Rukun dan Syarat Ijarah (3)

Rukun dan syarat Ijarah

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Fiqh Muamalah
Dosen pengampu:

Imam Mustofa, S.H.I., M.S.I.

Disusun Oleh

Dina Mariana

(1502100033)

Kelas

:

B

Program Studi S1 Perbankan Syariah

Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro
2016/2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ijarah merupakan mengambil manfaat yang di lakukan oleh seseorang
dengan orang lain, dengan menggunakan ketentuan syarat islam. Kegiatan
ijarah ini, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari, baik di
lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu, kita harus
mengetahui apa, rukun dan syarat ijarah. Maka hal tersebut janganlah diartikan
sewa-menyewa sesuatu barang untuk di ambil manfaatnya saja, tetapi harus di
pahami arti yang luas dalam rukun dan syarat ijarah. Lalu akan di jelaskan di
makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
Rukun dan Syarat Ijarah
1.

Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah
mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah.

2.

menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan menyewakan sesuatu, diisyaratkan kepada mu’jir dan musta’jir adalah
baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling
meridhoi. Sebagaimana dalam surah al-nisa:29 yang artinya:
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka.”

3.


Shinghat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab Kabul sewa menyewa dan
upah mengupah, ijab Kabul sewa menyewa misalnya: “aku sewakan mobil ini
kepadamu setiap hari Rp.5.000,00”, maka musta’jir menjawab “aku terima sewa
mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah mengupah
misalnya seorang berkata, “kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli
dengan upah setiap hari Rp.5.000,00” kemudian musta’jir menjawab “aku akan
kerjakan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.

4.

Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa
menyewa maupun dalam upah mengupah.

5.

Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah,
disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini:


Hendaklah barang menjadi objek akad sewa menyewa dan upah

mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.



Hendaklah benda yang menjadi objek sewa menyewa dan upah
mengupah dapat diserahkan pada penyewa dan pekerja berikut
kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).



Manfaat dan benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh)
menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).



Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya hingga waktu
yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.1

A. Rukun Ijarah
Umumnya dalam kitap fiqh di sebutkan bahwa rukun ijarah adalah pihak yang

menyewa (musta’jir), pihal yang menyewakan (mu’jir), ijab dan kabul (sigah),manfaat
barang yang di sewakan dan upah. KHES menyebutkan dalam pasal 251 bahwa rukun
ijarah adalah:
1. Pihak yang menyewa.
2. Pihak yang menyewakan.
3. Benda yang di ijarahkan.
4. Akad.
Masing-masing rukun ini mempunyai syarat tertentu yang akan di jelaskan dalam
masalah syarat ijarah.
Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai rukun ijarah
yang terdiri dari:
1. Sigah ijarah yaitu ijab dan kabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang
berakad (berkontrak) baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa/pengguna jasa.
3. Objek akad ijarah; yaitu:
a. Manfaat barang dan jasa; atau

1 Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.117-118

b.


Manfaat jasa dan upah.2

Adapun rukun akad pembiayaan ijarah antara lain:

1. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa asset, dan
mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan asset.
2. Objek akad, yaitu ma’jur (asset yang di sewakan), dan ujrah (harga sewa).
3. Shighah, yaitu ijab dan Kabul.3

Jumhur ulama mengemukakan bahwa ijarah mempunyai 3 rukun umum dan 6
rukun khusus. Pertama adalah sighat (ucapan) yang terdiri dari tawaran (ijab) dan
penerimaan (qabul).Kedua adalah pihak yang berakad (berkontrak) yang terdiri dari
pemberi sewa (lessor-pemilik asset), serta penyewa (pihak yang mengambil manfaat dari
penggunaan asset). Ketiga adalah objek sewa yang terdiri dari manfaat dari penggunaan
asset dan pembayaran sewa (harga sewa).

