pengaruh kualitas audit dan motivasi man
PENGARUH KUALITAS AUDIT DAN MOTIVASI MANAJEMEN LABA TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA PADA INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perusahaan membutuhkan dana yang besar dalam mengembangkan pangsa pasar dan bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Dana ini dapat diperoleh dengan menjual saham di pasar modal. Initial Public offering (IPO) merupakan penawaran saham perdana yang dilakukan perusahaan yang hendak go public. Menurut Beattie (1994) dalam Gumanti (2000), perhatian investor yang terpusat pada informasi laba tanpa memperhatikan prosedur dan standar yang digunakan untuk menghasilkan informasi laba tersebut. Hal ini yang mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba. Manajer akan membuat laporan yang sebaik mungkin agar kinerjanya dapat dinilai bagus oleh para investor. Manajer berharap akan mendapat dana untuk pengembangan perusahaan dari investor dan mendapatkan bonus dari pemegang saham atas laba yang diperoleh perusahaan.
Manajemen laba dilakukan perusahaan berdasarkan tiga motivasi. Watts dan Zimmerman (1986) mengemukakan 3 faktor yang terkait dengan perilaku manajer dalam pemilihan kebijakan akuntansi. Tiga faktor ini desebut dengan tiga hipotesis teori akuntansi positif. Pertama, hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) yang membicarakan tentang hubungan pemilihan metode akuntansi Manajemen laba dilakukan perusahaan berdasarkan tiga motivasi. Watts dan Zimmerman (1986) mengemukakan 3 faktor yang terkait dengan perilaku manajer dalam pemilihan kebijakan akuntansi. Tiga faktor ini desebut dengan tiga hipotesis teori akuntansi positif. Pertama, hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) yang membicarakan tentang hubungan pemilihan metode akuntansi
Kedua, hipotesis perjanjian hutang (debt covenant hypothesys), yakni persyaratan perjanjian hutang yang harus dipenuhi yang mencakup kesediaan debitur untuk mempertahankan rasio-rasio akuntansi seperti debt to equity ratio, rasio modal kerja minimum, serta batasan-batasan lain yang umumnya dikaitkan dengan data akuntansi perusahaan. Jika persyaratan tersebut dilanggar, perusahaan akan dikenakan sanksi pembatasan atas pembayaran deviden atau pembatasan penambahan hutang. Laba yang tinggi diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran syarat perjanjian hutang.
Ketiga, hipotesis biaya politik (political cost hypothesys) yang menyatakan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan biaya politis cenderung untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung (Scott, 1997:303). Manajemen laba bisa digunakan untuk mengatasi persaingan dengan perusahaan asing. Untuk memperoleh proteksi tersebut, perusahaan akan memilih kebijakan akuntansi yang menurunkan laba sehingga kelihatannya laba mereka turun sebagai akibat persaingan dengan perusahaan asing tersebut.
Audit sebagai jasa pelayanan assurance adalah jasa profesional yang dapat meningkatkan kualitas informasi bagi para pembuat keputusan. Jasa ini digunakan untuk meningkatkan keterpercayaan dan kesesuaian informasi yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Arens, 2003: 4). Audit diharapkan dapat Audit sebagai jasa pelayanan assurance adalah jasa profesional yang dapat meningkatkan kualitas informasi bagi para pembuat keputusan. Jasa ini digunakan untuk meningkatkan keterpercayaan dan kesesuaian informasi yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan (Arens, 2003: 4). Audit diharapkan dapat
Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kualitas audit dengan manajemen laba (Zhou dan Elder, 2004). De Angelo (1981) dalam Meutia (2004) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi klien. Pelanggaran yang ditemukan oleh auditor mengukur kualitas audit berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan auditor untuk mengungkap pelanggaran tersebut. Kualitas audit ini sendiri dihubungkan dengan ukuran dari kantor akuntan publik yaitu KAP besar dan KAP kecil. KAP yang besar dan ternama dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan KAP kecil. Menurut Krishnan (2003) dalam Zhou dan Elder (2004), KAP besar dianggap dapat mengurangi praktek akuntansi yang meragukan dan melaporkan setiap kesalahan material yang dilakukan manajemen. Selain diproksikan dengan ukuran KAP, kualitas audit juga diproksikan dengan auditor spesialis industri. Craswell et al (1995) dalam Zhou dan Elder (2004) membuktikan bahwa kualitas audit berhubungan positif dengan auditor spesialis industri. Auditor yang melakukan spesialisasi industri untuk meluaskan pangsa pasar mereka terhadap klien, lebih menguasai informasi tentang industri tersebut dibandingkan dengan auditor non- spesialis. Zhou dan Elder (2004) meneliti hubungan kualitas audit dan manajemen Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kualitas audit dengan manajemen laba (Zhou dan Elder, 2004). De Angelo (1981) dalam Meutia (2004) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi klien. Pelanggaran yang ditemukan oleh auditor mengukur kualitas audit berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan auditor untuk mengungkap pelanggaran tersebut. Kualitas audit ini sendiri dihubungkan dengan ukuran dari kantor akuntan publik yaitu KAP besar dan KAP kecil. KAP yang besar dan ternama dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan KAP kecil. Menurut Krishnan (2003) dalam Zhou dan Elder (2004), KAP besar dianggap dapat mengurangi praktek akuntansi yang meragukan dan melaporkan setiap kesalahan material yang dilakukan manajemen. Selain diproksikan dengan ukuran KAP, kualitas audit juga diproksikan dengan auditor spesialis industri. Craswell et al (1995) dalam Zhou dan Elder (2004) membuktikan bahwa kualitas audit berhubungan positif dengan auditor spesialis industri. Auditor yang melakukan spesialisasi industri untuk meluaskan pangsa pasar mereka terhadap klien, lebih menguasai informasi tentang industri tersebut dibandingkan dengan auditor non- spesialis. Zhou dan Elder (2004) meneliti hubungan kualitas audit dan manajemen
1.2 MOTIVASI PENELITIAN
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan kualitas audit dengan manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang melakukan IPO. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Zhou dan Elder (2004). Penulis tertarik untuk meneliti kualitas audit karena penelitian ini belum banyak dilakukan di Indonesia, selain itu manajemen laba sebagai suatu fenomena tetap menarik untuk diteliti meskipun sudah banyak penelitian dilakukan untuk mendeteksi manajemen laba. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menambahkan tiga motivasi manajemen laba (Watts dan Zimmerman, 1986) sebagai variabel yang mempengaruhi praktik manajemen laba pada perusahaan. Variabel itu antara lain bonus plan yang diproksikan oleh beban gaji, political cost yang diproksikan oleh ukuran perusahaan dan debt covenant yang diproksikan oleh leverage.
