Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Daun Tumbuhan Akalifa (Acalypha wilkesiana Muell. Arc.)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Akalifa (Acalypha wilkesiana Muell. Arc.)

Pada umumnya tumbuhan akalifa ditemukan di seluruh dunia terutama daerah tropis
dari Afrika, Amerika dan Asia. Berikut merupakan morfologi tumbuhan akalifa :
a. Mempunyai akar tunggang.
b. Batang berkayu, berbentuk silindris, tegak, berwarna cokelat, permukaannya
halus dan memiliki ranting berambut.
c. Daun tunggal, bertangkai pendek, tersusun berseling, memiliki warna beragam
(cokelat, merah, putih, ungu, hijau,dsb), berbentuk jantung atau lonjong,
memiliki panjang 5-15 cm, lebar 2-12 cm, helaian daun tipis, ujung runcing,
pangkal berlekuk, tepi bergerigi atau rata, pertulangan menyirip, permukaan
atas dan bawah halus.
d. Bunga majemuk, berbentuk bulir, berwarna ungu, mahkota berwarna putih
terkadang warna ungu, kelopak bunga berbentuk mangkuk.
e. Buah berbentuk kotak, warna merah (www.plantamor.com).


Sistematika tumbuhan akalifa yaitu :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Euphorbiales

Famili


: Euphorbiaceae

Genus

: Acalypha

Spesies

: Acalypha wilkesiana Muell. Arc.

Nama Lokal

: Akalifa

Universitas Sumatera Utara

6

2.2 Klasifikasi Senyawa Bahan Alam


Pada hakekatnya kimia bahan alam merupakan pengetahuan yang telah dikenal sejak
peradaban manusia tumbuh. Sebagian besar bahkan hampir semua, kandungan
senyawa kimia bahan alam adalah senyawa organik, dan sumber utama senyawa
karbon atau senyawa organik ini adalah glukosa yang dibentuk melalui fotosintesis di
dalam tumbuhan autotropik atau diperoleh dari organisme heterotrof. Seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan maka perkembangan kimia bahan alam tidak dapat lagi
diragukan hingga sekarang. Berbagai cara analisis preparatif atau pemisahan telah
ditemukan dan dikembangkan seperti metoda kromatografi yang meliputi: kolom
kromatografi, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi gas,
kromatografi cair bertekanan tinggi, elektroforesis, pertukaran ion, dan sebagainya.
Metoda-metoda tersebut memungkinkan untuk mengisolasi senyawa-senyawa yang
jumlahnya sangat kecil (Sastrohamidjojo, 1996).

Dengan meningkatnya jenis dan tipe senyawa yang ditemukan di dalam
berbagai bahan alam, berkembang juga sistem klasifikasi senyawa yang berasal dari
bahan alam, tetapi biasanya ada 4 jenis klasifikasi yang digunakan untuk
membahasnya (Nakanishi et al, 1974).

1. Klasifikasi Berdasarkan Struktur Kimia
Klasifikasi ini adalah klasifikasi formal berdasarkan kerangka struktur molekul,

yaitu:
a. Senyawa lemak rantai terbuka atau alifatik, seperti asam-asam lemak, gulagula, dan hampir semua asam amino
b. Senyawa sikloalifatik atau alisiklik, seperti terpenoid, steroid, dan beberapa
alkaloid
c. Senyawa benzenoid atau aromatik, seperti fenol dan kuinon.
d. Senyawa heterosiklik, seperti alkaloid, flavonoid, dan basa-basa nukleat.

Universitas Sumatera Utara

7

2. Klasifikasi Berdasarkan Aktivitas Fisiologi
Biasanya pengembangan bahan alam didahului dengan pengamatan dan
pengalaman empirik khasiat bahan alam tersebut untuk menyembuhkan penyakit
tertentu. Oleh karena itu, salah satu cara penyelidikan bahan obat dari tumbuhan
atau bahan alam lainnya adalah melalui ekstraksi dan penetapan khasiat
farmakologi ekstrak, diikuti dengan isolasi komponen murni.

Suatu klasifikasi yang menggunakan landasan aktivitas fisiologi banyak
digunakan, misalnya hormon, vitamin, antiobiotik, dan mikotoksin. Walaupun

senyawa yang termasuk dalam golongan itu memiliki berbagai struktur dan asalusul biosintetik, aspek dan aktivitas yang dimilikinya sama.

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi
Klasifikasi ini didasarkan pada pengkajian morfologi komparatif atau taksonomi
tumbuhan. Di dalam hewan dan sebagian mikroorganisme metabolit akhir biasanya
diekskresikan ke luar tubuh, sedangkan di dalam tumbuhan, metabolit tersebut
disimpan di dalam tubuh tumbuhan. Walaupun beberapa metabolit selama ini
diketahui spesifik pada tumbuhan tertentu, tetapi sekarang telah diketahui tersebar
di dalam berbagai tumbuhan, misalnya alkaloid dan isoprenoid telah dapat diisolasi
dari berbagai genus, spesies, suku, atau ordo. Bahkan di dalam satu spesies terdapat
sejumlah komponen yang memiliki struktur dasar yang berkaitan.

Pengetahuan tentang kandungan komponen tumbuhan berkembang dengan
sangat pesat karena berkembangnya metode ekstraksi, isolasi dan karakterisasinya.
Hal ini mendorong berkembangnya suatu bidang baru yang disebut kemotaksonomi
(chemotaxonomy) atau sistematik kimia (chemosystematic) yang mengarah ke
pembagian kandungan tumbuhan berdasarkan taksa tumbuhan. Dengan kata lain,
isi kandungan tumbuhan dianggap sebagai tanda bagi evolusi dan klasifikasi
tumbuhan.


