Proposal skripsi suweg dan millet

TUGAS TEKNOLOGI BAKERY DAN CONFECTIONARY
PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KORO GLINDING (Phaseolus
lunatus) TERHADAP SIFAT FISIK, KIMIA DAN ORGANOLEPTIK
COOKIES BAHAN BAKU TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI
TEPUNG SUWEG (Amorphophallus campanulatus)

Disusun Oleh:
MAGHFIRA DWI MAULANI

H0913051

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengkonsumsi makanan ringan

sebagai camilan/kudapan. Kue kering merupakan salah satu jenis makanan
ringan yang sangat digemari masyarakat baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Bentuk dan rasa kue kering sangat beragam tergantung bahan
tambahan yang digunakan. Kue kering yang sering dikonsumsi biasanya
berbahan baku terigu. Cookies merupakan biskuit yang berbahan dasar tepung
terigu. Tepung terigu merupakan tepung atau bubuk yang berasal dari biji
gandum. Keistimewaan tepung terigu dibandingkan serealia lain yaitu
kemampuannya untuk membentuk gluten yang bersifat elastis pada saat
dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan menyebabkan kue tidak
mudah rusak ketika dicetak.
Tepung terigu memiliki keistimewaan, namun komoditi gandum di
Indonesia kuantitasnya sangat terbatas sehingga mengharuskan negara kita
mengimpor gandum. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia dari tahun ke
tahun semakin meningkat (Ani dkk, 2007). Beradasarkan data BPS (2014),
pada tahun 2003 impor terigu mencapai 343.144,9 ton sedangkan pada tahun
2006 mencapai 536.961,6 ton. Impor terigu mengalami peningkatan sebesar
19 %. Peningkatan permintaan terigu disebabkan semakin beragamnya produk
makanan berbasis terigu, terutama di perkotaan. Harga terigu yang semakin
mahal menyebabkan beberapa industry makanan berbasis terigu mengalami
kerugian atau mengurangi produksinya. Solusi untuk mengatasi masalah

tersebut adalah memanfaatkan tepung dari bahan pangan lokal dalam
memproduksi makanan berbasis terigu. Budaya mengonsumsi tepung pada
masyarakat Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan aneka
tepung lokal untuk mengurangi penggunaan terigu (Budijono et al. 2008).

Salah satu pemanfaatan tepung lokal yaitu memenfaatkan umbi suweg sebagai
tepung suweg dan tepung koro glinding (Phaseolus lunatus).
Suweg (Amorphophallus campanulatus) ialah suatu jenis Araceae
yang berbatang semu mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah
dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tangkainya belang
hijau putih, berbintil-bintil, panjangnya 50-150 cm. Indeks luas daun rendah
sehingga populasi tanaman per hektar menurut Soemono et al. (1986) dapat
mencapai 40000 - 50000 tanaman. Amorphophallus campanulatus BI
memiliki dua forma, ialah forma sylvestris yang berbatang kasar, berwarna
gelap, umbinya gatal sehingga tidak dimanfaatkan oleh penduduk. Sedangkan
forma hortensis berbatang lebih halus dan umbinya tidak terlalu gatal,
sehingga sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, khususnya di
pulau Jawa (Kriswidarti, 1980).
Tepung suweg adalah salah satu alternatif bahan dasar pangan yang
baik digunakan untuk diet bagi penderita DM, karena tepung suweg sendiri

memiliki kadar serat tinggi, dan rendah gula. Adapun kadar karbohidrat dalam
suweg mencapai 18%-21%, dengan kadar serat mencapai 15,09%. Kandungan
proteinnya setelah dijadikan tepung juga meningkat menjadi 11,67%. Untuk
meningkatkan kandungan protein produk olahan yang dihasilkan dari tepung
suweg perlu adanya penambahan sumber protein, misalnya dengan tepung
kedelai atau dari kacang-kacangan lain misalnya koro glinding. Kandungan
protein pada tepung koro glinding sebesar 22-25 % (Antarlina, 1972).
Peningkatan gizi tepung-tepungan dapat dilakukan melalui proses pengkayaan
atau fortifikasi. Di antara jenis kacang-kacangan, koro glinding memiliki
prospek yang baik untuk dikembangkan karena mengandung protein yang
cukup tinggi (22-25%) (Antarlina, 1972). Walaupun koro glinding kandungan
proteinnya tidak sebesar kandungan protein pada kedelai (35-38%)
(Widaningrum, 2000) akan tetapi merupakan bahan pangan lokal, sehingga
dapat menggantikan kacang kedelai yang masih perlu mengimpor dan harga

