Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

BAB II
HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA
GATT/ WTO

A. Sejarah Lahirnya GATT 1947 Hingga Berdirinya World Trade
Organization
1.

Lahirnya GATT 1947
Akhir Perang Dunia II (PD II), perdagangan internasional berada dalam

keadaan yang tidak menentu, banyak peringkat dari subsistem yang menunjang
kelancaran perdagangan yang telah mengalami kerusakan baik institusional
maupun fisik. 31 Sebagian besar dari kegiatan perdagangan terpaksa dilakukan
secara ad-hoc sementara secara bertahap sendi-sendi yang menunjang mulai
diperbaiki. 32 Tema dari upaya internasional pada akhir PD II adalah rekontruksi
total

perekonomian

dunia. 33Dalam


pelaksanaannya,

upaya

masyarakat

internasional untuk menangani masalah keuangan dan moneter internasional dapat
dilaksanakan dengan cara yang relatif lebih cepat. 34 Dalam Konferensi Bretton
Woods tahun 1944, masyarakat internasional menyetujui didirikannya Dana
Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam waktu yang
relatif singkat. 35 Begitu pula dalam hal menentukan rencana untuk mengadakan
rekontruksi bagi negara-negara menghadapi kerusakan akibat PD II. Untuk itu
masyarakat internasional telah mendirikan Bank Dunia atau International Bank

31

H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO : Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di
Bidang Perdagangan(selanjutnya disebut Buku II) (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 33.
32

Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 34.
35
Ibid.

22
Universitas Sumatera Utara

for Recontruction and Development (IBRD). Bank dunia juga didirikan secara
bersamaan pada tahun 1944 dalam rangka perjanjian yang ditandatangani di
Bretton Woods. 36Untuk masalah yang menyangkut bidang perdagangan
internasional,

dikemukakan

bahwa


perkembangan

institusional

dibidang

perdagangan internasional tidak terlampau lancar. 37 Berbeda dengan bidang
finansial dan keuangan, dibidang perdagangan, negara-negara peserta konferensi
tidak berhasil medirikan suatu organisasi internasional. Semula diharapkan bahwa
rencana untuk mendirikan International Trade Organization (ITO) dapat disetujui
untuk diciptakan agar menangani masalah perdagangan internasional. Namun,
Karena berbagai pertimbangan politis, ITO tidak jadi terbentuk yang terutama
disebabkan karena kongres Amerika Serikat tidak menyetujui untuk didirikannya
ITO, dimana AS memiliki peranan yang sangat menentukan untuk terwujudnya
perdagangan bebas dunia. Maka terdapat suatu kekosongan institusional pada
tingkat internasional dalam bidang perdagangan. 38 Dengan adanya kekosongan
institusional tersebut, maka GATT yang semula merupakan suatu perjanjian
interim, menjadi satu-satunya instrumen dibidang perdagangan yang telah
memperoleh konsensus yang luas untuk menjadi landasan dalam pengaturan tata
cara perdagangan internasionalyang mana benih sejarah pembentukan GATT

sebenarnya berawal dari waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic
Charter) pada bulan Agustus 1941. 39 Salah satu tujuan dari piagam ini adalah
menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan kepada non-

36

Ibid.
Ibid.
38
Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Edisi Kedua
(selanjutnya disebut Buku I) (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 340.
39
H. S. Kartadjoemena (Buku I), Loc. Cit., hlm 34.
37

23
Universitas Sumatera Utara

diskriminasi dan kebebasan tukar-menukar barang dan jasa. 40Dengan demikian
maka pada tahun 1947 GATT menjadi satu-satunya lembaga yang beroperasi

sebagai organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional,
sekurang-kurangnya

bagi

negara-negara

anggota. 41

Karena

perdagangan

internasional antara negara-negara anggota merupakan sekitar 80% dari seluruh
perdagangan dunia secara riil, maka GATT menetapkan dan menerapkan aturan
permainan dari hampir seluruh perdagangan internasional. 42
Dilihat dalam praktiknya, GATT 1947 telah menjadi peraturan multilateral
utama perdagangan internasional setelah PD II. Disamping sebagai peraturan
perdagangan internasional sejak tahun 1948 sampai tahun 1994, GATT 1947 juga
telah mejalankan fungsi-fungsi lain seperti sebagai organisasi perdagangan dunia,

forum perundingan masalah perdagangan internasional dan forum penyelesaian
sengketa dagang antar negara-negara peserta. 43 Sebagai forum perundingan telah
dilakukan sembilan kali putaran perundingan GATT dan putaran perundingan
yang terakhir, yakni perundingan GATT Putaran Uruguay berlangsung dari
tahun1986 hingga 1994. 44Putaran-putaran perundingan dibawah GATT tersebut
secara lebih rinci adalah sebagai berikut: 45
a.

Putaran Geneva 1947

(Diikuti oleh 23 negara)

b.

Putaran Annecy 1949

(Diikuti oleh 13 negara)

c.


Putaran Torquay 1950

(Diikuti oleh 38 negara)

d.

Putaran Geneva 1956

(Diikuti oleh 26 negara)

40

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (selanjutnya disebut buku III)
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 103-106.
41
Ibid.
42
Ibid., hlm. 34-35.
43
Nurdin, Indonesia dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO)(Banda Aceh: Sophia

Center, 2007), hlm. 67.
44
Ibid.
45
Ibid.

24
Universitas Sumatera Utara

e.

Putaran Dillon 1960 – 1961

(Diikuti oleh 26 negara)

f.

Putaran Kennedy 1962 – 1967

(Diikuti oleh 62 negara)


g.

Putaran Tokyo 1973 – 1979

(Diikuti oleh 102 negara)

h.

Putaran Uruguay 1986 – 1994

(Diikuti oleh 123 negara)

i.

