Makalah Pendidikan Lingkungan (1) docx
MAKALAH
PENDIDIKAN LINGKUNGAN
“PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT KRITIS
DENGAN PENANAMAN TANAMAN JELUTUNG (Dyera sp)”
DISUSUN OLEH
INDRIANI
1405113793
DOSEN PENGAMPU : Drs.NURSAL, M.Si
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2015
1. PENDAHULUAN
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap
karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia
(Christian dan Stewart, 1968). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun
atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen
fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya
merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat
kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk mendorong alih fungsi lahan gambut
menjadi lahan pertanian dalam rangka mendukung ketahanan pangan,memenuhi bahan baku
industri kertas,memenuhi kebutuhan areal perkebunan serta dalam rangka pengembangan
bioenergi.
2. KONDISI LAHAN GAMBUT DI RIAU
Lahan gambut di Indonesia seluas 20 juta hektar atau menduduki urutan ke
empat dalam katagori lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, Uni Soviet dan
Amerika. Lahan gambut tersebut sebagian besar terdapat di empat Pulau besar yaitu
Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno,
1998). Penyebaran lahan gambut di Sumatera, khususnya terdapat di dataran rendah
sepanjang pantai timur dengan luas 7,2 juta hektar. Riau, merupakan provinsi dengan
lahan gambut terluas di Pulau Sumatera yaitu ± 4,04 juta Ha atau 56,1% dari luas total
lahan gambut di Sumatera (Wahyunto et.al., 2003).
Riau mempunyai lapisan gambut terdalam di dunia, yaitu mencapai 16
meter terutama di wilayah Kuala Kampar (Anonimous, 2006). Lahan gambut merupakan
suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan
rawa. Pembukaan lahan gambut melalui penebangan hutan (land clearing) dan drainase
yang tidak hati-hati akan menyebabkan penurunan permukaan (subsiden) permukaan
yang cepat, pengeringan yang tak dapat balik (irreversible drying), dan mudah terbakar.
Potensi gambut yang sangat besar di wilayah ini perlu dikelola secara arif
sehingga dapat memberikan nilai tambah tanpa merusak fungsi alami lahan gambut itu
sendiri. Pengelolaan gambut yang menyelaraskan antara fungsi ekonomi dan fungsi
ekologi akan memberikan dampak positif dalam pembangunan yang berwawasan
lingkungan.
Dalam sepuluh tahun terakhir kita melihat kekhawatiran mengenai kehilangan
dan kerusakan ekosistem lahan gambut secara significan di Indonesia, serta menyebabkan
kerusakan dan kehancuran keanekaragaman hayati lahan gambut, kerusakan tata air, dan
lepasnya jutaan karbon ke udara. Konversi lahan gambut, drainase dan eksploitasi berlebihan
terhadap lahan gambut telah diketahui merupakan akan penyebab munculnya kebakaran yang
telah menghancurkan atau merusak lahan gambut. Untuk menghindari degradasi yang lebih
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
parah lagi maka diperlukan suatu upaya sesegara mungkin untuk memperbaiki kondisi
tersebut dengan melibatkan para pihak.
Salah satu pihak yang dianggap memiliki keterkaitan secara langsung dengan
pengelolaan lahan gambut ini, adalah masyarakat. Keterlibatan masyarakat untuk mengurangi
tingkat ancaman dan kerusakan pada lahan gambut menjadi sangat besar mengingat bahwa
adanya interaksi dengan pola pemanfaatan dan laju kerusakan. Hal yang sangat penting dan
dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana mengarahkan masyarakat dalam
mengelola lahan gambut untuk kepentingan pemanfaatan dengan pola budaya tradisionil
(kearifan lokal) yang memadukan antara pengembangan teknologi budidaya dan nilai budaya
bertani.
3. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGELOLAAN DAN
PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan merupakan upaya
untuk tetap mempertahankan potensi kekayaan alami ekosistem, Serta memanfaatkanya
secara berkelanjutan agar dapat diperoleh manfaat tidak hanya untuk masa kini namun juga
pada masa mendatang.. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal akan lebih
memberikan kepastian keberlanjutan pengelolaan dibandingkan dengan kegiatan serupa yang
dilakukan tanpa peran masyarakat lokal.