kedelai pun relatif mahal.Diharapkan dengan penambahan tepung koro
glinding pada produk cookies dapat meningkatkan nilai gizinya dan produk
cookies dari terigu dengan substitusi tepung ubi jalar mempunyai sifat
penerimaan konsumen yang baik.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat kimia (kadar air, abu, karbohidrat, protein,
lemak dan serat kasar) cookies dengan penambahan tepung koro glinding?
2. Bagaimana pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat fisik dan sensoris (warna, tekstur, rasa,
aroma dan keseluruhan) cookies dengan penambahan tepung koro glinding?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat kimia (kadar air, abu, karbohidrat,
protein, lemak dan serat kasar) cookies dengan penambahan tepung koro
glinding.
2. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat fisik dan sensoris (warna, tekstur, rasa,
aroma dan keseluruhan) cookies dengan penambahan tepung koro
glinding.
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi penggunaan tepung terigu terutama pada pembuatan cookies.
2. Meningkatkan nilai ekonomis umbi suweg dan diversifikasi pangan

berbahan baku umbi suweg.
3. Meningkatkan nilai ekonomis koro glinding dan diversifikasi pangan
berbahan koro glinding.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Suweg
Tanaman suweg (Amorphophallus campanulatus) telah lama
dikenal di Indonesia. Pada jaman penjajahan Jepang, umbi suweg berperan
sebagai sumber cadangan pangan bagi masyarakat Indonesia, terutama
bagi masyarakat yang terkendala untuk menyediakan beras atau bahan
pangan karbohidrat lainnya. Umbi suweg termasuk umbi batang,
merupakan perubahan bentuk dari batang yang berfungsi sebagai
penyimpan cadangan makanan sumber karbohidrat (Pitojo, 2007).
Menurut Tjitrosoepomo (1988), pada taksonomi tumbuhan, tanaman
suweg diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Amorphophallus
Spesies : Amorphophallus campanulatus Bl .
Nama umum/dagang : Suweg
Nama daerah : Suweg (Jawa)
Tanaman suweg umumnya ditanam di pekarangan dan tegalan.
Pertumbuhannya diawali dengan munculnya semacam kuncup bunga dari
dalam tanah pada awal musim hujan. Suweg dapat tumbuh baik hingga
elevasi 2.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.000–1.500

mm/tahun. Suweg dapat tumbuh pada tanah dengan pH agak masam
hingga netral dan toleran penaungan hingga 60%. Kuncup bunga tersebut
merupakan tunas, kemudian tumbuh menjadi tanaman suweg. Pada musim
kemarau daun suweg menguning, dan lama-kelamaan mati (Lingga,
1986). Tanaman suweg tumbuh subur di dataran rendah hingga ketinggian
800 m di atas permukaan laut. Kisaran suhu idealnya adalah 25-350C
dengan curah hujan 1000-1500 mm/tahun. Suweg berkembang biak
dengan pemisahan anakan atau memotong tunas anakan yang tersebar di

permukaan umbi. Tanah yang cocok adalah campuran antara tanah humus,
lempung, dan pasir.
Tanaman suweg akan menghasilkan umbi siap panen ketika
memasuki umur 18 bulan (Risa, 2009). Pada areal Gapoktan yang berada
di sekitar hutan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perum Perhutani
Kendal telah mengembangkan tanaman suweg pada lahan sebenyak 5 ha.
Hasil umbi berkisar antara 30–200 ton/ha umbi segar. Suweg dapat
dipanen 1–2 tahun setelah tanam, tergantung pada macam bibit dan jenis
suweg (Matori, 2008). Masa panen suweg dilakukan saat batang suweg
sudah membusuk dan memasuki masa istirahat, saat inilah kandungan pati
di dalam suweg maksimal. Berat umbi suweg bisa mencapai 5 kg. Pada
rumpun tanaman suweg yang mati tersebut terdapat umbi yang digunakan
sebagai bahan makanan (Sutomo, 2008). Citarasa suweg netral sehingga
mudah dipadupadankan dengan beragam bahan sebagai bahan baku kue
tradisional dan modern. Suweg sangat potensial sebagai bahan pangan
sumber karbohidrat (Sutomo, 2008). Menurut Faridah (2005), komposisi
utama suweg adalah karbohidrat sekitar 80-85%. Kandungan serat,
vitamin A dan B juga lumayan tinggi. Kandungan zat gizi pada umbi

suweg


dapat

dilihat

pada

tabel

2.1.

