Makna Simbolik Penggunaan Uis Adat Karo di Desa Lau Tepu

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA.
2.1

Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep merupakan

gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (2007:558). Konsep
dalam penelitian ini sebagai berikut:
2.1.1 Makna
Makna adalah maksud pembicaraan atau pengarang pengertian yang
diberikan kepda suatu bentuk kebahasaan (KBBI, 2007:703). Makna selalu
disampaikan oleh penciptanya secara langsung dan tidak langsung dengan katakata yang diciptakannya. Pencipta dapat berbahasa kiasan, menggunakan simbol
dan menciptakan karyanya sehingga penikmat jarang dapat menangkap apa yang
disampaikan pencipta.
2.1.2

Simbol
Zoest (1993:25) mengatakan simbol (lambang) adalah tanda yang


hubungan antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu peraturan yang
berlaku umum. Simbol adalah gambar , bentuk, atau benda yang mewakili suatu
gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Simbol adalah tanda yang menunjukan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petanda, hubunganya
bersifat arbitrer (mana suka). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Adanya
bermacam-macam tanda untuk satu arti menunjukan “kesemena-menaan”. Dalam

10
Universitas Sumatera Utara

bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol. Simbol dapat juga
diartikan sebagai bahasa kias yang melukiskan sesuatu dengan menggunakan
lambang untuk menyatakan maksud. Tujuannya untuk memperjelas makna dalam
uis yang digunakan oleh masyarakat karo.
2.1.3 Uis
Kain adat tradisional Karo (Uis Adat Karo) merupakan pakaian adat yang
digunakandalam kegiatan budaya suku karo maupun dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.5 Suku Karo
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami dataran tinggi Karo,
Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh

Tenggara , dan Kota Medan. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten
di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten
Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Karo dan memiliki salam
khas yaitu Mejuah-juah ( selamat datang). Suku karo termasuk suku bangsa yang
kaya akan ungkapan. Sifat dan ciri alam sering dimetaforakan ke sifat pelaku
bahasa. Ini merupakan perwujudan dari alam terkembang jadi guru. Hakimy (
dalam Octavianus, 2006:24) mengatakan bahwa filosofi alam terkembang jadi
guru merupakan sumber pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman hidup.
Kecermatan suku Karo mengabstraksi alam tempat tinggalnya memperkaya
pengetahuan mereka sehingga melahirkan

11
Universitas Sumatera Utara

2.2

Landasan Teori

2.2.1


Antropolinguistik
Sibarani (2004:50) mengatakan bahwa antropolinguistik secara garis besar

membicarakan dua tugas utama yakni (1) mempelajari kebudayaan dari sudut
pandang bahasa dan (2) mempelajari bahasa dalam konteks kebudayaan.
Antropolinguistik juga mempelajari unsur-unsur budaya yang terkandung dalam
pola-pola bahasa yang dimiliki oleh penuturnya, serta mengkaji bahasa dalam
hubungannya dengan budaya penuturnya secara menyeluruh.
Sibarani (2014:315) mengatakan bahwa antropolinguistik adalah studi
bahasa dalam kerangka kerja antropologi, studi kebudayaan dalam kerangka kerja
linguistik, dan studi kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama
antropologi dan linguistik.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat, saling
mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling
mendasari hubungan bahasa dengan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari
dalam konteks kebudayaan, dan kebudayaan dapat dipelajari melaui bahasa
(Sibarani, 2004:51). Dengan kata lain, antropolinguistik mempelajari kebudayaan
dari sumber-sumber bahasa, dan juga sebaliknya mempelajari bahasa yang
dikaitkan dengan budaya.
Harfiah (2005:61) juga mengatakan bahwa antropolinguistik menganggap bahwa

faktor budaya tidak bisa ditinggalkan dalam penelitian bahasa. Bahasa merupakan
fakta yang harus dipertimbangkan dalam kajian budaya dalam kehidupan
manusia. Inti masalah dalam kajian antropolinguistik adalah sistem kepercayaan,
12
Universitas Sumatera Utara

nilai, moral, tingkah laku, dan pandangan atau unsur yang mencorakan budaya
suatu kumpulan masyarakat.
2.2.2