Putaran Doha 2001 – sekarang

(Diikuti oleh 142 negara)

Fokus perundingan putaran pertama hingga ke-enam adalah pada masalah

penurunan tarif dan dihasilkan keputusan-keputusan tentang penurunan tarif. 46
Pada putaran perundingan ke-enam, selain penurunan tarif juga dihasilkan putusan
tentang anti-dumping measures dan GATT negotiations rules. 47 Mulai
perundingan putaran ke-tujuh, Putaran Tokyo (1973 – 1979) selain merundingkan
soal penurunan tarif, perundingan juga terfokus pada upaya penghapusan
hambatan dagang bukan tarif. Perundingan Putaran Tokyo selain menghasilkan
putusan tentang pengurangan tarif, juga menghasilkan beberapa perjanjian
dibidang

hambatan

non-tarif. 48

Kemudian,

putaran

perundingan

GATT


selanjutnya yakni Putaran Uruguay yang dimulai di Uruguay 1986 dan diakhiri di
Marakesh 1994. 49 Keprihatinan terhadap penurunan pentaatan GATT 1947 yang
terjadi pada 1980-an, kemudian mendorong penyelenggaraan Putaran Uruguay
tahun 1986-1994 tersebut. 50Tanpa disengaja sistem internasional yang diterapkan
secara “interim” tersebut ternyata telah berjalan 40 tahun sebelum akhirnya,
sebagai hasil Uruguay Round, timbul kesepakatan untuk mendirikan organisasi
internasional sepenuhnya yang mempunyai wewenang substantif dan cukup

46

Ibid.
Ibid.
48
Ibid.
49
Ibid.
50
Ibid.
47

25
Universitas Sumatera Utara

komprehensif seperti ITO yakni WTO. 51 Terakhir, putaran yang dimulai 2001
yang masih berlangsung hingga sekarang yakni Putaran Doha. Putaran ini
menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa,
produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak atas
Kekayaan Intelektual (HaKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO.
Putaran Doha juga mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi
tercapainya konsensus yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan kompetisi
(competition policy), transparansi dalam pengadaan pemerintah (goverment
procurement), dan fasilitasi perdagangan. 52 Deklarasi ini juga memuat mandat
untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, negaranegara kecil (small economies), serta hubungan antara perdagangan, utang, dan
alih teknologi. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para
anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu
yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. 53Secara umum, semua
anggota mendukung tujuan-tujuan itu. Namun masalahnya, bagaimana membuat
peraturan yang bisa diterima semua pihak. Negara-negara industri menuntut agar
produk industrinya bisa diperdagangkan lebih bebas di negara-negara ambang
industri seperti di Cina dan India. 54 Negara-negara miskin menuntut agar subsidi
pertanian di Amerika Serikat dan Uni Eropa dihapus. Karena subsidi pertanian di
negara kaya menghapus peluang negara-negara miskin masuk ke pasarnya.
51

H. S. Katadjoemena, GATT WTO dan hasil Uruguay Round (selanjutnya disebut Buku
I) (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1997), hlm. 18.
52
“Putaran Doha”, http://putrinyaperwira-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-64846Prinsip%20Ekonomi%20Internasional-Putaran%20Doha.html, diakses pada 30 Maret 2016 Pukul
12.06 WIB.
53
“World
Trade
Organization”,
Iskandar
Panjaitan,
et.al,
http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm, Diakses pada 30 Maret 2016 Pukul 12.15
WIB.
54
”Bagaimana
Kelanjutan
Putaran
Doha?”.
Hendra
Pasuhuk,
http://www.dw.de/dw/article/0,,15605184,00.html, diakses pada 30 Maret 2016 Pukul 12.30 WIB

26
Universitas Sumatera Utara

Sementara negara industri berusaha melindungi sektor pertanian dari serbuan
produk-produk impor. Sebenarnya, sudah banyak peraturan yang berhasil
disepakati tentang pajak impor dan penghapusan hambatan perdagangan.Tapi
peraturan ini baru bisa berlaku resmi, jika semua anggota WTO menyepakati
seluruh paket perdagangan bebas yang disepakati dalam Putaran Doha. Inilah
hambatan utama yang membuat perundingan jadi rumit dan berlangsung hingga
saat ini. 55
2.

Berdirinya WTO sebagai Kelanjutan GATT 1947
GATT 1947 yang hadir sebagai kesepakatan perdagangan internasional

ditengah kondisi perekonomian dunia yang mengalami perlambatan yang cukup
signifikan pasca PD II sebenarnya ditujukan untuk pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (International Trade Organization). 56 Meskipun Piagam ITO
yang akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di
Havana pada Maret 1948, namun proses ratifikasi tidak berjalan lancar. Ditambah
lagi kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan
untuk tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat
dilaksanakan. 57 Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen
multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Bersama berjalannya
waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk menjadi
anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan
akhirnya berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay

55

Ibid.
Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO (selanjutnya disebut Buku II)
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 3.
57
Sudargo Gautama, Masalah-Masalah Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata
Internasional dan Hak Milik Intelektual (selanjutnya disebut Buku I) (Bandung : PT Citra Aditya
Bakti, 1992), hlm. 1.
56

27
Universitas Sumatera Utara

pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT
sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru, yakni WTO. Setelah melewati
masa transisi untuk memberikan kesempatan ratifikasi ditingkat nasional anggota,
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995.
Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup
penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya
salah satu lampiran WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan
bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya perjanjian mengenai
Jasa (GATS), penanaman modal (TRIMs), dan juga dalam perjanjian mengenai
perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (TRIPS). 58
Sejak berdiri, GATT telah mensponsori berbagai macam perundinganperundingan utama/pokok yang biasanya disebut juga dengan istilah putaran
(rounds). Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat
liberalisasi perdagangan internasional. 59 Terkait Berdirinya WTO sebagai
kelanjutan GATT 1947 dibahas dalam putaran perundingan ke-8 disebut Putaran
Uruguay. Putaran yang dimulai 1986, merujuk pada kesepakatan yang diambil di
Uruguay, dan berakhir pada Maret 1994 di Marrakesh, Maroko. Pada saat itulah
organisasi GATT diubah namanya menjadi WTO. 60 Hasil dari perundingan
GATT Putaran Uruguay tersebut adalah disetujuinya persetujuan pembentukan
WTO beserta lampiran-lampirannya (The Agreement Establishing The World
Trade Organization and Annexes). 61Secara lengkapnya dalam penjelasan UU

58

Huala Adolf (Buku III), Op. Cit., hlm. 97.
Ibid.
60
M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO
(Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 3.
61
Triyana Yohanes, Hukum Ekonomi Internasional: Perspektif Kepentingan Negara
Sedang Berkembang dan LDC’s (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015), hlm. 68.
59