sebagai

berikut

:

Sumber: Faarida (2014)
Kelebihan lain umbi suweg, kandungan serat pangan dan
karbohidratnya cukup tinggi yaitu berturut-turut 13,71%, dan 80% dengan

kadar lemak yang rendah sebesar 0,28% (Faridah, 2005). Karbohidrat
suweg mengandung pati, terutama kandungan mannan sebanyak 30%
yang terdiri dari polisakarida manose dan glukose, apabila dicampur
dengan air akan menjadi lengket (Kasno, 2007).
2. Tepung Suweg
Tepung umbi suweg memiliki keunggulan yaitu kandungan
protein serta kandungan serat cukup besar. Telah dilaporkan dari berbagai
penelitian bahwa terdapat hubungan erat antar konsumsi serat dan
timbulnya berbagai penyakit. Konsumsi serat dalam jumlah yang tinggi
akan memberi pertahanan pada tubuh manusia terhadap timbulnya
berbagai penyakit seperti kanker usus besar, kloesterol, kencing manis
(Faridah, 2005). Proses pembuatan tepung suweg (Amorphophallus
campanulatus Bl.) dapat dilakukan dengan cara kering. Umbi yang telah
dicabut kemudian dibersihkan, dikupas dan dicuci dengan air bersih.
Selanjutnya umbi suweg diiris tipis-tipis dan dikeringkan dengan cabinet

dryer pada suhu 500C selama 18 jam. Kemudian dilakukan penggilingan
dan diayak menggunakan ayakan berukuran 80 mesh maka akan
dihasilkan tepung suweg (Faridah, 2005). Menurut Pitojo (2007), sifat
fisika tepung umbi suweg antara lain halus, berwarna putih keabu-abuan

atau kecokelat-cokelatan. Warna tepung umbi suweg kurang putih
dibandingkan dengan tepung terigu, tepung tapioka atau tepung sukun.
Tepung suweg berwarna kecoklatan yang disebabkan terjadinya reaksi
browning (pencoklatan) pada saat pengupasan umbi sehingga chips yang
dihasilkan tidak berwarna putih. Sifat kimia tepung umbi suweg memiliki
aroma spesifik. Tepung suweg tidak seperti tepung terigu yang memiliki
banyak gluten. Namun demikian tepung suweg dapat dimanfaatkan
sebagai subtitusi dengan tepung terigu atau tepung yang lain untuk
membuat aneka makanan. Tabel 2.2 Komposisi Tepung Suweg dan
Tepung Terigu Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat komposisi dari tepung
umbi suweg.
Tabel 2.2 Komposisi Tepung Suweg dan Tepung Terigu
Komponen
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Lemak (%)
Kadar Protein (%)
Kadar Serat Kasar (%)
Kadar Karbohidrat (%)


Nilai
Tepung Umbi Suweg
4,74
4,60
0,28
7,20
5,23
83,18

Tepung Terigu
7,80
0,52
0,90
8,00
0,43
82,35

Sumber: Faarida (2014)
Tepung terigu dan tepung suweg mempunyai kelebihan masingmasing pada kandungan gizinya. Tepung suweg mempunyai kadar serat
kasar lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu yaitu sebesar 5,23%.
Pada tepung suweg memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi
daripada tepung terigu yaiti sebesar 83,18%. Selain itu kandungan lemak
pada tepung suweg juga rendah yaitu sebesar 0,28% (Faridah,2005). Umbi