Melibatkan masyarakat melalui pola program pemberdayaan harus juga
disesuaikan dengan dengan kondisi masyarakat setempat dan menghargai pemanfaatan secara
tradisional. Dalam kasus terjadi kerusakan yang sangat drastis pada lahan gambut maka
pemberdayaan masyarakat yang memungkinkan dan memiliki peluang untuk dikembangkan
adalah mengajak masyarakat kembali kepada pola tradisionil yaitu melakukan usaha
penanaman kembali jenis-jenis tanaman yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Riau
dan disesuaikan dengan kondisi setempat serta arah kebijakan pembangunan khususnya pada
bidang perkebunan dan atau pertanian.
Untuk saat ini sektor perkebunan menjadi salah satu program yang mendapat
perhatian utama, ini dapat dilihat dengan begitu banyak dan luasnya pencadangan kawasan
untuk kepentingan perkebunan dan komoditi andalan yang menjadi prioritas adalah pada
jenis sawit, karet dan jelutung (Dyera sp).Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lahan
gambut untuk pengembangan sektor perkebunan terutama untuk jenis jelutung (Dyera sp)
pada lahan gambut sangat perlu untuk dicermati, karena disamping untuk melakukan upaya
rehabilitasi kembali kawasan-kawasan yang telah rusak juga diharapkan akan berdampak
pada penurunan terhadap ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Upaya-upaya pemberdayaan yang akan dilakukan tidak hanya berhenti pada
upaya memfasilitasi petani atau masyarakat dengan pemberian bibit, namun juga harus
diiringi dengan peningkatan pemahaman dan kapasitas serta tanggung jawab bersama
terutama masyarakat yang menjadi penerima manfaat dari sebuah program.
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
4. POTRET DAN PROSPEK PASAR TANAMAN JELUTUNG (Dyera sp)
Jelutung (Dyera sp) merupakan jenis pohon hutan yang termasuk dalam
family Apocinaceae. Salah satu species dalam family ini adalah Dyera polyphylla yang
tumbuh di hutan rawa gambut atau daerah tergenang. Pohon ini merupakan tanaman asli dari
Asia Tenggara yang tersebar di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Philipina. Di Indonesia
tersebar di Sumatera dan Kalimantan yang meliputi Jambi, Riau, Sumatra Utara, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera jelutung (Dyera sp)dikenal
dengan nama labuwai/Melabuwai, sedangkan di Kalimantan dikenal dengan nama pantung..
Pohon jelutung (Dyera sp) berbentuk silindris, tingginya bias mencapai 25-45
m, dan diameternya bisa mencapai 100 cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitamhitaman, dan bertekstur kasar. Cabangnya tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 m. Bentuk
daunnya memanjang, pada bagian ujungnya melebar dan membentuk rokset. Sebanyak 4-8
helai daun tunggal itu duduk melingkar pada ranting. Jelutung berbunga dua kali setahun.
Bunga malainya berwarna putih, dan buahnya berbentuk polong. Apabila sudah matang,
buahnya pecah untuk menyebarkan biji-bijinya yang berukuran kecil dan bersayap ke tempat
di sekitarnya.
Manfaat jelutung (Dyera sp) diantaranya :
a) Getah
Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih. Penyadapan getah
jelutung dilakukan padas pohon jelutung yang berdiameter lebih-kurang 20 cm. Sekali
penyadapan menghasilkan getah jelutung 0,1-0,6 kg/pohon. Setahun penyadapan getah
jelutung bisa dilakukan 40 kali. Sebagai gambaran, dengan asumsi harga getah jelutung
dipasaran sebesar Rp 3.000,-/kg, dengan jumlah pohon 200 pohon/ha, maka nilai ekonomis
getah jelutung per hektar Rp 2.400.000,- - Rp 13.440.000,-.
b) Kayu
Setelah pohon jelutung tidak lagi menghasilkan getahnya, pohonnya bisa
ditebang untuk dimanfaatkan kayunya. Kayu jelutung dapat digunakan untuk bahan: cetakan
bangunan, meja gambar, kelom, ukiran, sepasiter baterai, kayu lapis dan pensil.
Menurut perencanaan pembangunan hutan rakyat, pertumbuhan diameter
pohon jelutung rata-rata 1,58 cm/tahun, dan dengan umur masak tebangnya 35 tahun, maka
rata-rata diameter pohonnya lebih besar 50 cm. Dengan asumsi rata-rata tinggi pohon bebas
cabang 15 m, volume rata-rata 2,94 m3, jumlah pohon 200/ha, dan harga kayu di pasaran Rp.
