Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tujuan bernegara seperti tertuang dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah
mewujudkan kesejahteraan umum. 3 Hal ini berkaitan dengan pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 bahwa negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 yang
merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus
menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial baik oleh negara
(state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). 4 Sebagai konstitusi
ekonomi, UUD 1945 mengatur bagaimana sistem perekonomian nasional
seharusnya disusun dan dikembangkan guna mewujudkan cita-cita tersebut.
Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, Indonesia sebagai negara hukum lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan individu tanpa
mengabaikan harkat dan martabat manusia. 5 Dengan demikian hukum berfungsi
untuk menjaga terselenggaranya kepentingan-kepentingan masyarakat sehingga
3

Tujuan Negara, terletak pada Alinea Ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
4
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis(Jakarta: PT. Buana Ilmu
Populer, 2009), hlm. 214.
5
Muhammad Sood,
Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi
Analitis(Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm. 6.

1
Universitas Sumatera Utara


untuk tujuan keadilan diperlukan keseimbangan antara kepentingan umum (public
interest), kepentingan masyarakat (social interest) dan kepentingan individu
(private interest). 6
Konsep dasar perekonomian nasional yang berlandaskan demokrasi
ekonomi hukum yang mengatur lapangan usaha untuk menjamin kebebasan
berusaha atas dasar kesempatan yang sama dalam melakukan kegiatan usaha
(equal opportunity to have fair share in business) perilaku usaha memerlukan
landasan hukum yang memberi jaminan kebersamaan dan keadilan. 7 Bahwa
perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka tetapi ada rambu-rambu yang harus
ditaati, sehingga dibutuhkan peran serta yang dimainkan pemerintah untuk ikut
serta dalam perekonomian negara lain seperti kegiatan ekspor-impor, penanaman
modal dan pinjam-meminjam. Sebagai konsekuensinya perekonomian nasional
harus peka terhadap perkembangan yang terjadi pada perekonomian dunia,
terutama terhadap gejolak yang ditimbulkan oleh perekonomian negara mitra
kerja dan yang berpengaruh terhadap hubungan ekonomi, perdagangan dan
moneter antar negara. Jika dilihat dari fakta empiris yang terjadi, kemakmuran
ekonomi dibanyak negara secara luas tergantung kepada perdagangan
internasionalnya. Pada tahun 2006, sebagai contoh, 57% produksi domestik kotor
(GDP) di Belanda dan 53% GDP di Afrika Selatan tergantung pada perdagangan
internasional. 8 Peningkatan kemakmuran di Cina dan India jelas merupakan

akibat dari peningkatan besar-besaran atas ekspor mereka.

6

Ibid., hlm. 7.
Ibid, hlm. 9.
8
Peter Van Den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnidi, Pengantar
Hukum WTO (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), Hlm. 1.
7

2
Universitas Sumatera Utara

Kebijakan perdagangan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional dilakukan dengan memperhatikan gejala dan perkembangan yang terjadi
dinegara lain yang berpengaruh pada perekonomian nasional. Indonesia, sejak
pertengahan tahun 1980-an, telah melakukan proses pembangunan yang
menguntungkan dan ekspor sebagai penggeraknya. Dalam hal ini keberhasilan
perdagangan luar negeri semakin menentukan proses pembangunan nasional.

Perkembangan selama ini telah menciptakan ekonomi nasional yang lebih
beragam dan berdaya saing. Setelah upaya peningkatan daya saing ekonomi
nasional menampakkan hasilnya, ekonomi nasional telah mampu meghasilkan
produk-produk yang makin beragam dalam jumlah dan kualitas yang semakin
meningkat. Dalam keadaan seperti ini, kepentingan utama nasional adalah
tersedianya pasar yang bebas, dan terbukanya serta terciptanya pasar yang
semakin luas, bebas dan terbuka mengikuti perkembangan ekonomi dunia yang
makin meningkat, serta sistem penyelenggaraan perdagangan antar bangsa yang
mendorong untuk itu (faktor ekstern) serta kebijakan pemerintah yang
menciptakan iklim yang sehat dan keaktifan dunia untuk mencari dan
memanfaatkan peluang yang terbuka oleh perkembangan eksternal dan iklim
usaha yang baik (faktor intern). 9
Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat penting bagi
setiap negara. Oleh karena itu, sangat diperlukan hubungan perdagangan antar
negara yang tertib dan adil. Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan dibidang
perdagangan internasional, diperlukan aturan-aturan yang mampu menjaga serta
memelihara hak-hak dan kewajiban para pelaku perdagangan internasional ini.