4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis
Biogenesis dan biosintesis memiliki arti yang sama dan sering kali digunakan tanpa
perbedaan.

Namun,

istilah

biogenesis

biasanya

digunakan

untuk

reaksi

Universitas Sumatera Utara


8

pembentukan yang masih dalam taraf hipotesis, sedangkan jika reaksi tersebut telah
dibuktikan secara eksperimen, digunakan istilah biosintesis.

Berbagai teori tentang pembentukan senyawa metabolit primer dan metabolit
sekunder telah dikemukakan di dalam berbagai publikasi. Diawali dengan teori
aturan isoprena pada tahun 1930, yang menyatakan bahwa semua terpenoid
dibentuk dari unit isoprena 5-C, dilanjutkan dengan teori poliketometilena untuk
senyawa fenolik, yang merupakan saran pertama bagi biosintesis asetogenin
(poliketida). Komponen pembangun utama untuk atom-atom karbon dan nitrogen
di dalam semua senyawa bahan alam berasal dari 5 kelompok prekursor, yaitu:
(Wiryowidagdo, 2008).
a. asetil ko-A

→ unit 2C (MeCO-) → poliketida (asetogenin)

malonil ko-A
b. asam sikimat → unit 6C-3C (6C-1C atau 6C-2C) → senyawa fenolik
c. asam mevalonat → unit prenil → isoprenoid

d. unit asam amino seperti fenilanalina, tirosina, ornitina, lisina, dan triptofan→
alkaloid
e. 5-5’-deoksiadenilmetionina → unit 1C
2.3 Metabolit Sekunder

Senyawa kimia bermolekul besar merupakan bagian utama dalam organ tanaman
kering. Senyawa bermolekul besar ini berfungsi sebagai pembentuk struktur tanaman
(selulosa, kitin, lignin), sebagai cadangan makanan (amilum, protein, lipoprotein) atau
untuk memenuhi fungsi metabolisme penting lainnya (protein dan enzim). Senyawa
kimia dari tanaman yang bebeda-beda dapat disaring dengan pelarut umum (air,
etanol, eter, benzen), berupa senyawa kimia tanaman dengan molekul kecil. Di antara
senyawa kimia tanaman dengan molekul kecil ini terdapat sekelompok senyawa kimia
yang banyak dijumpai dalam semua tanaman, dan kelompok senyawa kimia yang khas
untuk tanaman tertentu. Senyawa kimia tanaman yang jumlahnya paling banyak
adalah senyawa kimia bermolekul kecil dari kelompok yang disebut terakhir dengan
penyebaran terbatas, senyawa inilah yang disebut dengan metabolit sekunder.

Universitas Sumatera Utara

9


Penggolongan Metabolit Sekuder

Banyak senyawa kimia tanaman yang telah diisolasi dan dipublikasikan sebelum
diketahui strukturnya. Pengelompokan senyawa kimia tananam berdasarkan sifat khas
yang dimiliknya (antara lain warna, rasa, bau, pH, kelarutan), merupakan hal penting
sehingga sampai sekarang masih banyak dipakai. Berikut contoh pengelompokkan
senyawa kimia seperti tersebut diatas.
1. Minyak Atsiri. Baunya khas dan dapat dipisahkan dari senyawa kimia tanaman
lainnya, karena sukar larut dalam air dan dapat menguap bersama uap air.
2. Alkaloid. Senyawa yang bersifat basa dapat dipisahkan dari yang netral dan asam.
Penyebab sifat basa sangat erat kaitannya dengan kerja farmakologi pada tubuh
binatang dan manusia.
3. Zat Pahit. Berpedoman pada rasa pahit adalah suatu metode yang mudah untuk
memisahkan senyawa kimia tanaman, perlu waktu yang cukup sehingga seluruh zat
pahit dalam sari menjadi zat yang dapat dikristalkan.
4. Zat warna. Jumlah zat warna dari tanaman diperkirakan ± 2000 jenis. Pigmen
tanaman mempunyai struktur kimia yang berlainan, begitu juga sifat fisika,
kelarutan, warna, fuoresensi, dan sebagainya
5. Tannin. Ditandai oleh sifatnya yang dapat mengendapkan protein dari larutan

dengan membentuk senyawa yang tidak larut.
6. Glikosida. Pada umumnya sari tanaman mengandung senyawa bersifat alkohol atau
fenol yang dapat larut dalam air, tetapi gugus hidroksi dari alkohol atau fenol tidak
bebas yang terikat pada satu atau lebih gula. Namun setelah dihidrolisis akan
memisahkan bagian bukan gula dan bagian gula yang dimasukkan ke dalam
golongan glikosida (Sirait, 2007).

2.4 Senyawa Flavonoida

Istilah flavonoida dikenakan pada suatu golongan besar senyawa yang yang berasal
dari kelompok senyawa yang paling umum yaitu flavon. Suatu jembatan oksigen
terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto dan atom karbon benzil yang terletak
di sebelah cincin B membentuk cincin dari tipe 4-piron. Senyawa heterosiklik ini pada
tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah

Universitas Sumatera Utara

10

bentuk yang mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi yang paling rendah dan

dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa ini (Manitto,
1992).

Sistem penomoran untuk turunan senyawa flavonoid diberikan di bawah :
(Robinson, 1995).
8
7
6

2'
1
O 2 1'

A
3
5

6'

3'
4'
5'

O
4

Flavonoida umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugus gula
bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Gugus hidroksil selalu
terdapat pada karbon nomor 5 dan nomor 7 pada cincin A. Pada cincin B gugus
hidroksil terdapat pada karbon nomor 3 dan nomor 4 ( Sirait, 2007).

