Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo

(1)

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI DANAU LAU KAWAR DESA KUTA GUGUNG

KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO

SKRIPSI

LIDYA CHRISTINA BR.TARIGAN 040805037

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI DANAU LAU KAWAR DESA KUTA GUGUNG

KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

LIDYA CHRISTINA BR.TARIGAN 040805037

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo

Kategori : Skripsi

Nama : Lidya Christina BR Tarigan Nomor Induk : 040805037

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara

Diluluskan di Medan,

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny S.Si, M.Si Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus M.Sc NIP. 132 206 571 NIP. 131 695 907

Diketahui/Disetujui oleh

Departeman Matematika FMIPA USU Ketua,

Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP.132 089 421


(4)

PERNYATAAN

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI DANAU LAU KAWAR DESA KUTA GUGUNG KECAMATAN SIMPANG EMPAT

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Februari 2009

LIDYA CHRISTINA BR.TARIGAN 040805037


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan karunia-Nya lah Penulis dimampukan menyelesaikan Hasil penelitian ini yang berjudul ”Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Danau Lau Kawar

Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo ” yang

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi di Program studi Biologi Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala A.Barus, M.Sc dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si , sebagai Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan dan arahan, waktu serta perhatiannya yang besar terutama saat penulis memulai penulisan hingga penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Whidiastuti MS. dan Bapak Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku Dosen Penguji I dan Dosen Penguji II yang banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku dosen Pembimbing Akademik saya dan juga kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Departemen Biologi - FMIPA USU dan Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc sebagai Sekretaris Departemen Biologi – FMIPA USU.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai juga penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu tercinta : Pengawalen Armentius Tarigan & Setiawati Br. Karo-karo yang memberikan doa, harapan, nasehat, serta kasih sayangnya sehingga penulis bisa menyelesaikan hasil penelitian ini yang begitu berarti bagi penulis, juga kepada keluarga Pak uda ku Drs. Darwin Tarigan, Spd & Dra. Dameria Gtg, Spd dan abang – abangku Hery Hidayat Tarigan, Shi, Prima Hamdani Tarigan, Sp, serta Bripda Boy HandiTarigan, terima kasih buat dukungan doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Dan kepada Sahabat hatiku Bripda Irvandy Agusta Sembiring Kembaren yang telah banyak memberikan motivasi dan yang selalu mengasihiku dan memberikan semngat dalam hidupku serta mengajariku apa arti bersabar dalam memperjuangkan sesuatu dalam hidup, sesuatu yang sangat berarti. Ungkapan terima kasih juga saya ucapkan kepada team lapangan penelitian: Fransisco, Rosalina, Lestari, Boy, Yourich, Gokman, Tiwi, Jandri, dan Misran. Serta kepada teman perkuliahan : Maria Fransisca Gtg, Asni Maryati Sembiring dan Bang David dan kepada sahabat - sahabat ku, Sry Sayrani Sinaga, Siska Febriani Sihombing, dan Reny Lela Manurung, serta semua teman-teman stambuk 2004 dan adik-adik junior stambuk 2006 terima kasih buat senyum dan canda kalian kepadaku.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi


(6)

Penulis dan bagi pembaca, sebelum dan sesudahnya Penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2009


(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang ” Keanekaragaman Makrozoobentos di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo” telah dikukan pada tanggal 21-24 April 2008 sampel diambil dari 4 stasiun penelitian dan dilakukan 3 kali perulangan pada setiap stasiun. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode ”Purposive Random Sampling”. Sampel diambil dengan menggunalan Surber net dan Eck mann Grab kemudian di identifikasi di Laboratorium PSDAL Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 4 kelas yaitu Insecta, Crustaceae, Turbelaria dan Gastropoda yang terdiri dari 7 genera makrozoobentos seperti Plathemis sp, Allocapnia sp, Palaemonetes sp, Planaria sp, Goniobasis sp, Pila sp, Thiara sp 1 dan Thiara sp 2. Nilai kepadatan tertinggi didapatkan dari genera Thiara sp 1 sebesar 470,33 ind/ m2 yang ditemukan pada stasiun IV dan terendah dari genera Allocapnia sp sebesar 3,66 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun I. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobentos tertinggi didapati pada stasiun I sebesar 1,5286 dan terendah pada stasiun IV sebesar 0,4886. dari hasil analisis menunjukkan bahwa pH, DO, Kejenuhan Oksigen berkorelasi berlawanan sedangkan BOD5 dan

Substrat Organik berkorelasi searah dan memiliki nilai korelasi sedang terhadap Keanekaragaman Makrozoobentos sedangkan Penetrasi Cahaya dan Temperatur bernilai konstan.


(8)

ABSTRACT

The research have been done in April 21-24th 2008 and from this research we want to know about the Diversity Of Macrozoobenthic in lau Kawar Lakes. Sampel were collected from four stations by Purposive Random Sampling method. Surber net’s and Eckmann Grabb was used to taken the sampel. Samples were identified in Laboratory PSDAL, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences of North Sumatera University.

The result showed that there were found four classes (Insecta, Crustaceae, Turbelaria, and Gastropode) within 7 genera of Macrozoobenthic. Thiara sp I has the highest density index with 470,33 ind/m2 that was founded in Fourth station, and Allocapnia sp in Ist station has the lowest density index with 3,66 ind/m2. The Index Diversity (H’) of all station with value between 0,4886-1,5286 and according to the analysis of Pearson Correlatin, BOD5 and Organic Substrat has the direct correlated

to the Diversity of Macrozoobenthic, while pH, Dissolved Oxygen and Oxygen saturation has the opposite correlated to the Diversity of Macrozoobenthic, thus Light Penetration and Temperature have constant variables.


(9)

DAFTAR ISI Persetujuan Pernyataan Halaman ii iii Penghargaan iv Abstrak vi Abstract vii

Daftar isi viii

Daftar Tabel x

Daftar Lampiran xi

Daftar Gambar xii

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan 2

1.4 Hipotesis 2

1.5 Manfaat 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4

2.1 Ekosistem Danau 4

2.2 Pengaruh Aktivitas Masyarakat Terhadap Ekosistem Danau 5

2.3 Benthos 6

2.4 Makrozoobentos Sebagai Indikator Pencemaran 8 2.5 Faktor-faktor Abiotik Yang Mempengaruhi

Makrozoobenthos

9

Bab 3. Bahan dan Metoda 14

3.1. Metoda Penelitian 14

3.2. Deskripsi Area 14

3.3. Pengambilan Sampel 15

3.4.Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 16

3.4.1. Temperatur 16

3.4.2. Penetrasi Cahaya 16

3.4.3. Kedalaman 16

3.4.4. pH (Derajat Keasaman) 17 3.4.5. Disolved Oxygen (DO) 17

3.4.6. BOD5 17

3.4.7. COD (Chemical Oxygen Demand) 17 3.4.8. Kandungan Organik Substrat 17

3.4.9.Kejenuhan Oksigen 18

3.5. Analisis Data 19

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 22

4.1. Klasifikasi Makrozoobentos 22


(10)

4.3. Nilai Analisis Korelasi Pearson dengan program SPSS Ver. 13.00

35

Bab 5. Kesimpulan dan Saran 38

5.1 Kesimpulan 38

5.2 Saran 39


(11)

DAFTAR TABEL Tabel

1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan.

19 2 Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun

Penelitian di Beberapa Lokasi di Danau Lau Kawar

22 3 Nilai Kepadatan Populasi ( ind./ m2), Kepadatan relatif (%) dan

Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos (%) pada Setiap Stasiun Penelitian di Danau Lau Kawar

27

4 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos pada Masing - Masing Stasiun Penelitian.

30 5 Rata–Rata nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada Setiap

Stasiun Penelitian di Danau Lau Kawar.