9


Muhammad Sood, Op. Cit., hal. 12.

3
Universitas Sumatera Utara

Perangkat hukum perdagangan internasional yang mengatur hubungan dagang
antar negara terkandung dalam dokumen General Agreement on Tariff and
Trade/GATT yang ditandatangani tahun 1947 dan mulai diberlakukan sejak tahun
1948. Dari waktu ke waktu ketentuan GATT disempurnakan lewat perundinganperundingan Putaran Uruguay (1986-1994) yang berhasil membentuk sebuah
organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO). 10 Badan inilah
yang selanjutnya akan melaksanakan dan mengawasi aturan-aturan perdagangan
internasional yang telah dirintis GATT sejak tahun 1947. Aturan-aturan GATT
1947 diintergrasikan kedalam sistem WTO yang tidak hanya mengatur
perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa, masalah hak milik intelektual,
dan aspek-aspek penanaman modal yang terkait. 11 Sebuah organisasi perdagangan
internasional yang diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di
dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui
bersama. Melalui WTO, diluncurkan suatu bentuk perdagangan dimana kegiatan
perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.Pada
prinsipnya WTO merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu

perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya
untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas tersebut, WTO memberlakukan
beberapa prinsip yang menjadi aturan WTO. Berikut ini merupakan lima prinsip
dasar dari GATT/WTO, antara lain: 12

10

“The
GATT
years:
from
Havana
to
Marrakesh”,
World
Trade
Organization,https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact4_e.htm, diakses pada 8
Februari 2016 Pukul 17. 03 WIB.
11
“Overview:

a
navigational
guide”,
World
Trade
Organization,
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm1_e.htm, diakses pada 8 Februari 2016
Pukul 17. 16 WIB.
12
“Liberalisasi
Perdagangan”,
Nur
Baladina,
http://baladina.lecture.ub.ac.id/files/2012/12/Modul-12-PHP_Liberalisasi-Perdagangan1.pdf,
diakses pada 8 Februari 2016 Pukul 23.28 WIB.

4
Universitas Sumatera Utara

1.


Perlakuan yang sama untuk semua anggota (most favoured nations
Treatment).

2.

Pengikatan tarif (tariff binding)

3.

Perlakuan nasional (national treatment)

4.

Perlindungan hanya melalui tarif (protection to domestic industry through
tariff)

5.

Prinsip larangan retriksi (general prohibition on quantitative restriction)

Kebijakan

perdagangan

internasional

di

bidang

impor

dapat

dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan sebagai berikut. 13
1.

Kebijakan hambatan tarif (tariff barrier). Kebijakan tariff barrier dalam
bentuk bea masuk.


2.

Kebijakan Hambatan non-tarif (non-tarif barrier)
Perdagangan dunia menurut Koo dan Kennedy, jauh dari kebebasan.

Beberapa negara menggunakan bermacam hambatan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri yang tidak efisien. Tarif adalah pajak yang
dibebankan pemerintah untuk komoditi sebagai batas garis nasional. Tarif
digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri
sedangkan hambatan non-tarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang
besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, prosedur yang mengubah
perdagangan. Hambatan non tarif yang paling banyak digunakan untuk
mengontrol impor pertanian yaitupembatasan kuantitatif dan pembatasan spesifik
sejenis (misalnya kuota, Voluntary Export Restraints (VER), dan kartel
13

“Teori dan Kebijakan Hukum Internsional”, Hamdy Hady (dalam) Riri Esther Painte,
“Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Non-Tarif di Pasar Uni Eropa terhadap Ekspor Komoditas
Udang
Indonesia”,
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5348/C08rep.pdf?sequence=4,

diakses
pada 9 Februari 2016 Pukul 12.49 WIB.