Menurut perkiraan, kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh
tumbuh-tumbuhan ( atau kira-kira 1 x 109 ton/tahun ) diubah menjadi flavonoida atau
senyawa yang berkaitan erat dengannya. Sebagian besar tannin pun berasal dari
flavonoida. Jadi flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar
(Markham, 1988).

Senyawa flavonoid berperan dalam memberikan banyak warna lain di alam,
terutama daun mahkota kuning dan jingga, bahkan flavonoid yang tidak berwarna
mangabsorbsi cahaya pada spektrum UV (karena banyak gugus kromofor) dan dapat
dilihat oleh banyak serangga. Senyawa ini diduga memiliki manfaat ekologi yang
besar di alam berkat warnanya sebagai penarik serangga dan burung untuk membantu
penyerbukan tanaman. Flavonoid tertentu juga mempengaruhi rasa makanan secara
signifikan, misalnya beberapa tanaman memiliki rasa pahit dan kesat seperti glikosida
flavanon naringin.

Senyawa flavonoid diduga sangat bermanfaat dalam makanan karena, berupa
senyawa fenolik, senyawa ini

yang bersifat antioksidan kuat. Banyak kondisi
Universitas Sumatera Utara

11

penyakit yang diketahui bertambah parah oleh adanya radikal bebas seperti
superoksida dan hidroksil, dan flavonoid memiliki kemampuan untuk menghilangkan
dan secara efektif ‘menyapu’ spesies pengoksidasi yang merusak itu. Oleh karena itu,
makanan kaya flavonoid dianggap penting untuk mengobati penyakit-penyakit, seperti
kanker dan penyakit jantung (yang dapat memburuk akibat oksidasi lipoprotein
densitas-rendah) (Heinrich et al, 2009).

2.4.1 Biosintesis Flavonoid

Senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom
karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai
linear yang terdiri dari tiga atom karbon. Kerangka ini dapat ditullis sebagai C6-C3-C6.
Jadi senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diarilpropana, senyawa isoflavonoida
adalah senyawa 1,2 diarilpropana, sedang senyawa-senyawa neoflavonoida adalah
senyawa 1,1 diarilpropana. Senyawa flavonoida diturunkan dari unit C6-C3 (fenil
propana) yang bersumber dari asam sikimat (via fenilalanin) dan unit C6 yang
diturunkan dari jalur poliketida. Fragmen poliketida ini disusun dari tiga molekul
malonil-KoA yang bergabung dengan unit C6-C3 (sebagai KoA tioester) untuk
membentuk unit awal triketida. Oleh karena itu, flavonoid yang berasal dari
biosintesis gabungan terdiri atas unit-unit yang diturunkan dari asam sikimat dan jalur
poliketida (Heinrich et al 2009).

Semua varian flavonoida saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama
yang melalui alur sikimat dan alur asetat-malonat. Flavonoida yang pertama kali
terbentuk pada biosintesis adalah khalkon dan semua bentuk diturunkan darinya
melalui berbagai alur. Modifikasi flavonoida lebih lanjut mungkin terjadi pada
berbagai tahap dan menghasilkan: penambahan (atau pengurangan) hidroksilasi,
metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoida, metilenasi gugus orto-dihidroksil,
dimerisasi (pembentukan biflavonoida), dan glikosilasi gugus hidroksil (pembentukan
flavonoida O-glikosida) atau inti flavonoida (pembentukan flavonoida C-glikosida).

Universitas Sumatera Utara

12

(Markham, 1988)
Gambar 2.1 Biosintesa hubungan antara jenis monomer flavonoida dari alur
asetat-malonat dan alur sikimat

2.4.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida

Di alam flavonoida terdapat dalam berbagai bentuk. Hal ini disebabkan adanya
modifikasi lebih lanjut seperti dimerisasi, glikosilasi gugus hidroksil atau inti
flavonoid, pembentukan bisulfat, yang diuraikan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

13

1. Flavonoid O-glikosida
Flavonoid biasanya terdapat sebagai flavonoid O-glikosida, pada senyawa
tersebut satu gugus hidroksi flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula (atau
lebih) dengan ikatan hemiasetal yang tak tahan asam. Pengaruh glikosilasi
meyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air
(cairan). Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat, walaupun
galaktosa, ramnosa, xilosa, dan arabinosa sering juga terdapat. Gula lain yang
ditemukan adalah alosa, manosa, fruktosa, apiosa dan asam glukuronat serta
galakturonat.

2. Flavonoid C-glikosida
Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula
tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon.
Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Gula yang terikat pada atom C
hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid yang
disebabkan karena adanya pengisomeran ketika hidrolisis asam. Jenis gula
yang terlibat ternyata jauh lebih sedikit ketimbang jenis gula pada O-glikosida.
Jenis aglikon flavonoid yang terlibat pun sangat terbatas. Jadi, walau pun
isoflavon, flavanon, dan flavonol kadang-kadang terdapat dalam bentuk Cglikosida, hanya flavon C-glikosida yang paling lazim ditemukan.

3. Flavonoid Sulfat
Gabungan flavonoid lain yang mudah larut dalam air yang mungkin ditemukan
hanya flavonoid sulfat. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat atau lebih,
yang terikat pada hidroksil fenol atau gula. Senyawa ini dikatakan bisulfat
karena terdapat sebagai garam, yaitu flavon-O-SO3K.
4. Biflavonoid
Biflavonoid adalah flavonoid dimer, walau pun prosianidin dimer (satuan
dasarnya katekin) biasanya tidak dimasukkan ke dalam golongan ini.
Flavonoid yang biasanya terlibat adalah flavon dan flavanon yang secara
biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang sederhana 5,7,4’ (atau kadangkadang 5,7,3’,4’) dan ikatan antar-flavonoid berupa ikatan karbon-karbon atau

Universitas Sumatera Utara

14

kadang-kadang ikatan eter. Monomer flavonoid yang digabungkan menjadi
biflavonoid dapat berjenis sama atau berbeda, dan letak ikatannya berbeda.
Biflavonoid jarang ditemukan sebagai glikosida, dan penyebarannya terbatas,
terdapat terutama pada gimnospermae.