1.3 PERUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah “Apakah kualitas audit dan motivasi manajemen laba berpengaruh terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO?”
1.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari kualitas audit dan motivasi manajemen laba terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan yang melakukan IPO.
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Bagi dunia akademik Menyediakan bukti bahwa kualitas audit dan auditor spesialis industri berpengaruh terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO, sehingga konsisten dengan hasil penelitian Zhou dan Elder (2004).
b. Bagi perusahaan Perusahaan dapat meningkatkan kualitas audit laporan keuangannya dengan menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP) besar untuk mengaudit laporan keuangannya.
c. Bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) KAP dapat meningkatkan kualitas auditornya untuk menjadi auditor yang independen dan dapat menghasilkan audit yang berkualitas serta dapat mendeteksi dan melaporkan salah saji material dalam laporan keuangan perusahaan.
BAB II TELAAH TEORI
2.1 MANAJEMEN LABA
2.1.1 Pengertian Manajemen Laba
Ayres (1994) dalam Gumanti (2000) mengartikan manajeman laba sebagai “an intentional structuring of reporting or production/investment decisions arround the bottom line impact. It encompasses income smoothing behaviour but also includes any attempt to alter reported income that would not occur unless management were concerned with the financial reporting implications”. Menurut Schipper (1989:92) manajemen laba adalah “disclosure management in the sense of purposeful intervention in the external reporting process, with intent of obtaining some private gain”. Scott (2003:368-369) mendefinisikan manajemen laba sebagai “given that manager can choose accounting policies from a set of policies (for example GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm. This is called earning management. Earning management is the choice by a manager of accounting policies so as to achive some specific objectives”.
Jadi manajemen laba adalah upaya manajemen dalam proses pelaporan keuangan perusahaan melalui pemilihan kebijakan-kebijakan akuntansi (accounting policies) untuk mengatur jumlah laba yang dilaporkan dengan tujuan untuk membentuk kesan mengenai kinerja perusahaan untuk menaikkan nilai perusahan serta untuk mempengaruhi hasil kontrak yang didasarkan pada angka- Jadi manajemen laba adalah upaya manajemen dalam proses pelaporan keuangan perusahaan melalui pemilihan kebijakan-kebijakan akuntansi (accounting policies) untuk mengatur jumlah laba yang dilaporkan dengan tujuan untuk membentuk kesan mengenai kinerja perusahaan untuk menaikkan nilai perusahan serta untuk mempengaruhi hasil kontrak yang didasarkan pada angka-
Manajemen laba bisa jadi baik dan bisa jadi tidak baik (Scott, 2003:368). Dalam batasan tertentu, manajemen laba baik untuk perusahaan. Manajemen laba bisa digunakan untuk melindungi perusahaan dari konsekuensi-konsekuensi yang tidak menguntungkan sebagai akibat pelanggaran kontrak perusahaan. Manajer juga bisa mempengaruhi nilai pasar saham melalui manajemen laba. Namun, tidak tertutup pula kemungkinan penyalahgunaan manajemen laba oleh manajer yaitu bila manajer menggunakan manajemen laba untuk menguntungkan dirinya sendiri, misalkan dalam kontrak bonus manajemen.
2.1.2 Motivasi Manajemen Laba
Ada beberapa teori mengenai motivasi manajemen laba. Watts dan Zimmerman (1986) mengemukakan 3 faktor yang terkait dengan perilaku manajer dalam pemilihan kebijakan akuntansi. Tiga faktor ini disebut dengan tiga hipotesis teori akuntansi positif.
1. Hipotesis Rencana Bonus (bonus plan hypothesis) Hipotesis ini membicarakan tentang hubungan pemilihan metode akuntansi dengan rencana bonus manajer. Jika besar bonus yang akan didapat manajer didasarkan pada besarnya laba yang dihasilkan, manajer diprediksi akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga meningkat pula bonus yang diperoleh. Jika perjanjian bonus bagi manajer memiliki batas atas untuk jumlah yang dapat diterima, maka laba suatu periode yang lebih tinggi dari batas atas target laba untuk mendapatkan bonus 1. Hipotesis Rencana Bonus (bonus plan hypothesis) Hipotesis ini membicarakan tentang hubungan pemilihan metode akuntansi dengan rencana bonus manajer. Jika besar bonus yang akan didapat manajer didasarkan pada besarnya laba yang dihasilkan, manajer diprediksi akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga meningkat pula bonus yang diperoleh. Jika perjanjian bonus bagi manajer memiliki batas atas untuk jumlah yang dapat diterima, maka laba suatu periode yang lebih tinggi dari batas atas target laba untuk mendapatkan bonus
2. Hipotesis Perjanjian Hutang (debt covenant hypothesys) Perjanjian hutang memiliki syarat yang harus dipenuhi yang mencakup kesediaan debitur untuk mempertahankan rasio-rasio akuntansi seperti debt to equity ratio, rasio modal kerja minimum, serta batasan-batasan lain yang umumnya dikaitkan dengan data akuntansi perusahaan. Jika dilanggar akan dikenakan sanksi pembatasan atas pembayaran deviden atau pembatasan penambahan hutang. Laba yang tinggi diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran syarat perjanjian hutang. Manajer diprediksi akan cenderung untuk memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba.
3. Hipotesis Biaya politik (political cost hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan biaya politis cenderung untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk meminimalkan biaya politik yang harus mereka tenggung (Scott, 1997:303). Biaya politik menyangkut semua biaya (transfer kekayaan) yang harus ditanggung perusahaan terkait dengan tindakan politis seperti anti trust, subsidi pemerintah, pajak dan tarif, persaingan dengan perusahaan asing, serta regulasi-regulasi lain (Watts dan Zimmerman, 1978). Selain itu manajemen laba bisa digunakan untuk mengatasi persaingan dengan perusahaan asing. Untuk memperoleh proteksi tersebut, perusahaan akan memilih kebijakan akuntansi yang menurunkan laba sehingga laba mereka tampak turun sebagai akibat persaingan dengan perusahaan asing tersebut.