Shigot (ucapan), yang terdiri dari:



Ijab (Penawaran yang dinyatakan dari pemilik asset)



Qabul (penerimaan yang dinyatakan dari penyewa) 4

Rukun ijarah ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku yang terdiri dari atas pemberi sewa atau pemberi jasa atau mujjir dan
penyewa atau pengguna jasa atau musta’jir.
2. Objek akad ijarah berupa:Manfaat asset atau ma’jur dan pembayaran sewa atau
manfaat jasa atau pembayaraan upah.
3. Ijab Kabul atau serah terima.5

2 Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 105-106
3 Ascara, Akad dan produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.101
4 Hasbi Ramli, Teori Dasar Akutansi Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 149
5 Nurhayati-Wasilah, Akutansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 236

Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk

jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja di bayar lebih
kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarar.
Akan tetapi, jika kerusakan di sebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus di berikan semestinya.
Jafar dan ulama syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli
fasid, yakni harus di bayar sesui dengan nilai atau ukuran yang di capai oleh barang
sewaan.6
Rukun dari ijarah sebagai suatu transaksi adalah akad atau perjanjian kedua belah
pihak, yang menunjukan bahwa transaksi itu telah berjaln secara suka sama suka. Adapun
unsur yang terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:
1. Orang yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang
kemudian memberikan upah atas jasa tenaga atau sewa dari jasa benda yang di
gunakan, di sebut pengguna jasa atau mujir.
2. Orang yang memberika jasa, baik dengan tenaganya atau dengan alat yang di
milikinya, yang kemudian menerima upah dari tenaganya atau sewa dari benda yang
di milikinya, di sebut pemberi jasa atau musta’jir.
3. Objek transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang di gunakan
di sebut ma’jur.7


B. Syarat Ijarah
Secara garis besar, syarat ijarah ada empat macam, yaitu:
1. Syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqad),

6 Rachmat Syafe’I, Fiqh Mu'amalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 131
7 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 217-218

2. Syarat pelaksanaan ijarah (syurut al-nafadz),
3. Syarat sah, (syurut al-sihhah), dan
4. Syarat mengikat (syurut al-luzum)
Adanya syarat-syarat ini di maksudkan untuk menjamin bahwa ijarah yang di
lakukan akan membawa kebaikan bagi para pihak yang melakukannya.
1. Syarat terjadinya akad (syurut al-in’iqad),
Syarat ini berkaitan dengan pihak yang melaksanakan akad. Syarat yang berkaitan
dengan para pihak yang melakukan akad yaitu berakal. Dalam akad ijarah di
persyaratkan mumayyiz. Dengan adanya syarat ini maka transaksi yang di lakukan
oleh orang gila maka TIDAK sah.
Menurut hanafiyah dalam hal ini tidak di syaratkan baligh, transaksi yang di
lakukan anak kecil yang sudah mumayyiz hukumnya sah.

Menurut malikiyah, mumayyiz adalah syarat bagi pihak yang melakukan akad jual
beli dan ijarah. Sementara kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah menjelaskan bahwa
syarat bagi pihak yang melakukan akad adalah baligh dan berakal. 8
2. Syarat pelaksanaan ijarah (syurut al-nafadz)
Akad ijarah dapat terlaksana bila ada kepemilikan dan penguasaan, karena tidak sah
akad ijarah terhadap barang milik atau sedang dalam penguasaan orang lai. Tanpa
adanya kepemilikan dan atau penguasaan, maka ijarah tidak sah.
3. Syarat sah, (syurut al-sihhah)
Syarat ini ada terkait dengan para pihak yang berakad, objek akad dan upah. Syarat
sah ijarah adalah sebagai berikut:
a.

Adanya ukuran suka rela dari para pihak yang melakukan akad. Syarat

ini terkait dengan para pihak. Suka sama suka juga menjadi syarat dalam jual
beli. Tidak boleh ada keterpaksaan untuk melakukan akad dari para pihak. Hal ini
berdasarkan firman allah, yang artinya:
8 Ibid…, h. 105-106

“Hai Orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta di antara kalian

dengan cara yang batil, kecuali ada transaksi suka sama suka diantara kalian”.
Manfaat barang atau jasa yang di sewakan hukumnya mubah secara

b.

syara’, seperti sewa buku untuk belajar,sewa rumah untuk tinggal dan
seabagainya. Tidak diperbolehkan sewa orang untuk melakukan maksiat atau
suatu yang di larang syara’. Syarat ini berdasarkan dabit fiqihiyyah, yang artinya:
“tidak diperbolehkan sewa menyewa untuk kemaksiatan”
c. Syarat terkait dengan mamfaat barang atau jasa seseorang ada beberapa, yaitu:
1)

Manfaat barang atau jasa bisa di ganti dengan materi.