32 6 Nilai Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia Dengan

Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos.

35 7 Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor 37


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur DO 43

Lampiran B Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur BOD5 44

Lampiran C Bagan Kerja Pengukuran COD 45 Lampiran D Bagan Kerja pengukuran Kadar Organik Substrat 46 Lampiran E Peta Danau Lau Kawar 47 Lampiran F Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai

Besaran Temperatur Air

48

Lampiran G Eck mann Grabb 49

Lampiran H Analisa Korelasi Pearson SPSS.13.00. 50

Lampiran I Photo Lokasi Penelitian 51

Lampiran J Hasil Analisis Kadar Organik Substrat 53


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Genus Plathemis sp 23

Gambar 2 Genus Allocapnia sp 23

Gambar 3 Genus Palaemonetes sp 24

Gambar 4 Genus Planaria sp 24

Gambar 5 Genus Goniobasis sp 25

Gambar 6 Genus Pila sp 25

Gambar 7 Genus Thiara sp 1 26

Gambar 8 Genus Thiara sp 2 26

Gambar 9 Lokasi Stasiun I 51

Gambar 10 Lokasi Stasiun II 51

Gambar 11 Lokasi Stasiun III 52

Gambar 12 Lokasi Stasiun IV 52


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem air daratan (inland water) dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu perairan lentik (berarus tenang misalnya danau, waduk, dan kolam) dan perairan lotik (yang berarus cepat atau perubahan akumulasi massa air terjadi dalam waktu yang cepat misalnya parit, kali, dan sungai). Danau merupakan perairan tenang, di dalamnya terkandung sedikit sekali bahan organik dan airnya jernih, sehingga sinar matahari dapat menembus ke dalam air (Naughton dan Wolf, 1990 ; hlm: 12-21).

Salah satu hidrobiota yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan, hidup secara sesil, merayap atau menggali lubang adalah makrozoobentos (Payne, 1996, p : 75-83). Makrozoobentos baik digunakan sebagai indikator biologis di suatu perairan karena hewan ini mempunyai habitat hidup yang relatif tetap, ukuran besar sehingga mudah untuk identifikasi, pergerakan terbatas, hidup di dalam dan di dasar perairan. Dengan sifat yang demikian, perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos. Kelimpahan dan keanekaragaman ini sangat bergantung pada toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Nilai kisaran toleransi dari makrozoobentos terhadap daerah lingkungan adalah berbeda-beda (Wilhm, 1975 dalam Marsaulina, 1994, hlm : 2,6-10).

Danau Lau Kawar merupakan danau yang dipergunakan untuk berbagai keperluan oleh masyarakat setempat, seperti domestik, camping ground, pertanian,


(15)

pengambilan ikan serta obyek wisata. Dengan beragamnya aktivitas masyarakat tersebut akan berpengaruh terhadap faktor fisik dan kimia perairan sehingga secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos di perairan tersebut.

Sejauh ini informasi mengenai keanekaragaman makrozoobentos di Lau Kawar belum diperoleh, oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai keanekaragaman makrozoobentos di “Danau Lau Kawar, Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo” yang dihubungkan dengan faktor fisik-kimia perairan tersebut.

1.2. PERMASALAHAN

Bagaimana hubungan keanekaragaman makrozoobentos dinilai dari tingkat keberadaan serta keanekaragamannya di Danau Lau Kawar dikaitkan dengan faktor fisik-kimia perairan yang terdapat pada Danau Lau Kawar, Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

1.3. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan tingkat keanekaragaman makrozoobentos di Danau Lau Kawar Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo yang dihubungkan dengan faktor fisik dan kimia perairan.

1.4. HIPOTESIS

Terdapat perbedaan tingkat keanekaragaman makrozoobentos pada beberapa lokasi penelitian di Danau Lau Kawar Kec. Simpang Empat Kabupaten Karo yang dihubungkan dengan faktor fisik kimia perairan.


(16)

1.5. MANFAAT

1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobentos di Danau Lau Kawar Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

2. Memberikan informasi yang berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan data mengenai kondisi lingkungan perairan di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Danau

Ekosistem perairan yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas dua kelompok yaitu perairan lentik (perairan tenang) misalnya danau dan perairan lotik (perairan berarus deras) misalnya sungai (Payne, 1996, p : 75-83). Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama sedangkan perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004, hlm : 33-35 ).

Asal mula sebuah danau dapat bermacam-macam. Ada yang lahir karena terjadi patahan di permukaan bumi, yang kemudian diikuti peristiwa klimat; misalnya, Danau toba. Beberapa danau lain timbul karena gejala vulkan, (misalnya, Danau Lamongan), karena belokan sungai yang terlalu dalam, karena depresi tanah kapur. Ada juga danau buatan, seperti Danau Jatiluhur (Soeriaatmadja, 1977, hlm : 66).

Luas Lau Kawar sekarang berkisar 116 ha dan ini hanya sedikit bertambah sesudah bendungan dibangun karena sisi-sisinya yang cukup curam. Lahan yang terletak di sebelah utara danau merupakan hutan yang tidak terganggu dan di sebelah selatan danau merupakan tanah ladang pertanian dengan intensitas rendah. Dari data yang diperoleh kapasitas Lau Kawar dapat dihitung dan diperoleh bahwa volume air danau tersebut adalah 41,5 juta m³. Banyaknya air di tempat keluarnya bendungan adalah 25,8 m³ per menit. Apabila dianggap bahwa volume air yang mengalir dari


(18)

danau adalah seperti tersebut diatas , maka jelaslah bahwa volume air akan bertukar setiap tiga tahun ( Damanik et al 1987, hlm : 201).

Perairan darat yang ukurannya lebih besar dari kolam, biasanya disebut danau. Akan tetapi batas-batas ukuran ini tidak jelas. Bagi ahli limnologi kolam adalah sebuah perairan yang cukup dangkal sehingga cahaya dapat menembus sampai ke dasarnya sebaliknya, danau dalamnya sedemikian sehingga dasarnya selalu gelap, tidak tercapai oleh cahaya. Jika danau tidak mempunyai aliran keluar, akan terjadi timbunan mineral yang berasal dari daratan disekelilingnya (Soemarwoto et al, 1990, hlm : 83).

Menurut Soegianto (2005) danau memiliki tiga zona yang berbeda : 1. Zona litoral, dekat pantai dimana tumbuhan berakar dapat dijumpai;

2. Zona limnetik (lapisan permukaan perairan terbuka), sinar matahari mampu menembus zona ini, dan didominasi oleh fitoplankton dan ikan yang berenang bebas, dan

3. Zona profundal, zona perairan dalam yang tidak dapat ditembus sinar matahari dan dihuni oleh organisme yang membuat liang di dasar perairan.

2.2. Pengaruh Aktivitas Masyarakat terhadap Ekosistem Danau

Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan yang mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Asdak, 2002 , hlm: 10).

Kristanto (2002, hlm : 72-73), menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari sistem ekologi (ekosistem) sebagai objek sekaligus subjek pembangunan. Permasalahan lingkungan yang sangat mendasar berkaitan dengan kepadatan penduduk maka kebutuhan pangan, pemukiman dan kebutuhan dasar lainnya yang akan meningkatkan limbah domestik dan limbah industri yang dihasilkan, sehingga


(19)

terjadi pencemaran yang mengakibatkan perubahan besar dalam lingkungan hidup. Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari suatu bentuk asal pada suatu keadaan yang lebih buruk. Pergeseran dari bentuk tatanan dari kondisi dasar ke kondisi yang lebih buruk ini dapat terjadi akibat adanya masukan dari bahan-bahan pencemar atau polutan (Palar, 1994, hlm: 10-11).