5. Aglikon flavonoid yang aktif-optik
Aglikon flavonoid mempunyai atom karbon asimetrik dan dengan demikian
menunjukkan keaktifan optik (yaitu memutar cahaya terpolarisasi-datar). Yang
termasuk dalam golongan flavonid ini ialah flavanon, dihidroflavonol, katekin,
pterokarpan, rotenoid, dan beberapa biflavonoid (Markham, 1988).

Flavonoida

mengandung

sistem

aromatik

yang

terkonjugasi

sehingga

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan spektrum
sinar tampak, umumnya dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan
glikosida (Harborne, 1996).

Flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan tahanan oksidasi dan keragaman lain
pada rantai C3 :
1. Flavon

A

O
C

B

O

Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok senyawa
flavonoid. Flavon bersamaan dengan flavonol merupakan senyawa yang paling
tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan kuning, meskipun warna kuning
tumbuhan jagung biasanya disebabkan oleh karotenoid (Robinson, 1995).
Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugus 3hidroksi. Senyawa ini memiliki titik lebur 99-1000C dan biasanya larut dalam
air panas dan alkohol, meskipun beberapa flavonoid yang termetilasi tidak
larut dalam air (Harborne, 1996).

Universitas Sumatera Utara

15

2. Flavonol

A

O
C

B

OH
O

Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida dan
terdapat dalam berbagai bentuk terhidroksilasi. Larutan flavonol dalam
suasana basa (tetapi flavon tidak) dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu
cepat sehingga pengunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan
(Sastrohamidjojo, 1996).

3. Isoflavon
A

O
C
O

B

Isoflavon merupakan senyawa yang tidak begitu mencolok, tetapi senyawa ini
penting sebagai fitoaleksin (senyawa pelindung) dalam tumbuhan untuk
pertahanan terhadap penyakit (Robinson, 1995). Beberapa isoflavon (misalnya
daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila
diuapi amonia, tetapi kebanyakan tampak sebagai bercak lembayung yang
pudar dengan amonia berubah menjadi coklat. Isoflavon sukar dicirikan karena
reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun (Markham, 1988).

4. Flavanon

A

O
C

B

O

Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan
bunga. Namun apabila dibandingkan dengan flavonoid lain, senyawa ini
terdapat lebih sedikit. Flavanon (dihidroflavon) sering terjadi sebagai aglikon,
tetapi beberapa glikosidanya dikenal misalnya hesperidin dan naringan dari
jaringan buah anggur dan kulit buah jeruk (Sastrohamidjojo, 1996).

Universitas Sumatera Utara

16

5. Flavanonol

A

O
C

B

OH
O

Flavanonol (atau dihidroflavonol) barangkali merupakan flavonoid yang
paling kurang dikenal, dan tidak dapat diketahui apakah senyawa ini terdapat
sebagai glikosida. Senyawa ini stabil dalam asam klorida panas tetapi terurai
oleh udara (Robinson, 1995).

6. Antosianin

A

O
C

B

OH

Antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin,
dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi (Harborne, 1996).
Antosianin adalah pigmen pada daun, bunga dan batang tanaman yang
memiliki banyak warna biru, lembayung, violet, dan semua yang mendekati
warna merah. Antosianin terdapat juga dalam bagian lain tumbuhan tinggi
kecuali fungus. Antosianin selalu terdapat dalam bentuk glikosida. Faktorfaktor yang mempengaruhi warna dari antosianin yaitu pH, logam dalam
bentuk kompleks dan juga tanin (Robinson, 1995).

7. Katekin
OH
OH
HO
A

O
C

B

OH
OH

Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan
berkayu. Katekin dan proantosianidin adalah dua golongan senyawa yang
mempunyai banyak kesamaan dengan semua senyawa tanpa warna (Robinson,
1995).
Universitas Sumatera Utara

17

8. Leukoantosianidin
OH
OH
B

O
C

HO
A

OH
OH

HO

Merupakan monomer flavan 3,4-diol, leukoantosianidin jarang terdapat
sebagai glikosida, namun beberapa bentuk glikosida yang dikenal adalah
apiferol, dan peltoginol (Robinson, 1995).

9. Auron
O
A

B

CH
O

Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu.
Dimana apabila diberi uap ammonia dalam larutan basa , senyawa ini akan
berwarna ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning,
dengan sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga
(Markham, 1988).

10. Kalkon
B

A
O

Kalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat bila di sinari dengan
UV. Yang dimana spektrum yang dihasilkan akan mengalami pergeseran
botokrom apabila terdapat basa dan garam logam (Markham, 1988).
Pengubahan kalkon menjadi flavanon terjadi dengan mudah dalam larutan
asam dan reaksi kebalikannya dalam basa. Reaksi ini mudah diamati karena
kalkon warnanya jauh lebih kuat daripada warna flavanon, terutama dalam
larutan basa warnya merah jingga. Oleh karena itu, hidrolisis glikosida kalkon
dalam suasana asam menghasilkan aglikon flavanon sebagai senyawa jadi,
bukan kalkon (Robinson, 1995).

Universitas Sumatera Utara

18

Menurut Harborne (1996), dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoida dimana
semua flavonoida, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon dan
semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama yakni: (Markham, 1988).