Teori motivasi manajemen laba yang lain adalah teori yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen (1999) dalam Gumanti (2000). Teori tersebut disebutkan tiga motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Capital Market Motivations
Investor menggunakan informasi keuangan sebagai dasar dalam menilai saham, hal inilah yang mendorong manajer untuk memanipulasi laba agar dapat mempengaruhi kinerja harga saham perusahaan dalam jangka pendek. Ada beberapa alasan khusus yang mendasari motivasi ini, yaitu: 1.Management Buyouts
Informasi laba sangat penting untuk penilaian dalam management buyouts. Manajer memilih untuk menurunkan labadengan tujuan agar harga saham turun sehingga dana yang dikeluarkan untuk membeli saham oleh manajemen dapat ditekan sedikit mungkin
2.Penawaran Saham Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gumanti (2001), manajer melakukan manajemen laba pada saat IPO yaitu terjadi 2 tahun sebelum go public.
3.Ramalan Laba Manajemen dan Analis Keuangan (financial analyst expectation and management earnings forecast) Manajemen laba dilakukan manajer untuk memenuhi target dari ramalan laba yang dilakukan oleh analis keuangan. Healy dan Wahlen (1999) dalam Gumanti (2000) menemukan bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk mencegah menurunnya nilai pasar atas saham mereka karena laba yang dilaporkan lebih rendah dari harapan para analis keuangan.
2. Contracting Management
Kontrak pada dasarnya menggunakan data keuangan sebagai persyaratan dalam kontrak tersebut. Manajemen laba digunakan untuk menghindari sanksi kontrak akibat data keuangan yang tak sesuai dengan persyaratan. Ada 2 macam kontrak, yaitu: 1.Kontrak Pinjaman (lending contract)
Kontrak ini dibuat untuk membatasi tindakan manajemen yang akan menguntungkan pemegang saham perusahaan namun kontrak ini merugikan para kreditur. Apabila kontrak dilanggar, perusahaan akan dikenakan sanksi, seperti pembatasan atas pembayaran deviden dan penangguhan atau pembatasan penambahan hutang. Kondisi keuangan perusahaan yang hampir melanggar kontrak dapat memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba. Yaitu menaikkan laba satu tahun sebelum pelanggaran kontrak pinjaman (Healy dan Wahlen, 1999).
2.Kontrak Kompensasi Management (Management Compesation Contracts) Kompensasi yang dijanjikan atas laba yang dihasilkan perusahaan mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba. Manajer menaikkan laba yang dilaporkan untuk memenuhi target laba dalam kontrak bonus mereka. Manajer akan memilih prosedur yang akan menaikkan laba sehingga meningkatkan bonus mereka. Menurut Scott (2003:380), pada saat CEO (Chief Executive Officer) akan dipensiun juga terjadi manajemen laba untuk memaksimalkan bonus yang akan diterima dan untuk menunda masa pensiun atau pemecatan atas dirinya.
3. Regulatory Motivations
Ada dua bentuk peraturan yang memotivasi manajer untuk melakukan manajeman laba menurut Healy dan Wahlen (1999) dalam Gumanti (2000), yaitu: 1.Industry Specific Regulations Di Amerika Serikat, setiap industri memiliki aturan yang berbeda. Industri perbankan harus memelihara rasio kecukupan modal yang dinyatakan dalam angka-angka akuntansi. Sedang dalam industri asuransi, insurer harus memenuhi batas minimum kesejahteraan financial (financial health). Peraturan-peraturan inilah yang akan mendorong manajer untuk melakukan manajeman laba agar dapat memenuhi peraturan yang ditetapkan. Beberapa studi menemukan bahwa bank yang mendekati batas modal minimum menurunkan penghapusan kerugian piutang dan mengakui keuntungan yang tidak normal dari portofolio sekuritasnya.
2.Anti Trust and Other Regulations Manajemen laba dilakukan manajer berkaitan dengan investigasi anti trust, subsidi pemerintah, persaingan dengan perusahaan asing, serta regulasi lain. Cahan (1992) dalam Healy dan wahlen (1999) meneliti perusahaan terkait dengan UU anti trust yang melarang untuk melakukan monopoli dengan indikasi laba yang dilaporkan adalah tinggi. Manajemen yang akan diinvestigasi akan menurunkan labanya untuk meminimalkan resiko tuduhan bahwa perusahaan melakukan monopoli.
Ada pertimbangan lain yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Pertimbangan Pajak Manajer melakukan manajemen laba untuk meminimumkan beban pajak yang wajib dibayar perusahaan. Banyak cara yang bisa dilakukan manajemen, misalnya dengan menggunakan aliran persediaan LIFO, memperbanyak jumlah beban dengan memperbesar penyusutan dan menekan pendapatan.
2. Pertimbangan Karyawan Karyawan di Negara Jerman akan menuntu gaji lebih tinggi bila laba yang dilaporkan perusahaan meningkat. Hal ini mendorong manajer untuk melaporkan laba lebih rendah daripada yang seharusnya selama proses negosiasi kontrak tenaga kerja.
3. Usaha Untuk Memperthankan Nilai Perusahaan Perusahaan yang merupakan target pembelian akan meningkatkan labanya untuk mempertahankan reputasi dan memaksimumkan nilai perusahaan.
2.1.3 Bentuk Manajemen Laba Ada empat bentuk manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003:383- 384), yaitu:
1. Taking a Bath (tindakan kepalang basah) Pada manajemen yang mengalami periode buruk, bentuk manajemen laba ini biasa digunakan. Misalnya saja pada saat resesi, pergantian manajer, merger dan restrukturisasi. Biasanya, perusahaan yang merugi akan melaporkan rugi dengan jumlah yang lebih tinggi dari yang sebenarnya 1. Taking a Bath (tindakan kepalang basah) Pada manajemen yang mengalami periode buruk, bentuk manajemen laba ini biasa digunakan. Misalnya saja pada saat resesi, pergantian manajer, merger dan restrukturisasi. Biasanya, perusahaan yang merugi akan melaporkan rugi dengan jumlah yang lebih tinggi dari yang sebenarnya
2. Income Minimization Manajemen laba ini dilakukan pada saat perusahaan memperoleh laba yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi perhatian secara politis terhadap perusahaaan dan untuk mengurangi pajak yang harus dibayar. Income minimization juga dilakukan pada saat perusahaan mengalami persaingan dengan perusahaan asing.