5
Universitas Sumatera Utara

internasional),

beban non-tarif dan

mempengaruhi

impor

(misalnya

kebijakan

kebijakan

yang

berhubungan

anti-dumping

dan

yang

kebijakan

countervailing), kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya
kebijakan oleh pemerintah, kebijakan kompetisi, dan penetapan perdagangan),
prosedur umum dan kegiatan administrasi (misalnya prosedur valuasi dan
prosedur perizinan), dan hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas
kesehatan dan sanitasi, keamanan, peraturan dan standar industrial dan peraturan
pengemasan dan pelabelan). 14
Prinsip pembatasan kuantitatif yang diatur dalam Pasal XI GATT
mengenai penghapusan prinsip pembatasan kuantitatif yang berisi larangan atau
pembatasan selain bea masuk, pajak dan pungutan lain apakah yang berupa kuota,
lisensi impor atau ekspor dan alat lain yang dapat mempengaruhi jumlah ekspor
maupun

impor.

Pengecualian

terhadap

larangan

pembatasan

kuantitatif

diperbolehkan dengan alasan larangan/ pembatasan ekspor sementara untuk
mencegah

atau

mengatasi

terkurasnya

bahan

makanan

atau

produk

esensial,larangan atau pembatasan ekspor impor yang perlu dalam penerapan
standar dan regulasi klasifikasi, grading atau marketing komoditas perdagangan
internasional, pembatasan ekpor impor atas produk pertanian dan perikanan yang
perlu bagi penerapan peralatan yang berlaku. Yang kemudian dilanjutkan dengan
Pasal XIII GATT yang mengatur tentang administrasi pembatasan kuantitatif yang
non-diskriminasi. Larangan atau pembatasan ekspor atau impor tidak boleh
diskriminatif.
14

“International Trade and Agriculture”, Koo and Kennedy (dalam) “Analisis Pengaruh
Hambatan Tarif dan Non-Tarif di Pasar Uni Eropa terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia”,
Riri
Esther
Painte,
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/5348/C08rep.pdf?sequence=4,
diakses
pada 9 Februari 2016 Pukul 01.08 WIB.

6
Universitas Sumatera Utara

Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade
Organization

(UU

Pengesahan

WTO)

merupakan

langkah

awal

yang

menunjukkan kesiapan pemerintah untuk turut serta ikut bergabung dalam sistem
perdagangan global. Apabila dilihat dari segi hukum, ratifikasi tersebut
merupakan suatu langkah yang tidak dapat dicegah sebab negara berkembang
memiliki posisi yang lemah dalam perdagangan internasional, maka Indonesia
harus meletakkan tumpuan pada suatu forum multilateral, yakni WTO sebagai
wujud suatu kekuasaan Internasional dibidang perdagangan antarnegara. 15Dengan
meratifikasi perjanjian internasional tersebut, pemerintah Indonesia selaku
pemegang kedaulatan rakyat juga harus tetap memperhatikan nilai budaya bangsa
serta kepentingan bangsa Indonesia. Sebagai tindak lanjutnya, selaku pemegang
kekuasaan tertinggi pemerintah sangat berperan dalam menentukan serta
mengambil kebijakan disektor perdagangan internasional. Lahirnya undangundang perdagangan baru yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan (untuk selanjutnya disebut UU Perdagangan) merupakan suatu
langkah konkrit bahwa Indonesia telah siap dalam menghadapi perkembanganperkembangan ekonomi global. Ruang lingkup dari UU Perdagangan yang baru
ini, yang mencakup berbagai aspek penting dibidang perdagangan baik
perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri tentunya tidak
terlepas dari ketentuan dalam WTO. Dalam Pasal 38 ayat (3) UUPerdagangan
dikatakan bahwa “kebijakan perdagangan luar negeri meliputi pengharmonisasian
standar dan prosedur kegiatan perdagangan dengan mitra dagang.” Artinya bahwa

15

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 119-120.