28
Universitas Sumatera Utara

Pengesahan WTO, pengesahan WTO dinyatakan perundingan Putaran Uruguay
berlangsung sangat ketat, sehingga masa perundingan yang semula direncanakan
berlangsung selama 4 tahun sejak peluncuran Putaran Uruguay, tidak dapat
tercapai. Proses perundingan itu sendiri berlangsung dalam tahapan-tahapan
sebagai berikut: 62
a. Tahap perundingan awal (1986-1988)
Tahap ini berlangsung segera setelah selesainya pertemuan tingkat menteri
di Punta del Este, Uruguay, pada tahun 1986. Pada tahap ini, perundingan
menghasilkan beberapa naskah awal di berbagai bidang, yang kemudian dijadikan
dasar bagi perundingan berikutnya;
b. Tahap tinjauan paruh masa (1988)
Pada tahap perundingan paruh masa di Montreal, Kanada tahun 1988,
proses perundingan berlangsung agak terhambat karena sama sekali belum
tercapai kesepakatan di bidang pertanian, tekstil dan pakaian jadi, tindakan
pengamanan, dan aspek-aspek dagang dari HaKI
c. Tahap pertemuan brussel (1990)
Tahapan ini semula dimaksudkan untuk mengakhiri perundingan Putaran
Uruguay, tetapi karena belum tercapai kesepakatan di bidang pertanian terutama
antara Amerika Serikat dan Masyarakat Eropa, maka masa perundingan Putaran
Uruguay diperpanjang sampai dengan tahun 1991;
d. Tahap naskah ketua komite perundingan perdagangan (1991)
Perundingan lanjutan yang berlangsung dalam tahun 1991 di Jenewa tidak
dapat menghasilkan persetujuan yang menyeluruh, sehingga untuk mempercepat
62

Proses Perundingan Putaran Uruguay dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

29
Universitas Sumatera Utara

penyelesaian proses perundingan, Direktur Jenderal GATT selaku Ketua Komite
Perundingan Perdagangan mengajukan naskah rancangan persetujuan akhir yang
disusunnya dengan inisiatif sendiri untuk diterima atau ditolak oleh negara peserta
perundingan;
e. Tahap pertemuan Jenewa (1993)
Perundingan tahap akhir Putaran Uruguay secara praktis berlangsung sejak
awal tahun 1992 sampai dengan akhir tahun 1993, dan berhasil menyepakati paket
persetujuan Putaran Uruguay yang didasarkan pada naskah rancangan persetujuan
akhir yang disusun dengan inisiatif Ketua Komite Perundingan Perdagangan.Yang
pada akhirnya secara umum, paket persetujuan Putaran Uruguay mencakup tiga
hal utama sebagai berikut: 63
1) Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai pengganti
Sekretariat GATT yang selanjutnya akan mengadministrasikan dan
mengawasi pelaksanaan persetujuan perdagangan serta menyelesaikan
sengketa dagang di antara negara anggota;
2) Penurunan tarif impor berbagai komoditi perdagangan secara
menyeluruh, dan akses pasar domestik dengan mengurangi berbagai
hambatan/proteksi perdagangan yang ada;
3) Pengaturan baru di bidang aspek-aspek dagang yang terkait dengan
HaKI, ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan, dan
perdagangan Jasa.

63

Hasil Akhir Putaran Uruguay dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

30
Universitas Sumatera Utara

Maka, WTO pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari
GATT. Dengan terbentuknya WTO, maka terealisir cita-cita masyarakat
internasional untuk memiliki suatu organisasi internasional universal yang
membidangi masalah-masalah perdagangan dunia. 64 Lembaga GATT yang
berstruktur lepas berubah menjadi organisasi dunia yang amat berkuasa yaitu
WTO. 65 Walaupun GATT sebagai institusi tidak ada lagi, namun persetujuan
GATT masih tetap berlaku, yang kemudian dikenal dengan GATT 1947 dan versi
terbaru GATT 1994. 66 Semua persetujuan tersebut masuk kedalam persetujuan
WTO yang baru. 67
3. Tujuan GATT dan WTO
Tujuan dari persetujuan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim
dalam perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis
serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan didalam
penanaman modal, lapangan kerja, dan penciptaan iklim perdagangan yang
sehat. 68Dengan tujuan demikian, sistem perdagangan internasional yang
diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan diseluruh dunia. 69
Tujuan utama GATT tersebut dapat tampak dengan jelas pada preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT: 70
a.

meningkatkan taraf hidup umat manusia;

64

Ibid.
M. Husein Sawit,. Loc. Cit., hlm. 3.
66
Ibid.
67
Lihat naskah hasil perundingan putaran uruguay yang diterbitkan oleh Universitas
Cambridge (WTO 1999).
68
Christhophorus Barutu (Buku II), Op. Cit., hlm. 1.
69
Oliver Lang, Law and limitation in the GATT multilateral trade system, (dalam)
Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 4.
70
Huala Adolf (Buku III), Op. Cit., hlm. 98.
65

31
Universitas Sumatera Utara

b.

meningkatkan kesempatan kerja ;

c.

meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia;

d.

meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang;
Kemudian,

ada

tiga

fungsi

utama

GATT

dalam

mencapai

tujuannya. 71Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang
mengatur tindak tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan
memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rules of the road for
trade). Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Disini
diupayakan agar praktik perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan
yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Dan aturan atau praktik
perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable), baik melalui pembukaan
pasar nasional maupun melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan
peraturannya. Ketigaadalah sebagai suatu “pengadilan” internasional dimana para
anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT
lainnya. Hal ini disebutkan pula dalam penjelasan latar belakang UU Pengesahan
WTO, bahwa GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota
dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang
perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian
sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta. GATT juga
merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari suatu negara yang merasa
dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak adil dari negara peserta yang lain di
bidang perdagangan. Prinsipnya, masalah-masalah yang timbul diselesaikan

71

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan
Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 4.