3. Income Maximitation Manajemen laba bentuk ini dilakukan agar manajer mendapat bonus yang lebih besar. Demikian pula bila perusahaan mendekati batas pelanggaran kontrak hutang, manajer akan berusaha untuk meningkatkan labanya agar memenuhi persyaratan kontrak.
4. Income Smoothing (perataan laba) Bentuk ini adalah bentuk manajemen laba yang paling populer. Melalui perataan laba, manajer akan menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan. Ketika laba yang dihasilkan lebih tinggi daripada ramalan manajemen, maka manajer akan melaporkannya lebih rendah dan sebaliknya. Dengan perataan laba, kinerja perusahaan akan terlihat lebih stabil sehingga penanaman modal oleh investor dianggap tidak beresiko. Perataan laba juga dilakukan untuk mengurangi kemungkinan dilanggarnya 4. Income Smoothing (perataan laba) Bentuk ini adalah bentuk manajemen laba yang paling populer. Melalui perataan laba, manajer akan menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan. Ketika laba yang dihasilkan lebih tinggi daripada ramalan manajemen, maka manajer akan melaporkannya lebih rendah dan sebaliknya. Dengan perataan laba, kinerja perusahaan akan terlihat lebih stabil sehingga penanaman modal oleh investor dianggap tidak beresiko. Perataan laba juga dilakukan untuk mengurangi kemungkinan dilanggarnya
2.1.4`Teknik Manajemen Laba
Menurut Teoh et al (1998), pemilihan metode akuntansi mempengaruhi waktu pengakuan pendapatan dan beban, yaitu pada periode mana pendapatan dan beban diakui. Misalnya, metode presentase penyelesaian (the percentage-completion method) yang memperbolehkan pengakuan pendapatan dalam presentase tertentu sesuai dengan estimasi penyelesaian selama kontrak atau proyek berjalan, sedangan metode kontak selesai hanya mengijinkan pengakuan pendapatan pada saat proyek telah selesai. Hal ini akan mempengaruhi jumlah laba yang akan dilaporkan. Ada tiga teknik menurut Setiawati dan Naim (2000) dalam Saiful (2004) yang digunakan untuk mengatur laba, yaitu:
1. Peluang untuk membuat estimasi akuntansi Peluang ini bisa dilakukan melalui estimasi tingkat piutang tak tertagih (uncollectible rate on account receivable), estimasi jangka waktu penyusutan aktiva tetap, amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi besarnya nilai residu aktiva tetap, estimasi biaya garansi, estimasi presentase penyelesaian kontrak, dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang dapat digunakan yaitu antara lain mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode angka tahun ke metode garis lurus atau sebaliknya. Mengubah metode pencatatan persediaan dari FIFO menjadi LIFO, atau sebaliknya. Metode ini dapat dengan mudah 2. Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang dapat digunakan yaitu antara lain mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode angka tahun ke metode garis lurus atau sebaliknya. Mengubah metode pencatatan persediaan dari FIFO menjadi LIFO, atau sebaliknya. Metode ini dapat dengan mudah
3. Menggeser periode biaya dan pendapatan Contoh dari teknik ini antara lain mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, bekerjasama dengan vendor atau suplier untuk menunda atau mempercepat pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan mengatur waktu penjualan aktiva tetap dan lain-lain.
2.2 PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Perusahaan yang melakukan IPO masih belum mempunyai harga pasar. Oleh karena itu, informasi akuntansi keuangan yang dimasukkan kedalam prospectus menjadi sumber informasi yang berguna. Hughes (1986) dalam Gumanti (2001) menunjukkan secara analitis bahwa informasi seperti income bersih dapat menjadi hal yang berguna untuk membantu memberikan tanda tentang nilai perusahaan pada investor. Clarkson, Dontoh, Richardson dan Sefcik (1992) dalam Gumanti (2001), menemukan temuan empirik bahwa pasar memberikan respon secara positif kepada peramalan earning sebagai sinyal nilai perusahaan. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa manajer dari perusahaan yang go public mengelola earning yang dilaporkan dalam prospektusnya dengan harapan untuk menerima harga yang lebih tinggi untuk saham mereka.
Friedlan (1994) dalam Zhou dan Elder (2004) menyelidiki masalah ini. Untuk sampel 155 IPO Amerika yang dilakukan selama 1981-1984, dia meneliti apakah perusahaan yang mengelola earningnya keatas dalam periode akuntansi terakhir sebelum IPO dengan sarana akrual diskresioner. Karena perusahaan yang melakukan IPO biasanya berkembang dengan sangat cepat, maka sulit untuk mengestimasi akrual diskresionernya, karena pertumbuhan itu sendiri menimbulkan peningkatan akrual, seperti piutang, persediaan, dan lain-lain. Setelah uji secara ekstensif, Friedlan mengambil kesimpulan bahwa perusahaan yang melakukan IPO bermaksud membuat akrual diskresioner yang dapat meningkatkan income pada periode terakhir sebelum IPO, relatif terhadap akrual dalam periode sebelumnya yang dapat diperbandingkan. Lebih lanjut, manajemen akrual cenderung dikonsentrasikan pada sampel perusahaan yang mempunyai kinerja buruk seperti yang diukur dengan arus kas operasi.