200.000,-/m3, maka nilai kayu jelutung per ha Rp. 117.600.000,c) Peluang Pasar Getah Jelutung (Dyera sp)
Selama ini Negara Indonesia menjadi pemasok getah jelutung terbesar pada
negara-negara importir. Kebutuhan getah jelutung untuk berbagai industri diberbagai Negara,
belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh Negara Indonesia.
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
Nilai ekspor dari tahun 1970 sampai tahun akhir tahun 1980 an nilai ekspor
rata-rata tiap tahun berkisar antara 400.000 kg – 800 kg 1) , dengan nilai devisa berkisar US$
1.60 milyar. Selain itu tanaman jelutung sendiri sampai sekarang belum teridentifikasi luasan
kebun yang dikelola, karena masyarakat masih mengambil getah (lateks) dari hutan, dan
penanaman jenis ini mulai dilirik oleh Pemerintah, para pihak dan masyarakat sendiri baru
memasuki era tahun 2000-an melalui berberapa program yang dikembangkan oleh
Departemen Kehutanan seperti program DAK-DR atau pun GERHAN.
4. POTENSI PENGELOLAAN
PENANAMAN Dyera sp
LAHAN
GAMBUT
KRITIS
DENGAN
Sebagai upaya untuk mengurangi tingkat ancaman kebakaran hutan dan lahan
dengan pola pengelolaan dan pengembangan tanaman jelutung (Dyera sp). Merupakan upaya
untuk merehabilitasi kembali lahan-lahan gambut yang kritis dengan menanam jenis-jenis
tanaman lokal yang sudah familiar dengan petani dan masyarakat Riau. Dan juga sebagai
wadah bagi peningkatan kapasitas petani/masyarakat dalam bertukar informasi dan
pengalaman dengan para pihak.
Penanaman Jelutung (Dyera sp) merupakan salah satu upaya untuk
memanfaatkan lahan kritis kearah pemanfaatan lahan budidaya perkebunan dengan pola
tanpa bakar.Penanaman Jelutung (Dyera sp) pada lahan kritis dengan melibatkan masyarakat
merupakan salah satu upaya untuk menekan ancaman terhadap bahaya kebakaran yang sering
terjadi pada lahan-lahan gambut.
Dalam pengambilan bibit anakan yang berasal dari alam, maka beberapa hal
harus dipersiapkan untuk mengantisiapsi atau mengurangi tingkat kematian bibit. Antara lain
(a) pola pengambilan bibit haru dilakukan dengan memperhatikan musim, yaitu sangat baik
pada musim penghujan; (b) tempat penangan bibit di sekitar kebun selama masa adaptasi
harus dipersiapkan secara maksimal (c) untuk bibit jelutung sebaiknya dipilih yang berukuran
tinggi antara 30-45 cm karena dianggap cukup memiliki daya adaptasi dan daya tahan yang
tinggi baik ketika setelah pencabutan maupun ketika proses fisiologi pertumbuhan lainnya.
Untuk menciptakan ruang tumbuh yang baik bagi tanaman setelah penanaman,
maka disekitar pernaman harus sering dilakukan penggemburan, dan pada saat penanaman
bibit maka tanah sekitar perakaran jangan dipadatkan sehingga tercipta ruang tumbuh dan
aerase udara yang cukup bagi pertumbuhan sistem perakaran. Selain itu untuk mengurangi
tingkat kompetisi atas unusr hara, maka sebaiknya sekitar pertanaman dapat dilakukan
pembersihan lahan sekitar 3 bulan sekali disesuaikan dengan pertumbuhan gulma.
5. PENUTUP
Lahan potensial merupakan lahan yang harus dijaga dan diberdayakan sebaik
mungkin, karena lahan potensial bisa menjadi lahan kritis apabila penggunaan dan
pemanfaatannya tidak tepat guna.Potensi gambut yang sangat besar di wilayah ini perlu
dikelola secara arif sehingga dapat memberikan nilai tambah tanpa merusak fungsi
alami lahan gambut itu sendiri. Pengelolaan gambut yang menyelaraskan antara fungsi
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
ekonomi dan fungsi ekologi akan memberikan dampak positif dalam pembangunan
yang berwawasan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lahan gambut untuk pengembangan
sektor perkebunan terutama untuk jenis jelutung (Dyera sp) pada lahan gambut sangat perlu
untuk dicermati, karena disamping untuk melakukan upaya rehabilitasi kembali kawasankawasan yang telah rusak juga diharapkan akan berdampak pada penurunan terhadap
ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
DAFTAR PUSTAKA
Christian CS, Stewart GA, (1968) Methodology of integrated surveys. Proc. Toulouse Conf.