32
Universitas Sumatera Utara

secara bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam persengketaan dagang
melalui konsultasi dan konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT.
WTO yang pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan
dari GATT yang memiliki tujuan utama yakni menciptakan persaingan sehat
dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya. Sedangkan secara
filosofis tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan,
menjamin

terciptanya

lapangan

pekerjaan,

meningkatkan

produksi

dan

perdagangan, serta mengoptimalkan pemanfaatan suber daya dunia. 72 WTO yang
merupakan kelanjutan dari GATT, pada dasarnya memiliki prinsip-prinsip dan
tujuan

yang

sama

dalam

menciptakan

ketertiban

dalam

perdagangan

internasional. 73Tujuan dari WTO adalah untuk membantu produsen barang dan
jasa, eksportir, dan importir dalam melakukan kegiatannya. 74 Tujuan dari WTO
pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan tujuan GATT 1947 sebagai
pendahulunya. Setelah dibentuknya WTO, tujuan GATT 1947 tersebut juga
dicantumkan dalam bagian pembukaan (konsideran) persetujuan WTO 75. Maka,
oleh Van den Bossche dikatakan bahwa tujuan akhir dari WTO adalah sebagai
berikut: 76
a.

Meningkatkan standar hidup.

b.

Pencapaian keadaan full employment (tidak ada pengangguran).

c.

Pertumbuhan pendapatan nyata dan permintaan yang efektif.

72

“WTO dan Sistem Perdagangan Dunia”, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
http:/ /www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.htm, diakses 12 Februari 2016 Pukul 01.23 WIB.
73
Christhophorus Barutu (Buku II), Op. Cit., hlm. 6.
74
Ibid.
75
“Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization”, World Trade
Organization,
https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/wto_agree_01_e.htm, diakses pada
17 Februari 2016 Pukul 01.10 WIB.
76
Peter Van den Bossche, Op. Cit., hlm. 86.

33
Universitas Sumatera Utara

d.

Pelunasan produksi dan perdagangan barang-barang dan jasa-jasa.

B. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Internasional dalam Kerangka
GATT/ WTO
General Agreement on Tariff and Tradde bukan merupakan suatu konstitusi
atau anggaran dasar, tetapi merupakan suatu “Common Code of Conduct” untuk
perdagangan internasional. 77Sebagai alat untuk stabilitasi secara progresif dari
tarif bea masuk dan merupakan forum untuk konsultasi,GATT memiliki prinsipprinsip serta pengecualian atas prinsipnya dalam kerangka perdagangan
bebasdalam mengadministrasikan, mengawasi dan memberikan kepastian bagi
pelaksana seluruh persetujuan GATT serta hasil perundingan Putaran Uruguay. 78
1. Prinsip-prinsip perdagangan bebas dalam GATT/ WTO
Pada prinsipnya persetujuan WTO meneruskan sistem GATT 1947.
Dibawah WTO, GATT 1947 dijadikan salah satu bagian dari persetujuan WTO
dan disebut sebagai GATT 1994. Baik GATT 1947 maupun persetujuan WTO
menerapkan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang berakar pada faham ekonomi
liberal yang diintrodusir Adam Smith melalui bukunya the Wealth of Nations pada
1776. 79

tahun

Persetujuan

WTO

memperluas,

memodifikasi

dan

menyempurnakan sistem GATT 1947. Dibawah persetujuan WTO, GATT 1947
dengan modifikasi-modifikasi dan persetujuan-persetujuan tentang penafsiran
pasal-pasal GATT tertentu yang dihasilkan dalam perundingan GATT sebelum

77

Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP)
(selanjutnya disebut Buku II) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108.
78
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional (selanjutnya disebut
Buku II) (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 134.
79
Tentang landasan faham liberal perdagangan dunia, lihat dalam H.S. Kartadjoemena
(Buku II), Op. Cit., hlm. 22-28.

34
Universitas Sumatera Utara

WTO, diberlakukan sebagai peraturan pokok dibidang perdagangan barang,
dengan sebutan GATT 1994. 80 Oleh karena itu pengaturan perdagangan
internasional dibawah WTO secara umum masih mendasarkan pada prinsipprinsip GATT 1947. 81
GATT/WTO mempunyai sejumlah prinsip yaitu : 82
a.

Non-diskriminasi (Most Favored Nation/ MFN).
Prinsip ini diatur dalam Pasal I GATT 1947, Pasal 4 TRIPS dan Pasal 2

GATS. Prinsip most favored nation menyatakan bahwa perdagangan internasional
antara anggota GATT harus dilakukan secara non-disrkriminatif. Article 1 Section
(1) GATT 1947 mengharuskan perlakuanMFN atas semua konsesi tarif yang telah
diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa:
“With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in
connection with importation or exportation or imposed on the
international transfer of payments for imports or exports, and with respect
to the method of levying such duties and charges, and with respect to all
rules and formalities in connection with importation and exportation, and
with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III,
any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting
party to any product originating in or destined for any other country shall
be accorded immediately and unconditionally to the like product
originating in or destined for the territories of all other contracting
parties.”
Dengan demikian prinsip utama adalah bahwa konsesi yang diberikan
kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya.
Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk dari negara
lain. Dengan demikian maka semua negara ditempatkan pada kedudukan yang

80

Triyana Yohanes, Op. Cit., hlm. 76.
Ibid.
82
Nurdin, Op. Cit., hlm. 45-47. Dapat juga dilihat lebih jelas mengenai prinsip-prinsip
GATT/WTO yang dikemukakan Oliver Long (dalam) Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional
: dalam Kerangka Studi Analitis (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 47-49.
81

35
Universitas Sumatera Utara

sama, dan semua negara harus turut menikmati peluang yang tercapai dalam
liberalisasi perdagangan internasional dan memikul kewajiban yang sama.
b.

Perlakuan nasional (national treatment)
Prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT 1947, berjudul “National

Treatment on International Taxation and Regulation”, yang menyatakan bahwa,
“this standard provides for island parity that is say equality for treatment between
nation and foreigners” dan dalam Pasal 3 TRIPS. Prinsip national treatment
adalah merupakan sisi lain dari konsep non-diskriminasi. Prinsip ini melarang
perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa
pada saat suatu barang impor telah masuk kepasaran dalam negeri suatu anggota,
dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang
impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam
negeri.
c.