7
Universitas Sumatera Utara

hal-hal yang diatur dalam UU Perdagangan haruslah menyesuaikan dengan apa
yang diatur dalam perjanjian WTO yang dalam penelitian ini adalah dalam
lingkup

pengaturan

kebijakan

perdagangan

luar

negeri,

pengendalian

perdagangan, serta kaitannya dengan prinsip pembatasan kuantitatif sebagai
bentuk pengendalian perdagangan yang akhirnya akan diteliti kesesuaian antara
kebijakan pengendalian perdagangan luar negeri melalui pembatasan kuantitatif
dengan

ketentuan

GATT/WTO.Hal

inilah

yang

menjadi

latarbelakang

diangkatnya permasalahan ini untuk dijadikan sebuah skripsi.

B. Rumusan Masalah
Adapun dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah pembahasan
maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang disesuaikan dengan judul
yang diajukan, dimana permasalahan inilah yang akan menjadi dasar untuk
melakukan pembahasan selanjutnya. Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam
latar belakang diatas, maka rumusan masalah diuraikan sebagai berikut:
1.

Bagaimana pengaturan hambatan perdagangan internasional dalam
kerangka GATT /WTO ?

2.

Bagaimana pengaturan prinsip larangan hambatan kuantitatif (prohibition
on quantitative restriction) dalam kerangka GATT/WTO ?

3.

Bagaimana kebijakan hambatan kuantitatif dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2014 tentang Perdagangan ?

8
Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah merupakan tugas akhir
untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai tambahan pengetahuan.
Namun berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk

mengetahui

bagaimana

pengaturan

hambatan

perdagangan

internasional dalam kerangka GATT/WTO.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan prinsip larangan hambatan
kuantitatif (prohibition on quantitative restriction) dalam kerangka
GATT/WTO.
3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hambatan kuantitatif dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah :
1.

Manfaat Teoritis
a.

Manambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum
Ekonomi khususnya bidang perdagangan internasional terkait kebijakan
prinsip hambatan kuantitatif dalam GATT dan UU Perdagangan.

b.

Dapat memberi masukan dalam bidang hukum ekonomi kepada
masyarakat, pemerintah, dan aparatur hukum dalam kaitannya dengan

9
Universitas Sumatera Utara

kebijakan prinsip hambatan kuantitatif dalam rangka perdagangan
internasional.
2.

Manfaat Praktis
a.

Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan
mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisanpenulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

b.

Mengingat pembahasan dari permasalahan diatas juga melibatkan
lembaga-lembaga penyelenggara yang berwenang terhadap jalannya
perdagangan internasional maka melalui tulisan ini dapat diketahui
bagaimana analisis yuridis kebijakan prinsip hambatan kuantitatif dalam
GATT dan UU Perdagangan.

c.

Sebagai pemenuhan syarat guna menyelesaikan studi dan meraih gelar
Sarjana Hukum.

10
Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Kepustakaan
1.

Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan

ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang
pesat. Namun, pesatnya perkembangan hukum ini dibarengi pula berbagai definisi
berbeda antar para sarjana. Definisi pertama perdagangan internasional
dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966. 16
Definisi ini sebenarnya merupakan definisi buatan seorang Guru Besar ternama
dalam Hukum Dagang Internasional dari City of London College, yaitu Profesor
Clive M. Schmitthoff yakni mendefinisikan perdagangan internasional sebagai:
“… the body of rules governing commercial relationship of a private law nature
involving different nations”. Dari definisi ini, maka terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
a.

Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang
mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.

b.

Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda
negara.
Namun, meski perdagangan internasional telah lama dikenal di Indonesia

ternyata masih banyak yang salah mempersepsikannya, Profesor Hikmahanto
Juwana

mengemukakan

ada

tiga

kesalahan

persepsi

dalam memaknai

perdagangan internasional 17:

16

United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of
the Secretary General of the United Nations 1966, (dalam) Huala Adolf, Hukum Perdagangan
Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4.
17
Kata Pengantar oleh Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PHd, (dalam) Peter van den
Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO(Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. XV.

11
Universitas Sumatera Utara

a.

b.

c.