UNESCO. Paris.
Fahmuddin Agus, I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor
Hamzah, Umur. 2003. Prospek Pemanfaatan Lahan Kering Dalam Rangka Mendukung
Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca
Sarjana/S3. IPB.
Handoko Widagdo. 2010. Jelutung si Pohon Permen Karet. http://baltyra.com/2010/02/11/
jelutung -si-pohon-permen-karet/. Diakses 25 Mei 2015
Machfudz. 2001. Peningkatan Produktivitas Lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui
Usahatani Konservasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana/S3. IPB.
Muh. Sofiyuddin, Janudianto. 2013. Jalan Panjang Domestikasi dan Agroforestasi Jelutung
(Dyera
sp).
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2013/08/jalan-panjangdomestikasi-dan.html. Diakses 25 Mei 2015
Pusat Informasi Kehutanan Provinsi Jambi. Jelutung. http://infokehutanan.jambiprov.go.id/?v
=pr&id=85. Diakses 25 Mei 2015
Wahyunto, S. Ritung, and H. Subagjo. 2003. Map of Peatland Distribution Area and
Carbon Content in Sumatra. Wetland International- Indonesia Program and
Wildlife Habitat Canada (WHC).
Wibowo, P. dan N. Suyatno.1998. An Overview of Indonesian Wetlands Sites – II.
Wetlands International – Indonesia Programme (WI-IP)
Yayan
Muhamad Zen . 2013. Makalah Lahan Potensial dan Lahan Kritis.
http://warnetalbarokah blogspot.com /2013/10/contoh-makalah-lahan-potensialdan.html. Diakses 25 Mei 2015
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
PENDIDIKAN LINGKUNGAN
“PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT KRITIS
DENGAN PENANAMAN TANAMAN JELUTUNG (Dyera sp)”
DISUSUN OLEH
INDRIANI
1405113793
DOSEN PENGAMPU : Drs.NURSAL, M.Si
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2015
1. PENDAHULUAN
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap
karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia
(Christian dan Stewart, 1968). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun
atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen
fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya
merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat
kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk mendorong alih fungsi lahan gambut
menjadi lahan pertanian dalam rangka mendukung ketahanan pangan,memenuhi bahan baku
industri kertas,memenuhi kebutuhan areal perkebunan serta dalam rangka pengembangan
bioenergi.
2. KONDISI LAHAN GAMBUT DI RIAU
Lahan gambut di Indonesia seluas 20 juta hektar atau menduduki urutan ke
empat dalam katagori lahan gambut terluas di dunia setelah Kanada, Uni Soviet dan
Amerika. Lahan gambut tersebut sebagian besar terdapat di empat Pulau besar yaitu
Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno,
1998). Penyebaran lahan gambut di Sumatera, khususnya terdapat di dataran rendah
sepanjang pantai timur dengan luas 7,2 juta hektar. Riau, merupakan provinsi dengan
lahan gambut terluas di Pulau Sumatera yaitu ± 4,04 juta Ha atau 56,1% dari luas total
lahan gambut di Sumatera (Wahyunto et.al., 2003).
Riau mempunyai lapisan gambut terdalam di dunia, yaitu mencapai 16
meter terutama di wilayah Kuala Kampar (Anonimous, 2006). Lahan gambut merupakan
suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan
rawa. Pembukaan lahan gambut melalui penebangan hutan (land clearing) dan drainase
yang tidak hati-hati akan menyebabkan penurunan permukaan (subsiden) permukaan
yang cepat, pengeringan yang tak dapat balik (irreversible drying), dan mudah terbakar.
Potensi gambut yang sangat besar di wilayah ini perlu dikelola secara arif
sehingga dapat memberikan nilai tambah tanpa merusak fungsi alami lahan gambut itu
sendiri. Pengelolaan gambut yang menyelaraskan antara fungsi ekonomi dan fungsi
ekologi akan memberikan dampak positif dalam pembangunan yang berwawasan
lingkungan.