Tarif sebagai instrumen tunggal untuk proteksi (protection to domestic
industry through tariff)
Menurut prinsip ini, GATT mengizinkan proteksi terhadap hasil dalam

negeri. Namun demikian proteksi yang diperlukan terhadap hasil dalam negeri
hanya dapat dilakukan melalui tarif atau bea masuk yang dikenankan terhadap
barang impor, dan tidak boleh dengan cara pembatasan lainnya. Antara lain,
maksud prinsip ini adalah agar proteksi yang diberikan terhadap hasil dalam
negeri dan pembatasan yang diterapkan terhadap barang impor, dapat diterapkan
dengan cara yang lebih jelas dan transparan, dan dampak distorsi akibat proteksi
tersebut dapat dilihat secara lebih jelas.
d.

Pengikatan tarif (tariff binding).

36
Universitas Sumatera Utara

Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT-WTO 1995

yang mengatur

mengenai jadwal penurunan tarif. Jadwal penurunan tarif yang telah disetujui
dimasukkan dalam Annex Schedule yang merupakan bagian integral dari GATT.
Untuk lebih menjamin perdagangan internasional yang lebih predictable maka
diterapkan ketentuan untuk melakukan tariff binding atau suatu komitmen yang
mengikat negara-negara anggota supaya tidak meningkatkan bea masuk terhadap
barang impor setelah masuk dalam daftar komitmen binding.

37
Universitas Sumatera Utara

e.

Persaingan yang adil (fairnessprinciple)
Prinsip ini diatur diantaranya dalam Pasal VI tentang larangan dumping

dan Pasal XVI tentang subsidi, dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu
negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tertentu
sedang dipihak lain kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi
negara lainnya. 83 Prinsip ini mengandung prinsip persaingan yang adil atau fair
competition. Dengan semakin terjadinya subsidi terhadap ekspor serta terjadinya
dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Aturan main yang berlaku bagi
negara peserta GATT untuk menghadapi subsidi ekspor maupun untuk dumping
tersebut pada teks dalam perjanjian GATT maupun pada Anti-Dumping Code dan
Subisidies Code hasil Tokyo Round.
f.

Larangan terhadap restriksi kuantitatif (general prohibition on quantitative
restriction).
Prinsip ini diatur dalam Pasal XI GATT 1994. Prinsip lain dalam GATT

adalah larangan umum teradap restriksi yang bersifat kuantitatif, yakni kuota dan
jenis pembatasan yang serupa. GATT memperbolehkan pembatasan kuantitatif
yang diterapkan oleh negara anggota dalam hal suatu negara menghadapi masalah
dalam hal neraca pembayarannya. Dan langkah pembatasan kuantitatif yang
diambil suatu negara tidak boleh melampaui batas waktu yang diperlukan untuk
mengatasi masalah neraca pembayaran. 84

83

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 47.
H.S. Kartadjoemena (Buku II), Op. Cit., hlm. 43.

84

38
Universitas Sumatera Utara

g.

Prinsip resiprositas (reciprocity principle)
Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1947, mensyaratkan adanya

perlakuan timbal balik diantara sesama anggota WTO dalam kebijaksanaan
perdagangan internasional. Artinya apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan
perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atau produk impor dari
suatu negara, maka negara pengeskpor produk tersebut wajib juga menurunkan
tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. 85 Berdasarkan prinsip ini
diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi
lalu lintas barang dan jasa. Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan setiap
negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan
bebas. 86Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang
antara dua negara secara timbal balik. Dan menghendaki adanya kebijaksanaan
atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu
dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional. 87 Prinsip-prinsip diatas
merupakan dasar dalam menentukan aturan permainan dibidang yang selama ini
belum ditangani oleh GATT, dan untuk hal-hal yang telah ditangani oleh GATT
diadakan perbaikan-perbaikan yang lebih mencerminkan prinsip-prinsip tersebut
diatas. 88
2. Pengcualian-pengecualian terhadap prinsip perdagangan bebas
Pemerintah dalam banyak kesempatan mengadopsi peraturan atau
melakukan suatu tindakan yang menghambat perdagangan barang dan/atau jasa
guna melindungi, sebagai contoh, kesehatan masyarakat, moral/nilai-nilai yang

85

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 45.
Ibid.
87
Ibid.
88
H.S. Kartadjoemena (Buku I), Loc. Cit., hlm. 18.
86

39
Universitas Sumatera Utara

dianut oleh masyarakat, lapangan pekerjaan atau keamanan nasional. 89Hukum
WTO

menyediakan

peraturan-peraturan

untuk

menjembatani

liberalisasi

perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya.
Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap
disiplin dasar dari kewajiban-kewajiban non-diskriminasi dan pengaturan terhadap
akses pasar. 90Terdapat lima kategori utama dalam pengecualian ini:
a.

pengecualian umum, yang terdapat dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal
XIV GATS;

b.

pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional, terdapat dalam
Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS;

c.

pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat, terdapat dalam Pasal
XIX GATT 1994 dan the Agreement on Safeguards;

d.

pengecualian atas integrasi regional, terdapat dalam Pasal XIV GATT
1994 dan Pasal V GATS;

e.

pengecualian atas dasar neraca perdagangan, terdapat dalam Pasal XII dan
XVIII huruf B GATT 1994 dan Pasal XII GATS; dan

f.

pengecualian untuk pembangunan ekonomi, terdapat dalam Pasal XVIII
huruf A GATT 1994 dan Enabling Clause.
Pengecualian-pengecualian ini memperbolehkan anggota WTO, dalam

situasi tertentu, untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan
tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial
lainnya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan-tindakan tersebut
bertentangan dengan disiplin substantif yang terkandung dalam GATT 1994 atau
89

Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm.

53.
90

Ibid.

40
Universitas Sumatera Utara

GATS. Pengecualian-pengecualian ini secara jelas memperbolehkan anggota
WTO, dalam situasi tertentu, untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi
terhadap nilai-nilai dan kepentingan sosial tertentu daripada liberalisasi
perdagangan. Adapun penjelasan lebih rinci daripada lima golongan pengecualian
berdasarkan Persetujuan WTO adalah sebagai berikut: 91
a.