Menurut Soegianto (2005, hlm: 97 ), pencemaran air yang dapat menyebabkan pengaruh berbahaya bagi organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem. Tingkatan pengaruh pencemaran air terhadap manusia dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelas 1: Ganguan estetika (bau, rasa, pemandangan). 2. Kelas 2: Gangguan atau kerusakan terhadap harta benda. 3. Kelas 3: Gangguan terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan. 4. Kelas 4: Gangguan terhadap kesehatan manusia.

5. Kelas 5: Gangguan pada sistem reproduksi dan genetik manusia 6. Kelas 6: Gangguan ekosistem utama.

Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, terutama terhadap makrozoobenthos, yaitu membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesis lain. Jadi jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 1991, hlm: 35, 83-87 ).

2.3. Bentos

Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat hidupnya bentos dibedakan antara fitobentos yaitu bentos yang bersifat tumbuhan dan zoobentos yaitu organisme bentos yang bersifat hewan (Barus, 2004, hlm: 33-35 ). Sedangkan berdasarkan cara hidupnya menurut Barnes & Mann (1994, p: 13-14 ) bentos dibedakan atas 2


(20)

kelompok, yaitu infauna (bentos yang hidupnya terbenam da dalam substrat dasar perairan) dan epifauna (bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan).

Lalli & Parsons (1993, p : 187 ), menyatakan bahwa kelompok infauna sering mendominasi komunitas substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal, sedangkan kelompok hewan epifauna dapat ditemukan pada semua jenis substrat, tetapi lebih berkembang pada substrat yang keras dan melimpah di daerah intertidal.

Menurut Lalli & Parsons (1993, p :187 ), hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi atas:

1) Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya.

2) Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm–1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil dan crustaceae kecil. 3) Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok

ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozoa khususnya ciliata.

Cummins (1975) dalam Sinambela (1994, hlm : 29 ) menyatakan bahwa hewan makrozoobentos pada fase dewasa berukuran paling kecil 3–5 mm. Selanjutnya Odum (1994) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat dimasukkan ke dalam jenis hewan makroinvertebrata. Taksa utama dari kelompok ini umumnya adalah insekta, moluska, Chaetopoda, Crustaceae dan Nematoda. Umumnya bentos yang sering dijumpai di suatu perairan adalah dari taksa Crustaceae, moluska, insekta, chaetopoda dan sebagainya. Bentos tidak saja berperan sebagai penyusun komunitas perairan tetapi juga dapat digunakan untuk mengetahui kualitas suatu perairan (Barus, 2004, hlm : 33-35 ).


(21)

2.4. Makrozoobentos sebagai Indikator Pencemaran

Makrozoobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makrozoobentos ini sering dijadikan sebagai indikator biologis di suatu perairan karena cara hidupnya, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi diantara spesies di dalam lingkungan perairan. Alasan pemilihan makrozoobentos sebagai indikator bilogis menurut Wilhm (1978 dan Oey et al. 1980 dalam Wargadinata 1995, hlm : 34-36 ) adalah sebagai berikut :

1) Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel. 2) Ukuran tubuh relatif lebih besar sehingga memudahkan untuk identifikasi.

3) Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah (exposed) oleh air sekitarnya.

4) Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobentos dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.

5) Perubahan lingkungan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobentos.

Dalam penilaian kualitas perairan, pengukuran keanekaragaman jenis organisme sering lebih baik daripada pengukuran bahan-bahan organik secara langsung. Makrozoobentos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan yang ter jadi baik pada lingkungan fisik, kimia maupun terhadap lingkungan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobentos karena makrozoobentos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1994, hlm : 373, 397 ). Hal ini disebabkan makrozoobentos pada umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya berada di dasar perairan yang umumnya adalah tempat bahan tercemar. Menurut (Wilhm 1975 dalam Marsaulina 1994, hlm: 2, 6-10) menjelaskan perubahan sifat dasar dari substrat dan penambahan pencemaran akan memberikan dampak pengaruh yang nyata terhadap nilai kepadatan serta keanekaragamannya.

Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat


(22)

mendukung perkembangan spesies lain. Jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu, penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 1991, hlm : 35, 83-87 ).

Menurut Hawkes (1979 dalam Sastrawijaya, 1991, hlm: 35, 83-87 ) dengan mempelajari komposisi jenis makrozoobentos suatu perairan dapat diketahui apakah suatu perairan itu tercemar atau belum. Perairan dengan kualitas air yang masih baik dapat mendukung keanekaragaman jenis dari makrozoobentos yang hidup pada perairan tersebut, sebaliknya perairan dengan kualitas air yang tidak baik keanekaragaman dari makrozoobentos akan menurun pula. Selanjutnya Patrick (1949 dalam Odum 1994, hlm : 385 ) menyatakan bahwa suatu perairan yang sehat (belum tercemar) akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari hampir jumlah spesies yang ada. Sebaliknya suatu perairan tercemar, penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi.

2.5. Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobentos

Faktor abiotik (fisik-kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobentos diantaranya adalah :

1) Temperatur

Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas didalam air serta semua aktivitas biologis–fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10°C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan


(23)

juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm & Meijering, 1990 dalam Barus, 1996, hlm : 1, 4-6 ).

Temperatur merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan bentos. Batas toleransi hewan benthos terhadap temperatur tergantung spesiesnya. Umumnya temperatur diatas 30°C dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos (James & Evison, 1979, p :152 ).

2) Warna dan Kekeruhan

Air dalam keadaan normal dan bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening dan jernih (Wardhana, 2001, hlm :105 ). Warna air dapat ditimbulkan atau dipengaruhi oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik, serta tumbuh-tumbuhan (Barus, 1996, hlm :1, 4-6 ) dan Suriawiria (1996, hlm :1-6 ) mengatakan bahwa warna air akan berubah tergantung pada buangan yang memasuki badan air tersebut.

Kekeruhan air terjadi disebabkan oleh adanya zat-zat koloid, yaitu zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat dan zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera (Mahadi, 1993, hlm : 34-37 ). Kekeruhan air dapat juga dihubungkan dengan kemungkinan hadirnya pencemaran melalui buangan (Suriawiria, 1996, hlm : 1-6 ).

Menurut Koesbiono (1979, hlm : 26 ) pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

3) Disolved Oxygen (DO)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar


(24)

organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen

akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut dalam air bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Menurut Sastrawijaya (1991, hlm : 35, 83-87 ) kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya.

4) Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) menyatakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada suhu 20°C (Förstner, 1990 dalam Barus, 2001, hlm : 5 ). Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5 ).

Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan, apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2 maka perairan tersebut tergolong

baik. Apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l - 20 mg/l O2 akan menunjukkan

tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi, dan untuk air limbah industri yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan adalah nilai BOD maksimum 100 mg/l (Brower et al., 1990, p: 52 ). Selanjutnya dijelaskan bahwa semakin rendah nilai BOD


(25)

dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula keanekaragaman biota (makrozoobentos) dalam perairan tersebut.

5) pH (Derajat Keasaman)

Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobentos pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik dan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2001, hlm : 5 ).

6) Substrat Dasar

Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar perairan, seperti bentos, baik pada air diam maupun pada air yang mengalir (Michael, 1984, hlm :140,168). Substrat dasar merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan keanekaragaman zoobentos (Hynes, 1976, p: 7-10 ). Menurut Seki (1982, p: 56-57) komponen organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormon juga ditemukan di perairan. Hanya 10 % dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan.

Disamping adanya senyawa organik, substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos sehingga bisa mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang besar (Odum, 1994, hlm : 385). Selanjutnya Koesbiono (1979, hlm : 26 ) mengatakan bahwa dasar


(26)

perairan berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan bentos.

7) Kejenuhan Oksigen

Nilai Oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Disamping pengukuran konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/L, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut (Barus, 2004, hlm: 58).