Tabel 2.1. Sifat dari golongan-golongan flavonoida menurut Harborne
Golongan
flavonoida
Antosianin

Penyebaran

Ciri khas

Larut dalam air, λ maks 515-545
nm, bergerak dengan BAA pada
kertas.
Menghasilkan antosianidin bila
jaringan dipanaskan dalam HCl
2M selama setengah jam.
Setelah hidrolisis, berupa bercak
kuning murup pada kromatogram
Forestal bila disinari sinar UV,
maksimal spektrum pada 330 –
350 nm.
Seperti flavonol
Setelah hidrolisis, berupa bercak
Flavon
coklat redup pada kromatogram
Forestal mak-simal spektrum
pada 330-350 nm.
Seperti flavonol
Mengandung gula yang terikat
Glikoflavon
melalui ikatan C-C, bergerak
dengan pengembang air, tidak
seperti flavon biasa.
Tidak berwarna dan hampir Pada kromatogram BAA berupa
Biflavonil
seluruhnya terbatas pada bercak redup dengan RF tinggi .
gimnospermae
Khalkon dan Pigmen
bunga
kuning, Dengan amonia berwarna merah
auron
kadang-kadang terdapat juga (perubahan warna dapat diamati
in situ), maksimal spektrum 370dalam jaringan lain
410 nm.
Flavanon
Tidak berwarna, dalam daun Berwarna merah kuat dengan
dan buah (terutama dalam Mg/HCl, kadang – kadang sangat
Citrus)
pahit .
Isoflavon
Tidak berwarna, sering kali Bergerak pada kertas dengan
dalam akar, hanya terdapat pengembang air, tidak ada uji
dalam suku Leguminosae
warna yang khas.
Pigmen bunga merah marak,
dan biru juga dalam daun dan
jaringan lain.
Proantosianidin Terutama tidak berwarna,
dalam daun tumbuhan yang
berkayu.
Terutama ko-pigmen tidak
Flavonol
berwarna dalam bunga sianik
dan asianik tersebar luas
dalam daun.

2.4.3 Sifat Kelarutan Flavonoida

Senyawa flavonoid termasuk senyawa polar, karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil ataupun suatu gugus gula. Hal ini memungkinkan flavonoid dapat larut
Universitas Sumatera Utara

19

dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol, aseton,
dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Flavonoid
yang berupa aglikon merupakan golongan polifenol yang memiliki sifat senyawa fenol
yaitu bersifat agak asam, Oleh karena itu dapat larut dalam basa. Namun apabila
terlalu lama dibiarkan di dalam larutan basa dan terdapat cukup banyak oksigen, maka
dapat terjadi penguraian pada senyawa tersebut. Keberadaan gugus gula yang terikat
pada flavonoid (glikosida) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah terlarut
dalam air. Hal ini memberikan pilihan pelarut yang luas karena air dapat dicampurkan
dengan pelarut-pelarut di atas. Namun hal sebaliknya tidak berlaku pada aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham,
1988).

2.5 Skrining Fitokimia

Banyak reagen yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dari flavonoid,
meskipun beberapa juga akan bereaksi positif dengan senyawa polifenol. Reagen yang
biasa digunakan adalah :
1. Shinoda Test, yaitu dengan menambahkan serbuk magnesium pada ekstrak
sampel dan beberapa tetes HCl pekat, warna orange, pink, merah sampai ungu
akan terjadi pada senyawa flavon, flavonol, turunan 2,3-dihidro dan xanton.
Penggunaan zinc sebagai pengganti magnesium dapat dilakukan, dimana
hanya flavanonol yang memberikan perubahan warna merah pekat sampai
magenta, flavanon dan flavonol akan memberi warna merah muda yang lemah
sampai magenta.
2. H2SO4(p), flavon dan flavonol akan memberikan perubahan larutan kuning
pekat. Kalkon dan auron menghasilkan larutan berwarna merah atau merah
kebiru-biruan. Flavanon memberikan warna orange sampai merah (Cannell,
1998).
3. NaOH 10% , menghasilkan larutan biru violet
4. FeCl3 5% telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi senyawa fenol,
tetapi tidak dapat digunakan untuk membedakan macam-macam golongan

Universitas Sumatera Utara

20

flavonoid. Pereaksi ini memberi warna kehijauan, warna biru, dan warna
hitam-biru (Robinson, 1995).

2.6 Teknik Pemisahan

Teknik pemisahan memiliki tujuan untuk memisahkan komponen yang akan
ditentukan berada dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponenkomponen lainnya. Ada 2 jenis teknik pemisahan:
1. Pemisahan kimia adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan adanya
perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran yang
akan dipisahkan.
2. Pemisahan fisika adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat fisik antara senyawa-senyawa yang
termasuk dalam satu golongan (Muldja, 1995).

2.6.1 Ekstraksi

Beberapa metode ekstraksi dapat digunakan untuk mengekstrak suatu konstituen
dalam suatu bahan tanaman, yang diantaranya adalah maserasi, perkolasi, ekstraksi
sokletasi, ekstraksi pelarut bertekanan, ekstraksi dengan refluks, dan destilasi uap.
Dalam ekstraksi padat-cair, bahan tanaman ditempatkan dalam sebuah wadah, dan
dibiarkan terjadi kontak dengan pelarut. Proses yang terjadi dari seluruh proses
dinamis tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pertama pelarut
akan berdifusi ke dalam sel, kemudian pelarut akan melarutkan metabolit, dan pada
proses akhir pelarut akan berdifusi keluat dari sel bersama dengan metabolit (Sarker,
2007).

Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi
dingin (dalam labu besar berisi biomassa), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan
diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut yang kepolarannya
makin tinggi. Keuntungan utama cara ini adalah merupakan metode ekstraksi yang
mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga kemungkinan kecil bahan alam
terurai. Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran secara berurutan

Universitas Sumatera Utara

21

memungkinkan pemisahan bahan alam berdasarkan kelarutannya (dan polaritasnya)
dalam ektraksi. Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin
memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun beberapa senyawa memiliki
kelarutan terbatas dalam pelarut ekstraksi pada suhu kamar (Heinrich et al, 2009).

Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan reaksi negatif
terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak pekat,
biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator
(Harborne, 1996).

2.6.2 Partisi

Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak
digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi menggunakan dua pelarut
tak bercampur yang ditambahkan kedalam ekstrak tersebut, hal ini dapat dilakukan
secara terus menerus dengan menggunakan dua pelarut yang tak bercampur yang
kepolarannya meningkat. Partisi biasanya dilakukan melalui dua tahap:
1. Air/petroleum eter ringan (heksana) untuk menghasilkan fraksi nonpolar di
lapisan organik
2. Air/diklorometan atau air/kloroform atau air/etil asetat untuk membuat fraksi
agak polar di lapisan organik. Ini merupakan metode pemisahan yang mudah
dan mengandalkan kelarutan bahan alam dan bukan interaksi fisik dengan
medium lain (Heinrich et al, 2009).

2.6.3 Hidrolisis

Prosedur yang digunakan untuk hidrolisis asam dari flavonoid glikosida adalah,
sebanyak 2 mg sampel flavonoid glikosida dicampur dengan asam klorida 6%
sebanyak 5 ml dengan jumlah metanol yang sangat sedikit pada sampel untuk
membuat proses hidrolisis menjadi sempurna. Larutan dipanaskan selama 45 menit
lalu didinginkan, kemudian ekstrak sepenuhnya dilarutkan dengan eter. Penguapan
dari larutan akan mengendapkan ramnosa dan glukosa. Lapisan eter, setelah

Universitas Sumatera Utara

22

dikeringkan dengan menggunakan natrium sulfat akan didapatkan aglikon flavonoid
setelah diuapkan (Mabry et al, 1970).

2.6.4 Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam
(stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Teknik kromatografi telah
berkembang dan telah digunakan untuk memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai
macam komponen yang kompleks, baik komponen organik maupun komponen
anorganik. Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia
Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman
dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium
karbonat (CaCO3).
Fase padat yang bertindak sebagai fase diam dalam kromatografi cair-padat
(KCP) ataupun gas-padat (KGP) disebut sebagai adsorben atau penjerap, sedangkan
bahan tempat melekatnya fase diam disebut sebagai penyangga. Jika fase gerak
digerakkan melalui fase diam untuk menghasilkan pemisahan kromatografi, proses ini
dikenal sebagai pengembangan. Setelah senyawa-senyawa dipisahkan dengan
pengembangan, hasilnya didekteksi atau divisualisasi. Jika senyawa-senyawa yang
dipisahkan benar-benar dikeluarkan dari sistem, maka senyawa itu telah dielusi atau
elusi telah terjadi. Senyawa yang dipisahkan biasanya disebut sebagai linarut, atau
secara kelompok disebut cuplikan. Dan hasil keseluruhan dari kromatografi disebut
sebagai kromatogram (Gritter, 1991).

Pemisahan pada kromatografi planar pada umumnya dihentikan sebelum
semua fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Solut pada kedua
kromatografi ini dikarakterisasi dengan jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase
geraknya. Nilai faktor retardasi solut (Rf) dapat dihitung dengan menggunakan
perbandingan dalam persamaan:

Universitas Sumatera Utara

23

Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai perbandingan
distribusi (D) dan faktor retensi sama dengan 0 yang berarti solut bermigrasi dengan
kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 dan ini teramati
jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam.

2.6.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Teknik kromatografi lapis tipis sering dilakukan dengan menggunakan lempeng atau
gelas plastik yang dilapisi fasa diam dan fasa geraknya merupakan pelarut.
Campuaran yang akan dianalisis diteteskan pada dasar lempeng dan perlarutnya akan
bergerak naik oleh gaya kapiler.

Pada umumnya fasa diam bersifat polar dan senyawa polar akan melekat lebih
kuat pada lempeng daripada senyawa tak polar akibat interaksi tarik menarik dipol.
Senyawa tak polar kurang melekat erat pada fasa diam polar sehingga bergerak naik
lebih jauh ke atas lempeng. Jarak tempuh ke atas lempeng merupakan cermin polaritas
senyawa. Peningkatan polaritas pelarut akan menurunkan interaksi senyawa dengan
fasa diam sehingga senyawa dalam fasa gerak bergerak lebih jauh pada lempeng
(Bresnick, 2005).

Nilai utama kromatografi lapis tipis pada penelitian flavonoida adalah sebagai
cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit. Menurut Markham,
Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan berikut:
1. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom
2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom
3. Identifikasi flavonoida secara ko-kromatografi
4. Isolasi flavonoida murni skala kecil
Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan penyerap dan
pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi kertas (Markham, 1988).

Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Metode kromatografi juga dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis
preparatif yaitu pemisahan yang terdiri atas sejumlah senyawa serupa dengan

Universitas Sumatera Utara

24

kromatografi jenis yang sukar dan kadang-kadang lama dipisahkan. KLT preparatif
adalah cara ideal untuk memisahkan cuplikan kecil (50 mg sampai 1 g). Penyerap
yang dipakai adalah silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil
maupun campuran senyawa hidrofil. Ketebalan adsorben yang sering dipakai 0,5 – 2
mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20x20 cm atau 20x40 cm (Gritter, 1991).

Kebanyakan penjerap KLTP mengandung indikator fluorosensi yang
membantu mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang
dipisahkan menyerap sinar UV. Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok dari
plat dengan spatula atau pengerok berbentuk tabung. Senyawa harus diekstraksi dari
penjerap dengan pelarut yang paling kurang polar yang mungkin (sekitar 5 ml pelarut
untuk 1 g penjerap). Harus diperhatikan bahwa semakin lama senyawa berkontak
dengan penjerap makin besar kemungkinan penguraian (Hostettmann dkk, 1995).