suweg mempunyai nilai daya cerna pati cukup rendah yaitu sebesar
61,75% bila dibandingkan dengan tepung singkong sebesar 75,25%.
Rendahnya daya cerna pati disebabkan adanya kandungan serat dalam
tepung suweg. Pati dapat dihidrolisis oleh enzim alfa amylase menjadi
gula-gula sederhana (glukosa, maltose) dan alfa limit dekstrin. Semakin
tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dapat
dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditentukan semakin banyaknya
glikosa dan maltose yang dihasilkan (Farudah, 2005).
3. Koro Glinding (Phaseolus lunatus)
Koro glinding (Phaseolus lunatus) merupakan tanaman
spermatophyta yang disebut tanaman dikotil, karena dapat menghasilkan
biji dari hasil perkawinan antara benang sari dan sel telur, klasifikasi
lengkapnya adalah:
Kingdom Plantae – Plants
Subkingdom Tracheobionta – Vascular plants
Superdivision Spermatophyta – Seed plants
Division Magnoliophyta – Flowering plants
Class Magnoliopsida – Dicotyledons
Subclass Rosidae
Order Fabales
Family Fabaceae – Pea family
Genus Phaseolus L. – bean
Species Phaseolus lunatus L. – sieva bean
Koro merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat
tumbuh di tanah yang kurang subur dan kering. Selain untuk dimanfaatkan
bijinya, tujuan penanaman koro adalah sebagai tanaman pelindung dan
pupuk hijau (Kanetro dan Hastuti, 2003). Koro glinding (Phaseolus
lunatus) merupakan tanaman yang memiliki peran penting dalam
mengatasi lahan kritis, karena dapat tumbuh secara produktif di daerah

yang memiliki tanah kurang subur. Pemanfaatan tanaman ini sebagian
besar untuk makanan ternak, namun sebagian masyarakat telah
memanfaatkannya untuk tempe seperti kara benguk (Kanetro dan Hastuti,
2003). Koro glinding (Phaseolus lunatus) mengandung senyawa sianida,
yang mana bersifat beracun. Phaseolus lunatus juga mengandung
beberapa komponen penting yaitu potassium, besi, Iron, folate, protein,
dan serat (Anonim , 2007).

Di Indonesia tanaman koro putih ini

dikonsumsi khususnya oleh masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur
bagian selatan (Gandjar dan Slamet, 1976). Penggantian kedelai dengan
koro glinding ini telah dilakukan di Indonesia (Shortlef dan Aoyogi,
1979). Adapun daftar komposisi zat gizi koro glinding tiap 100 gram
sampel dapat dilihat pada table 2.7
4. Cookies
Cookies adalah produk makanan kering yang dibuat dengan
memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan
bahan pengembang. dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan
bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Seiring dengan
perkembangan jaman, bahan pembuatan cookies juga mengalami
perkembangan yaitu penggantian bahan utama dengan bahan lain
(Wahyuni, 2006). Kue kering (cookies) menurut Whiteley (1971)
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu adonan keras dan adonan lunak. Jenis
adonan keras biasanya digunakan gula sedikit dan shortening kurang dari
22 % dari jumlah tepung. Pada adonan keras tepung sebagai bahan utama
biasanya dicampur dengan air dan bahan-bahan lain seperti garam, ragi,
telur, lemak sebelum diuleni dengan tangan atau mesin sehingga kalis
(tidak lengket di tangan) dan bisa dibentuk, misalnya : adonan roti, donat,
pizza dan berbagai jenis kue kering. Untuk jenis adonan lunak
menggunakan gula dan shortening lebih banyak dibandingkan dengan
jenis adonan keras. Pada adonan lunak tepung sebagai bahan utama

biasanya tidak dicampur air, melainkan dicampur dengan gula, telur, atau
susu sebelum dicampur (dikocok) dengan tangan atau mesin sehingga
terbentuk cairan yang encer, kental, atau seperti krim, misalnya : adonan
cake, bolu dan juga beberapa kue kering. Cookies merupakan salah satu
jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak (lembek), berkadar lemak
tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan penampang potongannya
bertekstur padat. Cookies dengan penggunaan tepung non-terigu biasanya
termasuk ke dalam golongan short dough. Di Indonesia, produk kue
kering memiliki ketentuan mutu yang diperbolehkan dan diatur dalam SNI
No. 01-2973-1992. Mutu kue kering yang dipersyaratkan sebagai berikut:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Zat Gizi
Kalori (Kalori/100 gram)
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Abu (%)
Serat kasar (%)
Logam berbahaya
Bau dan rasa
Warna