(27)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21-24 April 2008, di danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel makrozoobentos adalah ”Purposive Random Sampling” pada 4 stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 3 (tiga) kali ulangan.

3.2Deskripsi Area

Lokasi penelitian berada di Danau Lau Kawar yang memiliki luas ± 116 ha, desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Peta lokasi pada lampiran E). Di danau ini terdapat berbagai aktivitas masyarakat, seperti, domestik, pertanian, camping ground, dan lain-lain.

a. Stasiun I

Stasiun ini merupakan inlet atau daerah masukan air yang bersumber dari mata air yang terdapat di kaki Deleng Lancuk. Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, yang secara geografis terletak pada 3°12’10,5” LU dan 098°22’31,2” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah tanah liat berlumpur dengan vegetasi di sekitarnya berupa Myrtaceae, Asteraceae, Cyatheaceae, dan Poaceae.


(28)

b. Stasiun II

Stasiun ini merupakan daerah kontrol, yang berjarak sekitar 500 meter dari stasiun I, terletak di Danau Lau Kawar, Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, yang secara geografis terletak pada 3°11’58,1” LU dan 098°23’10,7” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah tanah liat berlumpur dengan vegetasi di sekitarnya berupa Myrtaceae, Asteraceae, danCyatheaceae.

c. Stasiun III

Stasiun ini merupakan daerah pertanian dengan intensitas yang rendah yang terletak sekitar 500 meter dari stasiun II, terletak di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo secara geografis terletak pada 3°11’46,9” LU dan 098°22’45,1” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah tanah liat berlumpur dengan vegetasi di sekitarnya berupa Myrtaceae, Asteraceae, Cyatheaceae, dan Poaceae.

d. Stasiun IV

Stasiun ini merupakan daerah outlett atau tempat keluar aliran air Danau Pada stasiun ini terdapat bendungan air yang berjarak sekitar 500 meter dari stasiun III, terletak di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo secara geografis terletak pada 3°11’47,9” LU dan 098°23’47,9” dan 098°23’25,8” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah tanah liat berlumpur dengan vegetasi di sekitarnya berupa Myrtaceae, Asteraceae,serta Cyatheacea.

3.3 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Eckman Grabb selanjutnya disaring dengan menggunakan surber net. Sampel yang didapat disortir dengan menggunakan Hand Sortir Method selanjutnya dibersihkan


(29)

dengan air dan direndam dengan formalin 4% selama 1 hari, kemudian dicuci dengan akuades dan dikering anginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label. Kemudian sampel dibawa ke Laboratorium PSDAL Departemen Biologi FMIPA USU untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Dharma (1988), dan Pennak (1989).

3.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup :

3.4.1 Temperatur

Air diambil, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air selama ±10 menit kemudian di baca skalanya.

3.4.2 Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping sechii antara terlihat dengan tidak, kemudian diukur panjang talinya yang masuk kedalam air.

3.4.3 Kedalaman

Diukur dengan tali berskala yang diberi pemberat, lalu dimasukkan kedalam badan air sampai mencapai dasar perairan. Kemudian dibaca skala pada tali yang sejajar dengan permukaan air.


(30)

3.4.4 pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pada pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

3.4.5 Disolved Oxygen (DO)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter. Sampel air diambil dari permukaan air tanpa gelembung dan dimasukkan ke dalam alat DO meter, setelah 5 menit dibaca skalanya (lampiran A) .

3.4.6 BOD5

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan DO meter. Sampel air yang diambil dari

dalam air dimasukkan ke dalam botol dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 20

0

C, lalu diukur oksigen terlarutnya dengan menggunakan DO meter. Nilai BOD5 yaitu

DO yang diukur saat hari pertama dikurangi dengan nilai DO setelah hari kelima (Lampiran B).

3.4.7 COD (Chemical Oxygen Demand)

Pengukuran COD dilakukan dengan Metoda Refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran C).

3.4.8 Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering


(31)

%

100

×

=

A

B

A

KO

di gerus di lumpang dan dimasukkan kembali kedalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam (Lampiran D) . Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus :

dengan :

KO = Kandungan Organik

A = Berat Konstan Substrat

B = Berat Abu

(Widle, 1972 dalam Adianto, 1993, hlm : 17)

Analisis kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

3.4.9. Kejenuhan Oksigen

Harga kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

O2 (u)

Kejenuhan (%) = x 100 O2 (t)

O2 (u) = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tebel)

sesuai dengan harga temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut maksimum terlampir (Lampiran F).


(32)

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik - Kimia Perairan.

No Parameter Fisik-Kimia

Satuan Alat Tempat

Pengukuran

1 Temparatur Air 0C Termometer Air Raksa In – situ 2 Kejenuhan

Oksigen

% - In–situ

3 Penetrasi Cahaya cm Keping Sechii In – situ

4 Kedalaman cm Tali berskala In – situ

5 pH Air - pH meter In – situ

6 DO (Oksigen Terlarut)

mg/l DO meter In – situ

7 BOD5 mg/l DO meter dan Inkubasi Laboratorium

8 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium

9 Kandungan Organik Substrat

% Oven dan Tanur Laboratorium

3.5 Analisis Data

Data makrozoobentos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Weinner, indeks ekuitabilitas dan analisis korelasi dengan persamaan sebagai berikut :

a. Kepadatan populasi (K)

Jumlah individu suatu jenis K = Luas area / unit contoh


(33)

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR =

N

ni

x 100 % Dengan:

Ni = jumlah individu spesies i

∑N = total individu seluruh spesies

(Brower et. al, 1990, hlm : 88).

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK= x 100 %

Plot Total Jumlah jenis suatu ditempati yang Plot Jumlah

dimana nilai FK : 0 – 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang

50 – 75% = sering

> 75% = sangat sering

(Krebs, 1985, hlm : 521).

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’)

H’ = −

piln pi dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener Pi = proporsi spesies ke –i

ln = logaritma Nature

pi =

ni/N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)


(34)

e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

(E) =

max ' H

H

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya spesies)

(Krebs, 1985, hlm : 522).

f. Kejenuhan oksigen

Harga kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

O2 (u)

Kejenuhan (%) = x 100 O2 (t)

O2 (u) = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (pada tebel)

sesuai dengan harga temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut maksimum terlampir (Lampiran F ).

(Barus, 2004, hlm : 59)

g. Analisis Korelasi

Dilakukan dengan menggunakan Analisis korelasi (r) menurut Pearson (SPSS) antara faktor fisik kimia terhadap indeks keanekaragaman.


(35)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Klasifikasi Makrozoobentos

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh klasifikasi makrozoobentos yang didapatkan pada beberapa stasiun lokasi penelitian sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Danau Lau Kawar, Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo

Filum Kelas Ordo Famili Genus

Odonata

Libellulidae

Plathemis sp

Insecta

Plecoptera Chloroperlidae Allocapnia sp

Arthropoda

Crustaceae Decapoda Palaemonidae Palaemonetes sp

Platyhelminthes Turbelaria Tricladida Planariidae Planaria sp

Pleuroceridae Goniobasis sp

Ampullaridae Pila sp Thiaridae Thiara sp 1

Molusca Gastropoda Mesogastropoda

Thiara sp 2

Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa makrozoobentos yang ditemukan adalah dari 3 filum, 4 kelas, 5 ordo, 7 famili dan 7 genus.


(36)

4.1.1. Tanda -Tanda Khusus (Morfologi) a. Genus Plathemis sp

Genus ini memiliki tubuh bundar / circular, kaki tidak lurus dan kaki 3 pasang, memiliki panjang tubuh 1-3 cm, serta sepasang antenna, dan warna tubuh coklat kehitaman serta metamorfosis tidak sempurna (Gambar1).