2.6.4.2 Kromatografi Kolom

Metode pemisahan kromatografi didasarkan pada perbedaan distribusi molekulmolekul komponen di antara fase gerak dan fase diam berdasarkan perbedaan tingkat
kepolaran. Komponen akan bergerak lebih cepat meninggalkan kolom bila molekulmolekul komponen tersebut berinteraksi secara lemah dengan fase diam. Daya
interaksi komponen yang akan dipisahkan dengan fase diam sangat menentukan
tingkat keberhasilan kromatografi.

Pemisahan senyawa dengan kromatografi kolom merupakan salah satu teknik
pemisahan yang banyak digunakan. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyediaan
kolom, operasi kolom, serta pemilihan pelarut yang tepat sebelum melakukan
kromatografi.

Kolom kromatogafi biasanya terbuat dari gelas. Panjang kolom

biasanya disesuaikan dengan jumlah komponen yang akan dianalisis dalam suatu
senyawa, sedangkan lebar kolom disesuaikan dengan jumlah senyawa yang akan
dianalisis. Bahan yang dapat dipakai untuk sediaan kromatografi sebagai pengisi
kolom cukup banyak jenisnya. Selama proses kesetimbangan dengan pelarut, bahan
pengisi kolom dibiarkan mengendap, dan partikel-partikel halus yang tertinggal dalam
suspensi dibuang dengan cara dekantasi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka laju alir

Universitas Sumatera Utara

25

pelarut yang menuruni kolom akan menurun karena tersumbat oleh partikel-partikel
halus (Bintang, 2010).

Ukuran partikel penjerap pada kolom biasanya lebih besar daripada untuk
KLT. Walau pun banyak jenis penjerap telah dipakai untuk kolom, alumina dan silika
gel adalah penjerap yang paling berguna dan mudah didapat.

Kromatografi kolom biasanya dibuat dengan menuangkan suspensi fasa diam
dan pelarut yang sesuai kedalam kolom dan dibiarkan memadat. Selanjutnya pelarut
diturunkan sampai tepat pada bagian atas penyerap dan cuplikan yang akan dipisahkan
diletakkan pada bagian atas penyerap kemudian fasa gerak dimasukkan dan dibiarkan
mengalir melewati kolom dan komponen campuran turun berupa pita dengan laju
yang berlainan kemudian hasil pemisahan dari kolom dikumpulkan sebagai fraksi.
Fraksi kolom yang mengandung senyawa yang sama (diperiksa dengan KLT) atau
tampaknya berasal dari satu puncak (memakai pendeteksian sinambung) digabungkan,
dan pelarutnya diuapkan, lebih baik dengan tekanan rendah. Jika pelarut dan penjerap
murni. Maka fraksi-fraksi pun murni. Kromatografi kolom merupakan bentuk
kromatografi cair (Gritter dkk, 1991).

2.7 Teknik Spektroskopi

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang mengamati
tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Ada dua macam
instrumen pada teknik spektroskopik yaitu spektrometer dan spektrofotometer.
Instrumen yang memakai monokromator celah yang tetap pada bidang fokus disebut
spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan detektor yang bersifat
fotoelektrik disebut sebagai spektrofotometer (Muldja, 1995).

Teknik analisis spektroskopi berasaskan antaraksi radiasi elektromagnet
dengan komponen atom atau molekul yang menghasilkan fenomena bermakna sebagai
parameter analisis. Karena pada setiap teknik spektroskopi antaraksi radiasi
elektromagnet dengan komponen atom/ molekul khas dan tidak semuanya sama,

Universitas Sumatera Utara

26

uraian teknik analisis didahului dengan mekanisme antaraksi tersebut, serta fenomena
yang dipakai sebagai parameter analisisnya (Satiadarma dkk, 1995).

2.7.1 Spektrofotometer Ultraviolet-Visible (UV-Vis)

Spektrofotometer ultraviolet-visible adalah tenik analisis spektroskopik yang memakai
sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat dan sinar tampak dengan memakai
instrumen spektrofotometer. Apabila pada molekul sederhana tersebut hanya terjadi
transisi elektronik pada satu macam gugus maka akan terjadi suatu absorpsi yang
merupakan garis spektrum (Muldja,1995). Panjang gelombang cahaya ultraviolet
bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan
lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang
yang lebih pendek (Supratman, 2010).

Senyawa polifenol memiliki dua karakteristik pita penyerapan Ultraviolet
dengan maksimal jarak 240 sampai 285 nm dan 300 sampai 550 nm. Berbagai macam
golongan flavonoid dapat dikenali dari spektrum UV mereka masing-masing,
karakteristik spektra UV dari masing-masing flavonoid yang mengandung jumlah dari
golongan hidroksil aglikon, pola substituen glikosida, dan golongan asil aromatik
bahan alam (Andersen, 2006).

Flavonoida mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi karena itu
memiliki menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum ultraviolet dan
spektrum tampak (Harborne, 1987). Spektrum khas terdiri atas dua maksimal pada
rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan
kekuatan nisbi maksimal terssebut memberika informasi yang berharga mengenai sifat
dan pola oksigenasinya.

Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut metanol
(MeOH, AR atau yang setara) atau etanol (EtOH), meski perlu diingat bahwa
spektrum yang dihasilkan dalam etanol kurang memuaskan.