Banyak penelitian yang meneliti tentang penggunaan manajemen laba pada suatu keadaan ekonomi tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Gumanti (2001) menguji apakah manajemen laba terjadi pada saat IPO dengan menggunakan sampel 39 perusahaan IPO yang go public 1995-1997 dengan metode total akrual. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa perusahaan melakukan manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan Saiful (2004) menggunakan sample perusahaan yang terdaftar di BEJ yang melakukan IPO pada tahun 1991-1994 dan menggunakan laporan keuangan periode 1988-1993 menggunakan discretionary accrual untuk mengukur manajeman laba, DROA (perbedaan Return on Asset) untuk mengukur kinerja operasi, dan menggunakan CAR (Cumulative Abnormal
Return) untuk mengukur return saham. Hasil yang diperoleh bahwa manajemen laba dilakukan pada periode 2 tahun sebelum IPO, saat IPO dan 2 tahun setelah IPO. Manajemen laba tidak dilakukan 2 tahun bertururt-turut karena mengambil akrual positif dari periode yang akan datang. Kinerja operasi perusahaan rendah setelah IPO. Manajemen laba akan mempengaruhi kinerja satu dan 2 tahun berikutnya. Return saham akan menurun setelah IPO tapi penelitian ini tak mampu menemukan hubungan penurunaan kinerja saham dengan manajemn laba karena itu belum mampu mendeteksi manajemen laba.
2.2.1 Hipotesis Kualitas Audit Menurut AAA Financial Accounting Standard Commottee 2000 dalam Meutia (2004), kualitas audit ditentukan oleh dua hal, kompetensi dan independensi. Kualitas ini mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas audit. Selain itu, laporan keuangan menggunakan persepsi bahwa kualitas audit adalah suatu fungsi untuk menggambarkan indepsndensi auditor dan keahlian auditor tersebut.
Kompetensi ini berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh auditor. Auditor harus bertindak sebagai orang yang ahli di bidang akuntansi dan auditing. Kealian ini didapat dari pendidikan formal, pengalaman dan pelatihan yang diberikan oleh auditor senior.
Independensi merupakan komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independensi berarti auditor bekerja bebas dan tidak berada di bawah pengaruh suatu pihak, karena pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan umum.
Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance).
Sedangkan De Angelo (1981) dalam Meutia (2004) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi klien. Pelanggaran yang ditemukan oleh auditor mengukur kualitas audit berkaitan dengan pengetahuan dan kemampuan auditor untuk mengungkap pelanggaran tersebut. Motivasi untuk menemukan pelanggaran ini tergantung kepada independensi auditor.
Faktanya, audit dapat dipandang berkualitas apabila auditor telah melakukan proses audit sesuai dengan standar auditing. Dengan digunakannya standar dalam proses audit, auditor diharapkan dapat menemukan kesalahan saji yang terdapat dalam laporan keuangan dan menjaga independensinya untuk tetap melaporkan kesalahan tersebut.
Menurut Zhou dan Elder (2004), kualitas audit dapat diukur dari ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP) dan spesialisasi industri oleh auditor. Kualitas audit tidak dapat diobservasi secara langsung. Persepsi mengenai kualitas audit biasanya berkaitan dengan nama auditor, termasuk disini adalah pengalaman industri dan kemampuan untuk mengungkap kesalahan yang dilakukan manajemen (Zhou dan Elder, 2004). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan proksi ukuran auditor dan auditor spesilaisasi industri untuk mengukur kualitas audit sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhou dan Elder (2004).
2.2.1.1 Ukuran Auditor (KAP) Kualitas audit sering dihubungkan dengan ukuran auditor atau KAP, yaitu
KAP besar atau KAP kecil. KAP yang berafiliasi dengan big 5 dan big 4 KAP besar atau KAP kecil. KAP yang berafiliasi dengan big 5 dan big 4
Auditor yang berkualitas tinggi akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas pengauditan yang tinggi pula. Perusahaan yang menggunakan auditor yang berkualitas dapat menjamin informasi keuangan yang dilaporkan pada investor, sehingga investor akan lebih tertarik dan percaya atas informasi tersebut.
Penelitian Craswell et al. (1995) dalam Zhou dan Elder (2004) membuktikan bahwa KAP Big 6 menyediakan lebih banyak sumber daya manusia untuk staf training dan pengembangan keahlian pada bidang industri tertentu. Dengan begitu diharapkan KAP Big 6 memiliki potensi untuk bernegosiasi dengan klien yang bermaksud untuk mengadopsi praktek-praktek akuntansi agresif dibandingkan dengan KAP non-Big 6. Pengauditan yang dilakukan oleh auditor yang berkualitas dapat digunakan untuk meningkatkan kredibilitas informasi pada laporan keuangan perusahaan.
H 1 : Auditor KAP besar akan menurunkan praktik menejemen laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO.
2.2.1.2 Spesialisasi Industri Oleh Auditor Craswell et al. (1995) dalam Zhou dan Elder (2001) membuktikan bahwa kualitas audit berhubungan dengan auditor spesialis industri. Auditor yang melakukan spesialisasi pada industri tertentu memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai informasi industri tersebut dibandingkan auditor non-spesialis.
Fernando, Elder dan Meguid (2006) menguji hubungan antara kualitas audit dan discretionary accruals pada perusahaan IPO. Kualitas diproksikan oleh ukuran auditor dan spesialisasi industri oleh auditor. Zhou dan Elder menemukan bahwa KAP Big 5 dan spesialisasi industri diasosiakan dengan discretionary accruals yang lebih rendah untuk perusahaan IPO. Selain penelitian pada tahun 2006, Zhou dan Elder juga melakukan penelitian pada tahun 2004 yang mengukur hubungan kualitas audit dengan manajemen laba pada perusahaan yang melakukan Seasoned Equity Offering (SEO). Penelitian ini membuktikan bahwa KAP Big 5 dan spesialisasi industri auditor juga berperan penting terhadap pelaporan discretionary accruals yang lebih rendah sehingga kualitas audit dapat mengurangi bahkan mencegah kemungkinan terjadinya manajemen laba.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut:
H 2 : Auditor spesialisasi industri akan menurunkan praktik menejemen laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO.
2.2.2 Hipotesis Manajemen Laba Watts dan Zimmerman (1986) mengemukakan 3 hipotesis yang terkait
dengan perilaku manajer dalam pemilihan kebijakan akuntansi, meliputi hipotesis rencana bonus, hipotesis biaya politik dan hipotesis perjanjian hutang.
2.2.2.1 Hipotesis Rencana Bonus (bonus plan hypothesis)
Hipotesis ini membicarakan tentang hubungan pemilihan metode akuntansi dengan rencana bonus manajer. Jika besar bonus yang akan didapat manajer didasarkan pada besarnya laba yang dihasilkan, manajer diprediksi akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga meningkat pula bonus yang diperoleh.