Gambar 1. Genus Plathemis sp

b. Genus Allocapnia sp

Genus ini memiliki panjang tubuh 2-3 cm, jumlah kaki ada 3 pasang, sepasang antenna, sepasang cercus. Terdapat bintik hitam pada seluruh tubuh, warna tubuh coklat, metamorfosis tidak sempurna dan nimfa ini di akuatik (Gambar 2).


(37)

c. Genus Palaemonetes sp

Tubuhnya berwarna putih kekuningan dan terdapat bintik-bintik hitam disekitar tubuh. Karapaks menutupi seluruh bagian tubuh, rostrum bergerigi. Bagian caput sebelah kanan lebih besar dari sebelah kiri (Gambar 3).

Gambar 3. Genus Palaemonetes sp

d. Genus Planaria sp

Genus ini pada umumnya memiliki bentuk tubuh yang pipih dorso – ventral dan tidak mempunyai ruas sejati. Adakalanya pada bagian kepala terdapat tonjolan, berbentuk tentakel atau pelebaran sisi kepala, yang disebut aurikel. Warna tubuh biasanya hitam, coklat atau kelabu, tetapi pada beberapa jenis ada yang berwarna merah. Berukuran 0,5mm -60 cm, tetapi umumnya 10 mm (Gambar 4).


(38)

e. Genus Goniobasis sp

Ukuran tubuh berkisar antara 2-3cm, tipe cangkang memanjang, berwarna hitam kecoklatan, cangkang kecil, bagian permukaan cangkang bergelombang, memiliki 5 garis pertautan. Celah mulut sempit dengan tipe apeks tumpul (Gambar 5).

Gambar 5.Genus Goniobasis sp

f. Genus Pila sp

Ukuran tubuh berkisar antara 3-10 cm, bagian atas cangkangnya pendek sedangkan bagian bawahnya membengkak serta warna tubuh kuning kecoklatan. cangkang besar, memiliki 4 garis pertautan. Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul (Gambar 6).


(39)

g. Genus Thiara sp 1

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 5-8 cm, tipe cangkang memanjang, dengan cangkang berukuran sedang, bagian permukaan cangkang bergelombang dengan apeks yang tumpul,serta memiliki celah mulut yang berukuran sedang (Gambar 7).

Gambar 7. Genus Thiara sp 1

h. Genus Thiara sp 2

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Gambar 8).


(40)

4.1.2. Kepadatan Bentos (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Pada Setiap Stasiun Penelitian.

Bedasarkan data jumlah makrozoobentos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, maka didapatkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Nilai Kepadatan Populasi ( ind./ m2), Kepadatan relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos (%) pada Setiap Stasiun Penelitian di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.

Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun

I II III IV

No Taksa

K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK

1. Plathemis sp - - - - - - 11,11 5,36 33,33 - - - 2. Allocapnia sp 3,66 1,23 33,33 33,33 9,00 66,66 - - - - 3. Palaemonetes

sp 18,44 6,22 33,33 44,44 12,00 66,66 22,22 10,72 66,66 - - -

4. Planaria sp - - - - - - - - - 14.77 2,50 33,33 5. Goniobasis sp 55,55 18,76 66,66 66,66 18,00 66,66 125,88 60,75 100 66,66 11,32 33,33 6. Pila sp 55,55 18,76 66,66 - - - 40,66 19,62 100 - - - 7. Thiara sp 1 111,111 37,52 100 225,88 60,99 100 7,33 3,53 33,33 470,33 79,88 100 8. Thiara sp 2 51,77 17,48 66,66 - - - - - - 37,00 6,28 33,33

Jumlah 296,081 99,37 366,64 370,31 39,00 299,98 207,2 99,98 333,32 588,76 99,98 199,99

∑ taksa 6 4 5 4

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada stasiun I nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif yang tertinggi didapatkan pada genus Thiara sp 1 dari kelas Gastropoda sebesar 111,111 ind./m2 dan 37,52% sedangkan untuk Frekuensi Kehadiran sebesar 100% Pada stasiun I genus yang dapat hidup dan berkembang baik adalah Thiara sp 1, hal ini disebabkan stasiun I memiliki kondisi fisik kimia perairan yang paling sesuai dengan habitatnya, selain itu disertai juga dengan kondisi substrat dasar berupa tanah yang berpasir sangat cocok bagi kehidupan genus ini (Tabel 5). Hal ini didukung oleh Hynes (1976) dalam Wargadinata (1995), menyatakan bahwa Thiara sp 1 adalah hewan yang menyukai habitat dasar tanah berpasir.

Nilai kepadatan terendah yang didapatkan pada stasiun I yaitu dari genus Allocapnia sp dengan nilai Kepadatan Populasi 3,66 ind./m2,Kepadatan Relatif 1,23% dan Frekuensi Kehadiran 33,33%. Sedikitnya jumlah genus Allocapnia sp pada stasiun I dikarenakan kondisi perairan yang kurang mendukung bagi genus ini. Pengaruh DO


(41)

serta kondisi substrat dasar berupa pasir yang agak berlumpur (tabel 5), dapat menghambat kepadatan pertumbuhan populasi dari spesis ini. Menurut Pennak (1978, hlm : 461), genus ini menyukai tempat dengan substrat dasar berupa pasir dan berbatu.

Pada stasiun II nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, serta Frekuensi Kehadiran yang tertinggi didapatkan dari genus Thiarasp 1, dengan nilai K (225,88 ind./m2), KR (60,99%), dan FK (100%), keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi faktor fisik kimia perairan pada stasiun II dapat mendukung kehidupannya, seperti substrat dasar berupa tanah yang berpasir, kandungan organik (8,00%), suhu (22 0C), dan lain sebagainya ( Tabel 5). Hutchinson (1993, hlm : 311) menyatakan bahwa Thiara sp 1 melimpah pada perairan dengan substrat dasar tanah berpasir.

Genus lain yang tergolong rendah adalah dari genus Allocapnia sp, dengan nilai K (33,33 ind./m2), KR (9.00%), dan FK (66,66%), keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pada stasiun II tidak dapat mendukung kehidupannya, seperti substrat dasar yang berupa tanah yang berpasir, penetrasi cahaya yang rendah hanya berkisar 1,5 cm sehingga mengakibatkan rendahnya jumlah jumlah oksigen terlarut pada perairan tersebut yakni sebesar 7,2 mg/l (tabel 5). Hal ini didukung oleh Hynes (1976) dalam Wargadinata (1995, hlm : 34) bahwa Allocapnia sp mempunyai habitat di dasar perairan yang berpasir dan berbatu.

Pada stasiun III nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, serta Frekuensi Kehadiran yang tertinggi didapatkan dari genus Goniobasis sp dengan nilai K (125,88 ind./m2), KR (60,75%), dan FK (100%). Kehadiran genus Goniobasis sp yang mendominasi pada stasiun III ini dikarenakan kondisi faktor fisik kimia perairan yang mendukung bagi kehidupan hewan ini. Kondisi perairan dengan pH air sebesar 7,6 masih dapat mendukung kehidupan hewan ini (Tabel 5). Umumnya jumlah Goniobasis sp akan melimpah pada tempat yang dangkal serta pada perairan dengan pH = 6, akan tetapi genus Goniobasis juga memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap pH sehingga dapat hidup pada perairan dengan pH > 6. Cole (1983), menyatakan bahwa adanya perbedaan nilai pH pada suatu perairan disebabkan karena adanya penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses fotosintesis yang akan menyebabkan


(42)

Nilai Kepadatan terendah dari stasiun III adalah dari genus Thiara sp 1 dengan nilai Kepadatan Populasi 7,33 ind./m2, kepadatan relatif 3,53% dan frekuensi kehadiran 33,33% . Sedikitnya jumlah genus Thiara sp 1 pada stasiun III karna kondisi perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan hewan ini, seperti kondisi substrat dasar yang berupa tanah berlumpur, penetrasi cahaya yang rendah hanya berkisar 1,5 cm sehingga mengakibatkan rendahnya jumlah jumlah oksigen terlarut pada perairan tersebut yakni 6,8 mg/l (tabel 5). Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh .

Pada stasiun IV nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, serta Frekuensi Kehadiran yang tertinggi didapatkan dari genus Thiara sp 1, dengan nilai K (470,33 ind./ m2), KR (79,88%), dan FK (100%). Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi faktor fisik kimia perairan pada stasiun IV dapat mendukung kehidupannya, seperti substrat dasar berupa tanah berpasir dan berkerikil, suhu (220C), DO dan lain sebagainya ( Tabel 5). Hutchinson (1993, hlm : 311) menyatakan bahwa Thiara sp 1 melimpah pada perairan dengan substrat dasar berpasir.

Nilai Kepadatan terendah dari stasiun IV adalah dari genus Planaria sp dengan nilai Kepadatan Populasi 14,77 ind./m2, Kepadatan Relatif 2,50% dan Frekuensi Kehadiran 33,33% . Sedikitnya jumlah genus Planaria sp pada stasiun IV karna kondisi perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan hewan ini, seperti kondisi substrat dasar yang berupa pasir berkerikil, kandungan organik substrat yang rendah yaitu sebesar 1,76% serta kejenuhan oksigen yang tinggi (80,89%). Hal ini didukung oleh pernyataan Wood (1987) menyatakan bahwa perbedaan ukuran partikel sedimen memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik, dimana perairan dengan sedimen yang halus memiliki persentase bahan organik yang tinggi karena kondisi lingkungan yang memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang di ikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang kasar


(43)

memiliki kandungan organik yang lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap.

4.1.3.Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos.

Berdasarkan analisa data didapatkan nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) makrozoobentos pada masing-masing stasiun seperti terlihat pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos pada Masing - Masing Stasiun Penelitian.

STASIUN INDEKS

I II III IV

Keanekaragaman (H) 1,5286 1,0912 1,1377 0,4886 Keseragaman (E) 0,234 0,109 0,524 0,734

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) yang didapatkan pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 0,4886–1,5286. Nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun I yakni sebesar 1,5286. Brower et. al (1990, hlm : 52) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Nilai Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’) yang terendah terdapat pada stasiun IV, yakni sebesar 0,4886. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman ini dikarenakan melimpahnya jumlah dari Thiara sp 1, sehingga menyebabkan penyeba ran jumlah dari individu pada tiap spesiesnya tidak merata. Menurut Odum (1994), keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenis tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya rendah. Dan berdasarkan Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’) dari makrozoobentos pada masing-masing


(44)

lokasi penelitian yang diamati, dapat dibuat klasifikasi derajat pencemaran lingkungannya. Menurut Sastrawijaya (1991, hlm : 83) menyatakan bahwa klasifikasi derajat pencemaran air berdasarkan indeks diversitas dapat digolongkan sebagai berikut :

H’< 1,0 : Tercemar Berat H’ = 1,0 – 1,6 : Tercemar Sedang H’ = 1,6 – 2,0 : Tercemar Ringan H’ > 2,0 : Tidak Tercemar

Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka berdasarkan data yang diperoleh stasiun I, II dan III termasuk kedalam kelompok perairan yang tercemar sedang berdasarkan pada indeks diversitasnya yakni 1,5286, 1,0912 dan 1,1377 sedangkan stasiun IV tergolong perairan yang tercemar berat dengan nilai indeks diversitasnya yakni 0,4886.

Nilai Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari IV stasiun penelitian berkisar antara 0,109-0,734. Indeks Keseragaman yang tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 0,734 dan terendah pada stasiun II sebesar 0,109. Pada stasiun IV jumlah spesies dari masing-masing genus yang diperoleh tidak ada yang mendominasi, sedangkan pada stasiun II terdapat genus yang jumlahnya sedikit dan terdapat spesies yang jumlahnya mendominasi yaitu Thiara sp1. Menurut Krebs (1985) nilai Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0–1. Jika nilai indeks keseragaman mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena ada jenis yang mendominasi. Bila nilai mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang mendominasi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat seragam atau merata.

4.2. Parameter Fisik – Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung, Kec. Simpang Empat Kabupaten Karo, diperoleh nilai rata-rata faktor fisik-kimia pada setiap stasiun, seperti tertera pada tabel 5 dibawah ini.


(45)

Tabel 5. Rata – Rata nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Danau Lau Kawar.

Stasiun

No. Parameter Satuan

I II III IV

1. Temperatur oC 22 22 22 22

2. pH - 7,2 7,4 7,6 7,4

3. Penetrasi Cahaya M 1,5 1,5 1,5 1,5

4. DO mg/l 6,6 7,2 6,8 6,9

5. BOD5 mg/l 1 0,6 4,8 0,9

6. Substrat Organik % 5,46 8,00 10,14 1,76

7. Kejenuhan Oksigen (O2) % 77,37 84,40 79,71 80,89

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa temperatur air pada keempat stasiun penelitian adalah sama yakni 22 0C. Temperatur pada keempat stasiun tersebut relatif sama, tidak mengalami fluktuasi, karena keadaan cuaca pada saat pengukuran temperatur relaif sama, sehingga temperatur tidak mengalami perubahan. Secara umum kisaran temperatur tersebut merupakan kisaran normal bagi makhluk hidup perairan termasuk makroozoobenthos. Fluktuasi temperatur di perairan tropis umumnya sepanjang tahun mempunyai fluktuasi temperatur udara yang tidak terlalu tinggi sehingga mengakibatkan fluktuasi temperatur air juga tidak terlalu besar (Barus, 2004, hlm: 46).

Dari data yang terdapat pada tabel diatas dapat dilihat nilai hasil pengukuran pH pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 7,2- 7,6. Nilai pH pada keempat stasiun penelitian berbeda-beda, tergantung kondisi perairan pada masing-masing stasiun penelitian. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 7,6 dan terendah pada stasiun I sebesar 7,2. Cole (1983), menyatakan bahwa adanya perbedaan nilai pH pada suatu perairan dikarenakan penambahan atau kehilangan CO2 melalui proses

fotosintesis yang akan menyebabkan perubahan pH di dalam air. Secara keseluruhan, nilai pH yang didapatkan dari keempat stasiun penelitian masih mendukung kehidupan dan perkembangan makrozoobenthos. Menurut Hawkes (1979) dalam Sinambela (1994, hlm: 33) menyatakan bahwa kehidupan dalam air masih dapat bertahan apabila perairan mempunyai kisaran pH 5-9.

Dari data yang terdapat pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penetrasi cahaya pada keempat stasiun penelitian adalah sama dan bernilai rendah yaitu sebesar 1,5 M. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut


(46)

dan suspensi padatan yang tinggi, serta bahan organik yang tinggi, sehingga matahari sulit untuk menembus badan perairan. Menurut Fardiaz (1992) dan Sastrawijaya (1991, hlm: 99), menyatakan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut.

Nilai oksigen terlarut (DO) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian berkisar antara 6,6-7,2 mg/l, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 7,2mg/l hal ini disebabkan karena pada stasiun ini ditemukan banyak tumbuhan air yang dapat menyumbangkan lebih banyak oksigen melalui proses fotosintesis dan terendah pada stasiun I sebesar 6,6 mg/l, rendahnya nilai oksigen terlarut pada stasiun I menunjukkan bahwa terdapat banyak senyawa organik serta senyawa kimia yang masuk kedalam badan perairan tersebut, dimana kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme yang akan berlangsung secara aerob (memerlukan oksigen). Schwoerbel (1987) dalam Barus (2004, hlm: 58), menyatakan bahwa nilai oksigen terlarut pada suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman, yang sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Selanjutnya Sinambela (1994, hlm : 30) menyatakan bahwa kehidupan makrozoobentos di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 2 mg/l.