2)

Manfaat barang atau jasa merupakan suatu yang berharga dan ternilai.

3)

Manfaat merupakan suatu yang melekat pada barang yang sah
kepemilikannya.

4)

Manfaat dapat diserah terimakan.

5)

Manfaat harus jelas dan dapat di ketahui.9

4. Syarat mengikat (syurut al-luzum)
syarat yang mengikat ini ada dua syarat, yaitu:
a.

Barang atau orang yang di sewakan harus di terhindar dari cacat yang dapat
menghilangkan fungsinya. Apabila sesudah transaksi terjadi cacat pada barang,
sehingga fungsinya tidak maksimal, atau bahkan tidak fungsinya, maka penyewa
berhak memilih untuk melanjutkan atau menghentikan akad sewa. Bila suatu
ketika barang yang di sewakan mengalami kerusakan maka akad ijarah fasakh
atau rusak dan tidak mengikat kedua belah pihak.

b.

Terhindarnya akad dari udzur yang dapat merusak akad ijarah. Udzur ini bias
terjadi pada bias terjadi pada orang atau pihak yang berakad atau pada objek
akad ijarah.10

9 Ibid…, h. 109
10 Ibid…, h. 110

Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan mengenai ketentuan
ijarah sebagai berikut:
1.Objek ijarah adalah manfaat dari pengunaan barang dan jasa
2.Manfaat barang atau jasa harus bias dinilai dan dapat di laksanakan dalam
kontrak
3.Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat di bolehkan (tidak diharamkan)
4.Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah
5.

Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari

jenis yang sama dengan objek kontrak
6.

Kelenturan (fleksibel) dalam menetukan sewa atau upah dapat di

wujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak
.
Adapun syarat pembiayaan ijarah antara lain:
1.

Jasa atau manfaat yang alkan diberikan oleh asset yang di sewakan tersebut harus
tertentu dan di ketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.

2.

Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab atas
pemeliharaanya sehingga asset tersebut terus dapat member manfaat kepada
penyewa.

3.

Akad ijarah di hentikan pada saat asset yang bersangkutan berhenti memberikan
manfaat kepada penyewa. Jika asset tersebut rusak daalm periode kontrak, akad
ijarah masih tetap berlaku.

4.

Asset tidak boleh di jual kepada penyewa dengan harga yang di tetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan di jual, harganya akan di
tentukan pada saat kontrak berakhir.11

Jumhur Ulama mengatakan bahwa Objek sewa dalam akad Ijarah adalah bukan
barang yang disewakan melainkan manfaat dari barang yang disewakan tersebut. Objek
Ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung manfaatnya dan tidak
11Ibid…, h. 101

rusak(cacat). Bila dalam waktu tertentu manfaat tersebut tidak dapat dipenuhi, misalnya
karena kerusakan aset, pemberi sewa harus menyediakan penggantian. Misalnya : tidak
boleh menyewakan mobil yang sudah rusak mesinnya,karena apabila mesin mobil
tersebut rusak maka tidak dapat diambil manfaatnya dan tidak bisa digunakan secara
langsung atau menyewakan hewan tunggangan yang cacat kakinya atau lumpuh atau
dalam kondisi sedang sakit sehingga tidak bisa diambil manfaatnya secara utuh bahkan
dapat menyebabkan mudharat/ menyewakan rumah yang atapnya rusak.
Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Misal: tidak boleh menyewa
seseorang untuk membunuh orang lain dan tidak boleh menyewakan rumah kepada non
muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka.
Objek Ijarah itu merupakan manfaat atas sesuatu yang biasa disewakan, seperti:
Rumah, Mobil, dan Hewan tunggangan.
Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara sempurna dan jelas,
sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari.
Manfaat yang menjadi objek Ijarah adalah manfaat terhadap sesuatu yang
diperbolehkan berdasarkan ketentuan syara’. Misal: tidak boleh menyewa penari atau
penyanyi yang gerakan atau lagunya menyalahi ketentuan hukum Islam yang dilarang.
Ukuran jenis objek sewa (Ijarah) harus secara jelas diketahui dan tercantum didalam akad
Ijarah. Mis: menyewakan mobil Innova.