H 3 : Peningkatan kompensasi karyawan akan meningkatkan praktik menejemen laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO.
2.2.2.2 Hipotesis Biaya politik (political cost hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan biaya politis cenderung untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung (Scott, 1997:303). Selain itu, perusahaan juga menggunakan manajemen laba untuk mengatasi persaingan dengan perusahaan asing, sehingga perusahaan akan memilih kebijakan akuntansi yang menurunkan laba sehingga laba mereka tampak turun sebagai akibat persaingan dengan perusahaan asing tersebut.
H 4 : Peningkatan ukuran perusahaan akan meningkatkan praktik menejemen laba
pada perusahaan yang akan melakukan IPO.
2.2.2.3 Hipotesis Perjanjian Hutang (debt covenant hypothesys)
Perjanjian hutang memiliki syarat yang harus dipenuhi yang mencakup kesediaan debitur untuk mempertahankan rasio-rasio akuntansi seperti debt to equity ratio, rasio modal kerja minimum, serta batasan-batasan lain yang umumnya dikaitkan dengan data akuntansi perusahaan. Jika dilanggar akan dikenakan sanksi pembatasan atas pembayaran deviden atau pembatasan penambahan hutang. Laba yang tinggi diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran syarat perjanjian hutang. Manajer diprediksi akan cenderung untuk memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba.
H 5 : Peningkatan leverage perusahaan akan meningkatkan praktik menejemen
laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 POPULASI DAN SAMPEL
Penelitian ini menggunakan 35 perusahaan sebagai sampel dari 80 perusahaan yang melakukan IPO pada periode tahun 2000-2003. Pengumpulan sampel ini menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria:
1. Perusahaan melakukan IPO pada periode tahun 2000-2003.
2. Laporan Keuangan perusahaan diaudit oleh auditor independen.
3. Perusahaan tidak mengalami perpindahan auditor pada tahun menjelang IPO.
3.2 JENIS DAN SUMBER DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Data perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2000-2003. Daftar ini dapat dilihat pada Indonesian Capital Market Directory (ICMD).
2. Ukuran KAP dan spesialisasi industri audtor yang diperoleh dari Laporan Auditor Independen (LAI) perusahaan dan ICMD.
3. Laporan keuangan tahunan yang diperoleh dari ICMD. Data yang dibutuhkan adalah laba bersih (net income), arus kas operasi, total aset, pendapatan, piutang usaha, property, plant and equipment, kewajiban total dan hutang usaha.
3.3 VARIABEL PENELITIAN
3.3.1 Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah praktik manajemen laba pada perusahaan yang akan melakukan IPO. Penelitian ini berfokus pada discretionary accruals sebagai ukuran manajemen laba. Total akrual perusahaan diukur dengan rumus di bawah ini: TAC it = NDAC it + DAC it
dalam hal ini, TAC it
= total akrual perusahaan i pada tahun t NDAC it = nondiscretionary accrual (tingkat akrual yang wajar) perusahaan pada i tahun t DAC it = discretionary accrual (tingkat akrual yang abnormal) perusahaan i pada tahun t
Total akrual diperoleh dari rumus sebagai berikut: TAC it = NI it - CFO it
dalam hal ini, NI
= laba bersih (net income) perusahaan i pada tahun t CFO
= arus kas operasi (cash flow from operation) perusahaan i pada tahun t
Penelitian ini menggunakan model Jones yang dimodifikasi yang dirancang untuk memberikan kekuatan statitis yang tinggi untuk mendeteksi adanya manajemen laba jika terdapat discretionary accruls yang signifikan (Jones dan Charles P, 2000). Model Jones modifikasi digunakan karena dari beberapa model yang ada model Jones yang dimodifikasilah yang dapat memberikan kekuatan statistic yang tinggi untuk mendeteksi adanya manajemen laba (Dechow, 1995). Rumus discretionary accruals dengan model Jones modifikasi adalah sebagai berikut:
DAC it = TAC it /TA it-1 -[ α 1 (1/TA it-1 )+ α 2 (( ∆REV it - ∆REC it )/TA it-1 )+ α 3 (PPE it /TA it-
1 )+e] dalam hal ini,
DAC it = discretionary accrual (tingkat akrual yang abnormal) perusahaan i pada tahun t TA it-1 = total asset perusahaan i pada tahun t-1
∆REV it = pendapatan bersih perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1
∆REC it = piutang usaha perusahaan i pada tahun t dikurangi piutang usaha tahun t-1
PPE it = property, plant equipment perusahaan i pada tahun t α 1 , α 2 , α 3 = menunjukkan estimasi OLS
e = residual, yang menunjukkan bagian diskresioner perusahaan spesifik dari total aktiva.
Untuk mendapatkan nilai dari estimasi perusahaan spesifik α 1 , α 2 , α 3 diperoleh dengan menggunakan model periode estimasi yang berasal dari model Jones original, bukan dari model Jones modifikasi (Jones dan Charles P, 2000). Penyesuaian relatif dari model Jones original adalah perubahan pendapatan disesuaikan untuk perubahan piutang dalam tahun peristiwa. Pendekatan tersebut berasal dari asumsi yang mendasari seluruh model akrual diskresioner, yaitu selama periode estimasi tak terdapat manajemen laba yang sistematik (dechow, 1995). Model Jones yang original adalah:
DAC it = TAC it /TA it-1 -[ α 1 (1/TA it-1 )+ α 2 ( ∆REV it /TA it-1 )+ α 3 (PPE it /TA it-1 )+e] dalam hal ini,
DAC it = discretionary accrual (tingkat akrual yang abnormal) perusahaan i pada tahun t TA it-1 = total asset perusahaan i pada tahun t-1
∆REV it = pendapatan bersih perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1
∆REC it = piutang usaha perusahaan i pada tahun t dikurangi piutang usaha tahun t-1
PPE it = property, plant equipment perusahaan i pada tahun t α 1 , α 2 , α 3 = menunjukkan estimasi OLS
e = residual, yang menunjukkan bagian diskresioner perusahaan spesifik dari total aktiva.