Nilai BOD5 pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 0,6-4,8 mg/l,

dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun III dan terendah pada stasiun II sebesar 0,6 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian disebabkan oleh

jumlah bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun, yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat.

Tingginya nilai BOD5 pada stasiun III disebabkan adanya aktivitas pertanian di lokasi

tersebut, sehingga bermacam pupuk yang digunakan pada pertanian tersebut meresap ke tanah yang pada akhirnya sampai dan mencemari air danau. Rendahnya BOD5


(47)

Manahan (1984) dalam Wargadinata (1995, hlm: 36), nilai BOD5 menunjukkan

bahwa terjadi pencemaran organik di dalam suatu perairan.

Nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 1,76 - 10,14%. Kandungan organik substrat tertinggi didapatkan pada stasiun III sebesar 10,14%, sedangkan terendah pada stasiun IV sebesar 1,74%. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat yang didapatkan dari keempat stasiun penelitian di danau Lau Kawar ini tergolong rendah dan sangat tinggi. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Djaenuddin et. al., (1994, hlm : 64) kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut :

< 1 % = sangat rendah 1% - 2% = rendah

2,01% - 3% = sedang 3% - 5% = tinggi

>5,01% = sangat tinggi

Substrat dasar suatu perairan merupakan faktor yang penting bagi kehidupan hewan makrozoobentos yaitu sebagai habitat hewan tersebut. Masing-masing spesies mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap substrat dan kandungan bahan organik substrat (Barnes & Mann, 1994, hlm : 14). Adanya perbedaan jenis substrat dasar juga menyebabkan perbedaan jenis makrozoobentos yang didapatkan pada masing-masing stasiun penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992, hlm : 213) bahwa adanya substrat dasar yang berbeda-beda menyebabkan perbedaan fauna atau struktur komunitas makrozoobentos. Selain itu adanya perbedaan ukuran partikel sedimen memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik, dimana perairan dengan sedimen yang halus memiliki persentase bahan organik yang tinggi karena kondisi lingkungan yang tenang yang memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang di ikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang kasar memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap (Wood, 1987), serta kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos


(48)

tersebut, karena tipe substrat pun ikut menentukan (Welch, 1952; Santos & Umaly, 1989 dalam Izmiarti, 1990; Lowe &Thompson, 1997).

Nilai kejenuhan oksigen yang didapatkan pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 77,37- 84,40 mg/l. Nilai kejenuhan oksigen tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 84,40 mg/l dan terendah pada stasiun I sebesar 77,37 mg/l. Dari nilai kejenuhan yang diperoleh pada masing-masing stasiun terlihat bahwa stasiun I kondisinya lebih baik dibandingkan tiga stasiun lainnya. Dari nilai kejenuhan terlihat bahwa lokasi I mempunyai defisit oksigen yang lebih rendah, sehingga dapat kita simpulkan bahwa kondisinya lebih baik dibandingkan dengan tiga stasiun lainnya. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Barus (2004, hlm: 60) yang menyatakan bahwa kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Oleh sebab itu jika di dalam suatu lingkungan perairan, jumlah kehadiran senyawa organik tinggi, maka mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam jumlah yang lebih banyak dan hal ini akan mengakibatkan defisit oksigen bagi lingkungan perairan tersebut, dan dengan kata lain bahwa di lingkungan tersebut sudah terdapat senyawa organik (pencemar) yang dapat diketahui dari defisitnya nilai oksigen pada perairan tersebut.

4.3 Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos.

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia perairan yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian, dan dikorelasikan dengan Indeks Keanekaragaman (Diversitas Shannon-Wiener) maka diperoleh nilai Indeks Korelasi seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Nilai Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos.

Berdasarkan pengukuran faktor fisik-kimia perairan yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian, dan dikorelasikan dengan Indeks Keanekaragaman (Diversitas


(49)

Shannon – Wiener) maka diperoleh nilai Indeks Korelasi seperti terlihat pada Tabel 6 berikut :

Korelasi Pearson

Tempe ratur

Penetrasi cahaya

pH DO BOD5 Substrat Organik Kej. O2

H’ .a .a -0,372 -0,431 0,131 0,550 -0,432

Keterangan :

Nilai + = Arah Korelasi Searah Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan

Tanda a = Berarti tidak dapat dibandingkan karena memiliki nilai/ variabel yang yang sama/ konstan

Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan indeks diversitas. Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, sedangkan nilai negatif (-) menunjukan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai indeks keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia perairan maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H’ akan semakin besar. Dari hasil uji korelasi Pearson antara faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman makrozoobentos dapat dilihat bahwa temperatur, cahaya, BOD5, dan

kadar Organik Substrat berkorelasi searah tetapi tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman makrozoobentos.

Dari hasil uji korelasi diperoleh bahwa parameter BOD5 dan Substrat organik

berkorelasi searah dengan (H’). Berdasarkan Interval Koefisien Korelasi menurut (Sugiyono, 2005) seperti tertera pada tabel Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor, sebagai berikut :


(50)

Tabel 7. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor No Interval Koefisien Tingkat Hubungan

1. 0,00 – 0,199 Sangat rendah

2. 0,20 - 0,399 Rendah

3. 0,40 - 0,599 Sedang

4. 0,60 – 0,799 Kuat

5. 0,80 – 1,000 Sangat kuat

Maka hubungan korelasi antara BOD5 dengan Keanekaragaman Makrozoobentos (H’)

sebesar 0,131, dinyatakan memiliki tingkat hubungan sangat rendah, sedangkan nilai korelasi substrat organik dengan (H’) sebesar 0,550 dinyatakan mempunyai tingkat hubungan sedang.

Selanjutnya dari hasil uji korelasi pearson diperoleh bahwa parameter pH, DO, Kejenuhan O2 berkorelasi berlawanan dengan keanekaragaman (H’) makrozoobentos.

Berdasarkan Interval Koefisien Korelasi menurut (Sugiyono, 2005), maka hubungan korelasi antara pH dengan keanekaragaman (H’) Makrozoobentos sebesar 0,372 dinyatakan memiliki tingkat hubungan rendah, sedangkan nilai korelasi antara DO dengan (H’) sebesar 0,431 dinyatakan mempunyai tingkat hubungan sedang, dan nilai korelasi antara Kejenuhan O2 dengan (H’) sebesar 0,432 dinyatakan mempunyai


(51)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan untuk melihat keanekaragaman makrozoobentos di danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Jumlah makrozoobentos yang didapatkan secara keseluruhan sebanyak 8 genus yang terdiri dari 3 phylum, yaitu Arthropoda, Molusca dan Platyhelminthes. b. Kepadatan makrozoobentos yang tertinggi pada genus Thiara sp 1 sebesar

470,33 ind./m2 ditemukan pada stasiun IV sedangkan yang terendah pada genus Allocapnia sebesar 3,66 ind./m2 pada stasiun I.

c. Nilai indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 0,4886 – 1,5286.

d. Berdasarkan indeks diversitas, stasiun I, II, IV tergolong perairan yang tidak tercemar sedangkan stasiun III tergolong perairan tercemar ringan.

e. Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Pearson diperoleh hubungan faktor fisik-kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobentos, antara lain hubungan antara faktor temperatur, penetrasi cahaya, BOD5 dan kadar organik substrat

berkorelasi searah namun tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman, sedangkan parameter seperti pH, DO, Kejenuhan O2 berkorelasi berlawanan


(52)

5.2 Saran

Diharapkan agar kiranya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai organisme aquatik yang terdapat di danau Lau Kawar. Disamping itu juga berguna bagi instansi terkait dalam melakukan pengelolaan kelestarian danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo ini pada khususnya.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Abdunnur. 2002. Analisis Komunitas Makrozoobentos dalam Jurnal Ilmiah Mahakam Vol, I. No.2.