Atribusi yang diberikan pada istilah perdagangan internasional. Masih
banyak pihak yang mempersepsikan dalam istilah tersebut adalah pihakpihak yang melakukan transaksi perdagangan. Padahal perdagangan
internasional sama sekali tidak merujuk pada kegiatan transaksi
perdagangan pelaku usaha negara. Perdagangan internasional merujuk
pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh berbagai pemerintah dibidang
perdagangan. Pemerintah sebagai regulator memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan tidak saja bagi pelaku usaha yang melakukan
kegiatan diwilayahnya tetapi juga kewenangan untuk membuat kebijakan
atas barang atau jasa di negara lain yang akan masuk kenegaranya.
Mispresepsi kedua adalah terkait dengan istilah hukum perdagangan
internasional. Dalam sejumlah literatur Indonesia masih banyak penulis
yang melakukan pembahasan mengenai arbitrase ataupun kontrak
internasional dalam buku yang berjudul Hukum Perdagangan
Internasional. Ini disebabkan para penulis menganggap perdagangan
internasional sebagai transaksi perdagangan antar pelaku usaha lintas
negara. Padahal bila dibandingkan dengan literatur yang sama dari luar
negeri (International Trade Law), hukum perdagangan internasional
sama sekali tidak merujuk pada aturan-aturan yang bersifat perdata.
Aturan-aturan yang dibahas dalam hukum perdagangan internasional
mencakup aturan-aturan yang dijadikan rujukan ketika negara membuat
kebijakan dibidang perdagangan.
Mispresepsi yang ketiga yakni terkait dengan apa yang diatur dalam
berbagai perjanjian antar negara. Perjanjian antar negara ini tidak
mengatur transaksi yang dilakukan antar negara ‘serupa’ dengan kontrak
bisnis internasional. Ada paling tidak tiga hal yang diatur dalam
perjanjian internasional, yakni 18:
1) Kesepakatan antar negara untuk menghilangkan berbagai hambatan
(barriers) atas arus barang dan jasa. Kesepakatan ini yang kemudian
harus ditransformasikan kedalam peraturan perundang-undangan
nasional diberbagai tingkatan sehingga kebijakan pemerintah
dibidang perdagangan tidak akan mendiskriminasi asal barang atau
jasa.
2) Kesepakatan ini diharapkan mewujudkan keseragaman-keseragaman
yang diharapkan terkait dengan kebijakan maupun penafsiran atas
suatu istilah maupun konsep yang diambil oleh berbagai pemerintah
dibidang perdagangan. Sebagaimana diketahui dengan adanya
kedaulatan negara maka setiap pemerintahan dapat membuat
kebijakan bahkan dalam menafsirkan suatu konsep atau istilah.
Melalui perjanjian perdagangan internasional inilah persamaan
persepsi dapat diwujudkan.
3) Kesepakatan dibuat juga untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa
yang muncul antar negara. Sengketa dapat muncul karena perbedaan
penafsiran atas ketentuan yang telah disepakati ataupun salah satu
negara anggota tidak menaati apa yang telah disepakati.

18

Ibid, hlm. XVIII.

12
Universitas Sumatera Utara

Dampaknya, perdagangan merupakan sektor jasa yang menunjang
kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa, bagi Indonesia,
dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya
untuk

meningkatkan

pertumbuhan

ekonomi

secara

berkesinambungan,

meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan pemerataan
pembangunan, berikut hasil-hasilnya serta memelihara kemantapan stabilitas
nasional. 19 Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum
(pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta
sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang
punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah
banyak terjadi dalam sejarah perkembangan dunia. Besar dan jayanya negaranegara didunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara
tersebut didalam perdagangan internasional. Timbulnya kebebasan dalam
melaksanakan perdagangan antar negara, atau disebut dengan perdagangan
internasional termotivasi oleh paham atau teori yang dikemukakan oleh Adam
Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nations”, yang menyatakan bahwa
kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan meningkat, jika perdagangan
internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan
seminimal mungkin.
2.

GATT/ WTO
Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement

on Tariff and Trade) yang biasa disingkat dengan GATT merupakan suatu
perjanjian perdagangan multilateral yang disepakati pada tahun 1948, dimana
19

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional: Dalam Kerangka Studi Analitis(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 16.