Pengecualian umum dalam Pasal XX GATT 1994
Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi

perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya adalah
‘pengecualian umum’ yang tercantum dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal
XIV GATS. Dalam menentukan apakah suatu tindakan yang seharusnya tidak
konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan
Pasal XX GATT harus selalu dievaluasi :
1) Apakah tindakan ini bisa ‘sementara’ dibenarkan menurut salah satu
pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai
(j) dalam Pasal XX dan kalau dibenarkan,
2) Apakah dalam pengaplikasian dari tindakan ini telah sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan
dalam pasal tersebut yang biasanya disebut sebagai Chapeau dari
Pasal XX.
Pasal

XX GATT 1994 dalam ayat (a) sampai (j) memberikan dasar

pembenaran yang jumlahnya terbatas, dimana setiap dasar pembenar memiliki
aplikasi persyaratan yang berbeda. Pasal XX dapat dijadikan dasar pembenaran
terhadap tindakan-tindakan, diantaranya:
91

Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit.,
hlm. 53-81.

41
Universitas Sumatera Utara

1) yang diperlukan guna melindungi moral/nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat (Pasal XX huruf a);
2) yang diperlukan guna melindungi kehidupan dan kesehatan manusia,
binatang atau tumbuhan (Pasal XX huruf b);
3) yang diperlukan guna menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional,
seperti peraturan kepabenan atau hak kekayaan intelektual, dimana
peraturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan GATT
(Pasal XX huruf d);
4) yang berhubungan dengan ‘konservasi sumber daya alam yang habis
terpakai’ (Pasal XX huruf g).
b.

Pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional
Menurut Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS, anggota WTO

bisa menerapkan suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATT atau GATS
guna melindungi kedamaian dan keamanan nasional atau internasional. Pasal XXI
huruf b GATT 1994 dan Pasal XIV bis huruf b GATS memperbolehkan anggota
WTO untuk mengadopsi atau mempertahankan suatu tindakan yang dianggap
diperlukan guna melindungi kepentingan keamanan yang dianggap sangat
fundamental seperti:
1) yang

berkaitan

dengan

materi

atom

yang

bisa

memecah

belah/fissionable materials (contoh: nuklir); atau
2) yang berkaitan dengan perdagangan persenjataan atau dalam bentuk
materi lainnya, atau penyediaan jasa yang secara langsung atau tidak
langsung digunakan untuk keperluan militer.

42
Universitas Sumatera Utara

Anggota WTO juga diperbolehkan untuk menerapkan tindakan yang
bertentangan dengan GATT atau GATS bila:
1) dalam keadaan perang atau keadaan darurat lainnya yang berkaitan
dengan hubungan internasional; atau
2) untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan piagam PBB guna
menjaga perdamaian dan keamanan internasional (seperti: sanksi
ekonomi yang diterapkan oleh Dewan Keamaan PBB).
c.

Pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat
Tercantum dalam Pasal XIX GATT dan the Agreement on Safeguard.

Aturan WTO juga mengatur mengenai “pengecualian dalam keadaan ekonomi
darurat”. Pengecualian yang diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement
on Safeguards, memerbolehkan anggota untuk mengadopsi tindakan yang
seharusnya dilarang oleh WTO, dalam situasi terjadi adanya lonjakan impor yang
menyebabkan, atau adanya ancaman yang akan menyebabkan, kerugian yang
serius terhadap industri domestik. Terdapat tiga kategori pengaturan yang
diterapkan untuk tindakan-tindakan pengamanan perdagangan, yaitu peraturan
yang berkaitan dengan:
1) karakteristik dari tindakan pengamanan perdagangan;
2) persyaratan substantif yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan
tindakan pengamanan perdagangan; dan
3) persyaratan prosedural di tingkat nasional dan internasional yang
dipenuhi oleh anggota WTO bila ingin menerapkan tindakan
pengamanan perdagangan.
d.

Pengecualian atas integrasi regional

43
Universitas Sumatera Utara

Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi
regional. Pasal XXIV GATT 1994 (sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam
Understanding on Article XXIV) dan Pasal V GATS memperbolehkan anggota
WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat di antara anggota-anggota
tertentu yang membentuk suatu kelompok. Ketika anggota WTO membentuk
sebagai contoh, integrasi kepabeanan (customs union), mereka memberikan
perlakuan berbeda yang lebih baik diantara mereka dalam hal perdagangan
(seperti penghapusan seluruh bea masuk) yang mana tidak diberikan kepada
anggota WTO lainnya yang bukan merupakan bagian dari customs union tersebut.
e.

Pengecualian untuk pembangunan ekonomi
Pengecualian terakhir yang diberikan oleh ketentuan WTO adalah

pengecualian untuk pembangunan ekonomi untuk membantu negara berkembang.
Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan
berbeda (special and differential treatment) untuk anggota negara berkembang
guna memfasilitasi mereka untuk masuk ke dalam sistem perdagangan dunia dan
untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan ini, yang biasa
disebut sebagai “S&D treatment”, bisa dibagi ke dalam enam kategori:
1) ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan
anggota negara berkembang;
2) ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi
kepentingan anggota negara berkembang;
3) flexibilitas dari komitmen, dalam bentuk tindakan, dan penggunaan
instrumen kebijakan;
4) jangka waktu transisi;

44
Universitas Sumatera Utara

5) bantuan teknis; dan
6) ketentuan yang berkaitan dengan anggota negara terbelakang (leastdeveloped-country Members).

C. Hambatan Tarif dalam Kerangka GATT/ WTO
1. Pengertian dan jenis-jenis tarif
Tarif tidak secara tegas didefinisikan dalam ketentuan GATT, melainan
hanya menyebutkan istilah ‘custom, duties, and charges’ dalam kaitannya dengan
kegiatan ekspor-impor. 92 Namun, menurut beberapa pengertian, maka tarif
didefinisikan sebagai:
a.

Menurut Jhon J. Harter, dalam Taryana Sunandar, bahwa yang dimaksud
dengan tarif adalah “pajak yang dikenakan atas barang yang diangkut dari
sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak ini khususnya atas
barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu ke wilayah
yang lain, atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut”. 93
Dengan demikian, tarif hanya dikenakan terhadap barang yang melintasi
batas suatu negara.

b.