Estimasi parameter perusahaan spesifik α 1 , α 2 , α 3 diperoleh dengan periode estimasi sebagi berikut: TAC it /TA it-1 = a1(1/TA it-1 )+a 2 ( ∆REV it /TA it-1 )+a 3 (PPE it /TA it-1 )+e dalam hal ini,
TAC it = total akrual perusahaan i pada tahun t TA it-1 = total asset perusahaan i pada tahun t-1
∆REV it = pendapatan bersih perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1
PPE it = property, plant equipment perusahaan i pada tahun t
a 1 ,a 2 ,a 3 = menunjukkan estimasi OLS
e = residual, yang menunjukkan bagian diskresioner perusahaan spesifik dari total aktiva.
3.4.2 Variabel Independen
1. Variabel Kualitas audit
Variabel independen pada penelitian ini adalah kualitas audit yang diproksikan dengan ukuran KAP dan auditor spesialis industri, kedua variabel ini diukur menggunakan variabel dummy. KAP yang berafiliasi dengan Big 5 auditor (untuk sampel tahun 2000-2001) dan Big 4 auditor (untuk sampel tahun 2002- 2003) diberi nilai 1 dan yang tak berafiliasi diberi nilai 0. Penelitian Zhou dan Elder (2001) mendefinisikan KAP sebagai spesialisasi industri jika mengaudit lebih dari 10% penjualan dalam suatu industri. Penelitian ini menggunakan 20% cut off untuk mencerminkan Big 5 auditor pada perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2000-2001 dan 25% untuk perusahaan yang melakukan IPO pada trahun 2002-2003 yang mencerminkan perubahan menjadi Big 4 auditor. Rumus untuk mengukur rasio spesialisasi industri adalah sebagai berikut: R=m Variabel independen pada penelitian ini adalah kualitas audit yang diproksikan dengan ukuran KAP dan auditor spesialis industri, kedua variabel ini diukur menggunakan variabel dummy. KAP yang berafiliasi dengan Big 5 auditor (untuk sampel tahun 2000-2001) dan Big 4 auditor (untuk sampel tahun 2002- 2003) diberi nilai 1 dan yang tak berafiliasi diberi nilai 0. Penelitian Zhou dan Elder (2001) mendefinisikan KAP sebagai spesialisasi industri jika mengaudit lebih dari 10% penjualan dalam suatu industri. Penelitian ini menggunakan 20% cut off untuk mencerminkan Big 5 auditor pada perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2000-2001 dan 25% untuk perusahaan yang melakukan IPO pada trahun 2002-2003 yang mencerminkan perubahan menjadi Big 4 auditor. Rumus untuk mengukur rasio spesialisasi industri adalah sebagai berikut: R=m
2. Variabel Motivasi Manajemen Laba
Variabel lain yang berpengaruh terhadap manajemen laba adalah variabel motivasi manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003). Variabel rencana bonus diukur dengan log dari beban gaji. Variabel biaya politik diukur dengan log dari total aktiva. Dan variabel perjanjian hutang diukur dengan leverage perusahaan.
3.5 MODEL PENGUJIAN
Model pengujian ini adalah: DAC = β 0 + β 1 DKAP + β 2 DSPIND + β 3 SALARY + β 4 SIZE+ β 5 LEV + e dalam hal ini, DAC
= discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba DKAP
= ukuran auditor, 1 untuk KAP besar dan 0 untuk KAP kecil
DSPIND = spesialisasi industri, 1 bila spesialis dan 0 bila tidak spesialis SALARY = log natural beban gaji karyawan sebagai indkator manajer untuk
memperoleh bonus dari laba yang dilaporkan SIZE
= log natural total sales sebagai proksi ukuran perusahaan IPO
LEV = leverage, total kewajiban it per total aktiva it
3.6 TEKNIK ANALISIS DATA
3.6.1 Pengujian Asumsi Klasik
1. Pengujian Normalitas Uji ini digunakan untuk menguji apakah dalam residual model regresi mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji ini menggunakan metode
2. Pengujian Multikolinearitas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Jika terdapat korelasi akan menyebabkan problem multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel indepeenden. Uji ini menggunakan metode Pearson Correlation.
3. Pengujian Heterokedastisitas Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual ini tetap maka disebut homokedastisitas, dan sebaliknya.
3.6.2 Pengujian Hipotesis
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independen (KAP, SPIND, SALARY, SIZE, dan LEV) terhadap variable dependen. Teknik ini dilakukan dengan program aplikasi Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
3.6.2.1 Pengujian Statistik F (Uji Regresi secara Keseluruhan)
Uji F dilakukan untuk mengukur tingkat keberartian hubungan (pengaruh) secara keseluruhan koefisien regresi dari variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis yang bahwa variabel independen mempunyai pengaruh signifikan terhadap variable dependen.
3.6.2.2 Pengujian Statistik t (Uji Regresi Secara Parsial)
Uji t digunakan untuk menguji dan mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen. Untuk menolak atau menerima hipotesis maka diperlukan perbandingan anatara nilai t hitung dan t tabel . Rumus t hitung adalah sebagai berikut: T hitung =b– β
Se(b) dalam hal ini,
b = koefisien regresi sampel β
= koefisien regresi korelasi Se(b) = standard error sample
3.6.2.3 Koefisisen Determinasi (Adjusted R 2 )
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur presentase variasi nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh semua variabel independennya.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 35 perusahaan publik. Total perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2002-2003 adalah 80 perusahaan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38 perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan kelengkapan laporan keuangan dan perusahaan yang melakukan pergantian auditor dari KAP besar ke KAP kecil ataupun sebaliknya adalah 7 perusahaan.
Table 1 Perhitungan Jumlah Sampel KETERANGAN JUMLAH Jumlah perusahaan IPO periode tahun 2000-2003
Laporan keuangan tidak diperoleh
Laporan keuangan tidak lengkap
Pergantian auditor
Laporan Auditor Independen tidak tersedia
Jumlah perusahaan yang menjadi sampel
Klasifikasi sampel menurut kualitas audit yang diproksikan dengan jenis KAP atau spesialisasi industri yang dilakukan auditor ditunjukkan dalam tabel 2.