Makna
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah

disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger
dalam Aminuddin, 1981:108).Dengan mempelajari suatu makna pada hakikatnya
mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa
dapat saling mengerti.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui adanya unsur pokok

yang


tercakup di dalamnya, yaitu :
1. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar,
2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta
3. Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi
sehingga dapat saling mengerti.
Dalam penelitian ini, makna yang menjadi acuan peneiliti untuk
menganalisis yaitu dengan menggunakan makna dari simbol-simbol dalam
penggunaan Uis adat Karo.Penggunaan Uis merupakan sebuah simbolik dan
memiliki makna pada setiap jenis Uis yang digunakan.
2.2.3

Simbol
Berger (2000:23) berpendapat bahwa salah satu karakteristik dari simbol

adalah bahwa simbol tidak pernah benar-benar arbitrer. Hal ini bukannya tidak
beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan

13
Universitas Sumatera Utara


petanda seperti simbol keadilan yang berupa sebuah timbangan tidak dapat
digantikan oleh identitas lainnya seperti kendaraan atau kereta.
Simbol tidak selalu diungkapkan melalui bahasa verbal. Menurut
Erckelman dan piscatori (dalam Sobur, 2004:176) simbol merupakan tanda yang
menunjuk kepada nilai-nilai. Mesikipun tidak selalu simbol diungkapkan melalui
bahasa. Salah satu simbol yang bukan berupa bahasa verbal adalah uis.
Uis merupakan simbol kultural. Hartoko dan B. Rahmanto (1998:133)
membagi simbol dalam tiga bagian yaitu:
1. Simbol universal yang berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai
lambang kematian.
2. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh sutu kebudayaan tertentu
misalnya keris dala kebudayaan Jawa.
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsir dalm konteks keseluruhan
karya seorang pengarang.
Herusatoto (2000:10) berpendapat bahwa gagasan-gagasan, simbolsimbol, dan nilai-nilai merupakan hasil karya manusia. Uis adalah hasil karya
manusia yang merupakan simbol kultural masyarakat Karo.
2.2.4

Nilai Budaya

Sibarani (2004: 59) mengatakan bahwa bahasa digunakan sebagai sarana

ekspesi nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan oleh bahasa
sebagai jalur penerus kebudayaan terbagi atas tiga bagian kebudayaan yang saling
berkaitan, yaitu kebudayaan ekspresi mencakup perasaan, keyakinan, intuisi, ide,

14
Universitas Sumatera Utara

dan imajinasi kolektif; dan kebudayaan tradisi mencakup nilai-nilai religi,
adatistiadat, dan kebiasaan-kebiasaan; dan kebudayaan fisik mencakup hasil-hasil
karya asli yang dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), nilai berarti harga,
angka, kepandaian, kadar atau mutu banyak sidikitnya isi dan sifat-sifat yang
penting dan berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya adalah tingkat
pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan abstrak dan luas
ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepkan hal-hal yang
paling bernilai dalam kehidupan masyarakat sistem nilai terdiri atas konsepsikonsepsi yang hidup dalam pikiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka nilai
budaya adalah angka kepandaian kelompok masyarakat dan konsep-konsep
berpikirnya hidup dan bertumbuh sehingga sistem nilai budayanya menjadi

pedoman bagi tingkah laku kelompok manusia tersebut (Titus, 2013:149).
Setiap individu mempunyai persepsi tentang nilai. Banyak orang suka
melihat dan mencari nilai kesopanan, keadilan, cinta, kejujuran, tanggung jawab,
pengabdian dalam upaya memperoleh kebenaran atau mengurangi kekejaman,
kezaliman, kebencian, keburukn, dan kepalsuan.
Nilai budaya dalam penelitian ini dipahami sebagai nilai yang mengacu
kepada berbgai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai
hasil budaya), antara lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan,
tugas, kewajiban beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik,
dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan (Papper dalam Djajasudarma,
1997:10).

15
Universitas Sumatera Utara

Nilai itu sendiri dapat dipahami sebagai penelitian yang diperoleh
individu dalam kehidupan bermasyarakatpada saat menanggapi berbagai
rangsangan tertentu mengenai mana yng diinginkan dan mana yang tidak
diinginkan. Nilai menumbuhkan sikap pada individu, yaitu secara kecendrungan
yang dipelajari individu untuk menjawab atau menanggapi rangsangan yang hadir

di sekitarnya (Mintarago, 2000:18). Peranan nilai sangat menentukan maksud dan
tindakan benar atau salah, baik atau buruk, pada dasarnya itu merupakan ekspresi
dan nilai-nilai yang dipertahankan dalam pikiran manusia.
Pepper (dalam Djajasudarma, 1997:11) mengatakan bahwa nilai adalah
segala sesuatu tentang yang baik dan buruk. Rumusan luasnya adalah seluruh
perkembangan dan kemungkinan unsur nilai, rumusan nilai secara sempit
diperoleh dari bidang tertentu. Pendapat tersebut menyatakan bahwa di dalam
nilai tersimpul yang baik dan buruk. Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan
buruk dapat disebut nilai.
2.3

