjadi juru
kabar yang sebenarnya atau sejatinya.
Mengenai negosiasi diri Kiki dengan diri yang lain akan menjadi bahan
diskusi pada kesempatan yang lain. Itu menjadi masalah yang bisa diselesaikan
oleh siapa saja dan dalam kesempatan apa saja.
Daftar Pustaka
Akmal, Ramaida. Kritik Sastra Marxis Frederic Jameson: Teori dan Aplikasinya.
Jurnal Ilmu Sastra, Poetika. Juli 2013, Vol 1 No 1, 73-87
Faruk, 2012. Novel Indonesia, Kolonialisme dan Ideologi Emanskipatoris. Yohyakarta:
Ombak
Sarup, Madan. 1993. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan
Posmodernisme. Aginta Hidayat (penerjemah). 2011. Yogyakarta: Jalasutra.
Thomson, Carl. 2011. Travel Writing. London and New York: Routledge.

12