13
Universitas Sumatera Utara

tujuan

pokoknya

ialah

untuk

menciptakan

pertumbuhan

ekonomi

dan

pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. Lebih lanjut GATT
bertujuan untuk menjaga upaya agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin
terbuka agar arus perdagangan dapat berkembang dengan mengurangi hambatanhambatan dalam bentuk tarif maupun non-tarif. 20 Perjanjian multilateral ini
diadakan dalam rangka melaksanakan kesepakatan yang dicapai pada Bretton
Woods Conference 1994. Bretton Woods Conference 1994 bertujuan hendak
membentuk tata ekonomi dunia baru setelah sejumlah negara kuat didunia pada
waktu itu menghadapi kenyataan terganggunya perekonomian dunia selama lebih
dari satu dekade. Guna mencapai tujuan itu Bretton Woods Conference 1994
menetapkan konsep kerja sama internasional melalui kesepakatan multilateral
dalam bidang perdagangan, dalam bidang moneter dan dalam bidang
pembangunan serta rekontruksi atas kerusakan akibat perang dunia kedua. Untuk
maksud itu, kemudian dibentuklah organisasi-organisasi internasional yang salah
satunya adalah GATT. Sejak tahun 1947 secara tetap memainkan peran penting
untuk menyelenggarakan rangkaian perundingan (round) guna melanjutkan upaya
membentuk kesepakatan-kesepakatan multilateral baru dalam rangka liberalisasi
lebih lanjut terhadap perdagangan internasional, hingga akhirnya terbentuk WTO
yang sejak tanggal 1 Januari 1995 menggantikan GATT.
Disetujuinya hasil perundingan Uruguay Round dan dibentuknya WTO
sebagai lembaga penerus GATT, struktur dan sistem pengambilan keputusan yang
berlaku didalam GATT juga turut disesuaikan dengan ketentuan dalam perjanjian
baru tersebut. WTO adalah suatu lembaga perdagangan multilateral permanen.

20

Syahmin AK., Op. Cit., hlm. 41.

14
Universitas Sumatera Utara

Sebagai suatu organisasi permanen, peranan WTO akan lebih kuat daripada
GATT. Hal ini secara langsung tercermin dalam struktur organisasi dan sistem
pengambilan keputusan. Dengan terbentuknya WTO mulai 1 Januari 1995, maka
tentang apakah GATT sebagai organisasi internasional atau bukan, telah berakhir.
GATT 1947 kini diintergrasikan didalam satu perjanjian yang merupakan ANNEX
perjanjian WTO, yakni Multilateral Agreement on Trade in Goods.
3.

Hambatan Perdagangan
Hambatan perdagangan adalah regulasi atau peraturan pemerintah yang

membatasi perdagangan bebas. Rezim perdagangan bebas yang tidak dapat
dihindari negara-negara saat ini tidaklah berarti perdagangan dilakukan tanpa
batas. Sebagaimana dikemukakan oleh Departemen Perdagangan Denmark yang
memberikan definisi hambatan perdagangan adalah sebagai berikut :
“Trade barriers are measures that governments or public authorities
introduce to make imported goods or services less competitive than locally
produced goods and services. Not everything that prevents or restricts
trade can be characterised as a trade barrier”. 21
Maka, hambatan perdagangan tersebut perlulah diatur keseragamannya untuk
menghindari praktik-praktik perdagangan yang kurang wajar yang dilakukan
banyak negara dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan alasan
untuk melindungi industri didalam negeri dan memberikan kesempatan kerja
dengan melakukan hambatan tarif maupun non-tarif. Maka, diperlukanlah
keseragaman pengaturan yakni perjanjian WTO yang mana terkait hambatan
perdagangan, jika diklasifikasikan terdiri dari dua jenis, hambatan atau larangan
berupa tarif atau non-tarif. Yang paling umum dari hambatan tarif terhadap akses

21

“What is a Trade Barrier”, The Trade Council of Ministry of Foreign Affairs of
Denmark, http://um.dk/en/tradecouncil/barriers/what-is/, diakses 8 Februari 2016 pukul 01.17
WIB.