Universitas Sumatera Utara

27

Ciri spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola oksigenasi yang setara
disajikan pada tabel dibawah :

Tabel 2.2 Rentangan Serapan Spektrum UV-Visible golongan Flavonoida
Pita II (nm)
250-280
250-280
250-280
245-275
275-295
230-270
(kekuatan rendah)
230-270
(kekuatan rendah)
270-280

Pita I (nm)
310-350
330-360
350-385
310-330 bahu
300-330 bahu
340-390

Jenis Flavonoid
Flavon
Flavonol (3-OH tersubstitusi)
Flavonol (3-OH bebas)
Isoflavon
Flavanon dan dihidroflavonol
Khalkon

380-430

Auron

465-560

Antosianidin dan antosianin

Perubahan penyulihan pada cincin A cenderung tercerminkan pada serapan
pita II, sedangkan perubahan penyulihan pada cincin B dan C cenderung lebih jelas
tercermin pada serapan pita I (Markham, 1988).
2.7.2 Spektrofotometer Inframerah (FT-IR)
Spektrometri inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi
dalam suatu molekul. Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara
tingkat energi getaran (vibrasi) yang berlainan. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan
kovalen mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation) dengan cara serupa
dengan dua bola yang terikat oleh suatu pegas.

Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan
kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi molekul ini berada
dalam keadaan vibrasi tereksitasi , energi yang diserap ini akan dibuang dalam bentuk
panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar. Panjang gelombang eksak dari
absorpsi oleh suatu tipe ikatan, bergantung pada macam getaran dari ikatan tersebut.
Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-C, C=O, C=C, O-H, dan
sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berlainan.
Banyaknya energi yang diserap juga beraneka ragam dari ikatan ke ikatan. Ini
disebabkan sebagian oleh perubahan dalam momen dipol≠0)(µ pada saat energi

Universitas Sumatera Utara

28

diserap. Ikatan nonpolar (seperti C-H atau C-C) menyebabkan absorpsi lemah,
sedangkan ikatan polar (seperti misalnya O-H, N-H, dan C=O) menunjukkan absorpsi
yang lebih kuat.

Suatu ikatan dalam sebuah molekul dapat mengalami berbagai vibrasi molekul.
Secara umum terdapat dua tipe vibrasi molekul:
1. Streching (vibrasi regang/ulur): vibrasi sepanjang ikatan sehingga terjadi
perpanjangan atau pemendekan ikatan.
2. Bending (vibrasi lentur/tekuk): vibrasi yang disebabkan oleh sudut ikatan
sehingga terjadi pembesaran atau pengecilan sudut ikatan.

Oleh karena itu suatu ikatan tertentu dapat menyerap energi lebih dari satu panjang
gelombang. Contohnya, ikatan O-H menyerap energi pada frekuensi 3330 cm-1, energi
pada panjang gelombang ini menyebabkan kenaikan vibrasi regang ikatan O-H itu.
Suatu ikatan O-H itu juga menyerap pada kira-kira 1250 cm-1, energi pada panjang
gelombang ini menyebabkan kenaikan vibrasi lentur. Tipe vibrasi yang berlain-lainan
ini disebut cara vibrasi fundamental (Supratman, 2010).
2.7.3 Spektrometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Spektrometer Resonansi Magnetik

Inti

(Nuclear Magnetic Resonance, NMR)

merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini
memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul.
Spektrum Resonansi Magnetik Inti memberikan informasi mengenai lingkungan kimia
atom hidrogen, jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan
yang berdekatan dengan setiap atom hidrogen (Creswell, 1982).
Kemampuan terhebat resonansi inti magnetik timbul karena tidak semua
proton dalam molekul memiliki resonansi yang identik pada frekuensi yang sama. Hal
ini sesuai dengan fakta bahwa berbagai macam proton dalam molekul dikelilingi oleh
elektron dan memiliki sedikit perbedaan dalam lingkungan elektronik dari satu dan
yang lainnya. Proton akan terlindungi oleh elektron yang mengelilingi mereka. Dalam
daerah magnetik, peredaran elektron valensi dari daerah penghasil proton yang
bertentangan dengan daerah magnetik yang berlaku. Pergeseran kimia dalam unit δ
Universitas Sumatera Utara

29

ditunjukkan dalam jumlah resonansi proton yang bergeser dari TMS dalam bagian per
juta (ppm) dari frekuensi dasar spektroskopi.

Semua proton dalam molekul yang identik dalam lingkungan kimia akan
memiliki pergerseran kimia yang sama. Dengan demikian, semua proton dari TMS
atau semua proton dalam benzena, siklopentana, atau aseton memiliki nilai resonansi
yang berdekatan pada nilai δ. Masing-masing komponen akan memiliki penyerapan
yang tunggal dalam spektrum nmr. Proton ini dikatakan sama secara kimia. Pada
kenyataannya, spektrum tidak dapat hanya dibedakan dari berapa banyak tipe proton
yang berbeda pada molekul tersebut, tetapi dapat memperlihatkan berapa banyak jenis
perbedaan yang ada dalam molekul tersebut. Dalam spektrum nmr, daerah dibawah
masing-masing peak adalah proporsional dengan jumlah dari hidrogen yang ada pada
peak tersebut (Pavia, 1979).

Proton yang lebih mudah beresonansi akan menyerap energi lebih rendah,
proton ini akan menimbulkan peak bawah medan (tak terperisai= deshielded
downfield,

lebih kekiri pada spektrumnya). Sedangkan, proton yang sukar

beresonansi akan menyerap energi lebih tinggi dan menimbulkan peak atas medan (
terperisai= shielded upfield, lebih kekanan pada spektrumnya). Kuat medan imbasan
bergantung pada rapatan elektron didekat atom Hidrogen didalam ikatan sigma.
Makin besar rapatan elektron ini, maka akan semakin besar medan imbasan dan
semakin jauh ke atas medan absorpsi yang teramati (Fessenden, 1982).

Universitas Sumatera Utara