Dalam sepuluh tahun terakhir kita melihat kekhawatiran mengenai kehilangan
dan kerusakan ekosistem lahan gambut secara significan di Indonesia, serta menyebabkan
kerusakan dan kehancuran keanekaragaman hayati lahan gambut, kerusakan tata air, dan
lepasnya jutaan karbon ke udara. Konversi lahan gambut, drainase dan eksploitasi berlebihan
terhadap lahan gambut telah diketahui merupakan akan penyebab munculnya kebakaran yang
telah menghancurkan atau merusak lahan gambut. Untuk menghindari degradasi yang lebih
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
parah lagi maka diperlukan suatu upaya sesegara mungkin untuk memperbaiki kondisi
tersebut dengan melibatkan para pihak.
Salah satu pihak yang dianggap memiliki keterkaitan secara langsung dengan
pengelolaan lahan gambut ini, adalah masyarakat. Keterlibatan masyarakat untuk mengurangi
tingkat ancaman dan kerusakan pada lahan gambut menjadi sangat besar mengingat bahwa
adanya interaksi dengan pola pemanfaatan dan laju kerusakan. Hal yang sangat penting dan
dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana mengarahkan masyarakat dalam
mengelola lahan gambut untuk kepentingan pemanfaatan dengan pola budaya tradisionil
(kearifan lokal) yang memadukan antara pengembangan teknologi budidaya dan nilai budaya
bertani.
3. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGELOLAAN DAN
PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT
Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana dan berkelanjutan merupakan upaya
untuk tetap mempertahankan potensi kekayaan alami ekosistem, Serta memanfaatkanya
secara berkelanjutan agar dapat diperoleh manfaat tidak hanya untuk masa kini namun juga
pada masa mendatang.. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut yang
melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat lokal akan lebih
memberikan kepastian keberlanjutan pengelolaan dibandingkan dengan kegiatan serupa yang
dilakukan tanpa peran masyarakat lokal.
Melibatkan masyarakat melalui pola program pemberdayaan harus juga
disesuaikan dengan dengan kondisi masyarakat setempat dan menghargai pemanfaatan secara
tradisional. Dalam kasus terjadi kerusakan yang sangat drastis pada lahan gambut maka
pemberdayaan masyarakat yang memungkinkan dan memiliki peluang untuk dikembangkan
adalah mengajak masyarakat kembali kepada pola tradisionil yaitu melakukan usaha
penanaman kembali jenis-jenis tanaman yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Riau
dan disesuaikan dengan kondisi setempat serta arah kebijakan pembangunan khususnya pada
bidang perkebunan dan atau pertanian.
Untuk saat ini sektor perkebunan menjadi salah satu program yang mendapat
perhatian utama, ini dapat dilihat dengan begitu banyak dan luasnya pencadangan kawasan
untuk kepentingan perkebunan dan komoditi andalan yang menjadi prioritas adalah pada
jenis sawit, karet dan jelutung (Dyera sp).Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lahan
gambut untuk pengembangan sektor perkebunan terutama untuk jenis jelutung (Dyera sp)
pada lahan gambut sangat perlu untuk dicermati, karena disamping untuk melakukan upaya
rehabilitasi kembali kawasan-kawasan yang telah rusak juga diharapkan akan berdampak
pada penurunan terhadap ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Upaya-upaya pemberdayaan yang akan dilakukan tidak hanya berhenti pada
upaya memfasilitasi petani atau masyarakat dengan pemberian bibit, namun juga harus
diiringi dengan peningkatan pemahaman dan kapasitas serta tanggung jawab bersama
terutama masyarakat yang menjadi penerima manfaat dari sebuah program.
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
4. POTRET DAN PROSPEK PASAR TANAMAN JELUTUNG (Dyera sp)
Jelutung (Dyera sp) merupakan jenis pohon hutan yang termasuk dalam
family Apocinaceae. Salah satu species dalam family ini adalah Dyera polyphylla yang
tumbuh di hutan rawa gambut atau daerah tergenang. Pohon ini merupakan tanaman asli dari
Asia Tenggara yang tersebar di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Philipina. Di Indonesia
tersebar di Sumatera dan Kalimantan yang meliputi Jambi, Riau, Sumatra Utara, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera jelutung (Dyera sp)dikenal
dengan nama labuwai/Melabuwai, sedangkan di Kalimantan dikenal dengan nama pantung..