15
Universitas Sumatera Utara

pasar adalah (setidaknya untuk barang) bea masuk. Hambatan non-tarif terhadap
akses pasar untuk barang dan juga untuk jasa dan pemberi jasa dapat berupa: 22
Hambatan kuantitatif (quantitative restriction);
Hambatan non-tarif lainnya, seperti hambatan teknis dalam perdagangan,
kurangnya transparansi dalam regulasi perdagangan nasional, penerapan
yang kurang adil dan memihak dari regulasi perdagangan nasional dan
formalitas dan prosedur perpajakan.

a.
b.

4.

Hambatan Kuantitatif (Quantitative Restriction)
Pembatasan Kuantitatif adalah aturan yang membatasi jumlah (kuantiti)

atas sebuah barang yang akan diimpor atau diekspor. 23Prinsip penghapusan
hambatan kuantitatif diatur dalam Pasal XI GATT 1947. Hambatan kuantitatif
dalam perdagangan internasional yang disebutkan dalam persetujuan GATT/WTO
adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk.
Termasuk dalam kategori hambatan ini adalah kuota danpembatasan ekspor secara
sukarela (VER).Menyadari bahwa kuota cenderung tidak adil, dan dalam
prakteknya justru menimbulkan diskriminasi dan peluang-peluang subjektif
lainnya. Oleh karena itu, maka hukum perdagangan internasional melaui WTO
menetapkan untuk menghilangkan jenis hambatan kuantitatif. Adanya prinsip
transparansi membawa akibatnegara-negara anggota WTO apabila hendak
melakukan proteksi perdagangan internasional, tidak boleh menggunakan kuota
sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang diizinkan untuk diterapkan.
Karenanya,

prinsip

ini

seringkali

disebut

sebagai

tarifikasi

hambatan

perdagangan. 24

22

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. Cit., hlm.

25.
23

Pasal XI ayat (1) GATT 1994, menyatakan larangan umum atas pembatasan kuantitatif
dalam ekspor maupun impor.
24
“Penerapan Tarif Impor Berdasarkan Ketentuan GATT-WTO, AFTA DAN PerundangUndangan Indonesia (The Aplication of Import Tariff according to The Rule of GATT-WTO, AFTA

16
Universitas Sumatera Utara

F. Keaslian Penelitian
Dimulainya tulisan in dengan terlebih dahulu melakukan penelusuran
terhadap tulisan-tulisan terdahulu dan sepanjang yang telah ditelusuri dan
diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
bahwa penulisan tentang “Analisis Yuridis Terhadap Kebijakan Hambatan
Kuantitatif

dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan” belum pernah
ada. Kemudian,

ada ditemukan beberapa penelitian sebelumnya tentang

Penerapan Prinsip WTO dalan UU Perdagangan. 25 Namun permasalahan yang
dimunculkan dalam penulisan ini berbeda dengan penelitian ini. Dengan
demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui
penulisan skripsi ini, dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil oleh pikir
orisinal yang disusun melalui referensi buku-buku dan informasi dari media cetak
maupun

media

elektronik

sehingga

keaslian

dari

tulisan

ini

dapat

dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah ataupun secara akademik.

G. Metode Penelitian
1.

Spesifikasi Penelitian
Metode yang diterapkan didalam suatu penelitian adalah kunci utama

untuk menilai baik buruknya suatu penelitian. Metode ilmiah itulah yang

and
Indonesian
Legislations)”,
Muhammad
Sood,http://muhammadsood.blogspot.co.id/2013/02/tarif-impor.html, diakses 8 Februari 2016
Pukul 02.14 WIB.
25
Sri Wahyuni Yusuf, Penerapan Prinsip World Trade Organization dalan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (skripsi. Fakultas Hukum, Universitas
Hasanuddin, 2015).

17
Universitas Sumatera Utara

menetapkan alur kegiatannya, mulai dari pemburuan data sampai ke penyimpulan
suatu kebenaran yang diperoleh dalam penelitian itu. 26 Jenis penelitian yang akan
dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data
sekunder. 27 Dalam skripsi ini akan dianalisis mengenai kebijakan hambatan
kuantitatif yang diatur dalam GATT yang dilihat dalam UU Perdagangan.
Adapun sifat dari penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
deskriptif yakni penelitian yang bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep
yang bersifat umum yang kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan tentang
seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data
dengan seperangkat data yang lain. 28
2.