Menurut Tulus T.H. Tambunan, tarif adalah salah satu instrumen dari
kebijakan perdagangan luar negeri yang membatasi arus perdagangan
internasional. 94Hal ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh
John H. Jakson dalam Taryana Sunandar yang menyatakan bahwa,

92

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 49.
Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947
Sampai Terbentuknya WTO, (dalam) Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 49.
94
Tulus TH Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2004), hlm. 328.
93

45
Universitas Sumatera Utara

“… the tariff, which is, of course a tax import at the border“. 95
c.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, istilah tarif
didefinisikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau
bea keluar. Terdapat dua muatan utama dalam pengertian tarif, yang
pertama adalah klasifikasi barang. Muatan kedua adalah besarnya
pembebanan bea masuk atau bea keluar yang dinyatakan dalam persentase
(%) tertentu atau dalam rupiah tertentu. 96 Cara pengenaan tarif bea masuk
ditentukan menggunakan 3 pendekatan, yaitu: 97
Pertama, tarif advalorum (persentase). Pada model tarif advalorum, bea

masuk dikenakan dengan menentukan persentase (%) tertentu dari nilai pabean
atas barang yang diimpor. Misalnya buah apel dikenakan bea masuk sebesar 5%.
Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, harus diketahui
berapa nilai pabean atas barang tersebut, selanjutnya tarif dikalikan dengan nilai
pabean.
Kedua, tarif spesifik. Pada model spesifik, bea masuk dikenakan dengan
menentukan besaran bea masuk setiap satuan barang yang diimpor. Misalnya
beras dikenakan bea masuk sebesar Rp. 550,- per kilogram. Maka untuk
mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, cukup mengalikan besarnya
tarif per satuan barang dengan jumlah satuan barang. Secara konsepsional, alasan
utama suatu barang dikenakan tarif spesifik adalah untuk memudahkan
95

Ibid.
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
97
“Kajian atas Pengenaan Bea Masuk Menggunakan Tarif Spesifik”, Mohamad Jafar,
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/148-artikel-bea-dan-cukai/20142-kajian-ataspengenaan-bea-masuk-menggunakan-tarif-spesifik, diakses pada 29 Februari 2016 Pukul 19.20
WIB.
96

46
Universitas Sumatera Utara

penghitungan pungutan pabean-nya, dengan pertimbangan harga barang yang
dikenakan tarif spesifik ini tidak akan berubah signifikan dalam waktu yang relatif
lama.
Ketiga, gabungan advalorum dan spesifik. Pada model gabungan ini, bea
masuk dikenakan dengan mengkombinasikan tarif persentase dan tarif spesifik
sekaligus pada suatu barang impor. Pada praktiknya saat ini Indonesia tidak
menerapkan tarif gabungan. Tarif spesifik pun hanya diterapkan untuk beberapa
jenis barang impor, sehingga mayoritas barang impor saat ini menggunakan tarif
advalorum.
Adapun tarif dapat digolongkan menjadi : 98
a.

Bea ekspor (export duties), yaitu bea yang dikenakan terhadap barang
yang dikirim keluar wilayah pabean suatu negara.

b.

Bea import (import duties), yaitu bea yang dibebankan terhadap barang
yang masuk kedalam wilayah pabean suatu negara.

c.

Bea transito (transit duties), yaitu bea yang dibebankan terhadap barang
yang masuk kewilayah pabean suatu negara untuk dikirim kembali keluar
wilayah itu.

2. Tarif sebagai hambatan perdagangan internasional
Dengan terlaksananya perundingan Uruguay Round, maka sasaran yang
ingin dicapai oleh negara-negara anggota, adalah suatu upaya untuk membendung
gejala proteksionisme produk oleh suatu negara terhadap produk negara lain,
sehingga hal ini tidak akan menghambat peredaran barang, jasa, maupun modal

98

Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung: PT
Alumni, 2010), hlm. 140.

47
Universitas Sumatera Utara

antarnegara, baik dalam global maupun regional. 99Kemudian, hambatan
perdagangan (trade barriers) adalah semua kebijakan atau praktik yang dilakukan
pemerintah atau peraturan satu negara yang menghambat perdagangan bebas (free
trade), yang menghambat arus barang dan jasa dalam perdagangan internasional
atau menghambat arus barang, jasa, orang dan modal antar negara. 100 Hambatan
perdagangan dipandang sebagai suatu intervensi pemerintah terhadap pasar bebas
(free market) untuk jual beli barang dan jasa secara internasional yang mana jika
merujuk pada konsepsi perdagangan bebas yang berarti adalah suatu kondisi
perdagangan lintas negara tidak dihambat oleh bea cukai, kuota, peraturan atau
hambatan lainnya untuk pergerakan barang dan jasa. 101 Terdapat berbagai bentuk
hambatan perdagangan internasional. Pengenaan pajak atau bea, kewajiban
mendapat lisensi, pengenaan kuota, subsidi, persyaratan teknis, pembatasan
ekspor sukarelaadalah bentuk-bentuk hambatan perdagangan. 102 Hambatanhambatan itu biasanya digolongkan dalam dua kelompok yaitu hambatan tarif
(tariff barriers) dan hambatan non-tarif (non-tarif barriers) yang mana tarif disini
merupakan pajak (custom duties) yang dibebankan terhadap barang yang keluar
dan masuk kedalam wilayah pabean (custom area) suatu negara. GATT/WTO
berupaya

menurunkan

tarif

menjadi

serendah

mungkin

dengan

tetap

mempertahankan tarif sebagai satu-satunya instrumen yang diperkenankan untuk
melaksanakan

kebijakan

perdagangan

internasional

negara-negara

99

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 67.
Rusli Pandika, Op. Cit., hlm 139-140.
101
Graham Dunkley, Petualangan Perdagangan Bebas (the Free Trade Adventure: The
WTO, The Uruguay Round and Globalism, A Critique). Terjemahan Gayatri (dalam) Rusli
Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di bawah Sistem Hukum WTO (Bandung: PT. Alumni, 2010),
hlm 139-140.
102
Rusli Pandika, Loc. Cit., hlm 140.
100

48
Universitas Sumatera Utara

anggota. 103Bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat daya saing komoditi
ekspor maupun impor ditentukan oleh beberapa faktor yang mana kendala tarif
dan non-tarif adalah salah satu diantara faktor-faktor tersebut. 104
Diberlakukannya tarif yang penerapannya dilatarbelakangi oleh dua motif
eknomi terhadap komoditas impor tertentu yaitu: Pertama, tarif bisa memberikan
penerimaan bagi pemerintah dan Kedua, tarif juga dapat membantu perusahaan
dan suplier industri domestik dalam menghadapi persaingan dari serbuan barangbarang impor. 105Tarif akan membawa dampak terhadap perdagangan internasional
yakni: 106
a.