Pohon jelutung (Dyera sp) berbentuk silindris, tingginya bias mencapai 25-45
m, dan diameternya bisa mencapai 100 cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitamhitaman, dan bertekstur kasar. Cabangnya tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 m. Bentuk
daunnya memanjang, pada bagian ujungnya melebar dan membentuk rokset. Sebanyak 4-8
helai daun tunggal itu duduk melingkar pada ranting. Jelutung berbunga dua kali setahun.
Bunga malainya berwarna putih, dan buahnya berbentuk polong. Apabila sudah matang,
buahnya pecah untuk menyebarkan biji-bijinya yang berukuran kecil dan bersayap ke tempat
di sekitarnya.
Manfaat jelutung (Dyera sp) diantaranya :
a) Getah
Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih. Penyadapan getah
jelutung dilakukan padas pohon jelutung yang berdiameter lebih-kurang 20 cm. Sekali
penyadapan menghasilkan getah jelutung 0,1-0,6 kg/pohon. Setahun penyadapan getah
jelutung bisa dilakukan 40 kali. Sebagai gambaran, dengan asumsi harga getah jelutung
dipasaran sebesar Rp 3.000,-/kg, dengan jumlah pohon 200 pohon/ha, maka nilai ekonomis
getah jelutung per hektar Rp 2.400.000,- - Rp 13.440.000,-.
b) Kayu
Setelah pohon jelutung tidak lagi menghasilkan getahnya, pohonnya bisa
ditebang untuk dimanfaatkan kayunya. Kayu jelutung dapat digunakan untuk bahan: cetakan
bangunan, meja gambar, kelom, ukiran, sepasiter baterai, kayu lapis dan pensil.
Menurut perencanaan pembangunan hutan rakyat, pertumbuhan diameter
pohon jelutung rata-rata 1,58 cm/tahun, dan dengan umur masak tebangnya 35 tahun, maka
rata-rata diameter pohonnya lebih besar 50 cm. Dengan asumsi rata-rata tinggi pohon bebas
cabang 15 m, volume rata-rata 2,94 m3, jumlah pohon 200/ha, dan harga kayu di pasaran Rp.
200.000,-/m3, maka nilai kayu jelutung per ha Rp. 117.600.000,c) Peluang Pasar Getah Jelutung (Dyera sp)
Selama ini Negara Indonesia menjadi pemasok getah jelutung terbesar pada
negara-negara importir. Kebutuhan getah jelutung untuk berbagai industri diberbagai Negara,
belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh Negara Indonesia.
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
Nilai ekspor dari tahun 1970 sampai tahun akhir tahun 1980 an nilai ekspor
rata-rata tiap tahun berkisar antara 400.000 kg – 800 kg 1) , dengan nilai devisa berkisar US$
1.60 milyar. Selain itu tanaman jelutung sendiri sampai sekarang belum teridentifikasi luasan
kebun yang dikelola, karena masyarakat masih mengambil getah (lateks) dari hutan, dan
penanaman jenis ini mulai dilirik oleh Pemerintah, para pihak dan masyarakat sendiri baru
memasuki era tahun 2000-an melalui berberapa program yang dikembangkan oleh
Departemen Kehutanan seperti program DAK-DR atau pun GERHAN.
4. POTENSI PENGELOLAAN
PENANAMAN Dyera sp
LAHAN
GAMBUT
KRITIS
DENGAN
Sebagai upaya untuk mengurangi tingkat ancaman kebakaran hutan dan lahan
dengan pola pengelolaan dan pengembangan tanaman jelutung (Dyera sp). Merupakan upaya
untuk merehabilitasi kembali lahan-lahan gambut yang kritis dengan menanam jenis-jenis
tanaman lokal yang sudah familiar dengan petani dan masyarakat Riau. Dan juga sebagai
wadah bagi peningkatan kapasitas petani/masyarakat dalam bertukar informasi dan
pengalaman dengan para pihak.
Penanaman Jelutung (Dyera sp) merupakan salah satu upaya untuk
memanfaatkan lahan kritis kearah pemanfaatan lahan budidaya perkebunan dengan pola
tanpa bakar.Penanaman Jelutung (Dyera sp) pada lahan kritis dengan melibatkan masyarakat
merupakan salah satu upaya untuk menekan ancaman terhadap bahaya kebakaran yang sering
terjadi pada lahan-lahan gambut.