Jumlah
Minimum 400
Maksimum 5
Minimum 9
Minimum 9.5
Minimum 70
Maksimum 1.5
Maksimum 0.5
Negatif
Normal dan tidak tengik
Normal

Sumber: SNI No. 01-2973-1992
Kue kering merupakan camilan yang banyak digemari orang. Bahan–
bahan yang digunakan dalam pembuatan kue kering antara lain : tepung
terigu, susu skim, gula, telur, shortening, garam, bahan pengembang dan
air (Asmadi, 2007).
5. Bahan-bahan Pembuat Kue Kering (Cookies)
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kue kering antara lain :
a. Tepung Terigu
Tepung terigu adalah tepung / bubuk halus yang berasal dari biji
gandum (Tritikum vulgare), dan digunakan sebagi bahan dasar

pembuat kue, mi, dan roti. Tepung terigu mengandung banyak pati,
yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu
juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam
menentukan

kekenyalan

makanan

yang

terbuat

dari

bahan

terigu.Kadar protein ini menentukan elastisitas dan tekstur sehingga
penggunaannya disesuaiakan dengan jenis dan spesifikasi yang akan
dibuat. Klasifikasi pertama adalah tepung terigu protein tinggi, yang
mengandung kadar protein 11%-13% atau bahkan lebih. Bila terkena
bahan cair maka glutennya akan mengembang dan saling mengikat
dengan kuat membentuk adonan yang sifatnya liat. Kedua, protein
sedang, yang mengandung kadar protein antara 8%-10%, digunakan
pada adonan yang memerlukan kerangka lembut namun masih bisa
mengembang seperti cake. Tepung terigu jenis ini sangat fleksibel
penggunaannya. Ketiga adalah protein rendah, yang mengandung
kadar protein sekitar 6%-8%, diperlukan untuk membuat adonan yang
bersifat renyah sangat cocok untuk membuat kue kering (cookies).
Terigu ini biasanya disebut dengan soft wheat atau terigu lunak.
Kandungan proteinnya yang rendah membantu selama proses
pencampuran karena lebih mudah menyatu dengan bahan–bahan lain
(Sutomo, 2006).
b. Telur
Menurut Sultan (1981), fungsi telur dalam adonan untuk membantu
proses pengembangan volume adonan, menambah warna kuning pada
produk serta menimbulkan flavour dan rasa gurih. Putih telur sangat
berperan dalam membentuk adonan yang lebih kompak, sedangkan
kuning telur sangat mempengaruhi kelembutan dan rasa kue kering
yang dihasilkan. Penggunaan salah satu bagian telur (putih, atau
kuning telur) atau kombinasi keduanya disesuaikan dengan hasil akhir
yang diinginkan (Ani, 2007). Zat makan pada putih telur yang

terbanyak adalah protein albumin, dan paling sedikit adalah lemak,
sedangkan pada kuning telur, porsi terbanyak adalah lemak dan bagian
yang paling sedikit adalah hidrat arang. Dengan kata lain, putih telur
merupakan sumber protein sedangkan kuning telur merupakan sumber
lemak. Pada kuning telur juga dikemukakan bahwa kandungan vitamin
A ada dalam jumlah banyak (Hadiwiyoto, 1983).
c. Gula
Menurut Smith (1972), fungsi gula dalam proses pembuatan cookies
selain sebagai pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tesktur
dan memberikan warna pada permukaan cookies. Jumlah gula yang
ditambahkan biasanya berpengaruh terhadap tesktur dan penampilan
cookies. Meningkatnya jumlah gula di dalam adonan cookies, akan
mengakibatkan cookies menjadi semakin keras. Hampir semua gula
yang digunakan dalam pembuatan cookies mengandung 99,8%
sukrosa, kurang dari 0,05% air dan 0,05% berupa gula invert dan
karbohidrat lain selain sukrosa serta abu. Sukrosa adalah disakarida
yang tersusun oleh glukosa dan fruktosa. Sukrosa berkontribusi untuk
membantu pembentukan tekstur remah dan volume adonan selama
pencampuran dan pemanggangan (Wade, 1995). Salah satu sifat
sukrosa yang penting selama pencampuran adonan adalah ukuran
partikel. Satu bagian air mampu melarutkan dua bagian gula pada suhu
ruang. Kelarutan menjadi meningkat pada suhu 1000C (Wade, 1995).
d. Shortening
Menurut Sultan (1981), shortening biasa digunakan dalam pembuatan
kue kering dengan tujuan untuk membantu pengempukan produk
akhir, memperbaiki rasa dan tekstur produk yang dihasilkan.
Shortening yang digunakan dalam pembuatan roti dan kue dapat
berupa margarin atau mentega. Shortening merupakan tipe lemak yang
memiliki kemampuan untuk melumas (lubricating) dan mengempukan