Harga barang yang dikenakan tarif meningkat.

b.

Jika kenaikan harga cukup tinggi, konsumen akan mengalihkan pembelian
kepada barang pengganti (substitusi) yang harganya relatif lebih murah.

c.

Industri dalam negeri menjadi lebih mudah berkembang sebab harga
barang pesaing dari luar negeri lebih tinggi.

d.

Pemerintah menerima pendapatan.

e.

Adanya ekstra pendapatan yang dibayarkan oleh konsumen di dalam
negeri kepada produsen di dalam negeri.
Berdasarkan pengertian, jenis, motif serta dampak yang ditimbulkan maka

jelaslah bahwa tarif merupakan hambatan dalam perdagangan bebas.Namun,
pembatasan perdagangan bebas dengan menggunakan tarif oleh WTO dipandang

103

Ibid.
Amir. M.S, Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor (Jakarta: PT. Pustaka Binaman
Pressindo, 1992), hlm. 17.
105
Umar Fakhrudin, ‘Kebijakan Hambatan Perdagangan atas Produk Ekspor Indonesia di
Negara Mitra Dagang’, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol II, No. 02 tahun 2008, hlm. 218.
106
“Pengertian Tarif Pajak, Bea Cukai, Kuota dan Hambatan dalam Perdagangan
Internasional”, Ahmas Shodiqin, http://www.ilmuekonomi.net/2015/11/pengertian-tarif-pajak-beacukai-kuota-dan-hambatan-dalam-perdagangan-internasional.html, diakses pada, 29 Februari 2016
Pukul 08.20 WIB.
104

49
Universitas Sumatera Utara

sebagai suatu model yang masih dapat ditoleransi, misalnya melakukan tindakan
proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif bea masuk.
Perlindungan ini masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Namun
demikian, dalam kesepakatan perdagangan internasional tetap diupayakan
mengarah kepada sistem perdagangan bebas yang menghendaki pengurangan tarif
secara bertahap. 107
3. Harmonisasi tarif dalam kerangka GATT/ WTO
Lahirnya WTO membawa dampak pada usaha-usaha harmonisasi
pengaturan tarif yang dibahas dalam perundingan-perundingan. Perundingan
perdagangan internasional sebelum Putaran Uruguay dan terbentuknya WTO
1994, para peserta lebih banyak membahas mengenai upaya penurunan tarif
impor, sedangkan masalah non-tarif baru dibahas setelah perundingan Tokyo
Round 1973. Adapun perundingan tersebut yaitu: 108
a.

Perundingan Jenewa tahun 1947
Tahun 1947 GATT berhasil dibentuk melalui perundingan yang

diselenggarakan di Jenewa (Swiss) yang disebut dengan putaran Perundingan
Jenewa 1947 (GATT Conference 1947). Perundingan tersebut merupakan
perundingan putaran pertama GATT yang diikuti oleh 23 negara peserta yang
dalam perundingan tersebut, negara-negara peserta menyetujui konsesi penurunan
tarif sebanyak 45.000 produk dengan nilai sebesar 10 miliar, mewakili separuh
perdagangan dunia.
b.

Perundingan Annecy 1949

107

“Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT-WTO, AFTA dan PerundangUndangan Indonesia”, Muhammad Sood,http://muhammadsood.blogspot.co.id/2013/02/tarifimpor.html, diakses pada 29 Februari 2016 Pukul 08.30 WIB.
108
Muhamad Sood, Op. Cit., hlm. 54-67.

50
Universitas Sumatera Utara

Perundingan GATT putaran kedua diselenggarakan di Annecy (Prancis)
tahun 1949, sehingga dikenal dengan Perundingan Annecy Round 1949.
Perundingan tersebut diikuti oleh 33 negara peserta, dan berhasil menyepakati
penambahan penurunan bea masuk sekitar 5.000 tarif.
c.

Perundingan Torquay 1950-1951
Tahun 1955 perundingan GATT diselenggarakan di Torquay (Inggris)

yang dikenal dengan perundingan Torquay Round 1951. Perundingan putaran
ketiga ini diikuti oleh 34 negara peserta. Dalam perundingan ini, upaya penurunan
tingkat tarif sebesar 25% dari tingkat tarif 1998, dilakukan dengan merundingkan
konsesi penurunan tarif produk demi produk dari 45.000 (Perundingan Jenewa)
menjadi 55.000 produk.
d.

Perundingan Jenewa 1955-1956
Tahun 1955 kembali diselenggarakan perundingan GATT di Jenewa yang

dikenal dengan Jenewa Round 1955-1956. Perundingan ini sifatnya lebih terbatas,
karena diikuti oleh 22 negara peserta. Nilai perdagangan yang disepakati dalam
perundingan ini adalah AS $ 2,5 miliar.
e.

Perundingan Dillon Round 1961-1962
Tahun 1961-1962 diselenggarakan perundingan Dillon Round (Dillon

1961-1962). Perundingan ini diselenggarakan di Jenewa atas prakarsa Menteri
Keuangan Amerika Serikat, Douglas Dillon, sehingga disebut Perundingan
Dillon. Jumlah negara peserta dalam perundingan ini meningkat menjadi 45
negara anggota. Dalam perundingan ini, masalah perdagangan untuk negaranegara berkembang mulai mendapat perhatian. Hasil dari perundingan Dillon

51
Universitas Sumatera Utara

Roundyang dapat dicatat adalah tercapainya penurunan tarif sebesar 6,5% dengan
nilai sebesar AS $ 4,9 miliar.
f.

Perundingan Kennedy Round 1964-1967
Perundingan Kennedy Round tahun 1964 diselenggarakan di Ameri

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 11 134

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

11 71 145

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 9

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 1

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 17

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 28

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 12

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 1

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 21

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 7