Jenis data
Dalam penelitian ini digunakan data sekunder yakni data yang diperoleh

melalui bahan pustaka. Jenis-jenis bahan kepustakaan khususnya dalam penelitian
hukum itu dapat berupa: 29
a.

Bahan hukum primer yaitu norma atau kaidah dasar seperti Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun, peraturan
dasar seperti ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh UUD 1945,
Ketetapan MPR, Peraturan Perundang-undangan seperti UU, Perpu,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan lain-lain. Juga bahan
hukum yang tidak dikodifikasi seperti ketentuan hukum adat,

26

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi (Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2005), hlm. 15.
27
Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Balai
Aksara, 1990), hlm. 11.
28
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 11.
29
Tampil, Op. Cit., hal. 76.

18
Universitas Sumatera Utara

yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari jaman penjajahan yang
masih berlaku. Dalam skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan, General Agreement on Tariff and Trade dan
Perjanjian World Trade Organization.
b.

Bahan hukum sekunder yaitu rancangan undang-undang, hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya yang mendukung dan
memberi penjelasan tentang bahan hukum primer.

c.

Bahan hukum tersier yaitu kamus, ensiklopedi dan lain-lain bahan hukum
yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder. 30

3.

Teknik Pengumpulan Data/ Metode Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yakni

data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, hasil
penelitian, surat kabar, makalah ilmiah, internet, pendapat sarjana, dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4.

Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian skripsi ini yaitu deskriptif, maka analisis data

yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kemudian disusun secara
sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas untuk dituangkan dalam skripsi ini. Deskriptif
tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang
30

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, (dalam) Tampil Anshari Siregar, Metodologi
Penelitian Hukum: Penulisan Skripsi (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 77.

19
Universitas Sumatera Utara

dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian penelitian dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (Lima) Bab yang masingmasing memiliki sub-babnya tersendiri, yang secara garis besarnya dapat
diuraikan sebagai berikut.
Bab I merupakan Bab Pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan secara
umum keadaan-keadaan berhubungan dengan objek penelitian seperti latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berjudul hambatan perdagangan internasional dalam kerangka
GATT/WTO. Bab ini akan menguraikan mengenai sejarah lahirnya GATT 1947
hingga berdirinya WTO beserta prinsip-prinsip perdagangan bebas dalam
kerangka GATT /WTO. Kemudian dibahas terkait hambatan tarif dan non-tarif
dalam kerangka GATT/ WTO.
Bab III berjudul pengaturan prinsip larangan hambatan kuantitatif
(prohibition on quantitative restriction) dalam Kerangka GATT/WTO. Dalam bab
ini dibahas lebih lanjut tentang hambatan perdagangan internasional yakni
hambatan kuantitatif mulai dari pengertian hingga bentuk hambatan kuantitatif.
Kemudian prinsip daripada hambatan kuantitatif dalam kerangka GATT,
dilanjutkan dengan pengecualian terhadap larangan pembatasan kuantitatif.
Bab IV berjudul kebijakan hambatan kuatititatif dalam UU Perdagangan.
Dalam bab ini dibahas tentang pengaturan kebijakan perdagangan luar negeri

20
Universitas Sumatera Utara

dalam UU Perdagangan yang dilanjutkan dengan pembahasan pengendalian
perdagangan luar negeri yang kemudian akan dibahas kaitannya dengan
pembatasan kuantitatif yang diakhiri dengan pembahasan mengenai kesesuaian
kebijakan pengendalian perdagangan laur negeri melalui pembatasan kuantitatif
dalam ketentuan GATT/ WTO.
Bab V berisi kesimpulan terhadap bab-bab sebelumnya yang telah
diuraikan dan yang ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang
dianggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.

21
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 11 134

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

11 71 145

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 9

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 1

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 17

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

0 0 28

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 12

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 1

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 1 44

Analisis Yuridis terhadap Kebijakan Hambatan Kuantitatif dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 7