bahan pangan khususnya cookies. Kemampuan shortening lemak atau
minyak dipengaruhi oleh komposisi asam lemak (Ketaren, 2005).
Shortening yang digunakan berupa lemak yang sudah dijernihkan.
e. Garam
Garam digunakan sebagai penambah rasa dan menghilangkan flavor
hambar. Garam secara tidak langsung dapat mempengaruhi warna kue.
Jika tidak ada garam yang ditambahkan ke dalam adonan maka warna
kue akan pucat. Garam yang digunakan dalam pembuatan kue kering
biasanya menggunakan garam halus agar lebih
cepat larut dan meresap ke dalam adonan (Lange, 2004).
f. Air
Air terdiri dari molekul-molekul H2O yang terikat satu sama lain
dengan ikatan hidrogen yang bersifat polar. Sifat ini mampu
melemahkan ikatan hidrogen bahan lain sehingga mempercepat proses
pencampuran dan pembentukan adonan. Daya larut bahan yang
melibatkan ikatan hidrogen meningkat dengan meningkatnya suhu
misalnya kelarutan gula (Winarno, 2002).
g. Bahan Pengembang
Soda kue merupakan bahan pengembang yang dibuat dengan
mencampur bahan bereaksi asam dengan sodium bikarbonat ditambah
air akan menghasilkan CO2, yang terdispersi dalam air. Dalam oven,
CO2 bersama-sama dengan udara dan uap air mengembang dan
mengembangkan adonan (Winarno, 2002). Menurut Smith (1972), saat
pengembangan, gas CO2 dipengaruhi suhu menyebabkan peningkatan
volume dan merentangkan adonan.

B. Kerangka Berfikir

C. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh subtitusi tepung terigu
dengan tepung suweg dan tepung koro glinding dalam pembuatan cookies
akan mempengaruhi sifat kimia, fisik dan sensoris cookies yang dihasilkan.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan
dan Hasil Pertanian, Progran Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta, pada bulan Oktober
sampai Desember 2016.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung suweg yaitu umbi
suweg yang berasal dari Jatipuro, air, Natrium metabisulfit (Na 2S2O5)
1000 ppm. Untuk koro glinding didapatkan dari LSM Gita Pertiwi
Surakarta. Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung
terigu protein rendah dengan merk “Kunci Biru”, gula halus, shortening
(margarin) dengan merk “Blueband”, telur, susu skim, garam, soda kue,
vanili dan air. Bahan untuk analisa sifat kimia yaitu analisis kadar protein :
aquades, H2SO4 (93-98% bebas N), campuran Na2SO4-HgO (20 : 1),
larutan NaOHNa2S2O3, larutan asam borat jenuh, indikator metil merah
atau metilen biru dan HCl 0,02N. Analisis kadar lemak : proteleum ether.
Analisis kadar serat kasar : asbes, antibuih (antifoam agent), larutan
H2SO4, kertas lakmus, larutan NaOH, larutan K2SO4 10%, alkohol 95%
dan aquades.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk pembuatan
tepung suweg dan tepung koro glinding: pisau, alat pengiris, baskom
plastik, cabinet dryer, alat penepung dan ayakan (80 mesh). Alat untuk
pembuatan cookies: spatula, kuas, cetakan cookies, baskom plastik,