Harga sewa atau upah (Ujrah), syarat-syaratnya yaitu:

a. Harga Sewa (Ujrah) dapat didefinisikan sebagai imbalan yang diperjanjikan dan
dibayar oleh si penyewa sebagai harta atas manfaat yang dinikmatinya.
b. Harga sewa (Ujrah) harus dinyatakan secara jelas dan sesuatu yang bernilai harta
serta pembayarannya dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Sesuai dengan Hadits
Rasullullah S.a.w: Dari Abi Said, Rasulullah berkata: “Bila kamu menyewa seorang
pekerja harus memberi tahu upahnya”. (Hadist AnNasai, no 3797, kitab Imam dan
Nazar).
c. Kebanyakan ulama membolehkan membayar ujrah selain dalam bentuk uang,
yaitu dalam bentuk manfaat yang serupa dengan objek kontrak. Mis: harga sewa
rumah selama sehari sebesar 300 ribu, kemudian si pemilik rumah membutuhkan
mobil untuk kebutuhan nikah anaknya selama satu hari dan kebetulan si

penyewarumah memiliki mobil dan dengan kesepakatan harga sewa kedua belah
pihak akhirnya harga sewa rumah dibayar dengan harga sewa mobil.
d. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan ujrah dapat ditentukan dalam ukuran
waktu, tempat, dan jarak. Misalnya, seseorang berkata kepada lainnya: ”jika anda
menjahitkan baju ini untuk saya pada hari ini, upahnya Rp 30.000,00. Sedangkan jika
Anda menjahitkannya besok, upahnya Rp 20.000,00”. Atau jika Anda tinggal
dirumah ini sebagai pedagang emas, maka sewanya adalah Rp 2 juta, sedangkan jika
Anda sebagai pembuat parfum, sewanya Rp 1juta ”, dan sebagainya.
e. Pembayaran Ujrah di muka dibolehkan dalam syariah. Hal tersebut dapat
merupakan pembayaran di muka dari total Ujrah. Dalam ujrah semua pembayaran
adalah sewa yang dapat dipercepat atau ditunda, baik keseluruhannya atau sebagian
(jika ia merupakan bagian dari total Ujrah). Pembayaran itu dapat dilakukan secara
angsuran atau ditangguhkan setelah yang bersangkutan mengambil manfaat dari jasa
tersebut.12
Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa di ikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu
sendiri.13
Ulama malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli.
Sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumyyiz
adalah sah, tetapi bergantung keridhaan walinya.
Ulama hambaliyah dan dan syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus
mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat di
kategorikan ahli akad.14

Adapun ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau
buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga
rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya
pekerjaan menjahit baju, memasak dan lain sebagainya. Dalam hal yang di sebutkan
terakhir ini tidak di syaratkan adanya batas waktu pengerjaan. Dalam hal ini ijarah
12 Ibid…, h. 149
13 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 175
14 Ibid…, h. 125

pekerjaan, di perlukan adanya job description (uraian pekerjaan). Tidak di benarkan
mengupah seseorang dalam periode waktu tertentu dengan ketidakjelasan pekerjaan.
Sebab ini cendrung menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan yang memberikan
pihak pekerja.15
2. Pekerjaan yang menjadi objek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi
kewajiban pihak musta’jir (pekerjaa) sebelum berlangsung akad ijarah, seperti
kewajiban membayar hutang , mengembalikan pinjaman, dan lain-lain. Demikian
pula tidak sah mengupah perbuatan ibadah seperti shalat, puasa dan lain-lain.
Menurut Fuqaha hanafiyah dan hambaliyah tidak sah. Alasan mereka perbuatan
tersebut tergolong pendekata diri (taqarrub) kepada Allah. 16