Tabel 2
Klasifikasi Sampel Menurut Kualitas Audit
JUMLAH
KUALITAS AUDIT PROSENTASE
SAMPEL
KAP Besar
JENIS KAP
17 49% Jumlah 35 100% Spesialisasi Industri
KAP Kecil
Non-spesialisasi industri
Perusahaan yang diaudit oleh KAP Besar lebih banyak daripada perusahaan yang diaudit oler KAP kecil, yaitu sebanyak 18 perusahaan (51%.) Sedangkan jumlah perusahaan yang diaudit oleh spesialisasi industri auditor sebanyak 14 perusahaan (40%).
4.2 Analisis Deskriptif
Dari pengujian regresi discretionary accruals untuk memperoleh nilai α diperoleh model sebagai berikut: DAC it
= TAC it /TA it-1 - [0,277(1/TA it-1 )+0,0519(( ∆REV it - ∆REC it )/TA it-1 )- 0,342(PPE it /TA it-1 )+e] = TAC it /TA it-1 - [0,277(1/TA it-1 )+0,0519(( ∆REV it - ∆REC it )/TA it-1 )- 0,342(PPE it /TA it-1 )+e]
pada tahun t TA it-1 = total asset perusahaan i pada tahun t-1
∆REV it = pendapatan bersih perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1
∆REC it = piutang usaha perusahaan i pada tahun t dikurangi piutang usaha tahun t-1
PPE it = property, plant equipment perusahaan i pada tahun t
e = residual, yang menunjukkan bagian diskresioner perusahaan spesifik dari total aktiva.
Analisis deskriptiff yang dilakukan pada sampel adalah analisis perbandingan nilai rata-rata (mean), nilai minimum dan maksimum, serta standar deviasi dari sampel. Tabel 3 dibawah ini menunjukkan statistik deskriptif sampel yang digunakan untuk menguji hipotesis.
Tabel 3
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation DAC
3.8471 .6834 Valid N (listwise)
Keterangan: DAC
= discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba DKAP
= ukuran auditor, 1 untuk KAP besar dan 0 untuk KAP kecil DSPIND = spesialisasi industri, 1 bila spesialis dan 0 bila tidak spesialis SALARY = log natural beban gaji karyawan sebagai indicator manajer untuk
memperoleh bonus dari laba yang dilaporkan SIZE
= log natural total sales sebagai proksi ukuran perusahaan IPO
LEV = leverage, total kewajiban per total aktiva
4.3 Hasil Pengujian Asumsi Klasik
1. Hasil Uji Normalitas
Untuk menguji apakah sampel penelitian merupakan jenis distribusi normal digunakan pengujian Kolmogorov-Smirnov goodness of Fit test terhadap masing- masing variabel. Hasil pengujian digunakan untuk membuktikan distribusi normal pada model yang digunakan. Hasil perhitungan Kolmogorov-Smirnov goodness of Fit test pada lampiran 1 menunjukkan distribusi yang normal pada model yang digunakan sehingga bisa dilakukan regresi dengan Model Linear Berganda.
2. Hasil Uji Multikolinearitas
Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). apabila nilai VIF>10, maka tejadi multikolinearitas dan sebaliknya, apabila VIF<10 maka tidak terjadi multikolinearitas. Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan nilai VIF yang terendah adalah 1.226 dan tertinggi adalah 1.769 (lihat lampiran 2). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk variabel independen yaitu KAP, SPIND, LOGSAL, SIZE, dan LEV tidak terjadi multikolinearitas.
3. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Uji ini digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Regresi yang baik dan efisien adalah yang homokedastisitas karena heteroskedastisitas akan mengakibatkan penaksiran koefisien-koefisien regresi menjadi tidak efisien. Untuk menguji tidak terjadinya heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Peraturannya adalah bila nilai Uji ini digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Regresi yang baik dan efisien adalah yang homokedastisitas karena heteroskedastisitas akan mengakibatkan penaksiran koefisien-koefisien regresi menjadi tidak efisien. Untuk menguji tidak terjadinya heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Peraturannya adalah bila nilai
maka terjadi homoskedastisitas. Hasil pengujian pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 3. Level signifikan yang digunakan pada pengujian ini adalah 5% dan nilai t tabel pada level 5% adalah 2.026 sedangkan nilai t hitung untuk variabel KAP, SPIND, LOGSAL, dan SIZE lebih kecil dari nilai t tabel, sedangkan nilai t hitung untuk variable LEV lebih besar dari nilai t tabel , yaitu sebesar 2.028. sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk KAP, SPIND, LOGSAL, dan SIZE dengan absolut residual (ABSU) tidak terjadi heteroskedastisitas dengan ditunjukkannya nilai t hitung yang lebih kecil dari nilai t tabel. Sedangkan pada variable LEV terjadi heteroskedastisitas dengan ditunjukkannya nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel.
4.4 Hasil Uji Hipotesis
4.4.1 Hasil Uji Statistik F (Uji Regresi secara Keseluruhan)
Hipotesis pada penelitian ini diuji dengan melakukan regresi antara beberapa variabel antara lain ukuran KAP (KAP), spesialisasi industri oleh auditor (SPIND), beban gaji (LOGSAL), ukuran perusahaan auditee (SIZE), dan tingkat leverage perusahaan auditee (LEV) dengan variabel dependen discretionary accruals (DAC). Untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh signifikan secara bersamaan terhadap variabel dependen digunakan uji F. Hasil dari pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 4, pada table dapat dilihat nilai F tabel dengan degree of freedom (df) sebesar 5. Dapat dilihat bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel (5.772>2.838) dengan nilai signifikan sebesar 0.001. Hal ini Hipotesis pada penelitian ini diuji dengan melakukan regresi antara beberapa variabel antara lain ukuran KAP (KAP), spesialisasi industri oleh auditor (SPIND), beban gaji (LOGSAL), ukuran perusahaan auditee (SIZE), dan tingkat leverage perusahaan auditee (LEV) dengan variabel dependen discretionary accruals (DAC). Untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh signifikan secara bersamaan terhadap variabel dependen digunakan uji F. Hasil dari pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 4, pada table dapat dilihat nilai F tabel dengan degree of freedom (df) sebesar 5. Dapat dilihat bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel (5.772>2.838) dengan nilai signifikan sebesar 0.001. Hal ini
4.4.2 Hasil Uji Statistik t (Uji Regresi Secara Parsial)