Dalam pengambilan bibit anakan yang berasal dari alam, maka beberapa hal
harus dipersiapkan untuk mengantisiapsi atau mengurangi tingkat kematian bibit. Antara lain
(a) pola pengambilan bibit haru dilakukan dengan memperhatikan musim, yaitu sangat baik
pada musim penghujan; (b) tempat penangan bibit di sekitar kebun selama masa adaptasi
harus dipersiapkan secara maksimal (c) untuk bibit jelutung sebaiknya dipilih yang berukuran
tinggi antara 30-45 cm karena dianggap cukup memiliki daya adaptasi dan daya tahan yang
tinggi baik ketika setelah pencabutan maupun ketika proses fisiologi pertumbuhan lainnya.
Untuk menciptakan ruang tumbuh yang baik bagi tanaman setelah penanaman,
maka disekitar pernaman harus sering dilakukan penggemburan, dan pada saat penanaman
bibit maka tanah sekitar perakaran jangan dipadatkan sehingga tercipta ruang tumbuh dan
aerase udara yang cukup bagi pertumbuhan sistem perakaran. Selain itu untuk mengurangi
tingkat kompetisi atas unusr hara, maka sebaiknya sekitar pertanaman dapat dilakukan
pembersihan lahan sekitar 3 bulan sekali disesuaikan dengan pertumbuhan gulma.
5. PENUTUP
Lahan potensial merupakan lahan yang harus dijaga dan diberdayakan sebaik
mungkin, karena lahan potensial bisa menjadi lahan kritis apabila penggunaan dan
pemanfaatannya tidak tepat guna.Potensi gambut yang sangat besar di wilayah ini perlu
dikelola secara arif sehingga dapat memberikan nilai tambah tanpa merusak fungsi
alami lahan gambut itu sendiri. Pengelolaan gambut yang menyelaraskan antara fungsi
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
ekonomi dan fungsi ekologi akan memberikan dampak positif dalam pembangunan
yang berwawasan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lahan gambut untuk pengembangan
sektor perkebunan terutama untuk jenis jelutung (Dyera sp) pada lahan gambut sangat perlu
untuk dicermati, karena disamping untuk melakukan upaya rehabilitasi kembali kawasankawasan yang telah rusak juga diharapkan akan berdampak pada penurunan terhadap
ancaman bahaya kebakaran hutan dan lahan.
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau
DAFTAR PUSTAKA
Christian CS, Stewart GA, (1968) Methodology of integrated surveys. Proc. Toulouse Conf.
UNESCO. Paris.
Fahmuddin Agus, I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor
Hamzah, Umur. 2003. Prospek Pemanfaatan Lahan Kering Dalam Rangka Mendukung
Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca
Sarjana/S3. IPB.
Handoko Widagdo. 2010. Jelutung si Pohon Permen Karet. http://baltyra.com/2010/02/11/
jelutung -si-pohon-permen-karet/. Diakses 25 Mei 2015
Machfudz. 2001. Peningkatan Produktivitas Lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui
Usahatani Konservasi. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana/S3. IPB.
Muh. Sofiyuddin, Janudianto. 2013. Jalan Panjang Domestikasi dan Agroforestasi Jelutung
(Dyera
sp).
http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2013/08/jalan-panjangdomestikasi-dan.html. Diakses 25 Mei 2015
Pusat Informasi Kehutanan Provinsi Jambi. Jelutung. http://infokehutanan.jambiprov.go.id/?v
=pr&id=85. Diakses 25 Mei 2015
Wahyunto, S. Ritung, and H. Subagjo. 2003. Map of Peatland Distribution Area and
Carbon Content in Sumatra. Wetland International- Indonesia Program and
Wildlife Habitat Canada (WHC).
Wibowo, P. dan N. Suyatno.1998. An Overview of Indonesian Wetlands Sites – II.
Wetlands International – Indonesia Programme (WI-IP)
Yayan
Muhamad Zen . 2013. Makalah Lahan Potensial dan Lahan Kritis.
http://warnetalbarokah blogspot.com /2013/10/contoh-makalah-lahan-potensialdan.html. Diakses 25 Mei 2015
Pendidikan Lingkungan
Universitas Riau