Agama menghendaki agar dalam pelaksanaan ijarah itu senantiasa di perhatikan
syarat-syarat yang bisa menjamin pelaksanaannya yang tidak merugikan salah satu pihak
pun serta terpelihara pula maksud-maksud mulia yang di inginkan agama. Ada beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan aktifitas ijarah, yakni:
1. Para pihak yang menyelenggarakan akad haruslah berbuat atas kemauan sendiri
dengan penuh dengan ke relaan. Dan tidaklah boleh di lakukan akad ijarah oleh salah
satu pihak dengan unsur keterpaksaan.
2. Di dalam melakukan akad tidak boleh ada unsur penipuan, baik yang datang dari
muajjir atau musta’jir.
3. Barang yang diakadkan mestilah barang yang sesuai dengan realitas, bukan
barang yang tidak terwujud.17
4. Manfaat dari barang yang menjadi objek transaksi ijarah mestilah berupa barang
yang mubah, bukan barang yang haram.
5. Pemberian upah atau imbalan dalam ijarah mestilah berupa barang yang bernilai,
baik berupa uang ataupun jasa, yang tidak bertentangan deng kebiasaan yang
berlaku.18
Objek yang berkenaan dengan objek transaksi yaitu jasa:


Bila jasa adalah bentuk tenaga untuk bekerja, harus jelas apa yang di

kerjakan, dan tidak di larang agaman utuk di kerjakan.
15 Mas’adi ghufron A, Fiqih Mu’amalah Konstektual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h.185
16 Ibid…, h. 158
17 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h.35
18 Ibid…, h. 36



Bila yang menjadi objek transaksi adalah jasa suatu benda, di syaratkan

barang itu dapat di gunakan dalam arti dalam manfaatnya. 19

Sehubungan dengan upah dari pekerja di tuntut Nabi supaya di berikan selekas
mungkin, sebagaimana sabda Nabi dalm hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash menurut
riwayat Ahmad, Abu Daud dan al-Nasai, yang artinya:
“Berikanlah upah orang yang di upah itu sebelum kering keringatnya”. 20
Ijarah hukumnya tidak sah, kecuali harus ada ijab, seperti “saya menyewakan
(berburuh) kepadamu.” Dan harus ada Kabul seperti “saya menyewakan padamu”:
mushannif menerangkan tentang segala sesuatu yang sah di ijarahkan dalam
perkataannya, bahwa setiap barang yang dapat diambil manfaatny serta tahan
keadaannya, seperti menyewakan rumah untuk di diami dan kendaraan untuk di naiki,
maka hukumnya sah menyewakan. Jika tidak kuat tahan lama, maka tidak sah.21
Wajib adanya upah atau sewa dalam ijarah sewaktu berada dalam akad.
Akad sewa-menyewa menjadi batal sebab barang yang di sewakan rusak, seperti
robohnya rumah. Adapun batalnya ijarah (sewa-menyewa) dengan sebab sebagaimana
tersebut itu adalah dengan penilaian masa yang belum lewat, bukan masa yang telah
lewat, maka, tidak batal ijarah (sewa-menyewa) dalam masa yang telah lewat itu. 22

DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2013

Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2016

Ascara, akad dan produk bank syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007

Hasbi Ramli, Toeri Dasar Akutansi Syariah, Jakarta: Renaisan, 2005
19 Ibid…, h. 218
20 Ibid…, h. 219
21 Muhammand Ali, Fiqih, (Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2013), h. 121
22 Ibid…, h. 122

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Nurhayati-Wasilah, Akutansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2008
Rachmat Syafe’I, Fiqh Mu’amalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003
Mas’adi ghufron A, Fiqih Mu’amalah Konstektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002
Helmi Karim, Fiqih Mu’amalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997

Muhammand Ali, Fiqih, Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2013