timbangan digital, mixer dan oven merk “Maspion”. Seperangkat alat
untuk analisis kadar air yaitu botol timbang eksikator, termasuk oven
dengan merk ”Memmert”, timbangan analitik dengan merk ”Ohaus”.
Seperangkat alat untuk analisis kadar abu yaitu krus porselen, desikator,
tremasuk oven dengan merk ”Memmert”, timbangan analitik dengan merk
”Ohaus”, tanur dengan merk “Barnstead thermolyne”. Seperangkat alat
untuk analisis kadar lemak yaitu tabung reaksi soxhlet dalam thimble,
kondensor, tabung ekstraksi, alat detlasi soxhlet, penangas air, botol
timbang, termasuk oven dengan merk ”Memmert. Seperangkat alat untuk
analisis kadar protein yaitu labu kjeldahl berukuran 30 ml/50 ml, alat
distilasi lengkap dengan Erlenmeyer berpenampung berukuran 125 ml,
buret 25 ml/50 ml, termasuk timbangan analitik dengan merk ”Ohaus”.
Seperangkat alat untuk analisis kadar serat kasar yaitu erlenmeyer 500 ml,
pendingin balik, desikator, termasuk oven dengan merk ”Memmert,
timbangan analitik merk ”Ohaus. Sedangkan alat untuk analisa fisik antara
lain analisa pengujian warna dengan alat lovibond tintometer model F dan
analisa pengujian tekstur dengan alat Lloyd Universal Testing Machine
dengan merk “Zwick”. Untuk analisa sifat sensoris dengan membuat
borang dan menggunakan perlengkapan penyajian.
C. Tahapan penelitian
1. Pembuatan Tepung Suweg dan Tepung Koro Glinding
Pada pembuatan cookies ini dilakukan pembuatan tepung suweg dan
tepung koro glinding sebagai subtitusi tepung terigu berikut cara
pembutan tepung suweg yang terbuat dari umbi suweg.

Gambar 3.1 Diagram alir proses pembuatan tepung suweg

Pada pembuatan tepung koro glinding dapat dilakukan dengan cara:

Gambar 3.2 Diagram alir pembuatan tepung koro glinding
2. Pembuatan Cookies
Tahap terakhir dalam penelitian ini yaitu pembuatan cookies, cookies dibuat
dengan bahan-bahan berupa tepung terigu, tepung suweg, dan tepung koro

glinding (sesuai formulasi), margarine (shortening), gula halus, susu skim,
telur, garam, soda kue,air dan vanili. Cookies dibuat dengan cara

pencampuran

margarin,

gula

halus,

susu

skim

dan

garam.

Gambar 3.3 Diagram alir pembuatan Cookies
D. Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan satu faktor yaitu variasi subtitusi tepung terigu dan tepung suweg.
Untuk masing-masing perlakuan dibuat tiga kali ulangan dan dilakukan dua
kali ulangan analisa. Variasi konsentrasi tepung terigu dan tepung suweg
untuk pembuatan cookies pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1. Data
yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk mengetahui

ada tidaknya perbedaan perlakuan pada tingkat α = 0,05. Apabila hasil yang
diperoleh ada beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT pada tingkat α
yang sama.
Tabel 3.1 Variasi Konsentrasi Tepung Terigu, Tepung Suweg dan Tepung
Koro Glinding pada Pembuatan Cookies
Formula

Tepung

F0
F1
F2
F3

(%)
100
85
75
65

Terigu Tepung
(%)
0
10
15
20

Suweg Tepung Koro Glinding
(%)
0
5
10
15

Cookies yang telah jadi kemudian dianalisa sifat kimia (kadar protein,
kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar serat kasar)
serta sifat fisik (sensoris, tekstur dan warna ).Metode masing-masing analisis
sifat kimia dan sifat fisik pada cookies dapat dilihat pada Tabel. 3.2 sebagai
berikut:
Tabel 3.2 Metode Analisis Sifat Kimia dan Fisik
Macam Uji
Kadar Air

Analisis Sifat Kimia Cookies
Metode
Thermogravimetri (Apriyantono, 1989)

Kadar Abu

Penetapan Total Abu (Apriyantono, 1989)

Kadar Lemak

Soxhlet (Apriyantono, 1989)

Kadar Protein

Kjeldhal (Apriyantono, dkk., 1989)

Kadar Karbohidrat

by difference (Winarno, 2002)