Tinjauan Pustaka
Efrida Sinaga (2010) dalam skripsi „Makna Nama Orang pada

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige’ menjelaskan bahwa pemberian
nama orang pada masyarakat Batak Toba di kecamatan Balige dilakukan dengan
cara adat istiadat (proses) berupa upacara penyambutan sampai kelahiran hingga
pemberian nama. Upacara adat ini harus melalui tahapan dalam upacara khusus
yang dilaksanakan oleh pihak hula-hula (pihak pemberi istri) baik itu pemberian
nama orang maupun nama sebutan (nama panggilan) yang disandangnya. jenis

nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige, Pranama, Goar

16
Universitas Sumatera Utara

Sihadakdanahon, Panggoaran Goar-goar dan Marga. Nama-nama orang pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung makna pengharapan
dan makna kenangan. Selanjutnya nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba
di Kecamatan Balige mengandung nilai pragmatis yaitu konotasi formal, konotasi
nonformal, konotasi kelaki-lakian, dan konotasi kewanitaan sejalan dengan
pendapat Van Buren.
Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara
Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) Pada Sikluskehidupan Masyarakat Batak Toba
Di Pangururan Kabupaten Samosir. Beliau membahas tentang makna simbolik
pemberian ulos tersebut dan membahas tentng tahapan pemberian ulos. Metode
penelitian yang dilakukan ialah metode kualitatif dan deskriftif pemberianulos
tersebut dan membahas tentang tahapan pemberian ulos. Metode penelitian yang
dilakukan ialah metode kualitatif dan deskriptip dan dengan teknik pengumpulan
data studi pustaka dan observasi.
Tampubolon (2015) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbol Dalam

Lirik Lagu Camelia I, II, III, dan IV Karya Ebiet G. Ade: tinjauan Semiotika.
Beliau membahas mengenai makna simbol dalam liruk lagu tersebut. Lirik lagu
Camellia I menceritakan seorangan lelaki tanpa nama yang mengagumi gadis
berna Camellia. Pengarang menjelaskan bahwa lelaki itu membutuhkan seorang
gadis seperti Camellia yang gigih dan giat dalam hidup. Banyak sikapyng harus
dipelari dari Camellia. Camellia II menceritakan Camellia adalah sosok gadis
yang sempurna dalam mata dan pikiranya. Camellia III menceritakan bahwa tidak
bisa mematahkan semangat dan perjuangan orang lain. Dan Camellia IV
menceritakan bahwa rasa sedih dan rasa kecewa tidak harus berlarut-larut.
17
Universitas Sumatera Utara

Nainggolan (2015) dalam skripsinya yang berjudul Makna Ucapan Dalam
Pemberian Ulos Pada Perkawinan Adat Batak Toba: Kajian Antropolinguistik.
Beliau mengatakan masyarakat Batak Toba merupakan masyarakat yang kaya
akan budaya dan pesta adat. Namun, disetiap pesta adat yang dilakukan ntah itu
perkawinan, kematian, kelahiran, ataupun memasuki rumah baru tidak terlepas
dari yang namanya pemberian ulos. Pemberian ulos atau yang biasa disebut
mangulosihanyalah merupakan simbol yang memiliki makna tersendiri,
tergantung siapa yang memberikan kepada siapa dan jenis ulos yang diberikan.
Cara masyarakat Batak Toba untuk memberi nasihat dan doa-doanya bahkan
mengucapkan terimakasih ialah dengan mangulosi. Ulos yang diberikan jua
memiliki makna dan nilai yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, pemberian ulos dalam upacara perkawinan adat Batak Toba
memiliki makna harapan, makna menasehati, makna memberi berkat, dan makna
ucapan syukur atau ucapan terimakasih. Nilai budaya yang terdapat di dalamnya
yaitu; nilai kekeluargaan, nilai kasih sayang, nilai kesetiaan, nilai keagamaan, dan
nilai kebersamaan.

18
Universitas Sumatera Utara