Adianto. 1993. Ekologi Pertanian. Edisi Kedua. Alumni. Jakarta.

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke 2, Yogyakarta, Penerbit UGM Press.

Barnes, K. S. K & K. H. Mann. 1994. Fundamental of Aquatic Ecology. Blackwell Scientific Publications Oxford.

Barus, T.A. 1996. Metode Ekologis Untuk Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik. Program Studi Biologi. Fakultas MIPA USU, Medan.

2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi Biologi. Fakultas MIPA USU, Medan.

2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi Biologi. Fakultas MIPA USU, Medan.

Brower, J. E. H. Z. Jerrold & Car. I.N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods For General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher. USA, New York.

Cole, G. A.1983. Buku Teks Limnologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Djaenuddin, D., Basuni, S, H. Subagyo. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan. Bogor : Euroconsult.

Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. Jhon Willey & Sons, inc., New York.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

Hutchinson, W .T. 1993. A Treatise on Lymnology. Edited by Yuette. Jhon Willey & Sons, Inc. New York. Pp.1-6.

Hynes, H. B. N. 1976. The Ecology With Of Running Water. Liverpool University Press, England.

James, A. & L. Evison. 1979. Biological Indications Of Water Quality. John. Wiley & Sons. Chrichester, New York.

Koesbiono, 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan). Sekolah Pascasarjana Program Studi Lingkungan. IPB, Bogor.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI Yogyakarta.

Kusumaatmaja, M. 1996. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan. Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara.


(54)

Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abudance. Third Edition. Harper & Row Publisher, New York.

Lalli, C. M & T. R. Parsons. 1993. Biological Oceanographi: An Introduction. Pergamon Press, New York.

Lowe, S & B. Thompson. 1997. IdentifyingBenthicIndicatorsforSanFranciscoBay. http://www.sfei.org/rmp/1997C0403.htm (diakses tanggal 30 Oktober 2008). Mahadi, U. N. 1993. Pencemaran air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Edisi IV.

PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.

Marsaulina, L. 1994. Keberadaan dan Keanekaragaman Makroozoobentos di Sungai Semayang Kecamatan Sunggal. Karya tulis. Lembaga Penelitian USU, Medan.

Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. UI Press, Jakarta.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta .

Naughton, S. J. & Larry, L. 1990. Ekologi Umum. Gadajah Mada University Press, Yogyakarta

Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta . Payne, A. I. 1996. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wilay & Sons,

New York.

Pennak, R. 1978. Fresh Water Invertebrates of The United States Protozoa To Mollusca. Colorado : University of Colorado, Boulder.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta. Seki, H. 1982. Organik Material in Aquatic Ecosystem. CRC Press. Inc, Florida. Sinambela, M. 1994. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas

Sungai Babura. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Soemarwoto, I dkk. 1990. Biologi Umum II. Penerbit PT.Granedia, Jakarta.

Soeriaatmadja. R. E. 1977. Ilmu Lingkungan. Cetakan pertama, Bandung, Penerbit ITB.

Soegianto. A. 2005. Ilmu Lingkungan. Cetakan pertama, Surabaya, Penerbit Universitas Airlangga.

Strin, J. 1981. Manual Individu Aquatic Enviroment Research. Part 8. Ecologycal Assesment of Pollution Effects. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.

Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Universitas Andalas, Padang.


(55)

Suriawiria, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Edisi I. Alumni, Bandung.

Supriharyono, S. M. 2001. Pengelolaan Ekoitem Terumbu Karang. Jakarta : Djambatan

Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobentos Sebagai Indikator Ekologi di Sungai Percut. Tesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingkungan USU, Medan.

Warhdana, A.W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi. Andi, Yogyakarta.

Welch, C. 1980. Limnology. McGraw-Hill Book Company Inc. New York.

Whitten, A. J., N. Hisyam, J. Anwar, & S. J. Damanik. 1987. The Ecology of Sumatera. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wood, M.S. 1987. Subtidal Ecologi. Australia : Edward Arnold. Limited. Diakses tanggal 31Oktober 2008.


(56)

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO

1 ml MnSO4 1 ml KOH – KI Dikocok Didiamkan

5 ml

1 ml H2SO4 Dikocok Didiamkan

Diambil sebanyak 100 ml

Ditetesi Na2S2O3 0,0125 N

D

Ditambahkan 5 tetes amilum

Di

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Dihitung volume Na2S2O3 yang

terpakai (= nilai DO akhir)

(Michael, 1984 ; Suin, 2002. hlm : 60). Larutan sampel berwarna

coklat Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat

Sampel berwarna kuning pucat

Sampel berwarna biru

Hasil Sampel Bening


(57)

Lampiran B. Bagan kerja metode Winkler untuk mengukur BOD5

Diinkubasi selama 5 hari pada Dihitung

temperatur 200C nilai DO awal

di hitung nilai DO akhir

Keterangan:

· Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan nilai DO . Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir

(Michael, 1984 ; Suin, 2002. hlm : 60).

DO Awal DO Akhir

Sampel Air I Sampel Air II


(58)

Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD

(Suin, 2002, hlm: 65). 10 ml Sampel

Hasil Merah Kecoklatan

Dimasukkan kedalam erlenmeyer Ditambah 5 ml K2CrO7

Ditambah 0,2 gr HgSO4

Dimasukkan 2 batu didih Ditambah 5 ml H2SO4(p)

Direfluks Didiamkan

Ditambah 30 ml akaudest Ditambah indikator feroin

Dititrasi menggunakan ferroamonium sulfat Dicatat volume peniternya


(59)

Lampiran D. Bagan Kerja pengukuran Kadar Organik Substrat

Dihomogenkan

Dikeringkan dalam oven 450 C

Dihaluskan/di gerus dgn lumpang

Dikeringkan dlm oven 450 C selama 1 jam

Ditimbang sebanyak 5 gram

Dibakar dalam tungku pembakar Pada suhu 6000 C selama 3 jam

Ditimbang berat abu

Berat Konstan Tanah 100 gram substrat dasar

5 Gram tanah

Abu

Hasil Substrat dasar

pada titik pengamatan


(60)

(61)

Lampiran F. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air

T oC 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0 14,16 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81 1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44 2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08 3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74 4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,09 5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09 6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79 7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50 8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22 9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95 10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70 11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45 12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,21 13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00 14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78 15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58 16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39 17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20 18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03 19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86 20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 8,73 8,71 8,70 21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55 22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40 23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26 24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13 25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00 26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88 27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76 28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65 29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54 30 7,53 7,52 7,51 7,50 7,48 7,47 7,46 7,45 7,44 7,43


(62)

(63)

(64)

Lampiran I. Photo Lokasi Penelitian

Gambar 9. Lokasi Stasiun I

Gambar 10. Lokasi Stasiun II


(65)

Gambar 11. Lokasi Stasiun III


(66)

(1)

Lampiran F. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air

T oC 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0 14,16 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81 1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44 2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08 3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74 4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,09 5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09 6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79 7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50 8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22 9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95 10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70 11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45 12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,21 13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00 14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78 15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58 16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39 17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20 18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03 19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86 20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 8,73 8,71 8,70 21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55 22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40 23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26 24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13 25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00 26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88 27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76 28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65 29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54 30 7,53 7,52 7,51 7,50 7,48 7,47 7,46 7,45 7,44 7,43


(2)

(3)

(4)

Lampiran I. Photo Lokasi Penelitian

Gambar 9. Lokasi Stasiun I

Gambar 10. Lokasi Stasiun II


(5)

Gambar 11. Lokasi Stasiun III


(6)