Kadar Serat Kasar

Asam dan Basa Pemanasan (Apriyantono,

Sensori
Tekstur

dkk., 1989)
Analisa Sifat Fisik Cookies
Uji Kesukaan (Kartika dkk, 1988)
Llyod Universal testing Machine (Kartika dkk,

Warna

1988)
Lovibond Tintometer(Kartika dkk, 1988)

Untuk rancangan penelitian cookies penggunaan tepung suweg dan
tepung koro glinding sebagai subtitusi tepung terigu terhadap karakteristik (kimia,

Ket: F0 = Tepung Terigu 100%
F1= Tepung Terigu 85%; Tepung
Suweg 10%; Tepung Koro Gliniding
5%
F2= Tepung Terigu 75%; Tepung
Suweg 15%; Tepung Koro Gliniding
10%
F3= Tepung Terigu 65%; Tepung
Suweg 20%; Tepung Koro Gliniding
15%

fisik

dan

sensoris)

dapat

dilihat

pada

gambar

DAFTAR PUSTAKA

3.4

sebagai

berikut:

Anonymousb.2006. Suweg Berpotensi Panganan Diet. Bogor: Riset koran Radar
AOAC. 1970. Official Method of Analysis of the Association of Official Analitical
Chemist. AOAC, Washington, DC.
Astawan, Made. 1999. Membuat Crackers dan Cookies. Jakarta: Penebar Swadaya.
Azimi-Nezhad M, Ghayour-Mobarhan M, Parizadeh MR, Safarian M, Esmaeili H,
Parizadeh SMJ, Khodaee G, Hosseini J, Abasalti Z, Hassankhani B, Ferns G
(2008) . Prevalence of type 2 diabetes mellitus in Iran and its relationship
with
gender,
urbanisation,
education,
marital
status
and
occupation.Singapore Med. J., 49(7): 571-576.
Dataconsult. 1995. Kasus biskuit dan perspektif pangan Indonesia. Jakarta: Harian
Republika 29 Januari 1997.
Fakhoury WKH, LeReun C, Wright D. 2010. A Meta-Analysis of Placebo- Controlled
Clinical Trials Assessing the Efficacy and Safety.
Hellman R, Jellinger PS, Jovanovic LG, Levy P, Mechanick JI, Zangeneh F (2007).
American Association of Clinical Endocrinologists medical guidelines for
clinical practice for the management of diabetes mellitus. Endocr. Pract13(1):
1-68.
Jerlin, et al. 2009. Effect of Mimusops elengi L. Bark Extract on Alloxan Induced
Hyperglycemia in Albino Rats, Journal of Cell and Tissue Research, Vol.9(3)
Kanetro dan Hastuti, 2006. Ragam Produk Olahan Kacang – kacangan. Universitas
Wangsa Manggala Press. Yogyakarta.
Kartika, Bambang; Pudji Hastuti; dan Wahyu Supartono.1988. Pedoman Uji Inderawi
Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Katzung, dan Bertram G. 1998.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta:
EGC.
Kedokteran.info. 2010.Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia 2006. http://www.kedokteran.info (25 Oktober 2010)
Price SA, dan Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. EGC. Jakarta.
Rodbard HW, Blonde L, Braithwaite SS, Brett EM, Cobin RH, Handelsman Y,
Shukla et al. 2009.In Vitro Antioxidant Activity and Total Phenolic Content of
Ethanolic Leaf Extract of Stevia rebaudiana Bert. Food Chem Toxicol 2009;
47: 2338-43.
Standar Nasional Indonesia 07-2974-1996
Subroto, M.A. 2008. Real Food True Health.Penerbit Agromedia. Jakarta. Sudoyoet
al.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudoyo, A.W., B.Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata. K., dan S. Setiati.2007. Buku
AjarIlmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : FKUI.
Wonojatun dkk, 2009.Produksi Cookies Berbahan Baku Tepung Jagung dengan
Teknologi Sheeting. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Insitut
Pertanian Bogor.

Woodman, A.G. 1941. Food Analysis 4th Edition. Mc. Graw Hill Book Company, Inc,
New York.
Zaidar, Emma. 2005. Pembuatan Cookies dari Tepung Terigu dengan Tepung Rumput
Laut Yang Difortifikasi dengan Kacang Kedelai.Jurnal Sains Kimia 9 (2): 8791